Kunjungan Raja Salman, IPO Aramco, Harga Minyak, dan.. Batubara?

Ada yang menarik ketika Raja Salman dari Arab Saudi mengunjungi Indonesia, dan itu tentu saja bukan ketika beliau bersalaman dengan Gubernur DKI, dimana ceritanya sempet heboh kemarin. Melainkan, kunjungan sang Raja ke Indonesia merupakan rangkaian tour ke beberapa negara Asia. Yup, selain Indonesia, Raja Salman sebelumnya sudah ke Malaysia, dan selanjutnya beliau bakal ke Brunei, Jepang, China, hingga Maladewa. Untuk Indonesia sendiri, ini adalah kali pertama seorang Raja Arab berkunjung kesini dalam 47 tahun terakhir. Pertanyaannya, apa tujuannya?

Kalau kita perhatikan lagi negara-negara tujuan Raja Salman, maka akan diperoleh fakta menarik: Empat negara, yakni Malaysia, Indonesia, Brunei, dan Maladewa, kesemuanya merupakan negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam (sehingga secara tidak langsung memiliki kedekatan dengan sang Raja yang sama-sama beragama Islam), dan, secara ekonomi, merupakan negara berkembang. Sementara dua negara lagi, yakni Jepang dan China, keduanya bukanlah negara dengan penduduk mayoritas muslim, namun tergolong negara maju. Ketika kemarin sang Raja berkunjung ke Malaysia, kunjungan itu melahirkan beberapa kerjasama ekonomi antar kedua negara, salah satunya kerjasama antara Petronas dan Aramco untuk membangun kilang minyak senilai US$ 7 milyar, di Malaysia. Sementara di Indonesia, Raja Salman juga akan menempatkan investasi disini, terutama untuk proyek infrastruktur. Nilainya berapa? Well, bisa sampai US$ 25 milyar atau setara Rp300 trilyun.. termasuk kerjasama antara Pertamina dan Aramco untuk membangun kilang minyak di Cilacap, Jawa Tengah, senilai US$ 6 milyar. A very big money, tentu saja.

Untuk Brunei dan Maladewa, mungkin Raja Salman juga akan berinvestasi disana, tapi mungkin juga ada tujuan lain. Sementara untuk China dan Jepang, maka tujuannya adalah sebaliknya: Untuk mengajak kedua negara untuk berinvestasi di Arab Saudi. Nah, beberapa bulan sebelum Raja Salman mulai jalan-jalan, sudah ramai berita bahwa Saudi Aramco, perusahaan minyak terbesar di dunia milik Pemerintah Arab Saudi, akan menggelar IPO tahun 2018 mendatang, dimana IPO tersebut, jika berjalan sesuai rencana, maka akan menjadi IPO terbesar di dunia, karena Aramco akan melepas 5% sahamnya ke publik senilai US$ 100 milyar (yang itu artinya Aramco dianggap bernilai US$ 2 trilyun). Oleh Pemerintah Arab Saudi selaku pemegang saham pengendali Aramco, duit US$ 100 milyar itu akan diinvestasikan kembali ke sektor-sektor non-migas baik di dalam maupun luar negeri, untuk mengurangi ketergantungan negara terhadap minyak. Namun tentu, tidak semudah itu untuk menarik minat investor hingga kemudian terkumpul dana sebesar itu (US$ 100 milyar itu empat kali lebih besar dari IPO terbesar saat ini, yakni Alibaba, senilai US$ 25 milyar). Karena itulah Raja Salman sendiri yang kemudian datang langsung ke Jepang dan China, dan mungkin juga negara-negara maju lainnya, untuk mengajak mereka berinvestasi di Arab Saudi termasuk membeli saham Aramco.


