History & Future of Indonesia Stock Exchange

Dengan market cap senilai Rp5,070 trilyun atau setara US$ 381 milyar pada 19 Juni kemarin, Bursa Efek Indonesia atau BEI sama sekali bukan merupakan salah satu bursa saham terbesar di dunia. However, kalau kita bicara sejarah, maka BEI memiliki latar belakang sejarah yang ternyata lebih kompleks dari yang mungkin anda bayangkan. Termasuk, believe it or not, perusahaan pertama di dunia yang sahamnya diperdagangkan di Bursa Saham, mereka bukan berkantor di London, New York, ataupun Tokyo, melainkan.. Jakarta!

Perusahaan tersebut adalah Vereenigde Oostindische Compagnie, atau disingkat VOC (kalo orang jaman dulu bilang: kompeni). VOC adalah perusahaan milik Pemerintah Kerajaan Belanda yang bergerak di bidang perdagangan rempah-rempah asal ‘India Timur’, alias Indonesia. VOC didirikan pada tahun 1602 di Amsterdam, dan menjadi perusahaan pertama di dunia yang menerbitkan saham dan obligasi. Pada tahun 1602 itu pula, Bursa Efek Amsterdam didirikan sebagai wadah untuk perdagangan saham dan obligasi tersebut. Beberapa tahun kemudian, tepatnya tahun 1619, VOC membuka kantor (atau lebih tepatnya markas) di Jayakarta alias Jakarta, dan selanjutnya lebih banyak beroperasi di kota tersebut ketimbang Amsterdam itu sendiri.

So, meski BEI hingga saat ini masih berstatus sebagai ‘anak bawang’ bahkan jika dibanding Bursa Tokyo, Shanghai, atau Australia (kalau dibanding Wall-Street kayanya kejauhan), namun markas BEI, yakni Jakarta, merupakan saksi dari kegiatan operasional perusahaan ‘tbk’ pertama di dunia, pada hampir empat abad yang lalu.

Namun demikian, terkait pasar modal itu sendiri, maka sejarah pasar modal di Indonesia baru dimulai pada tahun 1912 dengan berdirinya Bursa Efek Batavia (BEB) di Batavia, alias Jakarta (pada tahun 1600-an, meski perusahaannya beroperasi disini, namun saham VOC diperdagangkan di Amsterdam, bukan Jakarta). BEB ini kemudian menjadi wadah transaksi jual beli saham dan obligasi perusahaan-perusahaan Belanda yang beroperasi di Indonesia, dan juga obligasi pemerintah. Seiring dengan perkembangannya yang pesat, pada tahun 1925, BEB membuka cabang di Semarang dan Surabaya.

Sayangnya pada tahun 1929, Bursa Wall-Street di Amerika jatuh dan hancur berantakan, disusul oleh great depression yang melanda seluruh dunia, tak terkecuali Indonesia. Karena keadaan ekonomi tidak juga kembali membaik setelah beberapa tahun, plus adanya peristiwa perang dunia kedua dimana Negeri Belanda dicaplok oleh Nazi Jerman pada tahun 1939, membuat seluruh kantor cabang BEB akhirnya ditutup pada tahun 1940. Tahun 1945, Presiden Soekarno memproklamirkan kemerdekaan Indonesia. Dan setelah perang revolusi selama 5 tahun, Pemerintah Belanda akhirnya mengakui kedaulatan Indonesia pada tahun 1950. Pada tahun 1952, BEB kembali dibuka namun kali ini dengan nama Bursa Efek Jakarta alias BEJ.

Sayangnya karena berbagai masalah nasional seperti kasus sengketa Irian Barat, inflasi yang sangat tinggi, hingga krisis ekonomi pada pertengahan tahun 1960-an, pada akhirnya menyebabkan BEJ sama sekali tidak beroperasi layaknya sebuah Bursa Saham, selain karena perusahaan-perusahaan yang tadinya sahamnya diperdagangkan di BEJ, semuanya ‘pulang kampung’ ke Belanda atau bubar sama sekali. Barulah ketika tampuk kekuasaan berpindah ke tangan Presiden Soeharto pada tahun 1967, dan perekonomian mulai pulih pada tahun 1970-an, BEJ di-restart lagi. Dan kali ini BEJ benar-benar beroperasi seperti layaknya Bursa Saham pada umumnya, ditandai dengan IPO PT Semen Cibinong (SMCB) pada tahun 1977. Dengan demikian, SMCB, yang sekarang bernama PT Holcim Indonesia, adalah perusahaan pertama yang melantai di Bursa Saham Jakarta. Lima tahun kemudian, yakni tahun 1982, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) diluncurkan dengan posisi awal 100, sebagai patokan kenaikan atau penurunan harga dari saham-saham yang diperdagangkan di BEJ.

