Indonesia, IMF, and US$ 1 Billion Loan

Tanggal 10 Juli kemarin, Christine Lagarde, Managing Director dari International Monetary Fund (IMF), datang ke Jakarta untuk bertemu dengan Presiden SBY dan beberapa petinggi negara. Di akhir pertemuan, diperoleh kesepakatan bahwa Bank Indonesia (BI) akan membeli obligasi yang diterbitkan oleh IMF, senilai US$ 1 milyar. Atau dengan kata lain, BI akan memberi hutang kepada IMF. Menteri Koordinator Perekonomian, Hatta Radjasa, mengatakan bahwa BI akan meminjamkan US$ 1 milyar kepada IMF menggunakan dananya sendiri, bukan mengambilnya dari APBN.

Mengingat bahwa BI bukanlah BUMN dan juga tidak terletak dibawah otoritas Pemerintah Republik Indonesia (RI), maka sebenarnya kurang tepat kalau kemudian dikatakan bahwa Indonesia akan memberikan utang kepada IMF. Adalah BI yang akan memberikan utang tersebut menggunakan dana miliknya sendiri, bukan Pemerintah dengan menggunakan APBN. Lalu siapa pemilik BI? Sebenarnya tidak jelas, mengingat BI bukanlah korporasi sehingga tidak menerbitkan saham yang kemudian dipegang oleh pihak tertentu. Namun karena BI tidak dimiliki oleh Pemerintah, maka BI tidak bertanggung jawab kepada Pemerintah. Yup, BI adalah lembaga independen, termasuk Gubernur BI juga bukan merupakan anggota kabinet. Meski demikian dalam melakukan berbagai kegiatannya, termasuk dalam menentukan Gubernur sebagai pimpinan tertinggi di BI, maka BI tetap harus meminta persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), dalam hal ini Komisi XI.

Kembali ke topik pinjaman US$ 1 milyar tadi. Gubernur BI, Darmin Nasution, mengatakan bahwa BI hanya akan memberikan pinjaman tersebut, jika dana atau fund yang dimiliki IMF turun menjadi dibawah US$ 100 milyar. Sementara pada saat ini, posisi fund yang dimiliki IMF adalah US$ 436 milyar, jauh diatas batas minimum US$ 100 milyar tadi, yang itu berarti kecil kemungkinannya BI akan memberikan pinjaman. Oleh IMF sendiri, pinjaman dari BI tersebut akan ditempatkan sebagai ‘second line defense’, yang hanya akan digunakan jika ‘first line defense’ jebol. Jebol oleh apa? Tidak hanya oleh Krisis Eropa, tapi juga kemungkinan krisis dari benua lainnya.

Jadi kesepakatan ini adalah sekedar untuk jaga-jaga alias just in case. BI belum tentu akan memberi pinjaman kepada IMF, kecuali dalam kondisi yang benar-benar gawat, dimana kemungkinan terjadinya kondisi tersebut terbilang kecil.

Tapi mungkin, ada pesan yang lebih mendalam ketimbang sekedar ‘just in case’. Sebab tidak hanya Indonesia, IMF juga meminta ‘bantuan’ yang kurang lebih serupa dari dua tetangga kita, Malaysia dan Thailand. Dalam press release yang dikeluarkan IMF disebutkan bahwa: The ASEAN region has a strong interest and stake in stable global growth.  We support the broad-based international cooperative effort to increase the resources of the IMF for precautionary and crisis resolution purposes.  Indonesia, Malaysia and Thailand will undertake the necessary domestic consultations to join this international effort.’

Intinya, IMF memandang bahwa kawasan ASEAN, terutama Indonesia, Malaysia, dan Thailand, pada saat ini sedang mengalami pertumbuhan perekonomian yang stabil, yang diharapkan dapat berkontribusi terhadap perekonomian global. Oleh karenanya, ketiga negara tersebut akan ambil bagian dalam kerjasama internasional yang diselenggarakan oleh IMF, untuk melakukan tindakan pencegahan atau resolusi krisis.


