Melirik Saham di Sektor Telepon Selular

Dulu, telepon selular alias handphone alias HP, adalah alat untuk menelpon dan mengirim SMS, that’s it. Tapi seiring dengan perkembangan teknologi, HP kemudian bisa dipakai untuk memotret, memainkan klip video, mengirim gambar, browsing internet, hingga fungsi-fungsi lainnya layaknya komputer. HP kini tidak lagi sekedar alat komunikasi, melainkan gadget yang bentuk serta fungsinya menjadi beraneka ragam. Dan bagi sebagian orang, terutama anak-anak remaja, adalah suatu kebanggaan untuk bisa memiliki gadget terbaru yang sedang nge-trend, sehingga HP kemudian menjadi barang fashion yang harus di-update setiap beberapa waktu sekali. Sementara bagi kita para investor atau pebisnis, maka behaviour masyarakat yang seperti itu adalah peluang.

Di Indonesia, perubahan trend atas merk HP tertentu terbilang cukup sering terjadi. Dulu Nokia, Ericsson, dan Motorola adalah penguasa pasar, sebelum kemudian dipukul mundur oleh pendatang baru, Blackberry (BB), yang merupakan salah satu perintis dari HP generasi baru yang disebut smartphone. Dan kini, BB pun mulai mendapat perlawanan ketat dari iPhone, Android, dan Samsung. Kedepannya, banyak pihak yang meramalkan bahwa Samsung akan menjadi penguasa selanjutnya di industri telepon dan gadget selular, dimana pada saat ini Samsung telah berhasil mempopulerkan gadget berikutnya setelah smartphone: PC Tablet. Pada semester I 2011, merk Samsung Galaxy Tab memimpin pasar PC tablet dengan market share sebesar 60%, disusul Apple iPad.

Diluar merk-merk besar tersebut, perubahan trend juga cukup sering terjadi di merk-merk yang lebih kecil. Contohnya Nexian yang dulu sempat jaya, sekarang mulai tergeser oleh Cross dan Mito. Jadi dalam hal ini, mengingat bahwa perkembangan teknologi dan trend gadget termasuk HP tidak pernah akan ada habisnya, maka orang-orang juga akan terus membelanjakan uangnya untuk membeli HP terbaru, dan juga berbagai macam aksesorisnya. Alhasil, perusahaan yang bermain di industri perdagangan produk selular (perdagangan, bukan produsen) akan meraup untung yang besar dan juga (seharusnya) konsisten. Karena ketika satu merk HP mulai kurang laku, maka mereka bisa dengan mudah beralih menjual merk HP lain yang lebih diminati konsumen.

Dan di BEI, terdapat setidaknya empat emiten yang bergerak di bidang perdagangan dan distribusi produk-produk telepon selular, termasuk juga aksesoris, konten multimedia, kartu perdana, dan voucher pulsa. Mereka adalah, diurutkan berdasarkan ukuran asetnya dari yang terbesar sampai terkecil: Trikomsel Oke (TRIO), Erajaya Swasembada (ERAA), TiPhone Mobile Indonesia (TELE), dan Skybee (SKYB). Mengingat bahwa perusahaan di industri selular ini seharusnya memiliki kinerja yang tumbuh secara konsisten, maka berikut adalah track record pertumbuhan laba bersih keempat perusahaan diatas dalam lima tahun terakhir plus semester pertama 2012, angka dalam milyar Rupiah.

Company
2007
2008
2009
2010
2011
2012*)
TRIO
80
103
118
204
303
304
ERAA
28
79
203
218
255
425
TELE
-
0
51
115
153
-
SKYB
1
3
3
19
23
31

Catatan:

1. PT TiPhone Mobile Indonesia (TELE) baru berdiri dan beroperasi tahun 2008
2. Data tahun 2012 adalah hingga semester pertama (first half 2012/1H12), yang di-annualized-kan dengan cara dikali dua.
3. Hingga artikel ini ditulis, TELE belum merilis LK untuk periode 1H12.

