Ketika Harga Saham Tidak Lagi Berarti Apapun

Beberapa hari lalu, manajemen Bank BTPN (BTPN) mengumumkan bahwa Sumitomo Mitsui Banking Corporation (Sumitomo) kembali membeli 15.7% saham BTPN melalui pasar negosiasi, dengan harga pembelian Rp6,500 per saham, atau jauh diatas harga pasar ketika itu yakni Rp4,300 per saham. Dengan demikian, Sumitomo resmi memegang 40% saham BTPN, namun inti ceritanya bukan terletak disitu, melainkan: Kenapa kok Sumitomo mau-maunya menggelontorkan dana hingga Rp15.2 trilyun untuk mengambil alih 40% saham BTPN di harga Rp6,500, padahal harga BTPN itu sendiri di pasar cuma Rp4,300?
               
Untuk memahami hal ini, mungkin kita bisa balik lagi ke tahun 2009 dulu dimana penulis untuk pertama kalinya memulai karier investasi di pasar saham, ketika itu tentu saja dengan dana yang amat sangat kecil, yang disisihkan dari gaji penulis sebagai seorang karyawan di sebuah perusahaan (kalau sekarang sih saya sudah jadi pengangguran).

Nah, sebagai investor kecil, termasuk masih memiliki emosi yang labil, ada satu hal yang langsung terpatri di benak penulis ketika itu, yakni: Sepertinya kok nasib investasi kita sangat ditentukan oleh pasar, bandar, atau apapun itu namanya, dan kita nggak punya kuasa apapun untuk melawan mereka, termasuk analisis yang kita buat capek-capek sebelumnya juga nggak berarti apa-apa. Contohnya, ketika saya membeli saham Bank BRI (BBRI), saya kemudian yakin akan pilihan saya tersebut karena secara fundamental, BBRI adalah saham yang sangat bagus.


Namun ternyata kalau IHSG turun maka dia juga ikut turun, dan alhasil portofolio saya seketika dihiasi warna merah. Ketika itu, jujur saja, sangat sulit untuk bisa berkomitmen untuk investasi jangka panjang, untuk bisa melihat bahwa BBRI ini (dan juga saham-saham berfundamental baik lainnya) pada akhirnya akan naik terus setelah jangka waktu yang tidak sebentar. Yang ada kalau saham yang saya pegang turun, maka meski saham tersebut belum dijual, saya kemudian merasa bahwa kita benar-benar sudah mengalami kerugian, dan bahwa keputusan investasi yang saya buat ternyata keliru.

Itu untuk saham blue chip seperti BBRI. Sementara untuk saham-saham yang kecil-kecil, yang pergerakannya lebih ekstrim dan juga tidak terlalu dipengaruhi pasar, disitulah saya mulai merasa tidak berdaya dihadapan ‘bandar’, atau 'asing'. Penulis pernah mengalami satu kondisi dimana penulis memasukkan seluruh dana yang ada hanya pada satu saham (karena sangat yakin akan kualitas fundamental dari saham tersebut), dan kemudian saham itu entah kenapa bukannya naik tapi malah anjlok sampai sekitar 10%, padahal IHSG justru lagi naik! Bisakah anda bayangkan bagaimana stress-nya saya ketika itu???

Namun seiring dengan berjalannya waktu, ketika dana yang dipegang mulai membesar, cara pandang penulis terhadap pergerakan harga saham di pasar mulai berubah.

Jadi ceritanya begini. Beberapa waktu lalu, sudah cukup lama sih, penulis berniat untuk membeli satu saham tertentu yang setelah dipelajari bolak-balik, saham ini memiliki fundamental yang bagus dan harganya juga murah. Saham itu adalah Ekadharma International (EKAD). Ketika itu harganya masih di 360-an, dan saya hendak membelinya dalam jumlah yang lumayan banyak.

