Saatnya Beli Saham Batubara?

Pada Jumat kemarin IHSG ditutup di posisi 4,857, sehingga secara year to date, IHSG sudah turun lebih dari 7%. Dalam kondisi seperti ini maka sudah tentu sebagian besar saham-saham di BEI mengalami penurunan, namun menariknya, tidak ada yang turun sedalam saham-saham pertambangan, khususnya batubara. Berdasarkan statistik BEI, indeks sektor tambang sudah anjlok 26.3% sepanjang tahun 2015, terburuk dibanding sektor manapun, padahal saham-saham di sektor ini sudah turun banyak di tahun-tahun sebelumnya. Beberapa saham batubara bahkan sudah turun lebih dari 90%, jika dihitung dari posisi puncak mereka di tahun 2011.

Disisi lain, jika melihat kinerja perusahaan-perusahaan batubara di Kuartal I 2015 yang terbilang masih buruk, maka penurunan tersebut menjadi beralasan. Sudah gitu, sampai sekarang harga batubara masih terus saja turun, sehingga outlooknya otomatis menjadi suram.

Namun, apakah keadaannya akan begini terus? Maksud penulis, sampai sekarang harga batubara memang masih turun, tapi apakah selamanya dia akan turun terus? Jika pembangkit-pembangkit listrik di seluruh dunia udah nggak pake batubara lagi, maka jawabannya mungkin iya, tapi kan faktanya sama sekali tidak demikian. Berdasarkan data dari www.worldcoal.com, saat ini sekitar 41% pembangkit-pembangkit listrik di seluruh dunia masih menggunakan batubara sebagai bahan bakar. Ketika Pemerintah meresmikan dimulainya proyek pembangunan pembangkit listrik 35,000 MW, akhir Mei lalu, maka sebagian besar pembangkit listrik tersebut juga menggunakan bahan batubara. Menurut Menteri ESDM, Sudirman Said, kalau nanti pembangunan pembangkit listrik tersebut selesai dan mulai beroperasi, maka konsumsi batubara Indonesia akan melonjak dari saat ini hanya 90 juta ton per tahun, menjadi sekitar 200 juta ton per tahun (mudah-mudahan lancar, karena membangun proyek ambisius seperti itu tentu saja nggak gampang).

Tapi kalau dunia masih membutuhkan batubara, lalu kenapa harga batubara terus saja turun? Well, penyebabnya tentu ada banyak faktor, namun salah satunya yang paling berpengaruh adalah karena oversupply. Pada tahun 2012 lalu, Indonesia sempat menjadi negara terbesar kelima produsen batubara (dibawah Tiongkok, Amerika Serikat, India, dan Australia), namun tingkat konsumsi batubaranya justru sangat rendah, sehingga sebagian besar hasil produksi batubara tersebut diekspor Tiongkok, India, dan Jepang, terutama Tiongkok yang merupakan negara konsumen batubara terbesar di dunia (posisi kedua sebagai konsumen batubara terbesar ditempati oleh Amerika, tapi jaraknya terlalu jauh dari Indonesia).

Jadi ketika pertumbuhan ekonomi Tiongkok terus saja melambat dalam beberapa tahun terakhir, maka pertumbuhan konsumsi batubaranya juga tidak lagi sekencang sebelumnya. Padahal disisi lain, perusahaan-perusahaan batubara diseluruh dunia, termasuk Indonesia, terus saja meningkatkan volume produksinya (sepanjang tahun 2014 Indonesia memproduksi 458 juta ton batubara, atau mulai turun dibanding tahun 2013 sebanyak 474 juta ton, tapi masih jauh lebih besar dibanding tahun 2011 sebanyak 353 juta ton). Ke-tidak sinkron-an antara supply dan demand inilah, yang pada akhirnya membuat harga batubara kemudian turun. Jika suatu waktu nanti posisi supply dan demand ini kembali ketemu, entah itu karena tingkat supply-nya yang turun atau demand-nya yang naik, maka ketika itulah harga batubara akan pulih kembali.

Dan penulis tidak tahu soal supply, namun demand batubara untuk pembangkit listrik seharusnya akan terus naik dalam jangka panjang, karena listrik merupakan sesuatu yang dibutuhkan oleh orang banyak secara terus menerus, sementara jumlah penduduk itu sendiri juga terus meningkat. Jadi pada akhirnya mungkin cuma soal waktu saja sebelum harga batubara naik kembali, meski tentu, kita tidak akan pernah tahu kapan itu akan terjadi.

