Bumi Resources Minerals

Beberapa waktu terakhir ini, seiring dengan masih kondusifnya kondisi market, sepertinya ada trend baru dikalangan pengusaha kelas kakap untuk menambah kekayaan mereka dengan cara yang sangat-sangat mudah. Apa itu? Dengan membentuk perusahaan baru, yang sebenarnya bukanlah perusahaan baru karena hanya merupakan anak usaha dari perusahaan yang sudah ada sebelumnya, lalu meng-IPO-kannya. Setelah Grup Salim mendirikan Indofood Consumer Brand Product (ICBP) yang merupakan anak usaha Indofood (INDF), lalu meng-IPO-kannya dan mendapat dana segar Rp 6.2 trilyun, kali ini giliran Grup Bakrie. Bumi Resources Minerals (BRM) adalah anak usaha dari Bumi Resources (BUMI), yang khusus bergerak di bidang usaha tambang non-batubara.

BRM ini dulunya adalah sebuah perusahaan kecil dengan nama PT Panorama Timur Abadi, dengan total aset pada akhir tahun 2007 sebesar hanya 8 milyar. Pada 31 Juli 2009, BUMI mengakuisisi perusahaan ini, kemudian mengubah namanya menjadi Bumi Resources Minerals alias BRM. Untuk apa? Untuk dijadikan wadah bagi banyak perusahaan tambang. Memang terhitung sejak 2009-an, Grup Bakrie melalui BUMI mulai aktif masuk ke bisnis tambang emas, perak, tembaga, timah hitam, seng, intan, fosfat, hingga bijih besi, dengan mengakuisisi banyak perusahaan tambang yang kecil-kecil. Anak-anak usaha dibidang non batubara ini lalu dikumpulkan menjadi satu dibawah BRM, termasuk kepemilikan BUMI atas 24% saham PT Newmont Nusa Tenggara (NNT) yang juga ditempatkan di bawah BRM. Dengan demikian, BUMI bisa tetap fokus di bisnis batubara, karena seluruh bisnis tambang non batubaranya sudah ‘diurus’ oleh BRM.


Setelah mengakuisisi BRM, BUMI lalu menyuntikkan dana dalam jumlah besar ke dalam BRM, sehingga pada akhir 2009, aset BRM tiba-tiba melompat menjadi 15.2 trilyun dari sebelumnya hanya 9 milyar pada 2008. Dan enam bulan kemudian yaitu pada 1H10, aset BRM kembali meningkat menjadi 18.7 trilyun.

Pertanyaannya, dari mana BUMI mendapat dana untuk meningkatkan aset BRM? Dari utang, tentu saja. Pada 1H10, total kewajiban BUMI mencapai US$ 6.41 milyar, naik dari hanya US$ 3.97 milyar pada 1H09. Peningkatan terbesar terutama pada pinjaman jangka panjang yang naik menjadi US$ 2.54 milyar dari sebelumnya hanya US$ 541 juta, yang memang digunakan untuk banyak akuisisi. Utang-utang tersebut lalu ditempatkan di BRM, sehingga jumlah total kewajiban BRM melejit dari 12 milyar pada 2008, menjadi 15.5 trilyun pada 2009.

Jadi ketika BUMI mengakuisisi banyak perusahaan tambang yang kemudian ditempatkan di BRM sepanjang 2009 – 2010, dananya ya dari utang, sehingga BRM ini isinya memang cuma.. utang!