Jadi Pasar Modal Indonesia yang ada saat ini, secara resmi dibuka sejak tahun 1977.

Pad tahun-tahun berikutnya, BEJ berkembang dengan sangat lambat dimana pada tahun 1987 baru terdapat 24 perusahaan Tbk di Indonesia. Hingga akhirnya pada tahun 1987 tersebut Pemerintah mengeluarkan banyak regulasi baru yang pada intinya 1. Mempermudah perusahaan untuk go public, 2. Mempermudah masyarakat untuk turut berinvestasi di pasar modal, dan 3. Pembentukan lembaga-lembaga pendukung pasar modal, seperti Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI), Kliring dan Penjaminan Efek Indonesia (KPEI), hingga perusahaan-perusahaan reksadana.

Berbagai regulasi baru tersebut sukses membuat BEJ berkembang sangat cepat, dimana pada tahun 1989 terdapat tidak kurang dari 37 perusahaan melantai di bursa. Pada tahun ini pula PT Bursa Efek Surabaya berdiri, disusul dengan berdirinya PT Bursa Efek Jakarta (sebelumnya BEJ tidak berbentuk sebagai PT) pada tahun 1992. Paruh pertama dekade 1990-an menjadi masa keemasan kedua sepanjang sejarah Pasar Modal Indonesia (masa keemasan pertama terjadi pada tahun 1912 hingga 1920-an, ketika BEJ masih bernama BEB), dimana IHSG terus naik hingga ditutup di level 637 pada akhir tahun 1996 (dan pada awal tahun 1997 masih terus naik hingga tembus 700-an). Pada masa inilah orang-orang mulai mengenal ‘saham’ sebagai instrumen investasi yang menguntungkan. Hingga tahun 1996, puluhan ribu orang mulai dari pengusaha, karyawan, hingga ibu rumah tangga rama-ramai membuka rekening di sekuritas. Pada tahun 1996 pula, investor legendaris, Lo Kheng Hong, memutuskan untuk keluar dari pekerjaan beliau sebagai kepala kantor cabang di Bank Ekonomi (BAEK), untuk selanjutnya fokus sebagai investor saham full time.

Sayangnya pada tahun 1997, Indonesia mulai dilanda krisis ekonomi, dan IHSG sendiri jatuh dari 700-an hingga sempat menyentuh 250-an pada tahun berikutnya (1998). Namun hebatnya BEJ tetap beroperasi seperti biasa (meski memang sempat ditutup pada hari-hari tertentu). Dan IHSG sendiri, meski sempat menyentuh level terendahnya pada tahun 1998, namun lima tahun kemudian (2003) akhirnya sukses mencatatkan new high-nya kembali. Setahun kemudian, pada tahun 2004, IHSG menembus level psikologis 1,000 untuk pertama kalinya sepanjang sejarah.

Dan pada tahun-tahun berikutnya, IHSG nyaris terus naik kecuali pada tahun 2008 dan 2013. Sementara pada tahun 2007, BEJ dan Bursa Efek Surabaya di-merger untuk menjadi Bursa Efek Indonesia (BEI). Hingga pada akhir 2014 lalu, IHSG ditutup di posisi 5,226, dengan jumlah emiten 512 perusahaan, market cap Rp5,228 trilyun atau US$ 420 milyar, dan nilai transaksi saham rata-rata Rp6 trilyun atau US$ 483 juta per hari.

Logo Indonesia Stock Exchange

Okay, Pak Teguh, lalu kenapa anda tiba-tiba membahas soal sejarah BEI ini?

Beberapa waktu lalu penulis bertemu dengan Bapak M. Noor Rachman. Beliau adalah salah satu petinggi OJK, tepatnya menduduki posisi sebagai deputi komisioner pengawas pasar modal. Dalam pertemuan tersebut beliau bertanya begini, ‘Menurut pandangan Pak Teguh sebagai pelaku investor, apa saja yang perlu dilakukan oleh OJK untuk memajukan pasar modal di Indonesia?’