Saatnya Belanja?

Dalam value investing, seperti yang sudah penulis sebutkan berkali-kali di banyak artikel di website ini, kita hanya membeli saham yang: 1. Perusahaannya mencatat kinerja terbaru yang bagus, dan 2. Valuasinya masih murah. Kalau anda menemukan dua saham yang memenuhi dua kriteria tersebut namun hanya mau membeli salah satu diantaranya, maka boleh seleksi lebih lanjut dengan kriteria ketiga: 3. Perusahaannya memiliki outlook/masa depan yang cerah, baik itu dalam jangka pendek (satu tahun atau kurang), atau panjang. Kriteria nomor 3 ini memang sedikit spekulatif karena kita tentu tidak bisa melihat masa depan. Namun berdasarkan pengalaman, perusahaan yang memiliki track record kinerja yang bagus di masa lalu, serta dikelola oleh tim manajemen yang jujur, maka biasanya akan juga memiliki kinerja yang baik di masa yang akan datang.

Sayangnya, kalau kita cek lagi kinerja terakhir perusahaan-perusahaan batubara di Kuartal I kemarin, maka praktis tidak ada emiten yang memiliki kinerja bagus, dimana perusahaan sekelas Bukit Asam (PTBA) sekalipun mencatat penurunan laba hingga 37%. Beberapa perusahaan seperti Garda Tujuh Buana (GTBO), bahkan sampai berhenti beroperasi sebagian, karena sudah tidak tahan lagi dengan penurunan harga batubara. Kalau bukan karena di-suspend, maka saham GTBO mungkin akan bernasib seperti BUMI yang sudah sangat dekat dengan level gocapan.

GTBO.. Nasibmu Kini

Jadi dalam pandangan value investor, untuk saat ini masih belum waktunya untuk masuk ke saham-saham batubara, karena belum ada diantara mereka yang memenuhi kriteria nomor 1 diatas.

Namun disisi lain, tidak dapat dipungkiri bahwa saham-saham batubara saat ini sudah sedemikian murahnya, dimana ada beberapa perusahaan batubara yang: 1. Mayoritas asetnya berupa dana cash atau aset lancar lainnya, 2. Hanya punya sedikit utang, atau bahkan tidak punya utang sama sekali dan 3. Punya cadangan batubara segunung yang siap ‘dipanen’ sewaktu-waktu kalau nanti harga batubara naik kembali, tapi PBV-nya sudah kurang dari 1 kali. Beberapa perusahaan batubara mungkin bermasalah dengan utang-utangnya yang amat sangat besar, sehingga kemungkin akan sulit bagi mereka untuk mencatat kinerja yang positif bahkan ketika nanti harga batubara mulai kembali naik, tapi perusahaan-perusahaan yang lainnya kan gak ada masalah apa-apa toh? Dimana kinerja mereka turun bukan karena perusahaannya jelek atau, namun karena sektornya yang lagi lesu saja.

Nah, kalau kita balik lagi ke soal kriteria diatas, maka pada saat ini anda sudah bisa menemukan saham-saham batubara yang: 1. Valuasinya murah, dan 2. Dengan mempertimbangkan kinerja apiknya di masa lalu, maka perusahaannya memiliki outlook jangka panjang yang cerah (kenapa jangka panjang? Karena dalam jangka pendek, dalam hal ini satu tahun atau kurang, maka harga batubaranya minimal harus naik dulu, dan setelah itu baru perusahaan akan profit lagi). Dengan demikian, kita hanya perlu melakukan satu hal lagi: Tunggu hingga perusahaan mencatatkan kinerja yang bagus, lalu sikat!

However, jika anda pegang dana yang besaaaaarr, maka mungkin anda tidak perlu menunggu, melainkan sudah boleh nyicil dari sekarang. Kenapa demikian? Karena seperti umumnya saham-saham yang sudah murah, maka mayoritas saham-saham batubara pada saat ini sudah tidak likuid lagi, sehingga anda tidak mungkin bisa membelinya dalam satu kali hajar kanan, melainkan perlu waktu berhari-hari, atau bahkan lebih lama lagi.

Selain itu, dalam hal ini penulis jadi ingat dengan saham-saham properti di tahun 2010. Ketika itu perusahaan-perusahaan properti juga memiliki kinerja yang buruk, imbas dari krisis global tahun 2007 – 2008 yang kebetulah penyebabnya adalah karena macetnya kredit perumahan/properti (jadi pada tahun 2007 hingga 2010, kondisi sektor properti mirip seperti kondisi sektor batubara pada saat ini). Alhasil, saham-saham properti semuanya jeblok, dimana ketika itu tidak ada satupun saham properti yang harganya diatas 1,000 perak.

