Menelaah Pajak Ekspor Batubara

Beberapa waktu lalu, Pemerintah mengumumkan rencana pengenaan pajak ekspor untuk barang tambang mentah sebesar 25% dari nilai ekspornya. Itu berarti nantinya para perusahaan tambang harus membayar pajak tambahan diluar pajak-pajak yang biasanya, untuk setiap ton barang tambang mentah yang mereka jual keluar negeri. Di market, para investor langsung mengasosiasikan ‘barang tambang mentah’ tersebut sebagai batubara, karena memang selama ini bisa dikatakan seluruh perusahaan batubara di Indonesia menjual sebagian besar produknya keluar negeri. Alhasil saham-saham batubara mulai berjatuhan, rata-rata sudah turun 5% dalam seminggu terakhir.

Peraturan pajak tersebut adalah peraturan kedua yang dirilis Pemerintah dalam beberapa waktu terakhir terkait industri tambang. Sebelumnya, Pemerintah mengeluarkan peraturan bahwa para perusahaan tambang di Indonesia harus membangun dan memiliki industri hilir, selambat-lambatnya pada tahun 2014, untuk mengolah barang tambang mentah menjadi produk yang memiliki nilai tambah. Dalam hal barang tambang mentah itu adalah batubara, maka produk hilir yang dimaksud adalah pembangkit listrik. Batubara sebagai bahan bakar padat juga bisa diproses menjadi bahan bakar gas (natural gas), dan bahan bakar cair (bensin dan solar), sehingga penggunaannya bisa jauh lebih luas ketimbang hanya untuk pembangkit listrik semata. Namun untuk batubara jenis coking coal, penggunaannya terbatas hanya untuk bahan bakar peleburan besi cor (cast iron), yang bisa diolah lebih lanjut menjadi baja. Jadi dalam hal ini penulis agak bingung, apa itu berarti Borneo Lumbung Energi (BORN) sebagai produsen coking coal harus mendirikan cast iron smelter sebagai industri hilirnya?

Dan untuk mendirikan pembangkit listrik, sebenarnya itu tidak terlalu sulit mengingat satu buah pembangkit listrik hanya membutuhkan investasi dikisaran 100 – 150 milyar Rupiah, gak terlalu besar lah bagi para perusahaan batubara yang asetnya mencapai trilyunan. Tapi pertanyaannya kemudian, nantinya listrik yang dihasilkan akan dijual kemana? Masa cuma ke PLN doang? Masalahnya apa PLN sanggup menampung seluruh listrik yang dihasilkan oleh sekian banyak perusahaan batubara? Kalau listrik tersebut mau diekspor keluar negeri, prosesnya juga bakalan ribet. Listrik gak bisa diangkut pake kapal seperti kalau mengangkut batubara, melainkan harus melalui kabel transmisi, sehingga paling jauh hanya bisa ke Malaysia, Singapura, atau Thailand (Kalau ke Tiongkok atau India kejauhan), itupun si perusahaan harus mengeluarkan investasi lagi untuk membangun jaringan kabel. Kalau gitu gimana kalau jual listrik langsung ke masyarakat lokal saja? Maaf, itu juga nggak boleh, karena listrik adalah komoditas strategis yang hanya boleh dijual oleh Pemerintah melalui PLN.

Ya sudah, kalau urusan sama listrik ribet, gimana kalau batubara yang dihasilkan diolah menjadi gas alam atau bensin? Kan bisa tuh? Benar, namun nilai investasi yang dibutuhkan untuk itu sangaaat mahal. Akhir tahun 2009 lalu, Sasol Ltd, perusahaan minyak asal Afrika Selatan, menandatangani MoU dengan Pemerintah Indonesia untuk memulai studi proyek pengolahan batubara menjadi bahan bakar cair alias bensin dan semacamnya. Mau tau berapa estimasi biaya yang dibutuhkan untuk keseluruhan proyek tersebut? Mencapai US$ 10 milyar, atau sekitar Rp90 trilyun! Bahkan jika Bumi Resources dan Adaro Energy digabung kemudian dijual, duit yang terkumpul belum tentu bisa sebanyak itu. Dan bisa ditebak, hingga saat ini proyek tersebut masih belum jelas kelanjutannya.