Tapi masalahnya EKAD ini tidak likuid, dan ditambah lagi dengan kondisi pasar yang ketika itu sedang bearish, maka volume transaksi perdagangan EKAD sangatlah sepi, dimana hampir tidak ada orang yang pasang bid di EKAD ini, dan juga sebaliknya, jumlah lot di kolom offer juga sangat sedikit. Alhasil, kalau penulis berniat untuk membelanjakan semua dana yang disiapkan secara sekaligus, maka penulis harus hajar kanan beberapa fraksi harga, dan itu artinya EKAD akan langsung terbang ke harga 400-an.

Namun kalau begitu caranya maka saya nggak akan bisa dapetin EKAD ini diharga yang saya mau, yakni 360-an tadi. Jadi kemudian strategi yang dilakukan adalah membeli EKAD ini dengan cara menyicil. Hampir setiap hari, kalau ada yang pasang offer EKAD ini sebanyak 20 lot diharga 365, misalnya (ketika itu 1 lot masih 500 lembar saham), maka sebanyak itulah saya akan ambil EKAD ini. Kalau besok-besok ada yang jual EKAD di harga yang lebih rendah lagi, misalnya 350, maka ya sudah, saya sikat juga di harga segitu. Pada titik inilah, saya justru merasa beruntung ketika EKAD ini turun, karena dengan demikian saya bisa membelinya lebih banyak lagi.

Dan itu adalah perasaan yang aneh, karena biasanya kalau saham yang kita pegang turun maka kita akan stres, bingung, bahkan depresi, tapi ini malah sebaliknya!

Disisi lain, ketika penulis akhirnya sukses membeli EKAD ini pada jumlah yang lumayan di harga 360-an, maka ketika harga EKAD ini di pasar naik sampai 400-an, itu juga tidak berarti apa-apa. Kenapa? Karena kalau saya memutuskan untuk keluar dari EKAD ini, maka saya tidak akan bisa menjualnya secara sekaligus pada harga 400 tersebut, mengingat volume bid-nya juga nggak banyak. Kalau penulis memaksakan diri untuk menjual EKAD ini secara sekaligus, maka sahamnya kemungkinan akan langsung anjlok seketika, karena jumlah bid yang ada tidak akan bisa menampung semua saham yang saya jual.

Sekali lagi, pada titik inilah, penulis mulai menganggap bahwa harga saham di pasar tidak berarti apa-apa. Hanya karena saham yang saya pegang harganya naik maka bukan berarti saya langsung untung, dan demikian juga sebaliknya, hanya karena saham tersebut turun maka bukan berarti saya rugi. Padahal, terus terang, penulis juga tentu saja bukan investor yang gede-gede amat, malah terbilang masih kelas anak teri lah jika dibandingkan sama Sumitomo atau investor institusi lainnya yang dananya tidak terbatas. Tapi jika penulis saja sudah tidak peduli dengan harga saham di pasar, maka apalagi mereka, para ikan paus ini?

Nah, jadi balik lagi ke soal Sumitomo dan BTPN, jika ada pertanyaan kenapa kok Sumitomo mau beli BTPN ini di harga 6,500? Maka jawabannya adalah karena Sumitomo tentu saja nggak bisa membeli BTPN ini dengan cara membelinya di pasar, karena jumlah offer-nya sangat sedikit, sementara mereka berniat untuk membeli secara gelondongan, yakni totalnya hampir 2 milyar lembar saham. Jika Sumitomo memaksakan diri untuk membeli saham BTPN di pasar reguler pada harganya 4,000-an, maka mereka nggak akan bisa ngambil banyak (sampai puluhan juta lot), tanpa membuat harga saham BTPN langsung terbang entah sampai berapa. Jadi mendingan ambil paketan di harga 6,500 aja. Dan kenapa harganya kok 6,500? Ya karena menurut mereka, harga itulah yang cukup reasonable alias wajar, jika mempertimbangkan fundamental BTPN dll.