Tapi siapa sangka, hanya setahun kemudian yakni pada tahun 2011, perusahaan-perusahaan properti mulai mencatat kinerja yang bagus, buah dari pertumbuhan ekonomi yang ketika itu sempat mencapai rekor 6.9%. Dan sudah tentu, saham-saham properti mulai merangkak naik.. dan terus naik.. hingga mencapai puncaknya pada tahun 2013 lalu. Jadi jika seseorang membeli saham properti di tahun 2010, maka dia akan memperoleh keuntungan yang berlipat-lipat.. hanya dalam tempo tiga tahun kemudian. Salah satu perusahaan properti yang paling sukses, Alam Sutera Realty (ASRI) bahkan naik dari level 100-an di tahun 2010, hingga sempat menembus 1,000 di tahun 2013, atau naik sepuluh kali lipat!

Padahal kinerja ASRI di tahun 2010 sama sekali belum tampak bagus,sehingga keputusan untuk membelinya ketika itu mungkin tampak sebagai keputusan yang bodoh.

Jadi yah, mungkin itu sebabnya Grup Sinarmas ngebet masuk ke Berau Coal Energy (BRAU), dan bisa jadi grup-grup besar lainnya juga diam-diam mulai nyicil saham-saham batubara. Mereka mungkin tidak peduli meski dalam jangka pendek bisnis batubara masih suram, karena toh dalam jangka panjang, dan memang sudah seharusnya, pada akhirnya harga batubara akan naik kembali (penurunan harga batubara dalam beberapa tahun terakhir hanyalah bagian dari siklus yang normal). Dan jika mereka beruntung, maka profit yang diperoleh mungkin bukan lagi sekian persen, melainkan sekian kali lipat.

However, jika dana anda tidak sebesar Sinarmas, maka lebih baik tunggu dulu, ketimbang harus harap-harap cemas dengan perkembangan harga batubara. Selain itu ingat bahwa posisi anda sebagai pemegang saham minoritas tentu saja berbeda dengan pemegang saham mayoritas, dimana anda tidak punya kendali atas manajemen yang bisa 'mengutak atik' perusahaan. Kalau nanti harga batubara kembali naik, maka ketimbang BUMI, BRAU atau sejenisnya, maka perusahaan-perusahaan batubara yang bebas utang seperti PTBA, Harum Energy (HRUM), atau Resource Alam Indonesia (KKGI), tentu jauh lebih menarik. Tapi sekali lagi, untuk saat ini sebaiknya anda tunggu dulu.

Dan selama menunggu tersebut, perhatian bisa tetap difokuskan pada saham-saham lain yang perusahaannya jelas-jelas memiliki kinerja yang bagus. Kebetulan dalam waktu seminggu kedepan para emiten akan merilis laporan keuangan mereka untuk periode Kuartal II 2015, so let the hunt begin!

Buletin Stockpick Saham dan Analisis IHSG Bulanan edisi Agustus sudah terbit. Anda bisa memperolehnya disini

Komentar

Budiarso mengatakan…
pak, saya mau tanya, bagaimana dengan nasib saham BAJA? kira-kira kapan akan naik kembali, karena saya masih peganng saham itu. mungkin kah dalam tahun ini bisa kembali ke harga 1000?
terima kasih
Bla-Bla Miko mengatakan…
Menarik nih baca analisa bersambung prospek emiten/ sektor batubara. What goes down, must come up, eventually.Been thinking the same way, actually, mas Teguh. Tapi beberapa waktu lalu saya baca berita ttg "peranan gas bumi yg mulai menggeser coal sbg sumber energi pembangkit listrik" di Amrik klo gak salah. Mengingat harga gas yg kian murah. Satu lagi faktor, sifat polutif dari penggunaan batubara. Nah, bukankah 2 faktor ini bisa jadi penghambat naiknya hrg coal nantinya mas?? Brgkali mas Teguh punya pandangan lain. Trims.
Anonim mengatakan…
Masih belum berani pak, kalau saham batubara. Terlalu banyak faktor eksternal yang susah ditebak. Faktor harga di luar susah diprediksi. Plus tekanan dari kelompok pemerhati lingkungan. Belum lagi aturan pemerintah yang tdak konsisten. Saat ini tindakan pemerintah yang masuk akal yaitu menghemat pemakaian batu bara. Apalagi cadangan batubara indonesia pun sbeetulnya gak banyak2 amat. Cadangan kita hanya 2% dari cadangan amrik. Jadi sebetulnya kalau dibialng Indoneisa kaya akan batubara itu sangat tidak tepat. https://en.wikipedia.org/wiki/Coal_by_country

