Sinarmas Akuisisi Berau Coal: Why?

Perusahaan batubara yang sahamnya sebentar lagi bakal mati di gocapan, Bumi Resources (BUMI), barusan merilis laporan keuangannya untuk periode Kuartal I 2015 (seperti biasa telat mulu). Dan hasilnya? Tambah nyungsep! BUMI melaporkan rugi bersih US$ 344 juta, yang menyebabkan defisiensi ekuitasnya kembali meningkat hingga kini sudah tembus US$ 1.2 milyar. Lebih gila lagi, dari total kewajiban perusahaan senilai US$ 5.7 milyar, US$ 3.6 milyar atau Rp48 trilyun diantaranya merupakan utang bank yang akan jatuh tempo dalam waktu kurang dari satu tahun. Jadi sekarang, dengan kondisi saat ini dimana harga batubara masih terus saja turun, lalu bagaimana caranya agar BUMI dapat membayar utang sebesar itu dalam waktu kurang dari satu tahun?

Meski tampak sangat buruk, namun hebatnya sampai sekarang belum pernah terdengar berita bahwa BUMI mengalami gagal bayar utang atau default. Memang, pada November 2014 lalu perusahaan sempat gagal membayar kupon salah satu obligasinya yang diterbitkan di Singapura, namun yang gagal dibayar adalah kupon obligasi, bukan obligasi itu sendiri (karena obligasi tersebut baru akan jatuh tempo tahun 2017). Dan ketika itupun, entah bagaimana caranya pihak manajemen bisa memperoleh perlindungan dari pengadilan di Singapura untuk melindungi perusahaan dari kemungkinan adanya tuntutan hukum dari para pemegang obligasi (karena hak mereka untuk menerima kupon/bunga obligasi telah dilanggar oleh BUMI).

Namun, nasib yang berbeda dialami oleh Berau Coal Energy (BRAU).

BRAU dulunya dimiliki oleh Grup Recapital, perusahaan investasi milik duo pengusaha muda Sandi Uno dan Rosan Roeslani. Karena Rosan adalah anak buah dari Nirwan Bakrie, yang notabene merupakan orang nomor satu di Grup Bakrie, maka otomatis BRAU memiliki hubungan langsung dengan Grup Bakrie dan juga BUMI. Ketika pada tahun 2011 lalu Grup Bakrie mengadakan kerja sama tukar guling saham BUMI dengan saham Bumi Plc milik Nathaniel Rothschild yang terdaftar di Bursa London, maka saham BRAU juga turut dimasukkan kedalam perjanjian tukar guling saham tersebut. Alhasil pada tahun 2011 lalu Grup Bakrie dan Recapital sama-sama memegang sekian persen saham Bumi Plc, sementara Bumi Plc itu sendiri memegang 75% saham BRAU (yang kemudian ditingkatkan menjadi 85%), dan 29.2% saham BUMI.

Belakangan, seperti yang mungkin sudah anda ketahui, Bakrie pecah kongsi dengan Mr. Nathaniel. Dan setelah pertarungan berkepanjangan selama nyaris dua tahun, pada akhirnya Nathaniel kalah dimana Bumi Plc harus mengembalikan BUMI sepenuhnya ke tangan Grup Bakrie, namun mereka masih menjadi pemegang saham mayoritas di BRAU. Bagi Grup Bakrie atau Recapital sendiri, mereka sepertinya tidak terlalu ambil pusing kalau harus kehilangan BRAU, asalkan BUMI kembali ke pangkuan. Keputusan final bahwa Grup Bakrie dan Recapital putus hubungan sama sekali dengan Bumi Plc, termasuk bahwa Recapital tidak lagi memegang BRAU (tapi Bakrie tetap sepenuhnya memegang BUMI), terjadi pada Februari 2013.

Jadi terhitung sejak Februari 2013 tersebut, BRAU sudah tidak ada sangkut pautnya lagi baik itu dengan Grup Bakrie maupun Rcapital. Nama Bumi Plc sendiri (pemegang saham BRAU) kemudian berubah menjadi Asia Resource Minerals Plc (ARMS), dan masih tetap terdaftar di Bursa London, Inggris.