Jadi berbeda dengan negara ‘Petrodollar’ lainnya seperti Qatar dan Uni Emirat Arab, yang hanya menggunakan uang mereka sendiri (hasil dari jualan minyak) untuk berinvestasi di di dalam maupun luar negeri (Qatar Investment Authority adalah pemilik dari klub sepakbola Paris Saint Germain, pemegang 17% saham di Volkswagen, 8.2% saham di Glencore, dst. Sementara Emirates Investment Authority adalah pemilik klub Manchester City, Etisalat, dst), maka Arab Saudi lebih terbuka dengan juga menerima duit dari luar, termasuk meng-IPO-kan Aramco (meski dengan nilai yang amat sangat besar), untuk kemudian mereka putar lagi duitnya ke banyak sektor usaha. Memang ada yang mengatakan bahwa Arab Saudi dibawah Pemerintahan yang baru (Raja Salman baru naik tahta pada Januari 2015, menggantikan Raja Abdullah) berambisi untuk membawa Arab Saudi menjadi negara yang benar-benar maju. Sebab meski mereka kaya akan minyak, dan juga merupakan juru kunci dari Masjidil Haram di Mekah yang menjadi tujuan haji umat muslim dari seluruh dunia, tapi mereka tidak punya sumber ekonomi lainnya lagi. Dari sisi nilai GDP-pun, Arab Saudi hanya memiliki GDP US$ 646 milyar, atau masih dibawah Indonesia yang US$ 862 milyar (tapi jumlah penduduk Arab cuma 28.8 juta, atau sangat sedikit dibanding Indonesia yang mencapai 271 juta, sehingga GDP per kapita disana jauh lebih besar dibanding disini), sehingga belum bisa disebut sebagai negara maju.

Dan ambisi itu langsung terlihat tak lama setelah Raja Salman naik tahta. Masih di bulan Januari 2015, Pemerintah Arab meluncurkan ‘Vision 2030’ yang berisi target-target pengembangan ekonomi di berbagai bidang, termasuk diresmikannya sovereign wealth fund (badan investasi milik negara) dengan dana kelolaan US$ 2 trilyun, dimana dana tersebut salah satunya diperoleh dari IPO Aramco. Pemerintah Arab Saudi mendirikan Council for Economic and Development Affairs sebagai badan otoritas dan pelaksana Vision 2030, dan Raja Salman menunjuk putra mahkotanya langsung, Prince Mohammad, sebagai chairman dari badan otoritas tersebut.

Okay, lalu apa hubungannya ini semua dengan Indonesia?

Ada beberapa hal yang bisa diperhatikan. Pertama, apa yang dilakukan Arab Saudi ketika mereka berambisi menjadi negara maju, termasuk dengan membuka peluang bagi negara-negara lain untuk berinvestasi disana, ini mirip dengan yang dilakukan Indonesia sekarang ini. Dulu, investasi asing di Indonesia hanya didominasi tiga negara, yakni Jepang, Singapura, dan Amerika Serikat, namun Indonesia sekarang ini juga menjadi tujuan investasi bagi China, dan mungkin juga Arab Saudi. Ketika ada banyak negara lain yang berinvestasi disini, maka Pemerintah tidak akan lagi terlalu bergantung pada satu investor saja. Yup, posisi Indonesia sekarang ini sudah mirip-mirip dengan Singapura yang terima duit dari sana sini, dan untungnya berbeda dengan Singapura, Indonesia memiliki wilayah yang sangat luas dan juga banyak sektor usaha, sehingga kita tidak perlu lagi berinvestasi keluar negeri karena ada banyak wilayah dan sektor-sektor didalam negeri yang bisa dikembangkan. Khusus dari Arab Saudi, jika Pemerintah disana sukses mengumpulkan dana hingga US$ 2 trilyun untuk wealth fund-nya, termasuk sukses meng-IPO-kan Aramco, maka mungkin mereka benar-benar bakal naroh duit sampai US$ 25 milyar disini, atau malah lebih besar lagi. Sebab kalau dilihat dari tour Asia-nya sekarang ini, maka sepertinya Pemerintah Arab hanya mau berinvestasi di negara yang berstatus sebagai 'saudara sesama muslim'.