Perhatikan. Dari data diatas, maka bisa kita simpulkan bahwa keempat perusahaan di sektor perdagangan produk selular memang memiliki catatan pertumbuhan yang cukup konsisten (kalau pake kinerjanya di Q1, TELE mencatat annualized net profit untuk tahun 2012 sebesar Rp156 milyar). Termasuk ketika terjadi krisis global di tahun 2008, laba TRIO, ERAA, dan SKYB tetap saja naik (TELE jangan dihitung karena perusahaannya baru berdiri). Well, sepertinya kita menemukan sektor yang cukup prospektif disini, setidaknya jika dilihat dari sisi kinerja para perusahaannya secara historis.

Sayangnya kalau kita mempertimbangkan likuiditas sahamnya, maka hanya ERAA dan TELE yang bisa dilirik, karena saham TRIO dan SKYB boleh dibilang tidak likuid sama sekali. Jadi di paragraf-paragraf berikutnya akan kita fokuskan pada pembahasan ERAA dan TELE, kita mulai dari ERAA dulu.


ERAA adalah salah satu perusahaan distributor produk selular terbesar di Indonesia, dengan market share 24% pada tahun 2010. Khusus untuk Blackberry, perusahaan memegang market share sekitar 50% pasca mengakuisisi salah satu anak usahanya, PT Teletama Artha Mandiri (TAM) pada Agustus 2011 lalu, dimana TAM adalah distributor ponsel Blackberry, Sony Ericsson, dan Samsung. Per akhir tahun 2011, ERAA memegang hak distribusi untuk setidaknya sembilan merk ponsel, yakni Acer, Dell, Huawei, LG, Motorola, Nokia, Blackberry, Sony Ericsson, dan Samsung. Selain menjual ponsel punya orang, ERAA juga memiliki merk ponsel sendiri melalui TAM, yaitu Venera. ERAA juga memiliki bisnis sampingan berupa jualan voucher pulsa dan lain-lain, yang pada 1H12 menyumbang 6.4% dari total pendapatan perusahaan.

Meski notabene sudah merupakan salah satu market leader di bidangnya, namun ERAA terbilang masih giat berekspansi. Sepanjang enam bulan pertama 2012, perusahaan melakukan beberapa kegiatan perluasan usaha, yakni: 1. Membuka outlet ‘Erafone Megastore’ di dua tempat, yaitu Jakarta (Mall Taman Anggrek) dan Makassar, 2. Mengakuisisi outlet ‘iBox’, distributor ponsel merk Apple iPhone, sehingga ERAA secara otomatis menambah merk ponsel iPhone dalam portofolionya, dan 3. Menjadi distributor untuk ponsel HTC. Kedepannya hingga akhir tahun 2012 ini, ERAA akan menambah lagi setidaknya empat outlet Erafone Megastore, sehingga totalnya menjadi delapan outlet. ERAA juga akan menambah tiga outlet iBox, sehingga totalnya menjadi dua puluh dua outlet, dan mendirikan empat outlet ‘AndroidNation’ di Jakarta, yang akan secara khusus menjual ponsel-ponsel dengan sistem operasi Android. ERAA mengklaim bahwa AndroidNation tersebut akan menjadi outlet khusus Android pertama di dunia.

Berdasarkan LK terbaru yaitu semester pertama 2012, ERAA menunjukkan kinerja dan pertumbuhan yang paling bagus jika dibanding TRIO dan SKYB. Berikut ringkasannya:

Company
ROA
ROE
NPM
Net Profit Growth
Earnings Growth
ERAA
12.8
18.0
6.6
213.5
80.2
TRIO
7.7
26.2
8.2
24.2
8.7
SKYB
2.8
15.2
2.8
-8.8
9.3

Catatan: Seluruh angka dalam persentase, semakin besar berarti semakin bagus. Net Profit Growth dihitung dalam setahun, sementara Earnings Growth dihitung dari tanggal 31 Desember 2011.