Ini juga suatu ironi. SDA indonesia sebetulnya akan habis kurang dari satu generasi tapi entah kenapa banyak rakyat Indonesia masih terbuai alam mimpi dan masih mengira kekayaan alam kita melimpah ruah 7 generasi gak bakal habis, belum lagi SDA yang tinggal sedikit itu dibagi rata dengan jumlah penduduk yang meningkat pesat. Minyak misalnya, produksi minyak indonesia 900 ribu barel per hari. Brunei hanya 200 ribu barel. Tapi Brunei bisa makmur dari minyak. Indonesia tidak. Karena tentu saja jumlah penduduk brunei jauh lebih sedikit, hanya 400 ribu orang dibandingkan Indonesia yang 250 juta lebih.
michael mengatakan…
kalau ADRO & PTRO gimana pak??? ADRO ekspansinya ke PLTU lumayan gencar, sednag PTRO meski utang lumayan tetapi LKH berani beli sampe 10,45%
Anonim mengatakan…
hi mas teguh,
bagaimana dengan perusahaan batu bara indo tambang raya (ITMG) ?
saya lihat laporan keuangan juga bagus seperti PTBA, tetapi mas teguh sama sekali tidak menyebutkan tentang ITMG ini .
apa ada sesuatu hal yang saya lewatkan mengenai ITMG ini?

terima kasih .
Teguh Hidayat mengatakan…
@Bla-Bla Miko, di Amrik mungkin memang sudah pake gas, tapi kan Indonesia gak jualan batubara kesana, kejauhan. Kalo kita liat yang deket-deket seperti Tiongkok, India, Jepun, termasuk Indonesia sendiri, semuanya masih pake coal. Gas memang murah, namun untuk membangun pembangkit listrik tenaga gas itu membutuhkan biaya mahal dan teknologi tinggi yang hanya dimiliki negara-negara maju. Sama seperti pembangkit listrik tenaga solar/matahari, yang meski panas matahari itu bahkan harganya gratis, tapi teknologi untuk membangun pembangkit listriknya mahal sekali.

sebenernya kekhawatiran yang sama juga terjadi ketika ada orang yang bilang bahwa komoditas CPO mungkin akan digantikan oleh minyak kelapa, minyak jagung, minyak biji bunga matahari, dan seterusnya. Makanya harga CPO turun terus. Tapi toh nyatanya sampe sekarang CPO masih menjadi bahan utama pembuatan minyak goreng.
Teguh Hidayat mengatakan…
@Anonim. Kita gak perlu menebak apapun pak. Seperti yang sudah saya bilang, untuk sekarang ini tunggu saja dulu, dan kita nanti masuk ke saham-saham batubara kalo kinerja perusahaannya mulai bagus. Tapi kalo setelah ditunggu ternyata gak bagus-bagus juga, maka ya sudah kita cari saham lain.

Gak perlu sampai melihat cadangan batubara segala macem, kita value investor gak pernah mau mikir ribet, but keep it simple: Kalo nanti kinerjanya bagus, sahamnya murah, maka sikat!

ADRO dan PTRO utangnya gede, dan biar gimanapun itu gak bisa diabaikan. Kalo ITMG, saya kurang suka dengan kebijakan dividennya yang terlalu jor-joran, sehingga perusahaan gak pernah benar-benar bertumbuh karena tiap kali dapet untung duitnya ditarik terus.
Teguh Hidayat mengatakan…
Btw, kelewat satu lagi. Dibanding gas, batubara memang agak 'kotor', tapi batubara masih lebih bersih dibanding bahan bakar minyak, tapi nyatanya sampe sekarang minyak dipake terus (untuk bensin, dll). Dan sekarang ini sudah banyak teknologi yang mampu mengurangi dampak polusi dari penggunaan batubara, jadi saya kira gak ngaruh.

