Mengenal Quantitative Easing, dan Pengaruhnya terhadap IHSG

Beberapa hari lalu, bank sentral Jepang (Bank of Japan/BOJ) mengumumkan kebijakan quantitative easing (QE), dimana BOJ akan menginjeksikan dana senilai total US$ 1.4 trilyun terhadap perekonomian negeri Sakura. Jumlah tersebut setara dengan jumlah uang yang beredar di Jepang, sehingga kebijakan QE tersebut akan membuat jumlah yang yang beredar menjadi naik dua kali lipat. Menurut Gubernur BOJ, Haruhiko Kuroda, kebijakan ini bertujuan untuk kembali menumbuhkan perekonomian Jepang, yang selama lebih dari satu dekade terakhir tertahan oleh kurangnya jumlah uang yang beredar di masyarakat. Tingkat inflasi di Jepang sendiri sudah 15 tahun terakhir ini mengalami minus, alias deflasi.

Oleh bursa saham Jepang, kebijakan ini direspon sangat positif, dimana indeks Nikkei melompat 2.2% hanya dalam sehari setelah pengumuman soal QE tersebut dirilis. In fact, kebijakan QE ini sepertinya sudah diketahui pasar jauh sebelumnya, dimana Nikkei sudah naik signifikan dalam enam bulan terakhir ini (lebih dari 50%), dan menjadikannya sebagai indeks saham dengan kenaikan paling tinggi dalam setahun terakhir di Asia, atau bahkan di dunia.

Kebijakan QE yang dilakukan oleh BOJ, sebelumnya juga dilakukan oleh bank sentral Amerika Serikat, Federal Reserve (The Fed), dimana The Fed menyuntikkan dana sebesar US$ 85 milyar per bulan kedalam perekonomian Amerika, dengan tujuan yang sama: Menjaga kestabilan ekonomi dan menumbuhkannya.
 
Kantor Federal Reserve di New York, Amerika Serikat. Courtesy of www.abc.net

Pertanyaannya mungkin, apa yang dimaksud dengan QE? Dan bagaimana bisa hal itu membantu perekonomian sebuah negara? Well, penjelasannya ternyata cukup rumit dan panjang, tapi disini kita akan mencoba menyederhanakannya. Okay here we go!

Kita mulai dari sejarahnya. Pada jaman dulu, ketika belum ditemukan benda yang sekarang kita sebut dengan uang, nilai kekayaan seseorang biasanya dihitung berdasarkan jumlah dari tiap-tiap aset yang ia miliki, seperti tanah sekian hektar, ternak sapi sekian ekor, hingga sekian ton hasil panen padi. Ketika orang yang memiliki seekor sapi hendak membeli sekarung beras, misalnya, maka ia akan akan mencari orang yang memiliki beras tersebut, sekaligus sedang membutuhkan daging sapi. Jika dua orang ini ketemu, maka kemudian akan terjadi transaksi yang kita sebut sebagai barter, dalam hal ini barter seekor sapi dengan sekarung beras.

Seiring dengan berjalannya waktu, sistem barter ini ternyata tidak praktis, karena dua alasan. Satu, tidak mudah bagi pemilik sapi untuk menemukan orang yang memiliki beras sekaligus sedang membutuhkan sapi. Dan dua, nilai seekor sapi jelas berbeda dengan sekarung beras. Peternak sapi membutuhkan waktu beberapa tahun untuk memelihara seekor sapi dari kecil hingga siap potong, sementara petani padi bisa tiga kali panen dalam setahun untuk memperoleh ratusan karung beras. So, jika seekor sapi kemudian ditukar dengan hanya sekarung beras, maka dalam hal ini si pemilik sapi telah dirugikan.