Nah, disinilah menariknya: Seperti halnya BUMI, Grup Recapital mengelola BRAU menggunakan metode ala ‘Bakrie style’, dimana perusahaan dibebani oleh banyak sekali utang. Dan baik itu Grup Bakrie maupun Recapital sangat hebat dalam hal men-treatment kreditor, sehingga meskipun kondisinya sangat sulit akibat lesunya industri batubara, namun mereka berkali-kali mampu lolos dari ancaman default. Termasuk BUMI, seperti yang sudah disebut diatas, sampai sekarang masih belum benar-benar bermasalah dengan utang-utangnya.

Tapi sepertinya pemilik baru BRAU, yakni Nat Rothschild, tidak memiliki kemampuan yang sama. Jadi ketika pada awal tahun 2015 lalu BRAU terancam tidak bisa melunasi utang obligasinya sebesar US$ 450 juta yang akan jatuh tempo pada tanggal 8 Juli 2015, ternyata pihak manajemen tidak mampu melakukan lobi-lobi untuk menunda pembayaran entah itu ke pengadilan (seperti yang dilakukan manajemen BUMI) atau langsung ke pemegang obligasinya. Dan alhasil obligasi tersebut sekarang resmi default.

Status default tersebut mengharuskan Nat Rotschild sebagai pemegang saham BRAU untuk menjual aset-aset yang dimiliki oleh BRAU pada harga berapapun, atau bahkan mungkin menjual BRAU itu sendiri, dalam hal ini mayoritas sahamnya, sehingga Nat tidak lagi menjadi pemegang saham pengendali di BRAU.

Dan sepertinya peluang itulah yang ditangkap oleh Grup Sinarmas. Pada keterbukaan informasi yang dirilis pada April 2015 lalu oleh United Fiber System (Unifiber), perusahaan batubara milik Grup Sinarmas yang listing di Bursa Singapura, manajemen Unifiber menyatakan bahwa perusahaan telah mencapai kesepakatan dengan Nat Rothschild untuk mengakuisisi ARMS, yang itu artinya secara tidak langsung mengakuisisi BRAU.

Logo Unifiber. Unifiber adalah anak usaha PT Dian Swastatika Sentosa (DSSA), perusahaan batubara milik Grup Sinarmas

Pertanyaannya sekarang, kenapa Sinarmas berani mengakuisisi BRAU? Bukankah itu berarti justru mereka-lah yang sekarang harus membayar utang obligasi sebesar US$ 450 juta tadi? Dan itu bahkan termasuk obligasi lainnya senilai US$ 500 juta yang akan jatuh tempo tahun 2017 nanti. Okay, katakanlah Sinarmas punya cukup dana untuk melunasi semua utang-utang tersebut, yang jika ditambah dengan biaya yang harus dikeluarkan untuk mengakuisisi BRAU itu sendiri, maka totalnya mereka harus keluar duit lebih dari US$ 1 milyar. Lalu apakah BRAU memang se-berharga itu, sampai-sampai mereka rela mengeluarkan duit sebanyak itu?

Karena kalau melihat laporan keuangan BRAU yang terakhir yakni periode Kuartal III 2014 (sejak perusahaan mengalami default, BRAU belum merilis laporan keuangan terbarunya lagi. Dan ini berbeda dengan BUMI yang, meski masih telat seperti biasanya, tapi laporan keuangannya untuk Kuartal I 2015 sudah dirilis), ekuitas BRAU juga mulai minus alias defisiensi modal, gara-gara perusahaan terus menerus menderita kerugian. Saham BRAU sendiri terus saja turun hingga akhirnya di-suspend pada harga 82.

Sementara jika kita asumsikan bahwa Grup Sinarmas harus keluar persis US$ 1 milyar atau setara Rp13.2 trilyun untuk mengakuisisi 85% saham BRAU (melalui ARMS), maka itu artinya mereka membeli saham BRAU pada harga.. Rp450 per lembar! Masuk akal? Kalau di mata investor retail, jelas tidak! Kenapa juga anda harus membeli BRAU pada harga 450, kalau anda bisa beli pada harga 82 perak di pasar??? (meskipun untuk saat ini nggak bisa, soalnya BRAU lagi di-suspend).

