ICBP dan BJBR

Bagaimana dengan Indofood CBP (ICBP)? Kenapa dia terus turun sampe cukup jauh dibawah harga IPO-nya? Kok nggak ada upaya untuk mengembalikannya ke harga diatas harga IPO-nya? Padahal sentimen negatif soal Indomie di Taiwan sudah mulai surut, dan bahkan ada yang menyamakan ICBP ini dengan Coca-Cola.

Ketika Grup Salim meng-IPO-kan ICBP, tujuannya murni hanya untuk mencari duit sebanyak-banyaknya, yang akan dipake buat bayar utang, gak lebih dari itu. Makanya harga IPO ICBP tinggi banget, mencapai Rp 5,395 per saham. Kalau pake kinerja ICBP yang terakhir yaitu kuartal III 2010, harga tersebut mencatat PBV 10.4 kali, mahal! Maka wajar kalau kemudian harga ICBP cuma bisa naik sebentar ke level 6,000, untuk kemudian terus turun hingga terakhir berada di posisi 4,700.

Produk-produk Indofood CBP

Lalu kenapa kok sepertinya ga ada upaya dari Grup Salim untuk menjaga harga saham ICBP ini untuk setidaknya tetap berada diatas harga IPO-nya? Karena Grup Salim bukan tipikal Grup Bakrie yang doyan ngutak atik harga saham. Mereka lebih suka berbisnis di sektor riil: bikin Indomie, lalu menjualnya ke masyarakat. Jadi, hampir seluruh saham-saham Grup Salim, termasuk INDF dan ICBP, harganya dibiarkan untuk mengikuti harga pasarnya. Dan harga wajar ICBP pada saat ini, secara fundamental memang di level 4,000-an. Harga 4,700 mencatat PBV 9.0 kali, masih sangat tinggi. Ini karena Grup Salim menaruh sebagian besar utang INDF ke dalam neraca ICBP, sehingga ekuitas ICBP kecil sekali, tapi sebaliknya, utangnya guedee. Tapi dari sisi laba bersih, PER ICBP cuma 12.7 kali, masih wajar. Itu karena pendapatan ICBP memang sangat besar, hasil dari jualan sekian juta bungkus Indomie setiap harinya.

Bagi Grup Salim, sama sekali gak masalah kalau ICBP kini harganya jeblok. Karena mereka sudah mendapatkan apa yang mereka inginkan: duit Rp6.2 trilyun hasil dari IPO ICBP. ICBP-nya sendiri selanjutnya gak akan diapa-apain, alias dibiarkan saja untuk beroperasi seperti biasanya. Alhasil pergerakan harga sahamnya hampir sepenuhnya mengikuti fundamentalnya. Gak bikin pabrik Indomie baru buat menambah pendapatan misalnya? Loh, ngapain repot? Penjualan Indomie sampai dengan saat ini masih lancar-lancar saja kok, bahkan meski orang Taiwan gak mau makan Indomie lagi. Jadi kalau ada yang menyamakan ICBP ini dengan Coca Cola, maka mungkin itu ada benernya. Kalau Coca Cola adalah pemimpin di bisnis minuman ringan, maka ICBP adalah pemimpin di bisnis mie instan, bumbu penyedap, dan makanan ringan.

Masalahnya, neraca ICBP gak sehat karena banyak utangnya, yang berimbas pada PBV-nya yang sangat tinggi, sehingga harga sahamnya pada level diatas 4,000-an terbilang mahal. Jadi ICBP ini masih membutuhkan waktu yang cukup lama untuk memperbaiki neracanya tersebut, sebelum kemudian barulah sahamnya bisa di-collect untuk long term.

Apa yang terjadi dengan Bank Jabar Banten (BJBR)?

Ulasan terakhir soal BJBR di blog ini, menyebutkan bahwa BJBR mungkin akan mencapai 1,800. Ketika itu BJBR berada di level 1,720. BJBR kemudian memang sempat naik, tapi sekali lagi, dia gak sampai menyentuh 1,800, melainkan hanya 1,780. Setelah itu dia malah terus turun hingga terakhir sudah kembali lagi ke 1,260. Apa penyebabnya?