Karena itulah kemudian manusia berusaha menciptakan/menemukan suatu alat tukar yang: 1. Disukai/dibutuhkan/diinginkan semua orang, dan 2. Memiliki nilai yang jelas. Kemudian berkembanglah berbagai jenis alat tukar, hingga terdapat satu diantaranya yang paling populer, yakni logam mulia, alias emas. Emas diinginkan dan disukai semua orang, sehingga seorang pemilik sapi bisa menukar sapinya dengan sekian gram emas, kemudian dengan sebagian emas tersebut dia bisa membeli sekarung beras. Emas juga memiliki nilai yang jelas, yaitu berdasarkan tingkat kemurnian dan jumlah/beratnya. Semakin murni dan semakin berat sekeping atau sebatang emas, maka semakin tinggi nilai emas tersebut. Emas juga kemudian menjadi penanda nilai kekayaan seseorang yang paling jelas, dimana orang-orang kaya jaman dulu biasanya memiliki sekian kilogram emas dalam berbagai bentuknya, sementara orang miskin nggak punya emas barang se-gram pun.

Waktu berlalu, dan orang-orang kemudian mulai merasa bahwa kalau harus bawa-bawa emas kemana-mana, maka itu tidak praktis, karena emas adalah salah satu jenis logam terberat yang pernah ada. Akhirnya orang kemudian bisa menitipkan emas yang ia miliki ke tukang/pandai emas, untuk kemudian memperoleh semacam sertifikat diatas kertas, yang menjadi bukti atas kepemilikan emas tersebut. Nah, ‘kertas sertifikat’ inilah yang kemudian menjadi cikal bakal uang kertas yang kita kenal sekarang ini.

So, jika mengikuti definisi ‘uang’ yang diutarakan diatas, maka selembar uang kertas yang ada di dompet anda sekarang ini, itu sebenarnya tidak ada nilainya sama sekali. Yang bernilai adalah sesuatu yang diwakili oleh uang kertas tersebut. Analoginya sama seperti sertifikat rumah: Sertifikat tersebut memang ‘memiliki nilai’, sehingga bisa digadaikan ke bank kalau anda mau pinjam uang. Tapi jika anda kemudian gagal membayar pinjaman tersebut, maka yang disita bank adalah rumahnya, bukan cuma sertifikatnya, karena yang benar-benar memiliki nilai adalah rumah tersebut, sementara sertifikat tersebut pada akhirnya cuma secarik kertas.

Pada jaman modern seperti sekarang ini, tukang/pandai emas yang disebutkan diatas sudah berevolusi menjadi bank, tepatnya bank sentral (central bank), dimana hampir semua negara di seluruh dunia memiliki bank sentral-nya masing-masing, termasuk Indonesia dengan Bank Indonesia-nya (BI). Bank sentral inilah yang menerbitkan mata uang sebuah negara, mencetak atau menarik uang yang beredar di masyarakat, serta menentukan suku bunga. Kebijakan yang dilakukan bank sentral terkait tiga hal tersebut (currency, money supply, dan interest rate) kemudian disebut sebagai kebijakan moneter (monetary policy).

Pada perkembangannya, kebijakan moneter yang dikenal saat ini lebih ke penentuan tingkat interest rate dan money supply saja, karena ketika sebuah bank sentral sudah menentukan satu jenis currency yang berlaku di sebuah negara, maka biasanya currency tersebut akan berlaku seterusnya tanpa ada perubahan lagi (seperti di Indonesia, currency alias mata uangnya dari dulu ya Rupiah aja terus, gak pernah berganti menjadi Ringgit, misalnya). Memang ada juga beberapa kasus perubahan jenis currency yang berlaku di sebuah negara, misalnya di Eropa, dimana sekarang ini hampir semua negara disana pake Euro (€), setelah sebelumnya tiap-tiap negara memiliki mata uang-nya masing-masing.

Kembali ke kebijakan moneter. Kebijakan moneter terkait interest rate dan money supply ini kemudian bisa menentukan pertumbuhan atau kemunduran perekonomian suatu negara. Sebagai contoh, ketika terjadi pengangguran di Indonesia dalam jumlah besar, dan petumbuhan ekonomi juga mandek, maka BI bisa menurunkan tingkat suku bunga (interest rate). Dengan cara ini diharapkan para pengusaha akan berani berhutang ke bank untuk membiayai usaha mereka, yang pada akhirnya menyerap tenaga kerja, dan pada akhirnya menumbuhkan perekonomian. Terkait hal ini, BI juga akan mencetak lebih banyak uang untuk disalurkan ke bank-bank, untuk kemudian para bank ini menyalurkannya kembali ke para pengusaha dalam bentuk pinjaman. Oleh para pengusaha, uang ini akan digunakan untuk membeli aset-aset dari orang lain, dan orang lain ini akan menggunakan uang tersebut untuk membeli barang dari orang lain lagi, dan demikian seterusnya hingga jumlah uang yang beredar di masyarakat (money supply) meningkat.