Kedua, kalau Pemerintah Arab ingin IPO Aramco-nya sukses, maka mereka harus memastikan satu hal: Stabilnya harga minyak. Karena gak mungkin investor mau beli saham Aramco kalau harga minyak jeblok. Nah, ketika pada Januari 2016 lalu harga minyak anjlok hingga dibawah US$ 30 per barel, penulis termasuk yang berpendapat bahwa, dengan mempertimbangkan sejarahnya sejak tahun 1860, maka dengan memasukkan faktor inflasi, harga minyak memang lebih sering berada di level US$ 15 – 30 per barel, dan hanya akan naik diatas itu kalau ada penyebab yang spesifik. Harga minyak bisa melambung tinggi hingga tembus US$ 100 pada dekade 2000-an karena meningkatnya permintaan dari China. Namun seiring dengan perlambatan ekonomi disana, maka permintaan minyak menurun, dan alhasil harga minyak bukannya turun, tapi balik lagi ke level normalnya, yakni US$ 15 – 30 per barel. Anda bisa baca lagi analisisnya disini.

Tapi ternyata hanya setahunan kemudian, sekarang harga minyak sudah naik ke level US$ 50-an per barel dan stabil disitu, padahal oil demand dari China masih segitu-gitu aja. Namun dengan munculnya cerita IPO Aramco ini sejak beberapa bulan lalu, maka kenaikan harga minyak itu menjadi bisa dijelaskan bukan? Kalau lihat kejadian tahun 2007 lalu dimana harga minyak sempet terbang sampai tembus US$ 144 per barel, padahal gak ada faktor fundamental apapun, maka mungkin sebenarnya mudah saja bagi siapapun untuk ‘menyetel’ harga minyak di level tertentu. Seandainya saat ini harga minyak masih terpuruk di level dibawah US$ 30, maka IPO Aramco menjadi mustahil untuk dilaksanakan, apalagi dengan target perolehan dana sebesar itu.

Ketiga, seperti yang kita ketahui, harga batubara juga naik sejak pertengahan 2016 lalu, dengan kenaikan yang sangat cepat. Penulis sendiri kaget ketika kemarin harga batubara naik dari US$ 54 hingga tembus US$ 100 per ton hanya dalam hitungan minggu, meski sekarang mulai turun lagi di level US$ 80-an, dan stabil disitu. Karena kalau penyebab dari kenaikan harga batubara ini adalah karena China mengurangi produksi batubaranya, maka harusnya naiknya gak sekenceng itu juga. Tapi ketika melihat kenaikan harga minyak, maka penulis teringat lagi satu rumus klasik: Kalau harga minyak naik, maka harga batubara biasanya akan naik juga. Dan memang kenaikan harga batubara dari US$ 54 ke US$ 80-an, maka persentase kenaikannya kurang lebih sama dengan kenaikan harga minyak dari US$ 27 ke US$ 53 per barel.

Dan kalau kedepannya harga minyak naik lagi, atau minimal stabil di posisinya saat ini, maka menurut anda bagaimana dengan harga batubara?

Kesimpulan

Kombinasi antara masuknya investasi dari Arab Saudi, stabilnya harga minyak, dan naiknya harga batubara, pada akhirnya akan membuat perekonomian Indonesia berpeluang untuk tumbuh kencang dalam beberapa tahun dari sekarang, dimulai dari tahun 2017 ini. Jika dibandingkan dengan tahun 2011 lalu, dimana Indonesia mengalami puncak pertumbuhan ekonominya hingga 6.9%, maka bisa penulis katakan bahwa kondisi sekarang jauh lebih baik. Karena, perhatikan: Pada tahun 2011, harga batubara dan CPO, yang merupakan komoditas tulang punggung perekonomian nasional, memang sedang tinggi-tingginya (batubara sempat berada di level US$ 120 per ton). Tapi ketika itu harga minyak juga masih mahal di level US$ 100-an per barel, yang menyebabkan Pemerintah harus membayar subsidi BBM dalam jumlah besar (soalnya minyaknya harus impor) sehingga gak ada lagi sisa duit untuk pembangunan. Disisi lain Pemerintah ketika itu masih tertutup alias tidak mau menerima investasi apapun dari luar negeri, kecuali yang sudah ada saja. Sebelum kunjungan Raja Salman, gak pernah ada cerita kalau Arab Saudi mau berinvestasi disini.