Lalu apakah Indonesia, Malaysia, dan Thailand memiliki cukup kapasitas untuk membantu IMF, jika kondisi terburuk benar-benar terjadi? Mungkin, tidak juga. Misalnya, katakanlah fund yang dimiliki IMF kemudian benar-benar menurun hingga kurang dari US$ 100 milyar, sehingga BI kemudian jadi memberikan pinjaman US$ 1 milyar tadi. Nah, apakah dana sebesar US$ 1 milyar tersebut bisa menolong IMF? Jelas tidak, karena dana US$ 1 milyar tersebut tentunya kelewat kecil kalau dibandingkan minimum dana yang harus dimiliki oleh IMF, yang sebesar US$ 100 milyar tadi. Begitu juga jika Malaysia dan Thailand menyumbang masing-masing US$ 1 milyar, maka hanya akan terkumpul US$ 3 milyar. Memang sih, duit US$ 3 milyar jelas gede banget, itu setara dengan Rp27 trilyun lho. Tapi apalah artinya uang segitu bagi IMF, yang pada saat ini memegang dana US$ 436 milyar? IMF terlalu besar untuk bisa dibantu dengan 'recehan' seperti itu. Jika trio Indo-Malay-Thai benar-benar berniat untuk membantu IMF, maka mereka seharusnya memberi pinjaman yang lebih besar dari itu, katakanlah masing-masing US$ 10 milyar.

Kesimpulannya, penulis lebih melihat kalau kesepakatan pemberian pinjaman oleh BI kepada IMF ini lebih merupakan upaya untuk melahirkan opini bahwa ‘Indonesia is now in great economy’, mengingat bahwa BI sendiri kecil kemungkinannya akan memberikan pinjaman tersebut. Dalam hal ini, IMF mungkin sengaja menempatkan ASEAN, termasuk Indonesia didalamnya, di ‘posisi yang tinggi’. Pertanyaannya, untuk apa?

2012 versus 1998

Kalau di tahun 2012 ini kita ditempatkan di posisi yang tinggi, maka dulu di tahun 1998, kita berada di posisi yang rendah. Oke, kita runut kronologisnya. Pada Juni 1997, perekonomian Indonesia tampak masih baik-baik saja, dengan surplus perdagangan lebih dari US$ 900 juta, cadangan mata uang asing senilai US$ 20 milyar, pertumbuhan ekonomi diatas 7%, dan seterusnya.

Kemudian pada Juli 1997, BI sebagai otoritas moneter di Indonesia, memperlebar rentang perdagangan Rupiah dari 8% menjadi 12%, dan itu membuat pergerakan Rupiah terhadap US Dollar menjadi lebih fluktuatif. Sebelum diberlakukannya kebijakan tersebut, Rupiah berada di posisi Rp2,380 per US$, dan setelahnya mulai jatuh ke Rp3,000 - 4,000 per US$. Agustus 1997, BI sekali lagi mengeluarkan kebijakan, kali ini mengganti sistem pertukaran mata uang yang sebelumnya dikendalikan oleh otoritas berwenang, menjadi sistem pertukaran mata uang secara bebas sesuai mekanisme pasar. Intinya, BI lepas tangan terhadap pergerakan Rupiah, dan Rupiah pun anjlok lebih dalam.

Masih di tahun yang sama, tepatnya November 1997, para perusahaan merilis laporan keuangan untuk periode Kuartal III 1997. Dan ketika itu barulah efek dari penurunan nilai Rupiah yang terjadi sejak Juli tampak dengan jelas, dimana puluhan bahkan ratusan perusahaan, terutama mereka yang memiliki utang dalam mata uang US$, mengalami kerugian besar akibat tingginya beban utang beserta bunganya yang harus mereka bayar. Para pelaku pasar yang mengetahui hal ini menjadi panik, dan mulai menjual saham secara besar-besaran, lalu duitnya dipakai untuk membeli mata uang US$. IHSG seketika hancur berantakan, dan Rupiah pun jatuh semakin dalam. Krisis moneter pun resmi dimulai. Pada Februari 1998, Presiden Soeharto memecat Gubernur BI, Soedrajad Djiwandono, namun semuanya sudah terlambat. Rupiah terus turun, hingga akhirnya Pak Harto sendiri mengundurkan diri sebagai Presiden pada Mei 1998. Pada Juli 1998, Rupiah rata-rata berada di posisi Rp14,150 per US$.

Pertanyaannya, apa yang menyebabkan pelemahan Rupiah, yang kemudian berlanjut pada krisis, padahal kondisi perekonomian Indonesia di bulan Juni 1997 relatif baik-baik saja? Lemme answer: I do NOT know! Tapi yang jelas, Rupiah ketika itu tidak sendirian. Beberapa mata uang lainnya seperti Baht (Thailand), Peso (Filipina), dan Ringgit (Malaysia), juga melemah terhadap US$, meski memang Rupiah yang paling parah. Baht, contohnya, mulai dihantam pelemahan pada Mei 1997, setelah terjadi serangkaian aksi spekulasi yang menaikkan nilai mata uang US$ di dalam negeri Thailand. Di Malaysia, hal yang sama terjadi namun dengan cara yang berbeda, dimana overnight rate mendadak naik dari 8% menjadi 40%, hanya beberapa hari setelah Baht mulai melemah. Kenaikan overnight rate tersebut memicu aksi penjualan saham di bursa Kuala Lumpur (KLSE) dan mata uang Ringgit secara besar-besaran. Di Filipina, Bangko Sentral ng Pilipinas (BI-nya Filipina) juga menaikkan overnight rate dari 15% menjadi 35%, dan hasilnya Peso langsung jatuh.