Tapi pertanyaan yang sama juga mungkin akan timbul kalau anda mencermati fakta bahwa Grup Bakrie, ketika dulu mereka sukses merebut kembali 29.2% saham BUMI dari tangan Bumi Plc, maka mereka harus membayar US$ 501 juta untuk saham BUMI tersebut, yang setara dengan kurang lebih Rp1,000 untuk per lembar saham BUMI! Fakta menariknya adalah, bahkan Nat Rotschild-pun sebenarnya tidak akan melepas BUMI pada harga berapapun kalau bukan karena terpaksa. Jadi bagaimana ceritanya dua raksasa ini (Bakrie dan Rothschild) kok bisa-bisanya rebutan saham gocapan, pada harga tinggi pula?

Dan sekarang kenapa Sinarmas malah ikut-ikutan? Meski yang diakuisisi Sinarmas adalah BRAU dan bukannya BUMI, namun itu karena yang mengalami default adalah BRAU. Grup Sinarmas sendiri mungkin gak akan bisa masuk ke BRAU kalau bukan karena default tersebut. Jadi coba pikir: Kalau nanti BUMI pada akhirnya mengalami default juga (sehingga Bakrie mau tidak mau harus melepasnya), maka Sinarmas, dan mungkin juga grup-grup besar lainnya, bisa jadi akan berebut BUMI ini. Pertanyaannya sekali lagi, BUMI dan BRAU ini apa bagusnya? Atau lebih spesifiknya lagi, terlepas dari berapapun harga sahamnya, kenapa dua saham yang cenderung dihindari oleh investor ritel ini justru menjadi rebutan para pemain besar???

Dan jika Sinarmas saja berani beli BRAU, bahkan pada harga yang jauh diatas harga pasar, lalu apakah kita sebagai investor ritel juga boleh ikut masuk?

Anyway, karena artikelnya sudah cukup panjang, dan sepertinya kelanjutannya bakalan lebih panjang lagi, maka selebihnya akan kita bahas minggu depan. Namun sebelum itu, anda mungkin bisa menjawab pertanyaan diatas melalui kolom komentar dibawah. Sedikit clue, untuk bisa menjawab pertanyaan diatas, maka anda harus berpikir layaknya pemegang saham pengendali atas BUMI dan juga BRAU, dan bukan sekedar pemegang saham ritel yang untung atau ruginya ditentukan oleh kenaikan atau penurunan sahamnya di pasar.

Pengumuman: Layanan preorder untuk buku analisis saham terbaru edisi Kuartal II 2015, sudah dibuka! Keterangan selengkapnya baca disini.