Lalu jika money supply ini terus meningkat hingga menyebabkan inflasi, maka tingkat suku bunga bisa dinaikkan kembali, dan jumlah uang/money supply yang beredar di masyakat bisa berkurang kembali (jika suku bunga naik, maka bunga pinjaman bank juga akan naik, dan para pengusaha secara otomatis akan mempercepat pembayaran utangnya, yang itu berarti mengembalikan uang yang mereka peroleh dari bank ke bank kembali). Demikian seterusnya.

Karena itulah, salah satu kebijakan BI yang paling ditunggu-tunggu oleh para pelaku ekonomi adalah terkait BI Rate, atau suku bunga acuan yang ditentukan oleh BI. BI sendiri secara terbuka mempublikasikan BI Rate sebulan sekali, dimana saat ini posisi BI Rate terbaru (per April 2013) adalah 5.75%.

Kebijakan moneter baru: Quantitative Easing

Nah, selain kebijakan moneter yang terkait interest rate dan money supply, sejak tahun 2001, kemudian berkembang lagi kebijakan moneter jenis baru, yang disebut sebagai  quantitative easing atau QE (istilah Bahasa Indonesia-nya belum ada), yang ketika itu dipelopori oleh Bank of Japan (BOJ).

Berbeda dengan kebijakan moneter biasa dimana opsinya hanya ada dua, yakni menurunkan money supply sekaligus menaikkan interest rate, dan sebaliknya, menurunkan interest rate sekaligus menaikkan money supply (baca lagi paragraf ketiga diatas: Menurunkan interest rate berarti secara otomatis menaikkan money supply, demikian sebaliknya), maka QE adalah meningkatkan money supply tanpa menurunkan tingkat suku bunga. QE bisa dilakukan jika suku bunga acuan di negara yang bersangkutan sudah sangat rendah, yaitu sudah mendekati atau bahkan mencapai nol persen (saat ini suku bunga acuan yang ditetapkan The Fed dan BOJ hanya berkisar di angka 0 – 0.25%). Dan kebijakan inilah yang dilakukan oleh The Fed dan BOJ, dimana kedua bank sentral tersebut meningkatkan jumlah uang yang beredar di masyakat (dalam hal ini masyarakat Amerika dan Jepang) dengan cara membeli aset-aset finansial/keuangan yang dimiliki oleh bank-bank komersial dan/atau institusi keuangan lainnya, sementara disisi lain suku bunga acuan tetap tidak berubah. Oleh bank-bank komersial ini, uang tersebut digunakan untuk menyalurkan pinjaman ke masyarakat/pengusaha.

Kebijakan QE ini, jika diterapkan di negara berkembang, maka akan mengakibatkan hiperinflasi. Namun jika diterapkan di negara maju, katakanlah dalam hal ini Jepang atau Amerika, terutama Jepang yang dalam lima belas tahun terakhir justru mengalami deflasi, maka QE hanya akan menyebabkan sedikit inflasi. Disisi lain deflasi yang terjadi secara terus menerus dalam suatu negara juga bisa berdampak buruk terhadap perekonomian, karena deflasi mengurangi money supply, dan berkurangnya jumlah money supply di masyarakat bisa menyebabkan berkurangnya transaksi-transaksi ekonomi (jual beli), karena alat tukar (baca: uang) yang dibutuhkan untuk melakukan transaksi tersebut jumlahnya terlalu sedikit. Sementara pertumbuhan ekonomi memang hanya bisa terjadi jika terjadi transaksi jual beli bukan? Yaitu karena adanya pekerja yang menjual tenaga dan keahliannya ke perusahaan, dan perusahaan yang menjual produknya ke masyarakat termasuk ke pekerja tadi, dan demikian seterusnya berputar terus. Jika salah satu roda perputaran ekonomi tersebut mandek, misalnya ketika sebuah perusahaan bangkrut, maka disitulah akan terjadi perlambatan pertumbuhan atau bahkan kemunduran ekonomi di negara yang bersangkutan.