Kalau kita perhatikan, gak cuma BJBR yang mengalami penurunan cukup dalam pada koreksi IHSG kali ini, tapi sebagian besar saham-saham perbankan juga mengalaminya. Jika dihitung dari puncaknya yaitu 1,780, maka BJBR pada harga penutupan 10 Januari 2011 yaitu 1,260 sudah turun 29.2%. Wah, tampaknya cukup parah bukan? Tapi ternyata BJBR bukanlah yang terburuk. Bank BTN (BBTN) misalnya, pada senin kemarin sudah turun 30.2%. Bank OCBC NISP (NISP) turun 33.2%, sementara Bank BNI (BBNI), turun 33.8%. Bank terkemuka yang turun paling parah adalah Bank BII (BNII), yang sudah turun 45.5%.

Sementara Bank Mandiri (BMRI), Bank BCA (BBCA), dan Bank BRI (BBRI), juga sudah turun masing-masing 17.2%, 18.1%, dan 27.3% dari harga puncaknya masing-masing. Secara keseluruhan, semua saham bank mengalami koreksi diatas dobel digit. Paling rendah 14.3% (Bank Swadesi/BSWD), dan paling tinggi 47.6% (Bank Kesawan/BKSW). Selengkapnya anda boleh minta datanya ke penulis. Jadi sepertinya secara sektoral, saham-saham bank pada saat ini lagi lesu. BJBR is only one of them.

Lalu apa yang menyebabkan sektor bank seperti mogok? Banyak pengamat menunjuk tingkat inflasi, yang sepanjang tahun 2010 lalu tercatat hampir 7% (tepatnya 6.96%). Angka itu terbilang buruk dibanding inflasi tahun sebelumnya (2009), yang hanya 2.78%, dan dibanding asumsi APBN 2010, yang cuma 5.30%. Dampak inflasi yang tinggi ini terhadap sektor bank ialah, para nasabah bank akan berpikir untuk mencairkan tabungan dan deposito mereka, untuk diinvestasikan pada instrumen investasi yang lebih menjanjikan bunga. Karena jika dana mereka hanya diendapkan dalam bentuk tabungan maupun deposito di bank, bunga yang mereka peroleh hanya 2 – 6% per tahun, lebih kecil dari angka inflasinya (sehingga meski sekilas tabungan atau deposito mereka bertambah karena memperoleh bunga, namun nilainya justru berkurang). Karena ada banyak nasabah yang menarik dananya, maka pendapatan bank otomatis akan berkurang. Inilah yang dikhawatirkan oleh para investor (padahal kejadiannya belum tentu seperti itu), sehingga saham-saham bank mulai turun. Selain itu, rencana pembatasan BBM bersubsidi oleh pemerintah, dan kenaikan harga komoditas sehari-hari (seperti cabe), dikhawatirkan akan memicu inflasi yang lebih tinggi lagi.

Jika anda termasuk yang nyangkut di saham-saham perbankan, maka ingat bahwa dampak inflasi terhadap sektor perbankan seperti yang dibahas diatas barulah sebatas persepsi, alias belum terbukti apakah kinerja para emiten bank benar-benar turun karena masalah inflasi ini. Jika laporan keuangan periode full year 2010 mendatang memang menunjukkan bahwa kinerja mereka benar turun, maka barulah anda bisa mengambil keputusan (ini kita bicara soal jangka panjang ya). Khusus untuk BJBR, kinerjanya pada kuartal III lalu masih terbilang bagus. Jadi dengan asumsi kinerjanya yang bagus tersebut bertahan hingga periode berikutnya, maka sahamnya akan segera pulih kembali.

Terus bagaimana dengan selentingan yang menyebutkan bahwa inflasi yang sesungguhnya mungkin lebih buruk dari data yang disajikan Badan Pusat Statistik (BPS), alias lebih gede dari 6.96 persen? Well, dari dulu juga kita udah tahu kalau data BPS memang gak pernah seratus persen tepat, namun bukan itu masalahnya. Ketika market lagi bearish seperti sekarang, selalu ada saja kabar yang sifatnya menakut-nakuti investor. Sama saja ketika market lagi bullish kemarin, kabar-kabar yang beredar justru membujuk investor untuk membelanjakan dananya lebih banyak lagi. Intinya entah sengaja atau tidak, media seringkali membujuk anda untuk buy on strength, dan sell on weakness. Jadi anda jangan sampai terjebak didalamnya.