kalo mau pembangkit listrik yang bener-bener anti polusi, maka boleh pake nuklir sekalian. tapi apa berani?
Anonim mengatakan…
Pak Teguh.... Berani bikin PLTN tapi bangunnya di Batam deket SG. Jadi kalo meltdown... you know wot happen lah!
Insiderstories mengatakan…
Mungkin ada baiknya melihat ke belakang, ketika UNTR menjual 60% saham BRAU ke anaknya Ibrahim Risjad. Saya lupa kejadiannya berapa tahun sebelum harga coal booming thn 2007 dan 2008 awal.
Harga coal seperti komoditas lainnya memang fluktuatif. Pattern naik turunnya harga coal ini yang sulit ditebak.
Betul, demand thd batu bara bisa naik dlm jngka panjang, tapi substitusi energi untuk pembangkit listrik dari matahari perlahan-perlahan tidak semahal sebelumnya. Coba mas Teguh diskusi dengan orang NIPS, atau mungkin sudah pernah.
Dari produsen aki otomotif, NIPS kini merambah aki BTS. dan sebentar lagi mereka memproduksi alat penghasil listrik dari tenaga surya dan harganya semakin terjangkau.

Terkait Grup sinarmas, kenapa mas Teguh menjadikan itu indikasi ya? hehehe..perlu melihat track record mengenai grup satu ini.
Unknown mengatakan…
saham2 bluechip semacam banking, semen, dll jg ikut jeblok dalem. PE kurang lbh sm dgn saham2 batubara. pilih mana? klo sy jelas bukan batubara.
halley mengatakan…
Ini cuma masalah supply dan demand. Saat sekarang supply berlebih sedangkan demand berkurang. Makanya produsen mulai kurangi supply. Phk karyawan dll. Nanti kalau demand naik, sedangkan produksi masih limited. Pasti harga naik. Kan gak mungkin tiba2 naikin produksi. Sekarang produsen kurangi produksi juga perlu waktu.

Takut batubara tidak laku sama saja seperti takut minyak gak laku.
Anonim mengatakan…
terima kasih pak Teguh atas ulasannya.
kategori untuk kinerja yang bagus seperti apa pak? kadang kan suka ada perusahaan yg skrg bagus tp berikutnya jelek lg, bisa jd disebabkan karna sektornya yg memang belum stabil atau mungkin karna hal lain.

teima kasih
Unknown mengatakan…
itmg tetap layak dipilih deviden besar tiap tahun daripada yg sedikit deviden misal di properti yg banyak rekayasa pembukuan . pers asing cenderung lebih jujur ke publik.
Unknown mengatakan…
Lha batu bara kan ga cuma ditambang di Indonesia aja mas Teguh... Kalo harga batu bara di China anjlok orang Indonesia ya ambil dari China dong. Kalo harganya anjlok terus bagaimana prospek dia bisa menjadi bagus. Gimana harganya bisa naik kalo permintaan nya cuma naik 1% setahun? Amerika aja udah ga bangun coal power plant. Kalo emiten coal mau cuan harus ada banyak sekali perusahaan batu bara kolaps duluan (kek bumi). Dan bumi mah mana diurus sih sama Bakrie lha wong saham dia di sana udah dibuang sebagian besar. Yang berutang 80T kan BUMI bukan Bakrie. Kalo Bakrie udah ga pegang saham BUMI lagi siapa yang harus ditagih? Sinarmas beli BRAU mah levelnya udah beda, mereka punya banyak business partner di China dan mereka pasti udah dapet kontrak apa duluan. Kalo gak mana berani gelontorkan uang.
Motoguzzi mengatakan…
Group Sinarmas bukan hanya ngebet ke BRAU, bahkan kalau kita lihat di LK Sekawan Intipratama(SIAP) sudah ada kepemilikan group Sinarmas atas nama Michael Widjaja sebanyak lebih dari 6% ditahun 2015 ini, apakah ini sign bahwa saham ini juga akan bangkit pak?
Anonim mengatakan…
lha sinarmas bukannya beli BRAU utk supply pembangkit mereka yg akan dibangun di karawang/cikarang ?

sama seperti grup TATA yg masuk ke bumi, hanya utk memastikan supply ke pembangkit mereka di india.

ARTIKEL PILIHAN

Live Webinar Value Investing, Sabtu 16 Maret 2024

Ebook Investment Planning Kuartal IV 2023 - Sudah Terbit!

Laporan Kinerja Avere Investama 2022

Peluang dan Strategi Untuk Saham Astra International (ASII)

Indo Tambangraya Megah: Masih Royal Dividen?

Indah Kiat Pulp & Paper (INKP) Bangun Pabrik Baru Senilai Rp54 triliun: Prospek Sahamnya?

Prospek Saham Energi Terbarukan, Kencana Energi Lestari (KEEN)