Okay, kembali ke QE. Pada kebijakan moneter konvensional, meningkatnya money supply di suatu negara akan secara otomatis menurunkan suku bunga, demikian sebaliknya. Tapi jika money supply meningkat sementara suku bunga tidak turun, maka apa yang turun? Jawabannya adalah yield (imbal hasil). Ketika money supply meningkat, maka harga barang-barang akan naik, termasuk harga sebuah aset finansial (contohnya perusahaan). Nah, jika harga dari sebuah perusahaan menjadi naik meski disisi lain nilai atau jumlah dari produk yang dihasilkan perusahaan yang bersangkutan tidak berubah, maka yang turun adalah yield-nya. Contoh sederhananya mungkin seperti di saham, dimana jika harga saham sebuah perusahaan naik padahal disisi lain laba bersih atau ekuitas perusahaan yang bersangkutan tidak meningkat, maka imbal hasil dari saham itu menjadi turun. Misalnya sebuah saham EPS-nya Rp50 per saham, sementara harga sahamnya Rp500, maka imbal hasilnya 50 / 500 = 0.10 = 10%. Ketika harga saham yang bersangkutan naik jadi Rp600, sementara EPS-nya masih tetap Rp50, maka yieldnya menjadi 50 / 600 = 0.08 = 8%, alias turun dari sebelumnya 10%.

Btw, yield ini adalah ukuran paling dasar dalam menghitung valuasi suatu aset, katakanlah valuasi sebuah perusahaan. Kalau di saham, yield ini dikenal dengan Price to Earning Ratio/PER, tapi cara ngitungnya dibalik, yaitu harga saham dibagi EPS. Dan karena cara ngitungnya dibalik, maka cara baca angkanya juga dibalik: Semakin besar angka PER, maka sahamnya berarti semakin mahal. Sementara untuk yield, semakin besar angka yield, maka sahamnya/perusahaannya semakin murah.

Kembali lagi ke QE. Meski yield sebuah perusahaan sebuah perusahaan turun karena terjadinya QE, namun uang yang diperoleh perusahaan yang bersangkutan (dalam bentuk pinjaman bank) bisa digunakan untuk menambah modal usaha, menarik lebih banyak tenaga kerja, dan pada akhirnya meningkatkan laba perusahaan. So, yield tersebut pada akhirnya akan meningkat kembali. Disisi lain meningkatnya money supply di masyarakat juga diharapkan akan mempercepat berputarnya roda perekonomian (baca: meningkatkan frekuensi transaksi jual beli), yang pada akhirnya meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Semua senang, semua menang.

Namun demikian, ada banyak asumsi yang harus dipenuhi agar kebijakan QE tersebut bisa mencapai tujuannya, yakni pertumbuhan ekonomi. Pertama, bank harus menyalurkan kreditnya dengan benar. Kedua, perusahaan harus menggunakan uang yang diperoleh dari bank dengan benar. Dan ketiga, masyarakat yang memperoleh uang (misalnya dari gajinya sebagai pegawai perusahaan) juga harus menggunakan uangnya dengan benar. Jika salah satu saja dari ketiga elemen tersebut tidak berfungsi dengan baik, misalnya ketika perusahaan memperoleh pinjaman bank untuk modal usaha namun ternyata usaha tersebut tidak berjalan dengan baik, maka pertumbuhan ekonomi tetap tidak meningkat, sementara money supply terlanjur meningkat. Ketika hal ini terjadi secara terus menerus, dimana beberapa institusi/perusahaan mulai berjatuhan dan bangkrut karena gagal membayar hutangnya, maka ketika itulah akan terjadi krisis besar di negara yang bersangkutan, yang juga bisa merembet ke negara-negara lainnya. Sebenarnya, hal itulah yang terjadi di Amerika pada tahun 2008 lalu, dan juga krisis-krisis serupa yang pernah terjadi sebelumnya lagi, dimana pemicunya boleh dibilang selalu sama: Adanya satu atau beberapa institusi keuangan besar yang bangkrut dan default (gagal membayar utangnya). Pada tahun 2008 lalu, institusi yang bangkrut tersebut adalah Lehman Brothers dan Merrill Lynch