Sementara sekarang ini, harga batubara mulai stabil di level US$ 80-an per ton (termasuk harga CPO juga sudah lumayan tinggi di RM2,900-an per ton), dimana meski harga tersebut belum setinggi tahun 2011 lalu, tapi disisi lain cash cost produksi batubara juga sudah turun sekitar US$ 10 – 20 untuk setiap ton batubara yang dihasilkan, terutama karena turunnya harga minyak diesel (untuk menggali dan mengangkut batubara kan harus pake excavator dan truk yang segede gaban itu, dan mereka minumnya solar). Ini artinya, kalau bagi perusahaan-perusahaan batubara, maka meski harga batubara sekarang masih dibawah US$ 100 per ton, tapi mereka sudah bisa menghasilkan profit yang hampir sama besarnya dengan tahun 2011 lalu! Untuk Pemerintah, meski sekarang ini harga minyak mulai naik lagi, tapi asalkan kenaikannya gak sampai tembus US$ 100 per barel lagi, maka mereka tidak perlu kembali mensubsidi BBM, sehingga duitnya tetap bisa dipakai untuk pembangunan. Dan karena nanti ada duit tambahan dari Arab, plus tambahan royalti dan pajak dari perusahaan-perusahaan batubara, artinya pembangunannya bisa lebih gencar lagi. Kombinasi antara kembali pulihnya harga komoditas, plus gencarnya pembangunan, pada akhirnya akan membuat pertumbuhan ekonomi melaju kencang, bahkan lebih kencang lagi dari yang sudah-sudah. Dalam beberapa tahun dari sekarang, penulis kira kita akan menyaksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai 7 - 8% per tahun.

And of course, jika semua hipotesa diatas menjadi kenyataan, maka pasar modal di dalam negeri akan ikut terkena imbasnya. Di tahun 2017 ini IHSG kemungkinan akan kembali break new high, setelah terakhir kali itu terjadi pada awal tahun 2015 lalu. Dan kalau pada tahun 2018 nanti Aramco benar-benar go public (Aramco akan listing di Bursa Saham Arab Saudi, Tadawul. Tapi karena ukurannya sangat besar maka kemungkinan dia juga akan listing (dual listing) di New York, Toronto, London, atau bahkan Singapura), maka pasar modal di seluruh dunia akan mengalami euforia terutama di sektor perminyakan, setidaknya selama sesaat, apalagi jika saham Aramco sukses naik. Dan ketika para fund manager global sedang bersemangat untuk belanja saham-saham perusahaan minyak di seluruh dunia, maka mereka juga bakal mampir kesini untuk belanja saham-saham migas, batubara, dan komoditas lainnya. Alhasil IHSG, yang mungkin sudah naik cukup tinggi sepanjang tahun 2017, di tahun 2018 tersebut bakal naik lebih tinggi lagi!

Btw, Mas Teguh, sampeyan kok keliatannya semangat banget tho? Ya memang! Setelah beberapa tahun di market, baru kali ini saya merasa se-antusias ini. Karena kalau boleh jujur, kita sudah ‘puasa’ cukup lama sejak tahun 2013 lalu, dimana IHSG selama empat tahun terakhir cuma jalan di tempat (waktu IHSG naik 15% di tahun 2016 kemarin pun, itu cuma mengkompensasi penurunan yang terjadi di tahun 2015), dan selama empat tahun tersebut penulis sendiri belum melihat tanda-tanda bahwa IHSG akan melaju kencang lagi seperti dekade 2000-an dulu.

Namun untuk sekarang ini, well.. Tanda-tandanya mulai kelihatan :) Jika semuanya berjalan lancar, maka dalam lima tahun kedepan akan banyak muncul millionaire baru dari pasar modal di tanah air, dan mudah-mudahan kita semua termasuk didalamnya. Amin!

Tapi yah, pengalaman mengajarkan bahwa sebagai investor, kita jangan pernah larut dalam euforia, melainkan tetap harus realistis dan berhati-hati. Ketika penulis mengatakan bahwa IHSG bakal break new high tahun ini, maka itu bisa saja terjadi, tapi bisa juga tidak, tergantung dari peristiwa apa saja yang akan terjadi, serta sentimen apa saja yang akan muncul dalam beberapa waktu kedepan. Well, mari kita liat nanti kedepannya bagaimana, dimana kalau nanti terjadi perubahan yang fundamental terhadap pasar, maka analisis diatas akan di-update. Just stay tune.