Disisi lain bagi pemegang saham BTPN sebelumnya, yakni TPG Capital, maka mereka juga nggak keberatan menjual 40% saham BTPN ke Sumitomo pada harga 6,500, karena mereka tidak mungkin menjual BTPN ke investor publik pada harga segitu secara sekaligus sebanyak sekian puluh juta lot. TPG Capital adalah perusahaan venture capital, dimana mereka bisa menggunakan dana hasil penjualan saham BTPN untuk ditanamkan di perusahaan kecil lainnya untuk kemudian dikembangkan menjadi besar, sama seperti yang mereka lakukan terhadap BTPN, enam tahun yang lalu.

Sementara bagi Sumitomo, langkah mereka masuk ke BTPN adalah untuk memegang bank ini untuk seterusnya, karena memang bisnis mereka di perbankan.

Tapi intinya sekali lagi, pada kasus transaksi jual beli saham antara dua investor besar diatas, maka harga BTPN di pasar sama sekali tidak berarti apapun. Kalau harga BTPN di pasar entah karena apa berada di level 10,000, misalnya, maka kemungkinan nilai transaksinya akan tetap dilakukan di harga 6,500, karena kalau lebih dari itu maka Sumitomo nggak akan mau beli. Ingat bahwa Sumitomo ini adalah value investor yang hanya mau membeli saham kalau harganya wajar atau undervalue, bukan trader yang membeli saham kalau saham itu break out.

Okay, mas Teguh. Saya mengerti sekarang. Tapi kemudian yang jadi pertanyaan saya, kalau saya beli saham A dalam jumlah banyak, kemudian saham itu naik sekian persen, lalu dari mana saya bisa dapet untung kalau saya nggak bisa menjualnya karena nggak ada yang nampung??

Nah, untuk menjawab pertanyaan ini maka anda bisa bertanya kepada pak Lo Kheng Hong. Menurut anda kenapa beliau mau mengeluarkan sampai Rp85 milyar (mungkin sudah lebih sekarang) untuk membeli saham yang tidak likuid seperti Petrosea (PTRO)? Sudah jelas bahwa ia tidak akan bisa keluar lagi dari PTRO ini karena hampir tidak mungkin ada investor publik lain yang sanggup menampung barang sebanyak itu, tapi ya ngapain juga dia keluar? Memangnya uang 85 milyar tadi mau dipake buat beli apa lagi???

Tapi dalam kasus lain, pak LKH pernah juga beli saham Panin Financial (PNLF) secara menyicil di harga 100 – 120, hingga akhirnya beliau megang PNLF tersebut cukup banyak (kalau gak salah senilai delapan puluh milyar Rupiah), sehingga beliau jadi nggak bisa keluar. Namun ketika PNLF akhirnya naik sampai 250-an, maka ketika itulah beliau keluar, meski juga harus dengan cara menyicil karena gak bisa keluar sekaligus. Tapi hasilnya? Well, cuan seratus persen!

Poinnya adalah, percaya atau tidak, jika anda membeli saham berdasarkan value-nya, dan anda sudah bisa nggak lagi peduli terhadap harga dia di pasar, maka dalam jangka panjang hasilnya akan tetap menguntungkan, bahkan keuntungannya bisa jauh lebih besar ketimbang trading. Ingat bahwa pak LKH tidak memegang PNLF ini selama sehari, seminggu, atau sebulan, melainkan sekitar dua tahun.

Selain itu kalau berdasarkan pengalaman, ketika sebuah saham sudah dihargai sangat rendah, entah itu karena IHSG lagi anjlok atau memang saham itu sendiri yang turun, maka biasanya likuiditasnya akan menjadi seret, biasanya karena pemegang saham (yang nyangkut) sudah malas jual, tapi yang mau beli pun nggak berani masuk, dan alhasil tidak terjadi transaksi. Tapi kalau saham ini pada akhirnya naik juga, maka justru ketika itulah transaksi jual belinya akan menjadi ramai, dimana orang-orang yang membeli dan yang menjual akan sama banyaknya. Kalau kita pakai contoh PNLF, coba perhatikan volume perdagangannya ketika harganya masih di 100-an dengan ketika harganya sudah di 260-an seperti sekarang ini: Jauh lebih likuid sekarang kan?