Kesimpulannya, terkait kewajiban yang diterapkan pemerintah untuk hilirisasi barang tambang ini, maka persoalan yang dihadapi perusahaan batubara sedikit berbeda dengan perusahaan tambang lainnya, dimana entah perusahaan memilih untuk menjual batubara ke pasar dalam negeri, atau membangun pembangkit listrik sendiri, satu-satunya konsumen mereka tetap saja hanyalah PLN. Para perusahaan batubara sebenarnya bisa juga menjual batubara mereka ke beberapa smelter lokal di dalam negeri, tapi memangnya ada berapa smelter di Indonesia? Sementara untuk BORN yang memproduksi coking coal, satu-satunya konsumen mereka yang cukup besar di pasar dalam negeri mungkin hanyalah Krakatau Steel (KRAS), itupun KRAS baru akan menyelesaikan blast furnace-nya pada tahun 2014 mendatang.

Dan sekarang, belum juga kita sampai pada deadline tahun 2014 tersebut, sudah keluar lagi peraturan pajak ekspor 25% pada tahun 2012 ini, yang akan ditingkatkan menjadi 50% pada tahun 2013 mendatang. Bagi perusahaan batubara yang rata-rata 80% pendapatannya tergantung dari ekspor, maka itu berarti pilihannya cuma dua: 1. Mengurangi volume produksi, 2. Tetap memproduksi batubara seperti biasanya, namun siap-siap saja kehilangan 25% dari pendapatan ekspornya. Sebenarnya masih ada satu opsi lagi yaitu membangun industri hilir, salah satunya pembangkit listrik. Tapi seperti yang sudah dibahas diatas, itu adalah pilihan yang tidak mudah untuk dilaksanakan.

Untuk saat ini, pilihan yang paling masuk akal mungkin no. 1, yaitu mengurangi volume produksi. Sebab cadangan batubara yang ada didalam tanah gak akan kemana-mana kalo nggak digali, sehingga perusahaan masih bisa menggalinya di masa yang akan datang, ketika industri di dalam negeri sudah cukup siap untuk menampung setiap ton batubara yang dihasilkan (jadi gak perlu mengekspor lagi). Tapi itu berarti pendapatan dan laba perusahaan tentunya akan turun selama masa penundaan penggalian tersebut, dan mungkin juga akan menyebabkan sebagian pekerja tambang kehilangan pekerjaan. Mau tetep berproduksi seperti biasanya? Ya sudah, siap-siap saja dari setiap penjualan ekspor sebesar Rp1 milyar, Rp250 juta diantaranya mau gak mau harus disetor ke Pemerintah. Ini berarti maju kena, mundur kena.

Disisi lain, Perusahaan batubara biasanya terikat kontrak penjualan jangka panjang dengan para pelanggannya, sehingga mereka tidak bisa mengurangi volume produksinya, atau mereka akan dianggap melanggar kontrak. Jadi bagi sebagian perusahaan, mereka akan tetap berproduksi dan mengekspor batubara seperti biasanya. Toh, kalaupun mereka mengurangi volume produksi, itu artinya sama-sama mengurangi pendapatan bukan?

