Asing Jualan Terus?

Hingga Selasa kemarin, 12 September 2017, investor asing masih saja jualan hingga posisi net buy asing sejak awal tahun, yang sebelumnya sempat hampir tembus Rp20 trilyun pada April lalu, sekarang sudah minus alias net sell, tepatnya minus Rp7 trilyun. Penulis pun menerima banyak pertanyaan, kenapa asing terus keluar? Tapi yang terpenting disini sebenarnya bukan soal kenapa mereka keluar, melainkan: Bagaimana dampak dari keluarnya asing terhadap pasar? Dan bagaimana strategi investasi yang paling tepat dalam situasi pasar seperti sekarang ini?

Perbandingan nilai transaksi asing vs domestik hingga 12 September 2017. Perhatikan bahwa investor domestik sekarang ini menguasai 64% volume transaksi di bursa (biasanya hanya 50 - 55%).

Berdasarkan pengalaman, ketika asing entah itu belanja atau jualan, maka itu akan berpengaruh terhadap naik turunnya IHSG dalam jangka pendek, dalam hal ini selama beberapa minggu atau bulan. Yup, jadi kalau asing banyak belanja, maka IHSG akan naik, sementara kalau mereka jualan maka IHSG akan turun. Sebenarnya kalau dalam jangka panjang, dalam hal ini tahunan, maka sering juga terjadi dimana asing jualan pada tahun-tahun tertentu tapi IHSG tetap naik pada tahun tersebut, atau sebaliknya asing banyak belanja namun IHSG malah turun. Namun sekali lagi, kalau dalam jangka pendek, maka jika asing terus jualan selama katakanlah 1 – 2 bulan, maka IHSG-nya biasanya bakal drop dalam 1 – 2 bulan tersebut. Pada tahun 2011 dan 2012, IHSG secara keseluruhan naik masing-masing 3.2 dan 12.9%, dan asing juga mencatatkan net buy. Namun pada bulan Oktober 2011 dan Mei 2012, IHSG sempat drop sekitar 15 – 20% dari posisi tertingginya, dan ketika itu salah satu pemicunya adalah keluarnya asing dalam jumlah besar di bulan-bulan tersebut.

Namun sejak 2016 lalu, inilah yang terjadi: Ketika asing belanja maka IHSG sedikit banyak akan naik, sementara ketika mereka jualan maka IHSG tidak turun, melainkan bergerak sideways saja. Kalau anda perhatikan, sejak terakhir kali pasar dihantam panic selling pada Agustus – September 2015 lalu, sampai sekarang alias sudah lewat dua tahun, IHSG belum pernah turun hingga katakanlah 10 – 20% dari posisi tertingginya, dan ini merupakan sesuatu yang tidak seperti biasanya. Sebab kalo kita lihat lagi pergerakan IHSG pada tahun-tahun sebelum 2015, maka IHSG biasanya akan mengalami koreksi pada bulan-bulan tertentu, entah itu di bulan Mei (yang kemudian memunculkan istilah sell in may and go away), Agustus, atau bahkan Januari. Termasuk di tahun 2010, dimana meski IHSG pada tahun tersebut secara keseluruhan naik 46%, namun pada bulan Mei-nya IHSG sempat drop dari 2,971 hingga 2,501, atau turun lebih dari 20%.

Nah, sekilas, kondisi pasar dimana IHSG tampak stabil dan tidak mengalami koreksi, maka itu tentu bagus, karena emosi pelaku pasar juga jadi ikut stabil dimana tidak ada lagi cerita panic selling atau margin call. Namun demikian kondisi ini telah menimbulkan setidaknya dua problem.