Jadi sekali lagi, anda nggak usah khawatir ketika membeli saham yang tidak begitu likuid, hanya karena anda khawatir kalau-kalau anda nggak bisa keluar. Karena ketika saham tersebut pada akhirnya naik juga, maka anda tetap akan bisa keluar karena akan banyak investor lain yang dengan senang hati menampungnya.

Selain itu, jika anda memiliki visi bahwa anda akan menjadi seorang investor besar suatu hari nanti, maka saham apapun di BEI ini pada dasarnya nggak likuid, bahkan termasuk saham-saham blue chip, jadi pada akhirnya harga saham di pasar tetap saja tidak berarti apapun. Ingat bahwa hanya karena dana kita pada hari ini hanya Rp5 juta, misalnya, maka jangan bayangkan bahwa sepuluh tahun lagi dana kita akan tetap segitu, melainkan (seharusnya) akan tumbuh entah sampai berapa. Jadi suatu hari nanti, anda juga akan sampai pada satu titik dimana anda hanya bisa membeli saham tertentu secara menyicil, dan juga sebaliknya, hanya bisa menjualnya secara menyicil pula. Jika anda benar-benar sudah menjadi investor besar, maka bahkan anda juga hanya bisa membeli saham sekelas BBRI atau Astra International (ASII) dengan cara menyicil, atau harus melalui pasar negosiasi.

Okay, lalu kalau harga tidak lagi berarti, lalu apa yang berarti dari sebuah saham? Yang berarti adalah value-nya. Anda bisa menganggap bahwa investasi anda di saham benar-benar bertumbuh jika nilai riil (aset bersih, laba bersih dll) dari perusahaan yang anda beli sahamnya tersebut memang bertumbuh seiring dengan berjalannya waktu, tak peduli meski sahamnya nggak kemana-mana, atau sebaliknya, bergerak naik dan turun secara fluktuatif. Intinya, selama fundamental dari saham yang kita pegang memang bagus dan perusahaannya juga terus bertumbuh, maka sahamnya bisa terus kita hold entah sampai kapan. Dan kalau nanti sewaktu-waktu dia turun, entah itu karena IHSG anjlok atau dia turun sendiri, maka kalau ada dana kita bisa beli lagi, tapi kalau nggak ya biarin aja, termasuk kalau dia naik juga biarin aja.

Dan memang seperti itulah cara berpikir investor kakap seperti Sumitomo, dimana yang penting bagi mereka saat ini adalah bagaimana caranya agar BTPN bisa menghasilkan keuntungan yang lebih besar lagi kedepannya, atau paling tidak terus mempertahankan kinerjanya pada saat ini, dan bukan soal apakah harga saham BTPN di pasar akan naik atau turun. Okay, dana yang kita miliki tentu saja hanya secuil dibandingkan dengan dana mereka. Tapi jika kita mengikuti cara berpikir mereka dan cara mereka dalam berinvestasi, maka bisa saja kita juga akan menjadi sebesar mereka suatu hari nanti, bukan begitu?

NB: Penulis membuat CD rekaman seminar dengan tema nilai intrinsik. Anda bisa memperolehnya disini.