Satu hal yang mungkin patut dikritisi disini adalah, akan diapakan duit hasil pajak ekspor yang sebesar 25% tersebut? Apakah akan digunakan untuk membangun infrastruktur kelistrikan misalnya, atau untuk membiayai riset pengolahan batubara menjadi gas dan bensin? Sayangnya belum ada keterangan soal itu. Padahal dengan asumsi bahwa nilai ekspor batubara di tahun 2012 ini sama dengan nilai ekspor tahun 2011 lalu, maka potensi penerimaan pajaknya adalah 25% dikali US$ 27.4 milyar, dan hasilnya adalah US$ 6.9 milyar atau setara Rp63 trilyun! Okey mungkin itu adalah perhitungan yang masih kasar, tapi sekecil-kecilnya penerimaan pajak dari ekspor batubara, 20 – 30 trilyun sih dapet lah. Dan itu adalah jumlah uang yang sangat besar, yang bisa digunakan untuk banyak sekali keperluan, salah satunya untuk mempercepat penyelesaian pembangunan pembangkit listrik 10,000 MW oleh PLN. Sebagaimana yang kita ketahui, proyek yang dicanangkan sejak tahun 2006 tersebut sampai sekarang belum juga selesai dikerjakan, padahal sebelumnya proyek tersebut direncanakan akan rampung pada tahun 2010. Entah apa yang menyebabkan keterlambatan tersebut, tapi kalau masalahnya terletak di kurangnya modal, maka dana trilyunan Rupiah dari pajak ekspor batubara tadi bisa dialokasikan untuk memenuhi kebutuhan modal tersebut. Dengan rampungnya pembangunan pembangkit listrik 10,000 MW, maka PLN akan membutuhkan lebih banyak pasokan batubara, sehingga perusahaan batubara bisa menjual produk mereka di dalam negeri. Disisi lain rakyat diseluruh penjuru nusantara akan bisa menikmati listrik tanpa pake acara byar pet lagi, dan perekonomian juga pasti akan tumbuh dengan lebih cepat. Semua senang, semua menang.

Sayangnya sekali lagi, belum ada rencana ke arah sana. Bahkan sekedar wacana pun nggak ada. Pemerintah hanya mengatakan bahwa kebijakan ini hanya untuk membatasi eksploitasi barang tambang termasuk juga batubara, dalam rangka menjaga ketahanan energi dalam negeri, dan untuk mendorong perusahaan tambang untuk mengembangkan industri hilir. Itu adalah pernyataan yang normatif dan sama sekali tidak memberi solusi, tentu saja. Ini mengingatkan penulis dimana ketika Pemerintah menetapkan bea ekspor sebesar 15 – 20% untuk CPO, juga tidak ada kejelasan soal penggunaan dari bea ekspor tersebut. Pemerintah melalui Kemeterian Pertanian sempat mengatakan bahwa dana yang terkumpul dari bea ekspor akan digunakan untuk membangun infrastruktur perkebunan. Namun dari prakteknya dilapangan, realisasinya nyaris nol. Kalau anda mampir ke lokasi perkebunan sawit milik rakyat di Sumatera dan Kalimantan, maka anda harus pakai mobil offroad karena jalanan disana luar biasa jeleknya. Sementara di perkebunan sawit milik perusahaan perkebunan besar, infrastruktur jalan yang ada rata-rata memang cukup bagus, tapi itu kebanyakan karena dibangun sendiri oleh si perusahaan, bukan oleh Pemerintah.

Namun kalau anda tanyakan masalah ini ke Dirjen Pajak atau Dirjen Bea Cukai, maka mereka akan menjawabnya dengan jawaban klise, ‘Kami hanya memungut, soal duitnya akan dipakai buat apa, itu bukan urusan kami.’ Well, bener juga sih, tapi kalau gitu urusan siapa dong? Nazaruddin kah? Ah, sudahlah! Sekarang, bagaimana hitung-hitungan pengaruh dari penerapan kebijakan pajak ekspor ini terhadap kinerja emiten batubara di market?

Selama ini pajak yang dikenakan pemerintah terhadap perusahaan batubara hanya Pajak Penghasilan Badan (PPh badan) sebesar maksimum 45% dari laba bersih sebelum pajak, dan tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN), karena memang perusahaan batubara tidak mengolah batubaranya menjadi produk yang memiliki nilai tambah, melainkan langsung menjualnya. Namun PPh tersebut belum termasuk royalti sebesar 13.5% dari penjualan bersih, PPN dan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yang dikenakan pada anak-anak perusahaan, serta pajak bahan bakar kendaraan bermotor. Ketika perusahaan mencatat penjualan batubara senilai Rp100 milyar, Rp13.5 milyar diantaranya harus langsung dibayarkan ke Pemerintah dalam bentuk royalti. Jika 80% dari penjualan tersebut adalah penjualan ekspor, maka itu berarti perusahaan harus membayar pajak ekspor 25% x 80% x Rp100 milyar = Rp20 milyar. Ditambah royalti tadi, maka perusahaan harus menyetor total Rp33.5 milyar, sehingga sisanya tinggal Rp66.5 milyar. Tapi dengan berkurangnya pendapatan, maka PPh dan pajak-pajak lainnya yang harus dibayar Perusahaan akan berkurang karena mereka dihitung berdasarkan laba bersih sebelum pajak.