Perhatikan. Dalam hal ROA, ROE, dan NPM, kinerja ERAA dan TRIO cenderung hampir setara, sementara SKYB boleh kita kesampingkan. Namun dalam hal growth, ERAA lebih unggul, yang mungkin karena pada tahun 2012 ini TRIO lebih fokus pada upaya penggalangan dana melalui right issue dan penerbitan obligasi yang dilakukan secara sekaligus. Seperti yang anda ketahui, TRIO menerbitkan 311.5 juta lembar saham anyar yang akan mulai diperdagangkan di bursa pada tanggal 2 Juli kemarin, dan obligasi senilai Rp808 milyar. Namun seperti yang sudah disebut diatas, ketidak likuidan saham TRIO membuatnya secara otomatis tidak perlu kita perhatikan lagi.

Kalau dilihat dari ROA, ROE, dan NPM-nya, kinerja ERAA terbilang standar, alias gak bisa dibandingkan dengan perusahaan consumer goods. Namun hal itu tidak mencegah sahamnya untuk terus naik sejak listing pada 14 Desember lalu, hingga sekarang ini sudah mencapai posisi new high di 2,250, yang mencerminkan PER 15.2 kali. Mahal? Mungkin nggak juga, mengingat valuasi saham-saham perusahaan retail (ingat bahwa ERAA adalah perusahaan perdagangan ponsel secara eceran, bukan produsen) rata-rata emang segitu. Penulis sendiri belakangan ini baru sadar kalau saham perusahaan retail memang nggak bisa dihargai pada PER 7 atau 10 kali, bahkan meski mereka secara nature tidak memiliki margin atau rasio profitabilitas yang bagus. Penyebabnya adalah karena perusahaan retail setiap saat bisa mengganti barang dagangannya dengan barang lain yang lebih diminati konsumen, sehingga bisnisnya bisa terus berjalan, dan alhasil risiko usahanya relatif rendah. Hal ini berbeda dengan perusahaan produsen, yang harus menciptakan produk baru jika produk lama mereka tidak lagi diminati konsumen, dan ‘menciptakan’ itu tidaklah mudah, terutama jika berhubungan dengan inovasi teknologi. Itu sebabnya perusahaan produsen ponsel yang pernah jaya di masa lalu, Nokia, sekarang ini mulai mengalami kemunduran besar dan diprediksi akan segera bangkrut, setelah mereka gagal menciptakan produk baru untuk bersaing dengan iPhone dan Android.

Oke, sekarang kita bahas TELE.

Berbeda dengan ERAA yang menjual berbagai macam merk ponsel, TELE adalah distributor untuk satu merk ponsel saja, yaitu TiPhone, meski perusahaan juga menjual ponsel merk lain dalam jumlah yang jauh lebih sedikit. Kalau dari sisi brand, TiPhone tidaklah sepopuler Blackberry ataupun iPhone, namun merk ponsel asal Tiongkok ini memiliki harga jual yang relatif murah, sehingga memiliki pangsa pasarnya sendiri. Selain HP biasa, TiPhone juga memiliki varian produk smartphone dan PC Tablet.