Komentar

greenlampung mengatakan…
sekali lg, tulisan yg menginspirasi dan memberikn cara pandang yg lbh luas... terima kasih utk slalu berbagi pak teguh...
Unknown mengatakan…
Artikel yang sangat2 menarik. Melihat saham dari sudut pandang yang lain..
Anonim mengatakan…
Setuju sekali dgn pemikiran mas teguh.Ternyata mas teguh ada byk kesamaan dgn saya ,dr segi saham yg dikoleksi dan cara berpandang sbagai value investor . Entah itu kebetulan atau tidak tetapi yg saya temukan sgt sering selagi saya mengakumulasi saham tsb tdk lama kemudian mas teguh membahasnya. Contoh bbri,asii,mice,ekad,btpn,eraa. Compound interest adlh hal yg saya kejar dlm investasi ini mas teguh :)
Terus berkarya mas ,great job!

fj
Anonim mengatakan…
ketika membaca posting ini, jadi teringat ama admf di pertengahan 2009, ketika Danamon memborong saham adira dr 75% ke 95% dengan rp 7000an , harga di pasar 4000 an, sy membeli di harga 4200 dan sempat turun menjadi 3300-3500. saat ini sy baru terjun sebagai investor 1 thn, masih tidak mengerti fundamental, tapi pemikiran sy simple z, masa danamon z institusi besar z berani beli 7000an, sy da beli lebih murah dr danamon, masa ga berani hold, awal 2010 akhitnya ADMF mulai bergerak menuju 9000an , dan sy menjualnya, ADMF adalah cuan 100 % pertama sy ;) sy menjualnya, kl dipikir skrg, dikit nyesal juga karna dividen admf dpt mencapai 20%/thn dari modal sy saat beli, skrg sy bljr untuk hold lebih lama, ga peduli naik turun harga...yang penting secara jangka panjang mengalahkan IHSG.
Anonim mengatakan…
mengenai likuiditas saham yang kecil untuk saham yang tidak diharga pasar, sy setuju dengan mas Teguh... ketika pertengahan 2009 sy memegang asri di 120 an ( ketika itu transaksi hariannya kecil banget, ketika harganya naik terus transaksi harian meningkat terus hingga ari ini) begitu juga ARNA di akhir 2011 seret banget transaksi hariannya, untuk jual barang 50 jt z susahnya minta ampun, padahal wkt itu arna di hargai 300an ( sebelum stock split ). Dan skrg sektor multifinance dan asuransi juga mengalami hal demikian skrg, wlpn pertumbuhannya bagus tapi belum dihargai pelaku pasar, tingal tunggu pasar menghargai kedua sektor ini.kapan di hargai, sy tidak tahu...tapi saya yakin sektor ini akan dihargai pasar.
Anonim mengatakan…
Artikel yg bagus sekali Pak Teguh, awal invest disaham saya juga berpikir saya akan menjadi investor jangka pjg, karena saya blm ngerti analisa saham dan menurut yg saya baca dan dengar dlm jangka pjg saham selalu akan naik. Tp setelah saya perhatikan tdk semua yg invest jangka pjg akan memberikan return sebanding. Kebetulan kalau pas akumulasi saham yg harganya bbrp tahun kmdn naik memang akan untung. Tapi Kalau bagi yg akumulasi misal HRUM di Harga 9000 ditahun 2011 dan 3 thn kemdian menjadi 2000 tentu akan lain ceritanya. Misal invest 90 juta, 3 thn kmdn menjadi 20 juta. Pdhal kalau 90 juta dideposito, 3 thn kmdn paling ga jadi 120 juta. 120 berbanding 20. Waktu saya menghadiri seminar di salah satu perusahaan sekuritas, analis sekuritas tersebut cerita kalau dia adalah type investor jangka panjang, salah satu saham yg beliau akumulasi adalah PGAS, krn menurut beliau sampai kapan pun org msh butuh gas. Tapi setelah saya perhatikan, misal tahun lalu invest diharga 6200. Tepat setahun kemudian saat ini harganya 5200. Andai invest 124 juta, tahun ini menjadi 104juta. Kalau menurut saya agak habis waktu. Bandingkan dengan yg beli saham LPKR di february lalu misal invest 100 juta. Hanya dlm waktu 3 minggu naik 30 persen menjadi 130 juta.