Kalau berkaca pada kinerja tiga perusahaan batubara terbaik di BEI saat ini, yaitu Resource Alam Indonesia (KKGI), Indo Tambangraya (ITMG), dan Harum Energy (HRUM), rata-rata mereka mencatat net profit margin (NPM) diatas 20%, yang itu berarti dari pendapatan Rp100 milyar, laba bersihnya minimal Rp20 milyar. Dengan dikenakannya pajak ekspor sebesar kurang lebih Rp20 milyar untuk setiap penjualan senilai Rp100 milyar, maka NPM tersebut akan tertekan menjadi sekitar 10 – 15%. Well, penurunan yang lumayan serius. Namun yang perlu dicatat disini adalah, industri batubara selama ini terbilang sangat menguntungkan. Buktinya dari 40 orang terkaya di Indonesia versi majalah Forbes, banyak diantaranya yang merupakan pengusaha batubara, atau memiliki perusahaan batubara (Grup Djarum yang perusahaan rokok itu juga punya perusahaan batubara dengan nama PT Energi Batu Hitam). Khusus untuk tiga perusahaan yang disebut diatas yaitu KKGI, ITMG, dan HRUM, nilai penjualan mereka di sepanjang tahun 2011 bahkan sudah jauh lebih besar dari total asetnya sendiri. Jadi apapun opsi yang mereka ambil nanti, entah itu mengurangi produksi atau tetap berproduksi seperti biasa namun membayar pajak, maka perusahaan akan tetap meraih keuntungan yang cukup besar, meski memang tidak sebesar sebelumnya.

Logo PT Resource Alam Indonesia (KKGI)

Hanya sekali lagi, kebijakan pajak ekspor ini jangan sampai menjadi disinsentif bagi industri batubara, dan juga industri tambang lainnya, yang bisa berdampak pada perlambatan pertumbuhan ekonomi. Mungkin paling tidak Pemerintah bisa memperinci tiga hal berikut kepada publik: Pertama, akan diapakan duit pajak tersebut? Kedua, aturan pajak ekspor tersebut bisa disebut sebagai punishment bagi perusahaan tambang kalau mereka enggan mengembangkan industri hilir. Sekarang, apa reward-nya? Bagaimana kalau pembebasan PPN untuk lima tahun pertama setelah industri hilir tersebut berdiri, misalnya? Terakhir ketiga, apakah kebijakan yang sama juga akan dikenakan pada perusahaan tambang asing yang beroperasi di Indonesia? Sebab kalau kita pakai contoh perusahaan tambang tembaga dan emas di Papua sana, Freeport, mereka mengekspor sebagian besar konsentrat bijih tambang yang dihasilkan ke perusahaan afiliasinya yang bernama Atlantic Copper, di Spanyol.

Ah, tapi rasa-rasanya too good to be true kalau Pemerintah bersedia menjelaskan tiga poin diatas kepada publik, khususnya kepada investor di market. Paling-paling yang akan dilakukan adalah menawarkan opsi negosiasi kepada perusahaan, terbukti kemarin sempat juga muncul wacana bahwa pajak ekspor yang dikenakan tidak akan langsung 25%, melainkan bisa 15% dulu. Malah ada juga yang bilang bahwa khusus untuk batubara, pajak ekspor itu gak bisa dikenakan karena alasan ini dan itu. Mungkin sekarang sudah saatnya bagi para petinggi perusahaan batubara untuk berangkat ke Senayan untuk melobi-lobi anggota DPR, seperti biasa.