Komentar

Anonim mengatakan…
Mungkin ada semacam perjanjian rahasia atau ada tender atau mega project antara brau atau bumi dgn pemerintah untuk penggunaan batubara di dlm negeri. Pemerintah beli batubara dgn jumlah byk dan harga yg bagus. Sinarmas dapat info nya duluan kali. Kita ritel kan pikirnya batubara cuan nya kalo di export ke luar saja. Kalo pemerintah ada kasih signal positif ke pengusaha batubara, mana ada ritel yg bisa tau. Kemungkinan besar ada hubungannya dgn pemerintahan. Imho.
Unknown mengatakan…
Kalau kita sebagai investor ritel, tentu untung rugi kita ditentukan naik turunnya harga suatu saham. Tetapi kalau sebagai pemegang saham pengendali yang duduk dimanajemen, maka segala dana dan operasional perusahan tentunya ditentukan oleh pemegang saham pengendali. Laporan keuangan perusahaan boleh saja diaudit oleh auditor yang paling kaliber sekalipun. Tetapi kenyataan dilapangan siapa yang bisa audit dan yang punya kuasa penuh tentu pemegang saham pengendali.
Anonim mengatakan…
dengan harga coal yang lagi mangkir dibawah normal, mungkin saham-saham batubara menjadi pilihan tersendiri bagi para investor kontrarian terlepas dari timeframe sampe kapan harga coal ini bisa bertahan dibawah normal sebelum kembali ke harga normalnya, dan setelah melakukan screening di dapat bawah sumber batu bara terbanyak ada di bumi dan ptba, dengan mempertimbangkan manajemen perusahaan maka pilihan jatuh pada ptba. dengan harga yang terus nyungsep smpe skrg ini akan menarik untuk dilakukan pembahasanny oleh pak teguh, trims
Anonim mengatakan…
sebagai pengedali perusahaan BRAU yg baru, maka sinar mas memperoleh cadangan batubara dari brau yg lumayan banyak. walau tidak sebanyak BUMI. nah kita tau bahwa sebuah negara dari berkembang menjadi maju, butuh berapa banyak pembangkit listrik. dan sumber pembangkit listrik paling murah yah batubara. jd mungkin sinarmas melihat ini sebagai peluang. mereka kan punya DSSA yg maen di bidang pembangkit listrik... jd yg mereka lihat bukan harga dari brau yg tinggal 80an. tp cadangan batubara brau yg masih bnyk untuk ekspansi PLTU mereka.
Dian Adi Sanjaya mengatakan…
karena mereka ( sinarmas group ) akan memperoleh asset yang nilainya lebih besar dari harga yang harus mereka keluarkan untuk akuisisi . Kucinya adalah sebagai pemegang mayoritas kita mempunyai hak lebih terhadap aset aset perusahaan .
Unknown mengatakan…
saya setuju dengan komentasr anonim di atas sesuai sama alasan yg di publis di detik.com (http://finance.detik.com/read/2015/05/20/081733/2919429/6/ini-alasan-sinarmas-ngotot-rebut-berau-dari-rothschild) ...mungkin grup sinar mas sudah melihat prospek kebutuhan energi di indonesia yang sangat vital,sinar mas sangat serius untuk menggarap proyek pltu 35.000 mw(tahun 2017 indonesia akan krisis listrik ?)http://finance.detik.com/read/2014/04/17/125530/2558128/1034/awas-indonesia-terancam-krisis-listrik-di-2018 ~ andy j
Unknown mengatakan…
35 GW merupakan project pembangkit yang sangat besar, hingga banyak vendor pembangkit luar negeri sendiri pun tertarik untuk masuk dan membangun konsorsium.. mungkin memang sinar mas ingin tender tersebut, namun tidak dapat mengamankan kontrak ketersediaan batubara dari produsen (salah satu syarat tender pada umumnya) atau tidak menemukan rekan konsorsium yang tepat.. sehingga mereka lebih memilih untuk membeli salah satu produsen batubara. terlepas dari harga batubara yang naik turun saat ini, batubara tetap menjadi andalan energi untuk proyek 35 GW...
Yg2 mengatakan…
karna BRAU mungkin sama saja seperti BUMI yaitu Perusahaan Induk yg dipenuhi UTANG dan hobi RUGI, akan tetapi memiliki sejumlah CUCU Perusahaan dengan sedikit Utang dan selalu mencetak LABA yg BESAR, namun merupakan perusahaan TERTUTUP, sehingga laporan keuangannya mungkin saja sudah di UTAK-ATIK sana sini sebelum dikonsolidasikan ke dalam Laporan keuangan BRAU/BUMI!
Nah CUCU perusahaan inilah yg mungkin DI INCAR OLEH GRUP SINAR MAS dan untuk itu mereka HARUS menjadi pengendali BRAU, hal yg hampir mustahil dilakukan oleh investor ritel
OKE PUNYA mengatakan…
Saya setuju dengan pendapat bahwa Sinarmas mengakuisisi Berau dengan alasan karena nilai cadangan batubara yang dimilikinya masih lebih tinggi dari nilai saham plus hutang yang harus ditanggungnya serta mengintegrasikan dengan program 35 GW. Tambahan lainnya adalah peluang untuk mengintegrasikannya dengan bisnis perkebunan terkait aset lahan yang telah diakuisisi termasuk lahan pasca tambangnya.
nubimainsaham mengatakan…
Pemerintah Jokowi akan menggenjot proyek listrik 35k MW. Sinarmas termasuk yang memiliki garapan proyek pembangkit tersebut. Sepertinya mereka tertarik mengakuisisi Berau karena cadangan batu bara yang melimpah untuk menopang pembangkit tersebut. Kalaupun harga batu bara di pasaran jatuh saat ini, tidak menutup kemungkinan bakal naik lagi seiring kebutuhan setelah pembangkit tersebut kelar. Melihat jumlah penduduk yang bertambah serta perluasan wilayahnya nanti energi listrik juga akan naik terus menerus sebagaimana properti yang bahkan sebagian analis bilang sudah menjadi bubble dan tinggal menunggu letusannya. Perlu diingat juga, batu bara yang dikeruk dari alam pada saatnya nanti bisa saja menipis bahkan habis.
Papoyz mengatakan…
Buat dapatin utang lebih besar lagi
Anonim mengatakan…
Pak Teguh,

daripada habis waktu dan tenaga bahas BRAU dan BUMI kenapa ga melihat ADARO saja? As value investor seharusnya ADARO buat anda Greedy...