Kalau menurut saya pasar saham ini kurang lebih kasarnya adalah pasar bagi yg Kaya merampok secara legal para pemain kecil. Terutama Asing merampok negara seperti indonesia. Contoh tahun lalu, asing akumulasi saham diharga murah sekali, harga naik bahkan sampai 50-60 persen, properti bisa 100 persen. Asing hembuskan isu tapering, diikuti aksi jual dan capital outflow. Rupiah dibuat melemah. Misal mrk dtg dgn 1M Rupiah, invest setiap 10Trilyun, bisa untung hingga katakan 15 T Rupiah, 15T rupiah tersebut ditukarkan dolar diharga 10ribu, dpt lah 150.000.000.000 USD. 150Billion dolar ini ditukarkan rupiah diharga 12.000 rupiah. Total dapat 18 Trilyun. 18 T ini digunakan kembali untuk membeli saham property yg dr awal januari hingga maret bisa memberikan return hingga 50 persen. Bisa untung dr 18 T menjadi 27 Trilyun. Hanya dlm waktu sekitar 1 tahun uang asing dr 10 T menjadi 27 T. Gimana ga yg kaya semakin kaya, yg biasa aja spt Indonesia ya biasa aja. Sengaja dibuat ga semakin miskin, biar next year tetap ada yg dikeruk keluar.
Kristo
Unknown mengatakan…
Artikel ulasan yang menarik mas Teguh, ini hanya bisa didapat dari pengalaman, baik diri sendiri maupun orang lain.
Namanya juga investor, mesti butuh waktu, dan harus sabar. Selama fundamentalnya kuat. Hanya seperti saya yg baru belajar di saham ini kadang tidak fokus. Sudah mantap pegang LPKR, krn tidak bergerak.. wkt ambil 945. akhirnya dilepas ke 930 (loss) krn ada keuntungan di saham lain. Tapi sekarang sudah tembus 1200. Hal ini karena terpengaruh dg teman2 yg hobby trading dan test jantung. Artikel ini menjadi pembelajaran agar menjadi value investor.
Unknown mengatakan…
Ya itulah value investor , sejatinya bukan turun naik nya harga pasar saham yg diamati, tapi fundamental dan prospek laba emiten serta margin of safetynya yg terus dinilai.
Anonim mengatakan…
Bagus pak artikelnya. Karena sebenarnya saham mewakili sebagian kecil nilai perusahaan. Terima Kasih pak artikelnya.
Buat pak Kristo, saya sendiri masih ada kebingungan dengan pasar saham. Ada yang mengatakan adanya bandar saham yang menggerakkan harga.
Mungkin pak teguh bisa membahas tentang bandar saham suatu saat
Anonim mengatakan…
Kalau menurut saya, bandar mungkin ada terutama yg main di saham kapitalisasi kecil.
Untuk dana asing yg saya ceritakan diatas mungkin mirip spt cerita Pak Teguh. Asing mempunyai dana yg sangat besar , miliaran dolar, katakan 10 Trilyun, kalau dia beli ASII atau BBRI sekaligus dia tidak akan bisa dpt harga ASII misal di harga 7000 tanpa membuat harga ASII terbang ke 10.000. Jadi yg asing lakukan adalah membeli perlahan lahan, ada yg Offer, asing Beli. Sampai akumulasi sekitar 7 Trilyun, sisa 3 Trilyun baru asing gunakan teknik Buy sekaligus untuk menerbangkan harga ASII ke harga 8000. Nah di harga 8000, Asing perlahan lahan jual, setiap ada yg Bid, dia jual di harga 8000. Investor kecil yg melihat harga asii terus naik ke 8200, 8400 tentu akan ramai ramai membeli, nah asing pelan pelan menjual. Sampai diharga 9000, habis stock, tinggalkan ASII, biarkan mekanisme pasar atau gunakan sebagian sisa saham ASII untuk sell diharga rendah, investor lain panik krn setiap hari semakin rendah. Akhirnya semua org ramai ramai Sell.