Info Investor: Buletin Analisis IHSG & Stockpick saham pilihan edisi Maret 2017 sudah terbit! Anda bisa langsung memperolehnya disini, gratis konsultasi saham langsung dengan penulis untuk member.

Follow/lihat foto-foto penulis di Instagram, klik 'View on Instagram' dibawah ini: Instagram

Komentar

Marta mengatakan…
WAh kalau pak teguh optimis, saya pesimis saja deh, jual2in porto
Unknown mengatakan…
dari prespektif sebaliknya justru di tahun 2017 dan 2018 ekonomi indonesia akan diuji (Moneter AS, Fed Rate, daya beli China, Politik & keamanan kawasan,dll)..
dan memang dibutuhkan turbulensi sebelum naik tinggi keatas...

Unknown mengatakan…
Ada cahaya di depan sana. Tapi kurasa jalan ke sana ga akan selancar itu. Ada yg bilang (coba digoogle) Saudi Aramco overvalued sampe 500%, dan bahwa selama ini perusahaan itu tidak terbuka, dan bahwa bisnis minyak Saudi korup. Tantangan bagi Saudi Aramco sangat besar. Tetap harus antisipasi kemungkinan buruk.
Unknown mengatakan…
Hati-hati bahwa jalan ke masa depan cerah itu, mungkin ga akan selancar yg diharapkan. Katanya Saudi Aramco overvalued sampe 500%, dan bahwa perusahaan itu selama ini tertutup dan mungkin korup. IPO terbesar dalam sejarah ini adalah tantangan terbesar bagi Saudi. Kalau gagal, bisa imbas ke kita juga. Waspada.
DragonLady mengatakan…
Amin....semoga kesampaian menjadi millionaire ;)
Bla-Bla Miko mengatakan…
Seru nih.. TInggal ngarep 'kewarasan' pelaku politik dalam negeri buat sama2 bikin suasana kondusif. Bagusnya mas Teguh kirim juga artikel ini ke para Anggota Dewan yang terhormat. Semoga mereka baca. Hehe
Unknown mengatakan…
Harga minyak bisa di atas 100/barell dengan banayknya energi terbarukan di dunia, apakah negara seperti amerika dan eropa masih banyak mengkonsumis batu bara?
kenapa Amarco yang di ipo karean penghasilan terbesar dr arab saudi adalah minyak,
Visi 2030 arab punya diversifikasi pendapatan di luar minyak
Bond SA $17.5b berbunga (yield) dari 2.375℅ sd 4.5%
Unknown mengatakan…
Idem dgn mbak Marta
Unknown mengatakan…
tapi kalo tidak salah, mereka investasi diindonesia ada timbal baliknya. indonesia harus membeli saham Aramco juga. jadi kita bukan nerima durian runtuh aja. harus kirim beberapa truk rupiah juga kesana. tidak ada makan siang gratis didunia ini.
Marta mengatakan…
You really want to be millionaire from stock market pak teguh? If yes, What we really need is not improvement in economy, What we really need is great, really great depression in our financial system, chaos, many bankruptcy proceeding. Yes that's what we really need.
rudykawi mengatakan…
Setuju ..semiga naik kenceng, sudah menipis nih cadangan cashflow, tapi masih bisa tahan deh buat kenaikan nanti karena ulasannya masuk akal,...bravo pak teguh...kita tahan sesuai anjuran ..semoga bener....
andreas mengatakan…
Mas Teguh, apa yg anda tulis sekarang sudah mulai terbukti. Good job

ARTIKEL PILIHAN

Live Webinar Value Investing, Sabtu 16 Maret 2024

Ebook Investment Planning Kuartal IV 2023 - Sudah Terbit!

Laporan Kinerja Avere Investama 2022

Peluang dan Strategi Untuk Saham Astra International (ASII)

Indo Tambangraya Megah: Masih Royal Dividen?

Indah Kiat Pulp & Paper (INKP) Bangun Pabrik Baru Senilai Rp54 triliun: Prospek Sahamnya?

Prospek Saham Energi Terbarukan, Kencana Energi Lestari (KEEN)