Dan penulis menjawab, ‘Sebenarnya, banyak sekali pak. Ada banyak sekali yang perlu dan harus dilakukan oleh OJK dan seluruh instansi yang terkait, termasuk oleh para emiten, sekuritas, dan pelaku investasi itu sendiri, agar pasar modal Indonesia menjadi lebih maju kedepannya.’

‘Namun,’ penulis melanjutkan, ‘Yang perlu diingat disini adalah bahwa usia pasar modal di Indonesia masih sangat belia, dimana BEI baru benar-benar beroperasi (dan dimulai lagi dari awal) pada tahun 1977. Kalau dibandingkan dengan New York Stock Exchange, misalnya, maka bursa saham terbesar di dunia itu sudah dibuka dan beroperasi sejak tahun 1792, atau lebih dari dua abad yang lalu. Jumlah emiten di BEI baru ada 500-an, jauh lebih sedikit dibanding NYSE yang mencapai 7,000-an. Namun pada tahun 1950-an, jumlah saham yang diperdagangkan di NYSE juga cuma 500-an. Dan jika nilai market cap BEI pada saat ini hanya US$ 400-an milyar, atau jauuuuh lebih kecil dibanding nilai market cap NYSE, maka ingat bahwa pada tahun 1970, market cap NYSE juga hanya US$ 700-an milyar.’

‘Maksud saya adalah, pada akhirnya yang perlu kita lakukan hanyalah tetap menjalankan pekerjaan-pekerjaan kita sebagaimana mestinya, dan selanjutnya biarkan pasar modal Indonesia untuk maju dan bertumbuh dengan sendirinya. Karena tidak peduli seperti apapun regulasi yang diterapkan, segencar apapun promosi yang dibuat untuk menarik minat investor untuk membuka rekening (atau minat perusahaan untuk menggelar IPO), namun tetap saja BEI membutuhkan waktu untuk bisa maju dan berkembang. Dan dalam banyak hal, berbagai kemajuan tersebut tidak bisa dipaksakan untuk bisa dicapai lebih cepat. Sebagai contoh, kita semua tentu sepakat bahwa suatu hari nanti IHSG akan tembus 10,000. Tapi jika posisi 10,000 itu dicapai dalam waktu, let say, beberapa bulan kedepan, maka jadinya justru agak menakutkan bukan?

‘Disisi lain, Indonesia is a great country. Kita adalah negara dengan jumlah penduduk terbesar keempat di dunia, dengan nilai GDP yang termasuk sepuluh besar dunia, dan juga dengan luas area yang membentang hingga 5,428 kilometer dari Sabang (Aceh), hingga Merauke (Papua), atau jauh lebih panjang dibanding jarak antara Lisbon di Portugal dan Moskow di Rusia! Kita juga merupakan salah satu negara dengan wilayah perairan terluas di dunia, dengan sumber daya perikanan dan kelautan yang sama sekali belum terjamah.’

‘Dan semua itu merupakan bekal yang tidak terbantahkan yang akan mendorong pasar modal Indonesia, cepat atau lambat, untuk menjadi besar suatu hari nanti. Karena bahkan sejarah juga membuktikan bahwa VOC (yang tadi sudah dibahas diatas) sukses menjadi perusahaan terbesar di dunia sepanjang sejarah (yap, anda tidak salah baca), termasuk sukses membawa Amsterdam Stock Exchange sebagai Bursa Saham terbesar di dunia di abad ke-17, juga karena mereka beroperasi di remarkable Indonesia!’

‘So after all, it’s all about time. Sebagai perbandingan, Tiongkok adalah negara dengan jumlah penduduk terbesar di dunia, dan juga negara terluas ketiga di dunia. Dan memang saat ini Tiongkok adalah negara dengan GDP terbesar di dunia, termasuk Shanghai dan Hong Kong Stock Exchange masing-masing merupakan bursa saham terbesar kelima dan keenam di dunia. Namun pada tahun 1952, dengan GDP hanya US$ 68 milyar, Tiongkok justru termasuk sebagai salah satu negara termiskin di dunia, dan kondisi tersebut bertahan hingga beberapa dekade berikutnya. Hingga barulah pada awal tahun 1990-an, dibawah pimpinan paramount leader, Deng Xiaoping, perekonomian Tiongkok maju dengan sangat pesat hingga akhirnya menjadi sebesar sekarang, dan demikian pula dengan pasar modalnya.’