Hubungan QE dan IHSG

Ketika para bank dan institusi-institusi keuangan di Amerika dan Jepang memperoleh duit cash dari QE ini, maka mereka kemudian akan memutarnya untuk memperoleh keuntungan. Cara yang paling simpel adalah dengan menyalurkannya ke perusahaan-perusahaan dalam bentuk kredit, kemudian menarik keuntungan berupa bunga. Cara lainnya lagi dengan menyalurkan dana cash tersebut ke instrumen-instrumen keuangan di negara-negara yang dianggap punya potensi pertumbuhan ekonomi, yang biasa disebut sebagai emerging market. Kebetulan, Indonesia adalah salah satu negara emerging market tersebut (thanks to pertumbuhan ekonomi kita yang mencapai lebih dari 6% per tahun), dan salah satu instrumen keuangan tersebut adalah saham. Itu sebabnya kalau anda perhatikan, salah satu penyebab banyaknya dana asing yang masuk ke bursa akhir-akhir ini, yang pada akhirnya meningkatkan harga-harga saham dan juga IHSG, adalah karena The Fed secara beruntun melakukan QE (terakhir QE keempat atau QE4 pada tanggal 12 Desember 2012 lalu), dan sekarang BOJ juga begitu. Tapi untuk QE yang dilakukan BOJ sepertinya tidak begitu berdampak terhadap IHSG, karena duitnya lebih banyak masuk ke bursa saham Jepang (Nikkei) sendiri.

Pertanyaannya sekarang, apakah masuknya dana asing ke bursa saham karena QE ini berdampak positif atau negatif? Jika kita perhatikan lagi tujuan The Fed dan BOJ ini dalam melakukan QE, yaitu untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi negara yang bersangkutan (Amerika dan Jepang), maka pengaruh dari QE tersebut terhadap Indonesia adalah tergantung dari bagaimana cara dana hasil QE tersebut masuk kesini. Jika institusi-institusi keuangan Amerika menggunakan dana QE untuk berinvestasi secara fisik (sektor riil) di Indonesia, seperti bikin perusahaan, mendirikan pabrik, membuka tambang dll, maka dampaknya perekonomian Indonesia akan turut tumbuh, termasuk perusahaan-perusahaan juga akan mengalami peningkatan modal dan laba.

Akan tetapi jika dana tersebut masuk ke instrumen-instrumen investasi yang sifatnya hanya diatas kertas (sektor non riil), termasuk diantaranya saham, maka dana QE tersebut tidak akan memberikan dampak apapun terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia, karena investasi tersebut tidak akan menaikkan nilai modal atau pertumbuhan/laba bersih para emiten (perusahaan yang terdaftar di bursa saham), melainkan hanya menaikkan harga sahamnya saja. Dan jika harga saham terus naik dengan cepat dan terus menerus karena masuknya dana QE ini, sementara nilai riil perusahaan tidak berubah atau hanya naik sedikit atau bahkan justru turun, maka itulah yang disebut dengan bubble. Bubble ini bisa meletus sewaktu-waktu jika dana QE tersebut ditarik keluar lagi dari bursa saham.

Jadi pertanyaannya sekarang, apakah dana/investasi asing yang masuk ke Indonesia lebih banyak ke sektor riil, atau lebih banyak ke instrumen investasi portofolio (saham dan obligasi)? Well, lebih gampangnya kita lihat langsung saja datanya, diambil dari Bank Indonesia, angka dalam jutaan US Dollar:

Tahun
2007
2008
2009
2010
2011
2012
Average
Investasi Sektor Riil/Direct Investment
6,928
9,318
4,877
13,771
19,241
19,853
12,331
Investasi Portfolio (saham & obligasi)
9,981
3,059
10,480
15,713
4,996
14,661
9,815
Investasi lainnya
(289)
3,446
3,794
3,987
4,954
6,123
3,669
Total
16,620
15,823
19,151
33,471
29,191
40,637
25,816

Nah, kabar baiknya, dalam enam tahun terakhir ini rata-rata investasi yang masuk ke Indonesia lebih banyak ke sektor riil, yaitu US$ 12.3 milyar per tahun, dibanding investasi yang masuk ke saham dan obligasi sebesar US$ 9.8 milyar per tahun. Disisi lain meski pertumbuhannya cenderung tidak stabil (naik dan turun), namun jumlah investasi asing di Indonesia mencapai rekor US$ 40.6 milyar di tahun 2012, tumbuh lebih dari dua kali lipat dibanding tahun 2006, dimana investasi tersebut lebih banyak masuk ke sektor riil (foreign direct investment/FDI).