Pertama, meski koreksi atau penurunan IHSG tampak buruk, namun penurunan IHSG setiap beberapa waktu sekali justru diperlukan agar saham-saham tertentu yang sudah naik kelewat tinggi hingga valuasinya menjadi tidak wajar, atau overvalue, mereka bisa turun lagi ke level yang memang seharusnya, sehingga menjadi layak buy kembali. Dan itu sebabnya penurunan IHSG seringkali disebut sebagai koreksi, karena itu justru mengembalikan harga-harga saham ke level wajar/murah mereka masing-masing. Berdasarkan pengalaman, kenaikan harga-harga saham secara terus menerus tanpa diiringi koreksi yang sehat, pada akhirnya justru akan menimbulkan kejatuhan pasar yang jauh lebih buruk dibanding sekedar ‘koreksi sehat’ tadi. Contohnya? Well, pada tahun 2003, 2004, 2005, 2006 dan 2007, IHSG terus saja naik dari posisi 700 hingga tembus 2,700, atau naik lebih dari tiga kali lipat dalam waktu tidak sampai lima tahun, dan nyaris tanpa diselingi oleh koreksi yang berarti. Tapi kita tentu sudah tahu, apa yang kemudian terjadi di tahun 2008.

Namun untungnya, meski IHSG belum mengalami koreksi lagi sejak September 2015, tapi kenaikan IHSG dalam dua tahun terakhir terbilang moderat yakni sekitar 40%, atau dengan kata lain, kenaikannya gak sekencang tahun 2013 – 2017. Dan yang juga perlu diingat adalah, kondisi makroekonomi sekarang ini relatif lebih baik dibanding 2015, jadi kenaikan IHSG terbilang reasonable, dan penulis belum melihat tanda-tanda bahwa market crash 2008 akan kembali terulang. Namun poin penulis disini adalah, ketika IHSG naik terus tanpa ‘istirahat’ sama sekali, maka itu tidak bagus karena kita tidak lagi memiliki banyak pilihan saham untuk dibeli, karena beberapa saham berfundamental bagus sudah naik kelewat tinggi.

Kondisi Pasar Sekarang Ini: Sedang Terkoreksi

Kedua, meski kalau berdasarkan pergerakan IHSG-nya, maka pasar saham Indonesia boleh dikatakan belum pernah mengalami crash lagi sejak Agustus – September 2015 lalu, namun tetap saja: Ketika asing mulai keluar dari market, maka saham-saham tertentu mulai turun secara signifikan, dan terus saja turun. Dan jumlah saham yang turun ini tidak sedikit. Pada Agustus 2016 lalu, ketika euforia sentimen tax amnesty mulai mereda dan investor asing, yang sebelumnya belanja besar-besaran, mulai keluar lagi dari pasar, ketika itu IHSG tetap stabil di level 5,400-an (sempat drop ke 5,100-an di bulan September, tapi dengan cepat naik lagi). Nevertheless, ketika itu ada banyak saham yang sebelumnya terbang pada bulan Juni – Juli 2016, perlahan tapi pasti turun lagi. Yang paling penulis ingat adalah saham Gajah Tunggal (GJTL), yang pada bulan Mei - Agustus melompat dari 700-an hingga 1,700, tapi memasuki September dia mulai turun lagi, dan terus saja turun hingga akhirnya balik lagi ke 1,000-an pada akhir tahun, padahal tidak ada perubahan fundamental apapun (kalau sekarang sih, GJTL memang merugi di Kuartal II 2017).

Tapi GJTL tidak sendirian, karena ada banyak saham lain termasuk big caps (BBRI dkk) yang juga cenderung turun pada bulan September tersebut hingga akhir tahun. Namun entah bagaimana ceritanya, IHSG-nya hanya turun sedikit saja, hingga akhirnya ditutup di posisi 5,297 pada 30 Desember (dibanding posisi tertingginya di bulan Oktober yakni 5,470).

Dan untuk Semester Dua 2017 ini, cukup jelas bahwa kondisi yang sama kembali terjadi: IHSG-nya kelihatan baik-baik saja, tapi sejak Mei kemarin asing-nya jualan terus! Dan alhasil ada banyak saham yang turun sendiri, dan tidak main-main, beberapa dari mereka turun hingga ke posisi terendahnya dalam lima tahun terakhir (istilahnya new low). Yang paling mencolok salah satunya penurunan saham-saham konstruksi, tapi silahkan anda perhatikan lebih detil lagi: Saham-saham di sektor lain juga banyak yang digebuk, tak peduli meski fundamental mereka bagus atau jelek, tak peduli valuasinya murah atau mahal.