Anyway, koreksi di sektor perbankan yang tampaknya cukup dalam ini, sebenarnya cukup wajar mengingat dalam setahun terakhir, sektor perbankan naiknya gila-gilaan. Termasuk BJBR, yang pada harga saat ini yaitu 1,260, sebenarnya sudah naik 110% dibanding harga IPO-nya (600), ketika melantai di bursa 6 bulan lalu. Jadi kalau anda sudah mengkoleksi BJBR sejak awal, maka hanya dalam tempo setengah tahun, anda sudah dapat gain sekitar dua kali lipat dari BJBR ini. Not bad, right?

Komentar

Batara Sumartio mengatakan…
Hi Mr. Teguh, masih ada deposito yang ROI masih di atas INFLASI Versi BPS, deposito produk BANK SYARIAH ...

Gue selamat dari BBTN, tapi terjebak di BJBR (masuk di 1,660) ...

BPS memang tidak akurat, biasanya inflasi real di masyarakat 1,5 s/d 2 X dari versi BPS ...
Anonim mengatakan…
mau tanya nih pak teguh. kalau laporan keuangan YOY 2010 biasanya keluar kapan ya
Anonim mengatakan…
Hi Mr. Teguh, kalau saya pegang terus BJBR ini dan andaikan turun terus, sampai level berapa batas maksimalnya kira-kira..?

apa Bapak cukup 'confident' sektor perbankan akan kembali naik, ataukah memang level segini yang 'normal'
Herman Ang mengatakan…
Pak Teguh, boleh bahas CTRP gak ? Kalo sy melihat saham ini undervalue, kapan bisa kembali ke harga IPO nya di 700. Terima kasih.
Unknown mengatakan…
Terima Kasih Mas telah membahas BJBR kembali, walaupun hari ini BJBR menyentuh level terbawah... 1200, sebenarnya Harga Wajar dari BJBR berapa mas?dengan asumsi kinerja kuartal IV sama dengan capaian kuartal III. . .
terima kasih
Anonim mengatakan…
Kalo mau berpikir long-term, saatnya untuk akumulasi saham perbankan yang memiliki fundamental bagus seperti BJBR. Dilihat dari NIM yg relatif tinggi, NPL yang rendah dan nilai CAR yang kuat, saya rasa prospek jangka panjang BJBR masih tetap prospektif.

Karena saya tak mampu memprediksi kapan bottom nyaBJBR, yang bisa sy lakukan hanya average-down dan akan menyimpannya sampai mid-to-long term.

Inflasi 2010 (6.96%) yang diluar target pemerintah, lebih disebabkan karena faktor volatile food dan administered price (salah satunya faktor anomali iklim dan kenaikan harga spicy foods), namun komponen core inflation masih tetap stabil dan terkendali di kisaran 4-4.2%. Jadi menurut saya, jangan terlalu dirisaukan secara berlebihan.

Dibandingkan dengan negara peers, emiten perbankan Indonesia masih jauh lebih menarik dan 'sexy' dibandingkan Malaysia, Thailand, Singapore karena return (profit margin) yang lebih tinggi dan rata-rata NIM yang jauh lebih besar, apabila NIM BPD seperti BJBR.

Happy investing.

ARTIKEL PILIHAN

Live Webinar Value Investing, Sabtu 16 Maret 2024

Ebook Investment Planning Kuartal IV 2023 - Sudah Terbit!

Laporan Kinerja Avere Investama 2022

Peluang dan Strategi Untuk Saham Astra International (ASII)

Indo Tambangraya Megah: Masih Royal Dividen?

Indah Kiat Pulp & Paper (INKP) Bangun Pabrik Baru Senilai Rp54 triliun: Prospek Sahamnya?

Prospek Saham Energi Terbarukan, Kencana Energi Lestari (KEEN)