Sementara data investasi asing di portofolio, berikut detailnya:

Tahun
2007
2008
2009
2010
2011
2012
Average
Saham
3,559
322
787
2,132
(326)
1,698
1,362
Obligasi
6,422
2,736
2,736
13,582
5,322
12,963
7,294
Total
9,981
3,059
10,480
15,713
4,996
14,661
9,815

Ternyata dari investasi asing yang masuk ke instrumen investasi portofolio, kebanyakan masuknya ke obligasi (debt securities). Malah pada tahun 2011, investasi asing di saham sempat turun meski investasi di obligasi masih cukup tinggi (mungkin ini yang menyebabkan IHSG cenderung stagnan sepanjang tahun 2011 lalu), tapi disisi lain investasi asing di sektor riil ketika itu mencatat rekor US$ 19.2 milyar (baca lagi tabel diatas), dan mungkin itulah salah satunya yang menyebabkan Indonesia mencatat rekor pertumbuhan ekonomi 6.5% pada tahun 2011. Sementara di tahun 2012, investasi asing di sektor riil tetap mengalir deras seperti sebelumnya, dan investasi asing di saham dan obligasi juga turut meningkat signifikan, terutama di obligasi. Namun total dana yang masuk ke saham sepanjang tahun 2012, yakni US$ 1.7 milyar, masih lebih sedikit dibanding rekor tahun 2007, sebesar US$ 3.6 milyar.

Kesimpulannya, kalau berdasarkan data diatas, IHSG kita pada akhir tahun 2012 kemarin belum bisa dikatakan bubble, karena jumlah dana asing yang masuk ke saham, yang turut mendorong IHSG keatas, masih jauh lebih sedikit ketimbang dana asing yang masuk ke obligasi ataupun sektor riil, yang mendorong pertumbuhan ekonomi. Termasuk jika investasi asing di obligasi juga dianggap sebagai ‘investasi diatas kertas’, maka total jumlahnya (investasi asing di saham dan obligasi) masih lebih kecil dibanding investasi di sektor riil. Penulis tidak tahu apakah investasi asing yang masuk ke sektor riil, saham, dan obligasi tersebut salah satunya juga berasal dari QE atau tidak. Namun yang jelas, masuknya investasi asing tersebut turut mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia secara riil, karena lebih banyak digunakan untuk modal kerja perusahaan dan lain-lain, ketimbang cuma buat beli saham, dan itu tentu bagus.

Tapi ngomong-ngomong, pada akhir tahun 2012 lalu kan IHSG masih di posisi 4,317. Sementara hari ini (tanggal 11 April 2013) IHSG sudah berada di posisi 4,926, atau sudah naik sekitar 14.1%. Sementara jumlah dana asing yang masuk ke bursa, jika dihitung dari awal tahun 2013, juga sudah mencapai Rp17.9 trilyun atau sekitar US$ 1.85 milyar. Jadi bagaimana tuh? Ya tinggal dihitung saja. Katakanlah hingga akhir Kuartal I 2013 lalu, yaitu hingga tanggal 31 Maret 2013, total dana asing yang masuk ke bursa adalah pas US$ 1.8 milyar. Jika hal ini berlanjut, dimana di kuartal-kuartal berikutnya di tahun 2013 ini dana asing yang masuk ke bursa juga mencapai US$ 1.8 milyar per kuartal, maka pada akhir tahun 2013, dana asing yang masuk ke BEI sudah mencapai US$ 7.2 milyar (1.8 dikali 4). Apakah itu angka yang realistis? Jelas tidak. Seperti yang bisa anda lihat di tabel diatas, rekor jumlah dana asing yang masuk ke bursa saham Indonesia tercatat pada tahun 2007, yaitu hanya sebesar US$ 3.6 milyar, dan bahkan angka itupun sudah sangat besar, dimana dampaknya IHSG langsung anjlok gila-gilaan di tahun berikutnya, yakni tahun 2008.