Jadi kalau dikatakan bahwa pasar belum pernah mengalami koreksi lagi sejak tahun 2015, maka itu tidak sepenuhnya tepat. Yang benar adalah, pada September – Desember 2016 lalu pasar mengalami koreksi, dan pada waktu-waktu belakangan ini, pasar kembali mengalami koreksi tersebut. Namun karena disisi lain IHSG-nya tampak baik-baik saja, maka penulis menyebutnya dengan koreksi yang tidak kelihatan.

Dan terus terang, penulis sendiri lebih suka koreksi pasar dimana IHSG-nya benar-benar turun, dibanding 'koreksi tanggung' seperti yang terjadi sekarang ini. I mean, biasanya kalau kita melihat bahwa IHSG akan turun, maka strateginya sangat simpel: Segera jual beberapa pegangan, dalam rangka mengumpulkan cash untuk nanti dipake belanja lagi, dan memang itu pula yang kita lakukan sebelum terjadi panic selling tahun 2015 lalu. Tapi bagaimana kalau situasinya seperti sekarang? Dimana beberapa saham memang turun, namun beberapa lagi bergerak mendatar, dan selebihnya malah terus saja naik? (karena memang IHSG-nya nggak drop). Jadi kalau anda mau masuk ke BBRI, misalnya, maka harga sekarang jelas tanggung sehingga sebaiknya kita tunggu sahamnya turun dulu, tapi nyatanya BBRI tetap saja gak mau turun karena memang IHSG-nya gak turun. Tapi kalau mau masuk ke WSKT, maka apa anda berani? Jelas-jelas dia sudah new low begitu. Penulis yakin para broker dan analis sekuritas juga sudah pusing menerima rentetan pertanyaan dari para nasabah mereka: Kenapa saham A turun? Kenapa saham B turun? Sebab dalam kondisi pasar bearish dimana IHSG-nya turun, maka mereka bisa dengan simpel menjawab, 'Marketnya sekarang lagi bearish pak, IHSG-nya lagi turun, jadi wajar jika saham-saham pada turun. Tapi nanti juga naik lagi'.

Tapi kalau koreksi pasar yang terjadi adalah seperti sekarang, maka bagaimana menjelaskannya ke para nasabah?? Lha wong IHSG-nya juga nggak turun kok!

Strategi Pertama: Wait n See Diluar

Anyway, penulis menghabiskan banyak waktu untuk menyusun ulang strategi investasi untuk menghadapi situasi pasar yang tidak-seperti-biasanya ini, dan berikut adalah beberapa opsi tindakan yang bisa anda lakukan.

Pertama, kita bisa terapkan strategi normal ketika pasar sedang bearish, yakni: Anda bisa jual sebagian besar saham, kemudian pegang cash, dan tunggu saja sampai awal tahun 2018. Kenapa harus sampai awal tahun? Well, berkaca pada situasi pasar di Semester Dua 2016, ketika itu saham-saham big caps sekalipun, yang sebelumnya tampak tidak tergoyahkan (sementara saham-saham second liner sudah banyak yang jatuh sejak September), pada akhirnya tetap turun di akhir tahun (Desember), dan IHSG itu sendiri tetap turun meski tidak signifikan. Penyebab penurunan saham-saham ketika itu juga sama seperti sekarang: Asing jualan terus. Poin pentingnya disini adalah, sama seperti halnya kita tidak tahu apa yang menyebabkan asing jualan, kita juga tidak tahu kapan mereka akan masuk lagi ke pasar. Tapi yang jelas sampai sekarang belum ada sentimen positif tertentu yang bisa mendorong asing untuk masuk lagi. Kemudian, seperti halnya investor domestik, asing juga biasanya baru akan belanja lagi pada awal tahun.