Akan tetapi, sumber pendapatan utama TELE bukan berasal dari penjualan ponsel TiPhone, melainkan voucher pulsa. Yup, TELE adalah salah satu distributor utama untuk voucher pulsa dari tiga operator telekomunikasi, yakni Telkomsel, Flexi, dan XL Axiata. Pada Kuartal I 2012, TELE mencatat pendapatan Rp1.62 trilyun, dimana Rp1.47 trilyun diantaranya berasal dari penjualan voucher pulsa, dan hanya Rp149 milyar yang berasal dari penjualan ponsel. Jadi dalam hal ini, TELE lebih layak disebut sebagai perusahaan pulsa untuk ponsel, bukan ponsel itu sendiri. Kalau menurut penulis, sepertinya TELE sengaja menjalani bisnis distributor voucher pulsa, dan lebih banyak bergelut di bisnis ini ketimbang menjual ponsel, adalah untuk jaga-jaga jika produk TiPhone tidak terlalu sukses di pasaran, mengingat persaingan merk ponsel di segmen low end juga tidak kalah sengitnya dibanding segmen high end, dan masalahnya TELE hanya memegang satu merk TiPhone saja (berbeda dengan ERAA yang memegang banyak merk). Di Indonesia sendiri, terdapat setidaknya tujuh merk ponsel low end yang menjadi pesaing serius TiPhone, yaitu Nexian, Mito, Cross, CSL Blueberry, Maxtron, Micxon, dan HT Mobile.

Sementara bisnis jualan pulsa, biar bagaimanapun lebih aman dan lebih mudah dibanding dibanding menjual ponsel, meski memang marginnya lebih kecil. Pada Kuartal I 2012, operating profit margin (OPM) untuk produk ponsel yang dijual TELE tercatat 8.5%, sementara OPM untuk produk voucher pulsa hanya 2.8%.

Anyway, karena jenis bisnisnya berbeda, maka TELE mungkin kurang tepat jika dibandingkan dengan ERAA. Tapi, mari kita coba membandingkan kelebihan dan kekurangan dari kedua perusahaan ritel produk selular ini:

1. Variasi produk ponsel: ERAA menjual berbagai atau bahkan boleh dibilang semua merk ponsel high end di Indonesia. Sementara TELE hanya menjual TiPhone. Jadi dalam hal ini, ERAA tidak memiliki ketergantungan terhadap merk ponsel tertentu, dan bisa mengganti isi etalase tokonya setiap saat dengan produk ponsel lain yang lebih laku. Sementara TELE tidak bisa melakukan hal yang sama, kecuali jika nanti di masa depan perusahaan mampu memperoleh hak distribusi untuk merk ponsel lainnya.

2. Pangsa pasar: ERAA memiliki pangsa pasar yang lebih sempit, karena rata-rata produknya dijual pada harga yang lumayan mahal sehingga hanya bisa dibeli oleh kalangan menengah keatas, yang populasinya tentu lebih sedikit ketimbang kalangan menengah kebawah. Meski demikian, karena perubahan trend di pasar ponsel high end pada saat ini terbilang tinggi, dimana merk-merk seperti Blackberry, iPhone, iPad dan Samsung GTab secara rutin merilis varian produk baru setiap beberapa waktu sekali, maka konsumen pun seperti dipaksa untuk kembali membeli produk baru tersebut. Dan keinginan konsumen untuk selalu up to date terhadap produk ponsel terbaru ternyata tidak dipengaruhi oleh gejolak ekonomi, setidaknya kalau pakai pengalaman tahun 2008 lalu dimana pendapatan dan laba bersih ERAA dan juga lainnya bisa tetap tumbuh (kalau kejadiannya seperti tahun 1998, mungkin baru ceritanya akan berbeda).

Sementara TELE memiliki pangsa pasar yang lebih luas karena menyasar segmen low end, dan pangsa pasar seperti ini hampir bisa dipastikan akan selalu aman dari perubahan dalam perekonomian. Sayangnya, TELE hanya memegang hak distribusi untuk satu merk ponsel saja, sehingga TELE memiliki banyak pesaing. Dan sejauh ini, merk ponsel TiPhone juga tampaknya bukan merupakan pemimpin pasar di segmen low end.

3. Fokus produk: ERAA lebih banyak menjual ponsel, sehingga marginnya terbilang lumayan. Pada Semester I 2012, ERAA mencatat OPM 4.8%. Sementara TELE lebih banyak menjual voucher pulsa, sehingga marginnya relatif kecil. Pada Kuartal I 2012, TELE mencatat OPM 3.3%. Untuk produk voucher pulsa, kembali TELE bergantung pada tiga operator selular, yakni Telkomsel, Flexi, dan XL Axiata. TELE tidak menjual voucher pulsa dari Indosat, Esia,  Tri, ataupun Axis.