BRM ini punya sedikit masalah di neracanya, dimana dari 2007 hingga 2009, nilai ekuitasnya selalu minus alias defisiensi modal. Ini jelas nggak bagus di mata investor. Jadi pada 1H10, hal ini diperbaiki dengan cara: status dari sebagian utang BRM dari BUMI diubah menjadi tambahan modal disetor. Penjelasannya begini: Awalnya, BUMI ngambil banyak utang dari beberapa bank dan lembaga keuangan. Uangnya lalu diberikan ke BRM untuk mengakuisisi banyak perusahaan tambang, dalam bentuk utang juga (Jadi BRM berhutang ke BUMI). Alhasil neraca BRM menjadi penuh oleh utang. Tapi karena BUMI adalah induk dari BRM, maka kalau kedua perusahaan sepakat, status utang tersebut bisa saja diubah menjadi tambahan modal disetor. Jadi ketika sebelumnya statusnya BUMI ngasih utang ke BRM, berubah menjadi BUMI ngasih modal ke BRM. Yup, hanya perubahan status saja, tapi imbasnya besar. Total kewajiban BRM pada 1H10 menjadi berkurang drastis dari 15.5 trilyun menjadi 9.3 trilyun. Ekuitas BRM bertambah juga secara drastis, dari minus 320 milyar menjadi 9.2 trilyun, alias sudah tidak minus lagi.

Tapi kita tentu sudah tahu bahwa modal yang disuntikkan BUMI ke dalam BRM tersebut berasal dari utang, jadi perubahan status pada neraca BRM dari utang menjadi tambahan modal disetor itu tidak mengubah apapun, karena pada hakekatnya tambahan modal disetor dari BUMI itu adalah utang juga. Window dressing? You could say so.

Salah satu tujuan dari IPO BRM sendiri memang untuk memperoleh dana untuk membayar sebagian utang BUMI, yaitu utang jangka pendek sebesar A$ 148.8 juta ke Bright Ventures Ltd. Ketika BUMI dan Bright Ventures membuat perjanjian utang pada 26 Mei 2010, memang sudah terdapat kesepakatan bahwa BUMI akan membayar utangnya tersebut selambat-lambatnya 5 hari kerja setelah pelaksanaan IPO BRM.

Yup, Grup Bakrie memang punya kelebihan disini: mereka selalu bisa mendapatkan kreditor yang mau ngasih utang dalam jumlah besar untuk membeli banyak perusahaan yang kecil-kecil atau sebuah perusahaan besar. Ibaratnya, kalau mereka mau bahkan Telkom juga bisa mereka beli tanpa harus mengeluarkan duit sama sekali (hebat bener!). Dulu ketika mereka membeli BUMI dari Rio Tinto pun, juga pake utang. Tapi hasilnya? BUMI sekarang menjelma menjadi perusahaan batubara terbesar di tanah air. Sayangnya, Grup Bakrie juga punya kelebihan dalam hal financial engineering, sehingga investor retail ga kebagian keuntungan yang dihasilkan perusahaan kecuali sedikit, dan kebanyakan dari mereka (meski ga semua) lebih sering mengalami rugi daripada untung ketika membeli saham BUMI. Ajaibnya, BUMI tetep aja laris.

Kembali ke BRM. Lalu bagaimana dengan laporan laba ruginya?

Karena BRM baru diakuisisi BUMI pada 2009, maka kinerja perusahaan pada 2007 dan 2008 tidak perlu kita perhatikan. Dan karena mayoritas anak-anak usaha BUMI yang ditempatkan dibawah BRM masih belum berproduksi (kebanyakan merupakan proyek tambang yang masih dalam tahap eksplorasi), maka BRM belum menghasilkan pendapatan yang besar setelah diakuisisi. Pada 2009, BRM mencatat penjualan 18 milyar dan laba bersihnya nol (tepatnya minus 209 juta alias rugi). Pada 1H10, setelah dilakukan konsolidasi anak usaha, penjualan BRM naik menjadi 63 milyar, dan laba bersihnya melejit menjadi 175 milyar. Wah, kok laba bersihnya bisa lebih besar dari penjualannya? Well, itu berkat pendapatan dari perusahaan asosiasi (hasil dari konsolidasi tadi) senilai 768 milyar, yang otomatis mengimbangi beban bunga utang sebesar 529 milyar. Alhasil, didapatlah laba bersih 175 milyar.