Kelemahan dari strategi ini adalah, anda akan miss peluang di saham-saham tertentu yang tetap bergerak naik. Yup, kalau IHSG-nya turun, maka hampir semua saham akan turun, jadi keputusan untuk ‘minggir dulu’ tetap merupakan keputusan yang terbaik. Tapi kalau IHSG-nya stagnan seperti sekarang, maka beberapa saham tetap akan naik, sama seperti di tahun 2016 dimana saham-saham batubara mulai rally justru pada bulan September – Oktober.

Namun hanya dengan strategi inilah, anda tidak lagi menanggung risiko bahwa saham anda bakal turun (karena memang anda megang cash), dan yang paling penting: Kalau anda sejak awal sudah punya incaran saham tertentu, maka meski dalam beberapa bulan kedepan anda mau tidak mau harus bersabar dulu/jangan masuk dulu, tapi profit yang akan anda peroleh di tahun 2018 nanti bisa sangat signifikan. Contoh, pada tahun 2016 lalu, saham Bank BNI (BBNI) secara keseluruhan hanya mondar-mandir saja di 5,000 – 5,500, bahkan sempat drop sampai 4,000 di bulan Mei (lalu sempat naik karena euforia tax amnesty, tapi menjelang akhir tahun turun lagi). Tapi memasuki 2017, BBNI akhirnya rally, dan sekarang sudah di level 7,000-an, atau mencetak profit lebih dari 40% hanya dalam hitungan bulan (atau bahkan 70%, jika anda buy-nya sejak harga 4,000-an).

Dan tidak cuma BBNI, tapi ada banyak juga saham lain yang cuma 'ngetem' saja sepanjang tahun 2016, tapi baru jalan lagi tahun 2017. Jadi maksud penulis adalah, meski dengan strategi ini maka anda akan tampak ketinggalan kereta karena saham-saham tertentu tetap bergerak naik, namun anda tidak perlu khawatir karena akan ada banyak ‘kereta’ lain yang menunggu anda di awal tahun 2018 nanti. Pada tahun 2016, saham-saham perbankan nyaris tidak menghasilkan profit sama sekali, dan itu tampak buruk mengingat di tahun 2016 tersebut, IHSG secara keseluruhan naik 15.3%. Tapi di tahun 2017 ini, seperti yang bisa anda lihat, BBRI dkk naiknya paling tinggi dibanding saham-saham big caps lainnya. Jadi penulis kira untuk tahun 2017 ini juga sama: Beberapa saham mungkin memang belum perform untuk tahun ini, namun mereka tetap berpeluang untuk menghasilkan profit jumbo di tahun 2018, jadi yang perlu kita lakukan hanyalah menunggu sampai awal tahun. Actually, penulis sendiri sudah punya list saham-saham yang meski sekarang ini tampak terpuruk, but we’ll see, bagaimana mereka nanti di tahun 2018.

Hanya saja, untuk mempraktekkan strategi diatas maka diperlukan kesabaran ekstra, dan jangankan menunggu sampai akhir tahun, penulis tahu persis bahwa sebagian dari anda tidak cukup sabar untuk menunggu barang satu hari. Jadi berikut adalah strategi kedua.

Strategi Kedua: Selective Buying dengan Tetap Menyisakan Cash

Kedua, anda bisa tetap belanja/pegang saham-saham tertentu, namun kali ini harus lebih selektif. Penulis dalam beberapa bulan terakhir mengamati saham-saham yang bergerak naik, dan terdapat setidaknya dua kesamaan: 1. Merupakan saham yang perusahaannya cukup populer, tidak hanya di mata investor tapi juga masyarakat umum, 2. Mereka sejak awal trendnya sedang naik/uptrend. Pertanyaannya, kenapa bisa timbul dua kesamaan tersebut?