Karena itulah, penulis lebih melihat bahwa kedepannya arus dana asing yang masuk ke bursa saham akan lebih melambat, atau mungkin berkurang karena ditarik keluar untuk dipindahkan ke sektor riil. Karena jika dana asing tersebut terus masuk, dan IHSG juga terus saja naik, maka jujur saja penulis tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi di tahun 2014 nanti. Disisi lain, kalau melihat masuknya investasi asing yang jauh lebih banyak ke obligasi ketimbang saham, maka mungkin para pemilik dana asing ini lebih suka ‘main aman’ dengan mengejar fixed income berupa bunga obligasi sebesar 10 – 12% per tahun, ketimbang mengharapkan kenaikan dari harga saham, yang mungkin itu karena mereka melihat bahwa bursa saham di Indonesia masih cenderung volatile.

Hmm, apa lagi ya? Ya sudahlah, segitu saja dulu untuk minggu ini, kita lanjutkan lagi nanti.

Komentar

About Me mengatakan…
Nice post Pak Teguh..
Baru ngeh QE tuh apaan setelah baca tulisan ini :-)
Thanks a lot Pak...
Anonim mengatakan…
Bulan ini, asing di IHSG berangsung-angsur net sell dg volume lumayan tiap harinya dari yg periode sebelumnya selalu net buy. Apa hal ini ada kaitanya dg May Effect? Ataukah mmg IHSG sdh terlalu tinggi shg bbrp investor take profit? Klo melihat pertumbuhan ekonomi dan adanya pemilu di tahun dpn sy yakin prospek IHSG msh oke.
Anonim mengatakan…
Hi Pak Teguh, ulasan Bapak sangat mencerahkan saya yang tidak berlatar belakang ekonomi. Good Job!

Regards,
Alexander
Riobajaitem mengatakan…
Pak Teguh, kalo dana asing masuk di obligasi atau beli saham IPO / right issue, bukankah itu hampir sama dengan investasi riil ? Karena dana itu bisa dipakai oleh perusahaan untuk mengembangkan usahanya, menambah modal kerja atau investasi. Sehingga perekonomian Indonesia juga akan turut meningkat.
Hal ini akan berbeda bila dana asing masuk pada pasar sekunder saham/obligasi yang duitnya berputar di situ-situ aja ga bisa dipake oleh perusahaan untuk mengembangkan usahanya.
Anonim mengatakan…
Ulasan Bapak Teguh hampir sama dengan dgn Ulasan Bapak Parahita Minggu ini. Tapi menurut saya penjelasan Bapak lebih Lugas dan Gampang dimengerti.. Keep Posting Pak Teguh Hidayat.. Niceee
Teguh Hidayat mengatakan…
@ Rio. Betul sekali pak. Kalau dana asing yang masuk ke saham itu melalui IPO atau right issue, maka itu hampir sama dengan investasi riil, karena yang menerima uangnya adalah perusahaan, dimana uang tersebut selanjutnya dipakai untuk pengembangan usaha di lapangan. Demikian juga jika ada dana asing yang masuk ke obligasi melalui penawaran perdana, bukan melalui pembelian dari bondholder sebelumnya, maka yang menerima uangnya juga perusahaan.