Jadi yg Pak Teguh lakukan dengan mengumpulkan diharga bawah sudah mirip bandar, hanya saja tak ada maksud. Ketika jumlah saham beredar semakin sedikit karena hanya ada yg mau membeli (krn perusahaan berfundamental baik), tidak ada yg mau menjual, maka harga cenderung akan naik.
Kristo.
Anonim mengatakan…
LPKR adalah contoh saham value ketika harganya masih di 900an, namun saya beli di 950 lalu jual di 910 karena melihat saham lain naik sedangkan LPKR masih diam ditempat. Sekarang?? LPKR melambung sementara saya masih diam di tempat. Artikel ini sepertinya ditulis untuk saya.
Anonim mengatakan…
Resiko terbesar untuk saham kurang liqud adalah jika LK memburuk, maka anda akan kesulitan membuang saham tsb dan harga langsung turun tajam, maka akan menjadi Nyangkuter Parah
Hady mengatakan…
sedikit-sedikit lama-lama akan menjadi bukit, pilih saham yang likuid lebih penting...
Anonim mengatakan…
Pak Teguh ,bisa dibahas fundamental saham RUIS..? Thanks.
Dana mengatakan…
Ternyata begitu toh pola pikir jika sudah punya dana lumayan gede. Nggak bisa lincah lagi seperti para trader retail.
Anonim mengatakan…
http://www.imq21.com/news/read/220395/20140404/102314/Ketika-Harga-Saham-Tidak-Berarti-Lagi.html Mas teguh, apakah ini tulisan mas teguh juga, tapi di bawahnya kok authornya beda? trims. It's all about integrity. xo9.
Teguh Hidayat mengatakan…
@Anonymous Tulisan di Imq21 itu tulisan wartawan yg copy paste artikel saya ini. Oke deh nanti saya bilang ke mereka untuk stop
Teguh Hidayat mengatakan…
@Anonymous Saya sudah mengatakan kepada pihak imq21 untuk berhenti menyalin artikel dari sini. Mohon kabari kalau mereka masih melakukannya, thanks
Harga Saham mengatakan…
dengan membaca artikel di atas maka dapat dikatakan bahwa analisa total pada sebuah saham yang akan kita beli sangatlah penting, jangan hanya terpaku pada fundamentalnya saja, tapi analisa teknikalnya pun juga sangat penting untuk menghidari kerugian permanen
Anonim mengatakan…
Artikel lama, tapi membangkitkan kepercayaan saya lagi.. kondisinya sekarang emang lagi kaya gitu.. porto saya banyak bgt di lippo cikarang, menurut hitung2an valuasi secara fundamental sih avg saya beli udah termasuk murah, dan perusahaannya memang bagus, growth terus, prospek juga bagus.. tapi kondisinya sekarang malah turun lagi sampe floating loss 35%, setengah hati masih percaya sama kinerja perusahaan, prospek dan percaya kalau harga sahamnya akan kembali ke harga wajarnya.. setengah hati lagi pesimis kalo liat harga sahamnya.. abis baca tulisan ini jadi agak lebih semangat buat hold.. thanks pak
Raharjo mengatakan…
Perlu kesabaran juga untuk investasi saham.

ARTIKEL PILIHAN

Live Webinar Value Investing, Sabtu 16 Maret 2024

Ebook Investment Planning Kuartal IV 2023 - Sudah Terbit!

Laporan Kinerja Avere Investama 2022

Peluang dan Strategi Untuk Saham Astra International (ASII)

Indo Tambangraya Megah: Masih Royal Dividen?

Indah Kiat Pulp & Paper (INKP) Bangun Pabrik Baru Senilai Rp54 triliun: Prospek Sahamnya?

Prospek Saham Energi Terbarukan, Kencana Energi Lestari (KEEN)