Tapi mungkin hal ini bisa menjawabnya. Beberapa waktu lalu, Kustodian Sentra Efek Indonesia (KSEI) mengklaim bahwa jumlah investor ritel di bursa, setidaknya dari jumlah rekening sekuritas, itu sudah tembus 1 juta rekening, atau meningkat tiga kali lipat dibanding tahun 2013 yang hanya 350 ribu rekening, thanks to kampanye ‘Yuk Nabung Saham!’ dan promosi-promosi lainnya yang dilakukan oleh BEI dkk. Nah, meski para investor baru ini belum tentu langsung menyetor dalam jumlah besar ke rekening sekuritas mereka (sebab sekarang ini anda bisa membuka rekening saham dengan menyetor Rp100,000 saja, berbeda dengan tahun 2009 dulu dimana  minimal setoran adalah Rp5 juta), namun yang jelas pasar saham sekarang ini didominasi oleh investor domestik (jadi tidak lagi didominasi asing seperti biasanya), dimana sebagian diantaranya merupakan wajah-wajah baru , yang tentu saja belum berpengalaman/masih perlu waktu untuk mempelajari cara menganalisa saham dll.

Dan kalau anda berada dalam posisi sebagai investor pemula seperti itu, maka saham apa yang akan anda beli pertama kali?? Benar sekali: Saham dari perusahaan-perusahaan yang anda tahu dulu, alias terkenal, seperti Unilever (UNVR), Bank BCA (BBCA), Jasa Marga (JSMR), dst.

Kemudian kedua, saham tersebut harus tampak sedang bergerak naik, alias sedang uptrend. Logikanya, ketika seorang investor yang masih awam tertarik pada saham tertentu, tapi saham tersebut sedang turun (misalnya konstruksi), maka otomatis dia bakal takut untuk masuk, karena bagaimana kalau besok-besok sahamnya lanjut turun lagi? Tapi ketika ia kemudian mendengar saham A sedang naik, maka dia akan masuk dengan harapan besok-besok saham A tersebut bakal naik lebih lanjut, apalagi jika ia memperoleh ‘testimoni’ dari temannya yang sudah untung di saham A tersebut karena sudah beli duluan di harga bawah, katakanlah sebulan sebelumnya.

Dan alhasil, kalau anda perhatikan dalam beberapa bulan terakhir ini, saham yang naik terus saja naik, sementara saham yang turun terus saja turun! Semetara selebihnya sepi-sepi saja/volumenya jadi gak likuid. Normalnya kan, kalau ada saham berfundamental bagus sedang turun, maka penurunannya akan mentok di titik tertentu, yakni ketika investor menganggap bahwa valuasi saham tersebut sudah cukup murah. Tapi yang terjadi sekarang ini adalah, kalau ada saham sedang turun, maka dia bisa turun sampai berapa saja, karena entah itu investor asing maupun lokal gak ada yang mau nampung. Pasar saham sekarang ini tengah didominasi oleh investor yang, sekali lagi, hanya tertarik pada saham dari perusahaan ternama, dan sahamnya sedang bergerak naik.

Jadi, yup, untuk strategi kedua ini adalah, diluar menetapkan kriteria bahwa sahamnya harus berfundamental bagus dan valuasinya masih murah, maka anda harus menambah setidaknya dua kriteria lagi, yakni 1. Perusahaannya populer, dan 2. Sahamnya sedang uptrend, atau minimal tidak sedang downtrend (apalagi kalau sudah new low). Kabar baiknya, meski beberapa saham yang sudah naik banyak valuasinya tidak lagi murah, tapi masih ada beberapa saham yang sedang uptrend sementara valuasinya (PER dan PBV-nya) masih rendah, jadi anda tetap punya pilihan saham untuk dibeli.

Hanya saja strategi nomor dua diatas tentu mengandung risiko, dimana saham yang sebelumnya sudah naik banyak tentu saja bisa turun lagi kalau ada profit taking atau semacamnya, tak peduli valuasi mereka masih murah. Jadi dalam hal ini anda bisa juga ambil strategi nomor satu, yakni wait n see saja diluar. Atau, anda bisa juga tetap belanja saham-saham tertentu, namun sisakan cash dalam jumlah besar, misalnya 50 – 70% dari total porto. Secara psikologis, memegang cash dalam jumlah besar akan membantu kita untuk tetap tenang menghadapi situasi pasar yang, sekali lagi, tidak-seperti-biasanya ini, termasuk gak akan merasa berat untuk cut loss, jika sewaktu-waktu itu memang harus dilakukan.