Kesimpulannya, krisis moneter ASEAN dipicu oleh penyebab yang nyaris serupa untuk tiap negara: Pelemahan mata uang lokal terhadap US Dollar. Pertanyaannya sekali lagi, apa atau siapa yang jadi penyebabnya? Kalau dari uraian diatas, maka untuk Indonesia dan Filipina, penyebabnya adalah kebijakan dari Bank Sentral di negara yang bersangkutan. Tapi kalau itu benar, kenapa BI melakukannya?

Apapun itu, yang jelas ketika terjadi krismon, IMF masuk untuk memberikan paket bailout ke Indonesia dan Thailand, sebesar masing-masing US$ 23 dan 17 milyar. Dari keempat negara diatas, memang Indonesia dan Thailand-lah yang krisisnya paling parah. Thailand cenderung pulih lebih cepat, dimana pada tahun 2003, Thailand melunasi pinjamannya ke IMF. Sementara Indonesia baru melunasi pinjaman IMF pada tahun 2006.

Sekarang ini, ASEAN termasuk Indonesia sedang dalam kondisi ekonomi prima. Rupiah pun stabil di Rp9,000-an per US$. Namun di Eropa sana, terutama sejak tahun 2010 lalu, mata uang Euro (€) terus melemah terhadap US$. Ketika artikel ini ditulis, Euro berada di posisi €1.20 per US$, padahal normalnya 1.55 per US$. Dan yap, seperti yang anda ketahui, saat ini Eropa sedang dilanda krisis. Kabar terakhir, IMF memberikan paket bailout untuk Spanyol, dengan nilai US$ 46 milyar.

IMF, Central Bank, and Monetary Policy

Krisis 1998 dikenal dengan istilah krisis moneter atau krismon. Apa itu moneter? Simpelnya, moneter adalah pengendalian terhadap jumlah uang yang beredar (money supply), yang juga berarti pengendalian terhadap nilai tukar mata uang, dan pengendalian terhadap nilai suku bunga pinjaman dan simpanan. Hampir di setiap negara di dunia, kebijakan terkait moneter dipegang penuh oleh bank sentral-nya masing-masing. Krisis 1998 disebut krisis moneter, karena ketika itu jumlah uang yang beredar di masyarakat, baik dalam bentuk Rupiah maupun US Dollar, terbilang tidak terkendali, dimana Rupiah bertebaran dimana-mana sementara US$ sangat sulit ditemukan (masih ingat dengan lagu Aku Cinta Rupiah oleh artis cilik Cindy Cenora?). Demikian pula dengan suku bunga, yang naik turun secara liar dan cenderung spekulatif. Mengingat bahwa kebijakan moneter merupakan tanggung jawab dari Bank Sentral, maka yang bertanggung jawab atas krisis moneter, tidak lain dan tidak bukan adalah Bank Sentral, dalam hal ini BI.

Dan ketika itu, IMF tiba-tiba saja muncul entah dari mana untuk menyelamatkan Indonesia dari krisis yang kemungkinan terjadi karena ulah dari Bank Sentral-nya sendiri.

Saat ini Pemerintah Indonesia tidak lagi memiliki utang kepada IMF. Namun Indonesia memiliki utang kepada World Bank alias Bank Dunia, dimana pada tanggal 31 Desember 2010, posisi utang Indonesia kepada WB adalah US$ 1.7 milyar, belum termasuk pinjaman multilateral (pinjaman yang diberikan WB secara sindikasi bersama dengan lembaga keuangan lainnya). World Bank, seperti yang kita ketahui, adalah twin sister dari IMF.

IMF sendiri, setelah cukup lama menghilang, kemarin kembali berhubungan dengan Indonesia (baca: BI), kali ini dalam kapasitas sebagai ‘pemohon dana’, sehingga otomatis menempatkan Indonesia ‘di posisi yang tinggi’. Kita tidak pernah tahu apa tujuan IMF melakukan hal tersebut, tapi yang jelas kedua lembaga ini yaitu IMF dan BI, suka atau tidak, memiliki kuasa penuh dalam menentukan arah ekonomi Indonesia. Angka-angka yang bagus pada indikator ekonomi makro seperti pertumbuhan ekonomi, inflasi, dll, tidak akan berarti sama sekali kalau Rupiah mulai diutak atik.