Mirip seperti Agung Podomoro Land yang pendapatannya sangat kecil karena banyak proyek propertinya yang belum kelar dibangun, BRM pun demikian. Kedepannya, BRM berpotensi mencatat kenaikan pendapatan yang signifikan jika beberapa proyek tambangnya selesai dieksplorasi dan mulai berproduksi, terutama produksi emas dari PT Newmont. Sebab biar bagaimanapun, permintaan dunia akan berbagai logam seperti emas, perak, tembaga, timah, dll tidak akan pernah habis. Namun catat: karena banyak dari akuisisi tambang tersebut menggunakan utang, maka beban bunga utang yang ditanggung BRM juga akan besar, sehingga berpotensi ‘menghabisi’ laba bersihnya.

Jadi meski BRM ini sebenarnya punya potensi yang cukup baik di masa depan, tapi ‘masa depan’ yang dimaksud disini masih lama, sekitar 4 – 5 tahun lagi dari sekarang. Hal itu karena proyek-proyek tambang milik BRM tambang membutuhkan waktu yang lama untuk dieksplorasi, sebelum kemudian mulai berproduksi. That’s why utang-utang BUMI yang digunakan untuk akuisisi banyak perusahaan tambang pada 2009 – 2010 berstatus utang jangka panjang. BRM baru akan bisa menjadi perusahaan yang menghasilkan laba bersih dalam jumlah besar, setelah nilai penjualan dari hasil produksinya cukup untuk membayar lunas utang-utang jangka panjang tersebut.

Lalu seberapa baik prospeknya? Apakah BRM ini bisa menjadi seperti Aneka Tambang (ANTM)? Mungkin saja sih. Masalahnya, Indonesia memang merupakan salah satu negara produsen batubara terbesar di dunia (sehingga BUMI menjadi besar), dan juga salah satu produsen tembaga dan emas dunia. Tapi, tambang tembaga dan emas terbesar di Indonesia yang terletak di Papua sudah dikuasai oleh PT Freeport. Sebesar apapun cadangan emas, tembaga, maupun logam-logam lainnya di proyek-proyek milik BRM yang tersebar di banyak wilayah di tanah air (terutama di Indonesia bagian timur), tapi tetap saja terbilang kecil dibanding tambang di Papua milik PT Freeport tersebut, kecuali mungkin PT Newmont tadi. Itupun BRM hanya memegang 24% saham Newmont, alias bukan mayoritas. Jadi intinya, potensi bisnis tambang emas dan tembaga di Indonesia tidak terlalu bagus meski sebenarnya negara kita punya banyak emas dan tembaga, karena sebagian besar tambang emas dan tembaga tersebut sudah dikuasai oleh orang-orang Amerika (kasian bener sih kita?). Alhasil, prospek BRM secara umum tidak sebaik induknya, BUMI, yang memiliki cadangan batubara yang sangat banyak.

Tapi toh nyatanya saham BUMI di market juga cuma jadi saham gorengan? Well, itu karena laporan keuangannya memang berantakan, khas Grup Bakrie. BRM juga sama begitu. Jadi pada akhirnya, saham BRM di market paling-paling hanya akan jadi mainan bandar (sekali lagi, karena keahlian financial engineering Grup Bakrie), kecuali kalau Grup Bakrie mau mengubah kebijakannya terkait bandar-bandaran ini, tapi mungkin mereka tidak akan mau. Sepertinya kepemilikan BUMI atas 24% saham PT Newmont juga sengaja ditempatkan dibawah BRM untuk tujuan tersebut, dimana saham BRM di market nantinya akan mudah melejit setiap kali dipicu oleh sentimen positif seputar PT Newmont. Why? Sebab PT Newmont adalah salah satu produsen emas terbesar di Indonesia, setelah Freeport.

Jadi apakah sahamnya boleh dikoleksi? ya kenapa enggak? BRM ini sangat menarik untuk spekulasi jangka pendek, terutama karena harga-harga komoditas logam mudah naik dan mudah turun dalam sekejap, dan karena 'nama besar' Bakrie dibelakangnya. Tambahan: kalau anda megang sahamnya, maka anda harus sering-sering tongkrongin kabar terbaru seputar PT Newmont.