4. Prospek kedepan: ERAA berpeluang untuk menikmati masa keemasan dari produk ponsel high end dalam beberapa tahun kedepan, dan itu sebabnya perusahaan rajin membuka outlet baru di berbagai kota, termasuk mengakuisisi iBox. Karena tidak hanya anak muda, saat ini orang dewasa pun senang menggunakan produk-produk smartphone dan PC Tablet keluaran Research in Motion/RIM (Blackberry), Apple, dan Samsung. Sementara TELE kemungkinan hanya akan menikmati pertumbuhan yang cenderung biasa-biasa saja, kecuali, sekali lagi, jika perusahaan mampu menambah portofolio merk ponsel atau jenis voucher pulsanya.

5. Risiko: Meski ERAA memegang banyak merk ponsel dalam portofolionya, namun hak untuk melanjutkan atau memberhentikan kerjasama dengan perusahaan produsen sepenuhnya dipegang oleh pihak perusahaan produsen sebagai prinsipal merk, sehingga ERAA sewaktu-waktu bisa kehilangan hak-nya sebagai distributor untuk beberapa merk ponsel. Lalu, mengingat bahwa sebagian besar ponsel yang dijual ERAA adalah produk impor, maka pendapatan dan laba perusahaan sangat tergantung pada fluktuasi Rupiah. Dan karena ponsel pada saat ini merupakan produk fashion, maka pendapatan perusahaan akan mengikuti trend minat konsumen dan bergantung pada faktor musiman. Terakhir, produk-produk gadget seperti Blackberry, Apple, dan Samsung, adalah sasaran empuk dari para penjual di pasar gelap alias black market. Mungkin anda sendiri bisa melihatnya di internet, banyak yang menawarkan produk Blackberry yang masuk ke Indonesia dengan tidak melalui bea cukai, sehingga harganya lebih murah. Meski hal ini tidak berpengaruh signifikan terhadap pendapatan ERAA, karena konsumen juga biasanya lebih suka membeli produk smartphone dan PC Tablet di toko resmi (karena bergaransi dan juga relatif tidak berisiko terkena tipu), namun hal ini tetap berpotensi mengganggu kinerja perusahaan.

Untuk TELE, risiko terbesarnya adalah jika terjadi pemutakhiran teknologi yang signifikan, karena produk TiPhone sendiri tidak bisa dijamin akan selalu compatible dengan perkembangan sistem operasi Android terbaru (mayoritas produk smartphone dan tablet TiPhone menggunakan sistem operasi Android), karena Android bukan dimiliki oleh TiPhone, melainkan Google. Berkaitan dengan hal ini, maka penjualan produk TiPhone juga sangat rentan pada perubahan selera konsumen. Sementara untuk produk voucher pulsa, perusahaan relatif tidak menghadapi risiko berarti, kecuali risiko persaingan karena TELE hanya menjual voucher pulsa Telkomsel, Flexi, dan XL Axiata. Tapi untungnya, ketiga merk operator selular tersebut, terutama Telkomsel, merupakan pemimpin pasar. Dan untungnya pula, TELE lebih banyak menjual voucher pulsa ketimbang ponsel.

Kesimpulannya, dengan mempertimbangkan seluruh aspek yang bisa diperhatikan, maka saham ERAA lebih menarik ketimbang TELE jika tujuannya adalah untuk investasi jangka panjang. Dalam setahun ke depan, ERAA mungkin akan mencapai posisi 4,000. Tapi masalahnya disini adalah, saham ERAA sudah naik banyak dalam beberapa bulan terakhir, hasil dari kinerja apik-nya di Kuartal I dan II 2012, dan pada saat ini valuasinya relatif mahal. Alhasil, akan cukup berisiko jika anda masuk di harga sekarang, karena kalau berdasarkan historisnya, biasanya saham ERAA akan turun sekitar 10% dari new high-nya untuk kembali ke pola teknikalnya. Tapi jika anda berminat pada saham ini, maka tidak ada salahnya untuk mulai menyicil dari sekarang.