Komentar

Anonim mengatakan…
Kalau kemana lari nya pajak itu.. sebentar lagi khan 2014? Emg ada hubungannya ya...
Anonim mengatakan…
P. Teguh terimakasih ulasannya.
Saya dapat menemukan alasan mengapa pemilik KKGI lama melakukan private placement, kemungkinan besar karena beliau dapat memperkirakan kenaikan pajak export batu bara atau mineral ini.
Anonim mengatakan…
P. Teguh, thanks buat ulasannya, membuat kita aware dan lebih pandai tentunya.
Btw: kalo yg menurut anonim bahwa tentang tujuan KKGI lakukan private placement setahu saya agar pemodal asing bisa/mau masuk, sehingga kedepan KKGI bisa berkembang lebih pesat lagi (good image) , tp syarat dari pemodal asing saham harus liquid, ya akhirnya harus Placement dulu deh. Anda bisa tanyakan langsung ke corporate secretary KKGI: Bpk. Eric Tirtana (0216333036). Semoga membantu. Rgs, Xamm
Anonim mengatakan…
pak mau tanya, tentang perusahaan KKGI.
1. nah disini kan disebutkan bahwa kkgi akan melakukan private placement. dari sumber yg saya baca di internet saya dpt kesimpulan kalau private placement itu lebih buruk thdp harga saham dari right issue, karena pemegang saham lama jumlah sahamnya akan terdilusi tanpa ada hak memesan efek. apakah kesimpulan saya ini benar?
2.saya jg melihat tahun 2011 posisi cash kkgi sangat kuat, knapa masih mau private placement ya?
3. kapan kkgi akan melakukan private placement? klo menurut saya lbh baik menunggu private palcement kkgi selesai, baru membeli saham ini, sekalian nunggu terkoreksi karena spanyol.
terima kasih atas tanggapannya :)
Anonim mengatakan…
Thanks Pak Teguh atas ulasannya.
mengenai penggunaan pajak sebesar 25%,
sepengetahuan saya bahwa setiap
pajak yang dibayarkan akan masuk ke
rekening kas negara tak terkecuali
pajak ekspor batubara ini.jadi
pajak ekspor ini akan menjadi penerimaan negara dalam APBN dari sektor pajak
dan akan digunakan untuk
membiayai pengeluaran negara yang
akan diputuskan dalam
APBN. jadi pemerintah tdk dapat
seenaknya langsung mengalokasikan penerimaan
pajak ekspor tsb untuk riset batubara, membangun
pembangkit listrik atau buat
infrastruktur jalan dll melainkan
harus masuk dalam RAPBN, jadi
setiap pemasukan maupun pengeluaran
negara harus melalui mekanisme
APBN. mengenai pengenaan pajak
ekspor ini menurut saya dan yang
pernah saya baca juga telah sesuai
berdasarkan fungsi pajak itu
sendiri yakni salah satunya
mengontrol arus keluar masuk barang
dan jasa ke wilayah RI, secara
teori jika ingin mengurangi jumlah
barang yang masuk maka pemerintah
akan menerapkan aturan bea masuk
dan pajak impor yang tinggi
begitupun sebaliknya.
Anonim mengatakan…
Mengenai private placement KKGI, sy pikir skenarionya bisa jadi mirip dg skenario pemilik Sampoerna sebelumnya (generasi ke-4 keluarga Sampoerna) menjual mayoritas kepemilikannya kepada Philip Morris di harga premium, setahu sy salah satu alasannya terkait kenaikan cukai rokok saat itu (utk membatasi konsumsi rokok yg dianggap dpt mengganggu kesehatan) serta switch ke portofolio yg lain (properti-grand indonesia), dll.

ARTIKEL PILIHAN

Live Webinar Value Investing, Sabtu 16 Maret 2024

Ebook Investment Planning Kuartal IV 2023 - Sudah Terbit!

Laporan Kinerja Avere Investama 2022

Peluang dan Strategi Untuk Saham Astra International (ASII)

Indo Tambangraya Megah: Masih Royal Dividen?

Indah Kiat Pulp & Paper (INKP) Bangun Pabrik Baru Senilai Rp54 triliun: Prospek Sahamnya?

Prospek Saham Energi Terbarukan, Kencana Energi Lestari (KEEN)