Contoh simpel saja: Berdasarkan data dari BPS, pada akhir tahun 2011 pendapatan per kapita Indonesia adalah Rp31.8 juta, atau setara US$ 3,542 kalau pake kurs Rp8,978 per US$, naik 17.7% dibanding tahun 2010 sebesar US$ 3,010. Nah, kalau kurs Rupiah pada akhir tahun 2011 bukanlah Rp8,978 per US$, melainkan dibuat melemah hingga Rp15,000 per US$, maka hasilnya? Pendapatan per kapita Indonesia akan tetap Rp31.8 juta, tapi tidak lagi setara dengan US$ 3,542, melainkan hanya US$ 2,120, atau turun hampir 30% dibanding tahun 2010. Pendapatan per kapita tersebut kalau dalam Rupiah memang naik, namun karena Rupiah itu sendiri nilainya turun terhadap mata uang dunia, yaitu US Dollar, maka pendapatan per kapita Indonesia tetap dianggap turun. Dan itulah yang terjadi pada tahun 1998, dimana GDP kita terkoreksi hingga 13.7%.

Jadi, kunci dari pengendalian atas perekonomian suatu negara terletak pada nilai tukar mata uangnya, dimana hal itu menjadi otoritas Bank Sentral. Tapi, bukankah BI dikontrol oleh DPR RI Komisi XI? Yup, benar. Tapi dengan profil para anggota dewan yang ‘kaya gitu’, penulis ragu kalau sistem kontrol tersebut berjalan dengan baik. 

Nah, dengan mengasumsikan bahwa IMF sekarang ini tengah sibuk berurusan dengan Eropa, maka mudah-mudahan kesepakatan pemberian pinjaman dari BI bagi IMF itu berarti bagus, alias ‘kita nggak akan diapa-apain’, setidaknya untuk saat ini. Sebelumnya salah satu orang Indonesia juga memperoleh kehormatan untuk menempati posisi bagus di World Bank sebagai Managing Director. Dia adalah Ibu Sri Mulyani Indrawati.

Hanya saja belakangan ini kalau penulis perhatikan, perusahaan-perusahaan di Indonesia mulai rajin lagi dalam mencari pinjaman dari luar negeri, yang tentu saja dalam mata uang US$. Sementara mereka memperoleh pendapatannya dalam mata uang Rupiah. Ini tentu saja nggak bagus, dimana kalau Rupiah kumat sedikit saja, maka pendapatan para perusahaan tersebut akan langsung rontok. Krisis moneter 1998 sebenarnya tidak perlu terjadi andaikata para perusahaan tidak memiliki terlalu banyak utang dalam mata uang asing.

Namun meminjam ke bank lokal dalam mata uang Rupiah juga tidak dianjurkan, karena bunga pinjaman disini kelewat tinggi. Jadi bagaimana? Ask the policy maker!

NB: Rekomendasi saham bulanan edisi Agustus akan terbit tanggal 1 Agustus mendatang, anda bisa memperolehnya disini.

Komentar

Anonim mengatakan…
Thanks mas Teguh. Ulasannya membuka mata kita mengenai monetary intelligent.
Anonim mengatakan…
heheheee..... koq tulisannya mengarah ke teori konspirasi. jadi keinget klo BI jadi redominasi sedangkan pemerintah gak becuz menjalankan kebijakannya. apakah ini jalan baru terjadinya krisis ekonomi?
Anonim mengatakan…
Satu lagi artikel yang benar2 sangat menambah wawasan, saya belajar satu hal di sini: perusahaan yg punya utang $, tapi penghasilan rupiah, memiliki resiko nilai tukar, gitu ya
Anonim mengatakan…
Maaf,aku ini orang bodoh,yg ingin tahu,jika BI bukan milik negara,lalu milik siapa?golongan mana?pribadi siapa?terimakasih atas jawabannya?dan sebaiknya jawaban tsb kemudian diumumkan,agar negara ini tdk berisi org org tolol seperti saya.

ARTIKEL PILIHAN

Live Webinar Value Investing, Sabtu 16 Maret 2024

Ebook Investment Planning Kuartal IV 2023 - Sudah Terbit!

Laporan Kinerja Avere Investama 2022

Peluang dan Strategi Untuk Saham Astra International (ASII)

Indo Tambangraya Megah: Masih Royal Dividen?

Indah Kiat Pulp & Paper (INKP) Bangun Pabrik Baru Senilai Rp54 triliun: Prospek Sahamnya?

Prospek Saham Energi Terbarukan, Kencana Energi Lestari (KEEN)