Dan kalaupun anda memilih untuk wait n see saja diluar, maka ingat sekarang sudah bulan September, yang artinya ‘tahun depan’ itu tinggal 3 – 4 bulan lagi, alias nggak selama itu juga/itungannya masih jangka pendek. Anyway, strategi manapun yang anda pilih, tapi intinya ingat bahwa kalau kinerja portofolio anda belakangan ini kurang memuaskan, maka anda tidak sendirian karena orang lain juga sama begitu, karena IHSG-nya sama sekali tidak se-stabil kelihatannya, dan ingat pula bahwa pasar tidak akan selamanya bersikap ‘kurang bersahabat’ seperti sekarang ini, melainkan nanti akan ada masanya lagi dimana Mr. Market akan kembali merangkul para investor yang mampu untuk bersabar. Tahun 2015 lalu, entah berapa banyak investor ritel yang rugi besar-besaran ketika IHSG sejatinya hanya drop 12%, namun hanya mereka yang mampu bertahan-lah, yang kemudian meraup profit jumbo ketika di tahun 2016-nya, IHSG kembali naik 15%. So, good luck!

Penulis membuat buku yang berisi kumpulan analisis saham-saham pilihan berdasarkan kinerja emiten di Kuartal II 2017. Anda bisa memperolehnya disini.

Follow/lihat foto-foto penulis di Instagram, klik 'View on Instagram' dibawah ini: Instagram

Komentar

Anonim mengatakan…
Pa teguh tolong analisa saham ipo gmf aero asia
Tirto. mengatakan…
Selamat Malam Pak Teguh, Artikel Bagus, kalimat di atas " ...... ‘koreksi sehat’ tadi. Contohnya? Well, pada tahun 2013, 2014, 2015, 2016, dan 2017, IHSG terus saja naik dari posisi 700 hingga tembus 2,700, ..... " mungkin yang dimaksud adalah tahun 2003,2004,2005,2006, dn 2007.....
Dan
"..... atau dengan kata lain, kenaikannya gak sekencang tahun 2013 – 2017. Dan yang juga perlu diingat adalah, kondisi makroekonomi sekarang... "mungkin yang dimaksud ... gak sekencang 2003-2007 ..... dari Tirto.
tangkas mengatakan…
Thanks for your analysis Pak Teguh.

Btw ada sedikit Typo pak, di paragraf 5 yang tertulis "pada tahun 2013, 2014, 2015, 2016, dan 2017" seharusnya 2003 - 2007.
Raihan mengatakan…
Contohnya? Well, pada tahun 2013, 2014, 2015, 2016, dan 2017, IHSG terus saja naik dari posisi 700 hingga tembus 2,700, atau naik lebih dari tiga kali lipat dalam waktu tidak sampai lima tahun, dan nyaris tanpa diselingi oleh koreksi yang berarti. Tapi kita tentu sudah tahu, apa yang kemudian terjadi di tahun 2008.

2003-2007 kali mksdny ya ini pak..
Unknown mengatakan…
WSKT, WSBP, WIKA sudah sangat menjelaskan pak, susah ditebak N membutuhkan kesabaran alias wait n see dulu.
Unknown mengatakan…
Thx analisisnya pak, tp klo harus jual sebagian besar sampe 50-70% porto, ruginya terlalu besar. Saya sih tetap wait n see dlu walopun nyangkut, yg penting fundamental bagus
Anonim mengatakan…
@Erose Perwita:

setuju..sama bu

ARTIKEL PILIHAN

Live Webinar Value Investing, Sabtu 16 Maret 2024

Ebook Investment Planning Kuartal IV 2023 - Sudah Terbit!

Laporan Kinerja Avere Investama 2022

Peluang dan Strategi Untuk Saham Astra International (ASII)

Indo Tambangraya Megah: Masih Royal Dividen?

Indah Kiat Pulp & Paper (INKP) Bangun Pabrik Baru Senilai Rp54 triliun: Prospek Sahamnya?

Prospek Saham Energi Terbarukan, Kencana Energi Lestari (KEEN)