Sayangnya nggak ada data detail soal berapa dana asing yang masuk ke saham/obligasi melalui penawaran dari perusahaannya, atau dari penjualan yang dilakukan pemegang saham/obligasi sebelumnya. Jadi saya asumsikan kemungkinan terburuknya saja, yaitu bahwa semua dana asing yang masuk ke saham/obligasi, masuknya adalah melalui pasar sekunder.
Anonim mengatakan…
Artikel yang bagus dan saya setuju dengan pola pikir IHSG terkerek oleh QE Amerika (dan mungkin Jepang) dan saya juga sependapat bahwa bursa kita belumlah memasuki tahap bubble walaupun, kecenderungan ke arah tersebut untuk beberapa sektor mulai terlihat mengingat saham-saham favorit selalu menjadi menu wajib bagi para pemodal. Adapun hal ini tetap bisa menjadi bumerang yang sangat menyakitkan tidak hanya bagi sang negeri adidaya, namun seluruh dunia ketika gelontoran uang triliunan dollar tidak mumpuni untuk memacu pertumbuhan riil sesuai kehendak the fed, melainkan hanya dinikmati oleh bankir-bankir besar dan juga pemodal-pemodal raksasa yang kemudian juga akan berpesta pora ketika situasi porak-poranda, tanpa bermaksud mendukung conspiracy theory - namun kita juga tidak dapat menampik kemungkinan hal tersebut, karena memang dibutuhkan cukup keajaiban untuk menghindari krisis global di tahun-tahun mendatang, menilik resesi berkepanjangan di negara-negara maju saat ini.
Anonim mengatakan…
Nice post pak teguh,,
dengan adanya kebijakan QE semoga perekonomian kita kena imbas positifnya untuk terus tumbuh dan berkembang.
Anonim mengatakan…
Pak Teguh, berdasarkan data yang Bapak sampaikan apakah artinya asing tetap net-buy (walaupun jauh mengecil) ketika bursa Jakarta anjlok di tahun 2008-2009? Artinya tetap ada kemungkinan kalo arus dana asing yang masuk melambat, bursa Jakarta bisa anjlok lagi? Mohon penjelasan dan terima kasih banyak sebelumnya. (Asmadi.Jakarta)
Anonim mengatakan…
Selamat malam, Pak. Pak, negara yang menerapkan kebijakan Quantitative Easing ini kan Amerika Serikat dan Jepang. nah, yang ingin saya tanyakan, kebijakan QE yang dilakukan Amerika/yang dilakukan oleh Jepang yang memiliki dampak terbesar bagi indonesia? mohon penjelasannya. terimakasih, Pak. sukses selalu.
Hanya sayangnya uang QE itu dari hasil printing money dalam kondisi fundamental ekonomi riil AS yang melemah alias print money on the thin air alias mencetak uang secara digital atau computerized tanpa didukung oleh laju pertumbuhan ekonomi riilnya. Dimana semestinya uang QE the Fed (bank swasta yang menyelamatkan dirinya sendiri yaitu bank pendirinya dari 5 bank besar AS yang terancam bangkrut dengan pemeo Too Big to Fail). Baca blog ini juga : 1.Efek Kebijakan Moneter Zero Rate dan Program Quantitative Easing (QE) akan berpotensi menuju kondisi Ekonomi Deflasi bahkan Depresi Besar http://trendekonobisnis-1.blogspot.com/2012/03/kebijakan-moneter-yang-kurang.html ; 2. Efek domino akibat dari Manajemen Risiko yang tidak tepat dan Misalokasi Investasi dapat menimbulkan Gejolak dan Krisis Ekonomi http://trendekonobisnis-1.blogspot.com/2012/03/domino-effect-and-invalid-management.html ; 3. Bio Manajemen Risiko : Bagaimana Membuat Perencanaan Strategis dari Negara dan Perusahaan agar mampu mencegah dan menghindari berbagai Risiko dalam Dinamika Ekonomi dan Bisnis http://trendekonobisnis-1.blogspot.com/2014/05/bio-manajemen-risiko-bagaimana.html ; 4. Bio-Ekonomi Natural dapat membantu Perusahaan dan Negara untuk menghindari berbagai Risiko pada Momentum Time Series dari Fluktuasi Ekonomi pada masa Kesejahteraan ataupun Resesi Ekonomi http://trendekonobisnis-1.blogspot.com/2014/05/bio-ekonomi-natural-dapat-membantu.html

ARTIKEL PILIHAN

Live Webinar Value Investing, Sabtu 16 Maret 2024

Ebook Investment Planning Kuartal IV 2023 - Sudah Terbit!

Laporan Kinerja Avere Investama 2022

Peluang dan Strategi Untuk Saham Astra International (ASII)

Indo Tambangraya Megah: Masih Royal Dividen?

Indah Kiat Pulp & Paper (INKP) Bangun Pabrik Baru Senilai Rp54 triliun: Prospek Sahamnya?

Prospek Saham Energi Terbarukan, Kencana Energi Lestari (KEEN)