Nah, kembali lagi soal sejarah. Jika dihitung sejak tahun 1977, maka sejarah perkembangan pasar modal Indonesia memang masih sangat singkat, sehingga disini sama sekali belum banyak yang bisa diceritakan, dan juga belum banyak trilyuner yang terlahir dari lantai bursa. Meski demikian, perkembangan yang terjadi selama hampir empat dekade ini juga sejatinya cukup menggembirakan. Maksud penulis adalah, jika anda sudah berinvestasi di saham sejak tahun 1990, maka ketika itu anda juga pastinya akan sulit untuk membayangkan bahwa BEI, dalam kurun waktu 25 tahun kemudian, akan memiliki market cap lebih dari Rp5,000 trilyun bukan?

Hanya memang, Rp5,000 trilyun itu masih sangat kecil dibanding bursa-bursa saham lainnya di seluruh dunia. Tapi disisi lain itu berarti bahwa BEI masih bisa berkembang untuk menjadi lebih besar lagi, dan kita pada saat ini masih merupakan bagian dari sejarah perkembangan tersebut. Dan kesempatan untuk menjadi trilyuner adalah milik mereka yang melakukan investasinya sekarang! Dalam dua atau tiga dekade kedepan, pasar saham Indonesia akan menjadi lebih ramai lagi, lebih likuid, dan juga akan lebih diperhitungkan di jagat finansial dunia. Sudah tentu, perjalanannya tidak akan mulus dimana peristiwa tahun 2008 lalu bisa saja kembali terjadi sewaktu-waktu, but hey, that’s just part of the game, right?

Buletin analisis IHSG & rekomendasi saham bulanan edisi Juli 2015 sudah terbit! Anda bisa memperolehnya disini. Gratis konsultasi/tanya jawab saham langsung dengan penulis untuk member.

Komentar

Anonim mengatakan…
Bagus sekali tulisannya Pak Teguh.
Indonesia memang pantas sejajar dengan negara-negara maju suatu saat nanti, moga-moga saja.
Tapi mungkin ada ralat sedikit, untuk saat ini china masih menjadi negara dengan GDP terbesar kedua di dunia, urutan pertama masih dipegang amerika serikat.
Salam sukses, Pak Teguh.
Teguh Hidayat mengatakan…
Thanks untuk koreksinya, memang sepertinya datanya masih simpang siur soal apakah GDP Tiongkok lebih besar atau lebih kecil dibanding Amerika, tapi kalo pake data dari TradingEconomics, Amerika masih nomor 1.
Sanda Wibowo mengatakan…
pak teguh. kalo GDP saya agak skeptis, karena GDP indonesia terbilang besar gara2 wilayahnya luas dan penduduknya banyak. seandainya saja besok pagi negara2 indochina dan semenanjung malaya bergabung jadi satu, maka GDP mereka juga akan lebih besar dari kita.

tapi saya juga berharap kedepannya akan ada bursa2 saham tandingan di indonesia, biar semangat kompetisi antar bursa juga naik, seperti halnya BBJ yang 'dipaksa' berbenah diri setelah kinerjanya disalip BKDI yang masih seumur jagung.
Unknown mengatakan…
pak teguh tolong bilang sama orng OJK itu bahwa investor harus dilindungi dari para mafia market yang siap memangsa setiap saat..coba jelaskan apa sebenarnya yang terjadi dgn kasus BWPT? kenapa dibiarkan majority shareholder berbuat sesuka hati mencekik leher retail? kasus BWPT bisa jd preseden buruk bagi bursa bahwa ternyata kerugian investor bukan hanya disebabkan turunnya revenue perusahaan ataupun turunnya harga komoditas atau krisis ekonomi tapi karna corporate action oleh owner yg tidak mempedulikan nasib investor retail dimana pihak berwenang seperti OJK tidak bisa berbuat apa-apa.. saya proibadi msh bisa menerima kasus TMPI, GTBo, TRAM tapi BWPT busuk bgt menurut saya...

ARTIKEL PILIHAN

Live Webinar Value Investing, Sabtu 16 Maret 2024

Ebook Investment Planning Kuartal IV 2023 - Sudah Terbit!

Laporan Kinerja Avere Investama 2022

Peluang dan Strategi Untuk Saham Astra International (ASII)

Indo Tambangraya Megah: Masih Royal Dividen?

Indah Kiat Pulp & Paper (INKP) Bangun Pabrik Baru Senilai Rp54 triliun: Prospek Sahamnya?

Prospek Saham Energi Terbarukan, Kencana Energi Lestari (KEEN)