Thanks
Anonim mengatakan…
Berarti kita sudah waktunya invest di BUMI.. Ini saham permata terpendam. Pemain besar sadar hal ini. Kita investor ritel memang sebaiknya ikuti arus dari ikan besar saja. Biar ada kecipratan hoki.
Unknown mengatakan…
biar kreditur BUMI & BRAU tetap senang dalam kondisi moratorium
Unknown mengatakan…
Karena bisa dapat tambang batu bara beserta ijin pengelolaannya.
Unknown mengatakan…
Inilah salah satu keunggulan mutlak investor kecil , punya kesempatan dapat harga yg luar biasa murah dan tidak perlu pusing2 mikirin gimana aksi strategis mengendalikan roda bisnis ke depannya. Bagi fundamentalist kecil kerjanya sekedar mem"valuasi" bisnis dibalik lembar saham secara berkala lalu melakukan aksi beli , hold atau jual.
michael mengatakan…
kalo saya sih mending beli pers tambang yg masih sehat aja, kaya PTBA or ADRO,kl buat investor retail apa sih yg bisa diharapin dr manajemen macam BUMI,seandainya aja harga batubara balik ke top lg,toh tetep aja manajemennya tetep busuk,barang untung bisa dibilang rugi,harga saham digoreng seenak perut.....
Siska mengatakan…
Mungkin dapat kendaraan untuk menggerakkan saham tersebut atau istilahnya menggoreng. Sambil menunggu saham ini benar benar naek dari sisi sektoralnya? Dan nilainya kembali seiring harga batubara yang pulih ketika produksinya emang dibutuhkan saat itu.
Anonim mengatakan…
dodol! itu dibawah batubara brau n bumi ada emas melebihi freeport!!
Anonim mengatakan…
Halaaah... proyek 35KMW digadang-gadang. Dijaman SBY proyek yang cuma 20KMW aja meleset padahal ekonomi lagi bagus2xnya. Gimana proyek 35KMW-nya Jokowi? Apalagi dengan alasan perubahan nomenklatur ba-bi-bu ini-itu anggaran aja udah telat digelontorin. Pemerintahan Jokowi start-nya aja udah ngadat. Terus, sekarang duit udah gelontorin pun masih aja nggak di-serap2x.

Ada bbrp komentar ttg BUMI dan BRAU hanya ALAT untuk mendukung operasional perusahaan afiliasi lainnya. Itu masuk akal. Nah karena BUMI n BRAU hanya ALAT, buat apa dibikin bagus? Kalo mau digoreng ya monggo silahkan.
Unknown mengatakan…
Anda penyuka dunia pertambangan cobalah bermain Pocket Mine, ada jawabannya disitu.
Dream Writter mengatakan…
ADRO tinggal menunggu waktu untuk proyek PLTU Batang 2x1,000 MW. Selain itu PLTU Mulut Tambang MSW 2x30MW juga sudah jalan utk suplly kebutuhan listrik tambang, sisanya dijual ke PLN. PLTU Tanjung Power Indonesia 2x100 MW juga sudah sign PPA dengan PLN. Dengan cadangan batubara yang melimpah ADRO siap meramaikan industri energi dengan mendiversifikasikan usahanya. Layak di beli!
Anonim mengatakan…
mau ritel mau pengendali, semuanya mau cuan. karena itu cuma yang dungu yang berebut emiten busuk

ARTIKEL PILIHAN

Live Webinar Value Investing, Sabtu 16 Maret 2024

Ebook Investment Planning Kuartal IV 2023 - Sudah Terbit!

Laporan Kinerja Avere Investama 2022

Peluang dan Strategi Untuk Saham Astra International (ASII)

Indo Tambangraya Megah: Masih Royal Dividen?

Indah Kiat Pulp & Paper (INKP) Bangun Pabrik Baru Senilai Rp54 triliun: Prospek Sahamnya?

Prospek Saham Energi Terbarukan, Kencana Energi Lestari (KEEN)