Satu hal lagi. Meski prospeknya cerah, dan risikonya juga relatif rendah, namun ERAA memiliki satu risiko lagi yang berpotensi menurunkan kinerja perusahaan secara signifikan, yakni: Kebijakan pemerintah. Mungkin anda masih ingat kalau beberapa waktu lalu, Menteri Komunikasi dan Informatika, Tifatul Sembiring, sempat menyatakan akan memboikot produk-produk Blackberry di Indonesia, karena prinsipal Blackberry, RIM, menolak untuk mendirikan server disini. Meski akhirnya Mr. Tifatul nggak jadi memboikot Blackberry, namun tidak ada jaminan bahwa kedepannya Pemerintah tidak akan memboikot produk ponsel tertentu, tidak cuma Blackberry tapi juga lainnya. Dan jika pemboikotan tersebut atau semacamnya benar-benar terjadi, maka tentunya itu akan berdampak luar biasa terhadap kelangsungan bisnis ERAA, jadi anda tetap harus hati-hati.

Terus bagaimana dengan satu lagi perusahaan telepon selular, yaitu Global Teleshop (GLOB)? Kenapa kok nggak ikut dianalisis? Well, mengingat GLOB baru listing kemarin banget, yaitu tanggal 10 Juli 2012, maka emiten yang satu ini belum merilis banyak dokumen kecuali laporan keuangan (LK), sehingga belum bisa dianalisis secara komprehensif, meski memang LK-nya sekilas cukup bagus. Tapi kalau kita perhatikan likuiditas sahamnya sih, GLOB termasuk kurang likuid ya, sama seperti TRIO dan SKYB. Tapi mungkin nanti akan kita bahas lagi di lain kesempatan.

Komentar

Anonim mengatakan…
Comparative analysis yang bagus, saya selalu menanti tulisan dari blog ini.
Anonim mengatakan…
bagaimana dengan prospek dan kinerja saham gema graha sarana? melihat lk. utk tahun 2011 dan semester 1 2012 ini cukup prospektif, tapi sekali lagi sayang terkendala masalah likuiditas juga di sini.

ditunggu ulasannya kang teguh ;)
Anonim mengatakan…
Pak Teguh

Terima kasih utk pembahasannya ttg saham berbasis telkom accesoris diatas :)

Tetapi seingat saya, kelemahan utama perusahaan2 tsb adalah hutang/DER yg besar dan jika benar produknya adalah barang2 import berarti utangnya dalam dollar ( CMIIW )

Dalam masa kemakmuran, hutang bukanlah masalah selama income bisa mengcover hal ini

Tetapi di masa krisis, hutang adalah bencana, plus net profit margin perusahaan2 ini sangat kecil

Br

Ivan
Bakul Batik mengatakan…
Jadi ERAA bisa buat long term, pak Teguh?
TokoOlidHerbal mengatakan…
Terima kasih artikelnya pak..

salam kenal
Bamboo Foot Patch mengatakan…
Thanks for information

ARTIKEL PILIHAN

Live Webinar Value Investing, Sabtu 16 Maret 2024

Ebook Investment Planning Kuartal IV 2023 - Sudah Terbit!

Laporan Kinerja Avere Investama 2022

Peluang dan Strategi Untuk Saham Astra International (ASII)

Indo Tambangraya Megah: Masih Royal Dividen?

Indah Kiat Pulp & Paper (INKP) Bangun Pabrik Baru Senilai Rp54 triliun: Prospek Sahamnya?

Prospek Saham Energi Terbarukan, Kencana Energi Lestari (KEEN)