Komentar

Batara Sumartio mengatakan…
Waduh, BUMI kok dicap saham gorengan ?
Anonim mengatakan…
BUMI gak cuma saham gorengan...tapi dah jadi arena judi legal....
Anonim mengatakan…
hebat deh, om Teguh. Ane aja melototin prospektus BRM gak dapet kesimpulan apa2 selain ini perusahaan baru yang baru aja mulai punya penghasilan...
Anonim mengatakan…
hallo pak teguh,saya pengikut setia blog pak teguh nih,cuma baru kali ni ikut rekomen hehe..lagi belajar2 analisa fundamental, rasa nya lebih real gitu daripada cuma liat chart doank ..saya sampai menjilid tulisan bapak yg tentang cara menganalisa fundamen dgn cth unilever.kalo bisa dilanjutin pak dengan tingkat yg lebih mendalam hehehe.salam cuan ^^
Anonim mengatakan…
ckckck..oo ternyata gitu tho ceritanya, prospektus nya aneh bin ajaib...bikin ane puyeng
BG7 (bentar lg BG8) memang pintar financial engineering & pintar bikin gorengan

Pa Teguh, secara fundamental.. apa bedanya meng - IPO kan anak perusahaan dibanding dgn right issue?
trims pencerahannya
anton mengatakan…
analisa yang sangat bagus pak teguh.... jadi pengen belajar ama tim financial enginer nya bakrie.....
Anonim mengatakan…
@Batara Sumartio BUMI merupakan saham gorengan,termasuk marginable,short sell. kalo Anda tidak kuat jgn ikut saham ini. saham kolesterol tinggi bisa berakibat stroke heheh.

@Teguh bagus pak analisanya, keep on running. saya tunggu analisa berikutnya. salam.
Anonim mengatakan…
Berarti brm ini hampir sama dengan bumi donk? Kalau menurut saya berarti BRM dan bumi sudah setengah menjadi investor atau perusahaan yang mengambil alih perusahaan lain ya? Kalau salah tolong dibetulkan ya suhu-suhu.
wibowo Notosusanto mengatakan…
Terima kasih Pak Teguh. Analisanya sungguh mantaaaap
Anonim mengatakan…
Pak Teguh, mantap banget postingan2nya....saya selalu ikuti postingan Pak Teguh..
Handi mengatakan…
Pak Teguh,

Analisa Bapak mengenai saham dalam hal analisa fundamental sangat membantu sekali.
Bapak mengatakan sampai dgn akhir th 2011 IHSG akan mencapai 4500.
Saham apa yg bisa Bapak rekomendasikan untuk saya simpan sd akhir tahun ini, yg sekarang harganya belum naik/naiknya belum banyak ?
Terima kasih Pak Teguh.
Unknown mengatakan…
Selamat Siang pak Teguh, saya udah baca lap.keuangan BUMI kwartal 2.2017, tapi saat saya membaca kolom DEFISIENSI MODAL, lebih tepatnya pada jumlah Saham yg ditempatkan dan disetor penuh tertera 36.627020.427 lembar, dengan menggunakan Kurs setara $0.07
tapi koq hasilnya 1.614.650.269 ? Mohon penjelasan Bapak, mgkin sy kurang ngerti atau gimana ?

Salam Hormat,

Adriyan

ARTIKEL PILIHAN

Live Webinar Value Investing, Sabtu 16 Maret 2024

Ebook Investment Planning Kuartal IV 2023 - Sudah Terbit!

Laporan Kinerja Avere Investama 2022

Peluang dan Strategi Untuk Saham Astra International (ASII)

Indo Tambangraya Megah: Masih Royal Dividen?

Indah Kiat Pulp & Paper (INKP) Bangun Pabrik Baru Senilai Rp54 triliun: Prospek Sahamnya?

Prospek Saham Energi Terbarukan, Kencana Energi Lestari (KEEN)