Berapa Lama Sebaiknya Kita Hold Saham?

Beberapa waktu lalu penulis menerima pertanyaan sebagai berikut, ‘Pak Teguh, saya dengar Warren Buffett (WB) itu kalau sudah beli saham maka tidak pernah dijual lagi/di hold selamanya. Demikian pula Pak Lo Kheng Hong, yang dikatakan bisa hold saham sampai 7 tahun. Tapi Pak Teguh sendiri, saya perhatikan anda hold saham paling lama cuma sampai 1 – 2 tahun saja, selebihnya cuma hold beberapa bulan, dan ada juga saham-saham yang dibeli karena perusahaannya bayar dividen, untuk kemudian dijual setelah nanti dapet dividennya. Bisa tolong dijelaskan soal ini Pak?’

Nah, berhubung pertanyaan ini kemungkinan mewakili pertanyaan dari temen-temen investor lainnya, maka sekalian saya bikinkan saja artikelnya.

Jadi, yap, penulis sendiri ketika dulu pertama kali baca-baca tentang metode value investing, terutama tentang cara investasinya Warren Buffett, maka salah satu perbedaan mendasar antara beliau sebagai value investor dengan investor/trader saham kebanyakan adalah terkait holding period, alias seberapa lama ia memegang suatu saham, dimana jika investor lain cenderung main jangka pendek, maka WB mainnya jangka panjang. Dan yang dimaksud dengan ‘panjang’ disini adalah benar-benar puanjaaang, yakni antara 5 tahun hingga selamanya. Salah satu quote WB yang terkenal adalah, ‘my favorite holding period is forever’, yang mengindikasikan bahwa kalau Berkshire Hathaway (BRK) membeli saham tertentu, maka selanjutnya saham tersebut tidak akan dijual lagi sampai kapanpun.

Dua Kelemahan

Dan ketika itu, sebagai pemula, penulis pun kemudian mencoba menerapkan cara investasi WB tersebut. Tapi tak butuh lama sebelum saya kemudian menemukan setidaknya dua kelemahan dari strategi ‘holding forever’-nya WB ini. Pertama, keputusan untuk tetap hold saham akan menjadi keputusan yang buruk dalam kondisi bear market. Penulis masih ingat, pada bulan Mei 2010, saya untuk pertama kalinya berkenalan dengan market crash, dimana IHSG drop dari 2,971 hingga mentok di 2,501, atau drop 16% hanya dalam sebulan, dan ketika itu ada banyak saham-saham yang drop-nya sampai 20 – 30%.

Dan meski di bulan Juni-nya pasar langsung pulih lagi, dimana saham-saham bagus pada naik lagi, tapi dari pengalaman koreksi pasar tersebut penulis langsung menyadari bahwa seandainya saya beli saham-saham tertentu pada tahun 2007 lalu, lalu tetap meng-hold-nya meski pasar mengalami crash yang jauh lebih buruk di tahun 2008, maka bisa jadi sampai tahun 2010 tersebut, atau 3 tahun kemudian, saham yang saya pegang masih baru sekedar balik modal saja, alias baru naik lagi ke posisi harga belinya. Jadi dalam hal ini meski posisinya memang nggak rugi, tapi kita jadi kehilangan waktu 3 tahun yang amat sangat berharga, itu juga dengan asumsi kita gak panik ketika terjadi krisis, alias cukup kuat mental untuk terus hold sahamnya termasuk ketika krisis tersebut mencapai titik terendahnya, pada Oktober 2008 lalu.

Diluar faktor koreksi pasar/market crash yang bisa terjadi sewaktu-waktu, sekitar dua tahun kemudian penulis menyadari satu lagi faktor lainnya yang mengharuskan seseorang untuk menjual sahamnya (sehingga gak jadi pegang ‘forever’), yakni jika perusahaan yang bersangkutan mengalami perubahan fundamental. Yup, pada tahun 2011, saham-saham batubara mengalami kenaikan yang luar biasa seiring dengan kinerja emiten yang sangat baik, tapi di tahun 2012-nya laba mereka mulai turun, dan sahamnya pun ikut turun. Contohnya, Resource Alam Indonesia (KKGI), dimana sahamnya naik dari 1,000-an sampai tembus 8,000 (sebelum stocksplit) pada awal tahun 2012. Tapi pada Kuartal I 2012, perusahaan membukukan penurunan laba, atau dengan kata lain mengalami perubahan fundamental. Dan ternyata, seiring dengan penurunan harga batubara ketika itu, kinerja KKGI tidak pernah pulih lagi sampai tahun 2016. Sementara sahamnya? Well, drop dari 8,000-an tadi hingga as low as 500-an (sekali lagi, sebelum stocksplit), atau jeblok lebih dari 90 persen! Jadi bisakah anda bayangkan jika seseorang membeli KKGI ini di tahun 2012 tadi, lalu memutuskan untuk ‘hold forever’?? Karena faktanya, meski sejak pertengahan tahun 2016 kemarin saham KKGI mulai naik lagi, tapi sampai sekarang harganya masih sangat jauh untuk mencapai titik tertingginya di tahun 2012 lalu.

Itu pertama terkait faktor koreksi pasar, dan perubahan fundamental emiten. Kedua, penulis kemudian juga menyadari bahwa strategi ‘holding forever’ tidak menghasilkan kinerja investasi yang optimal. Contoh, pada akhir dekade 1980-an, WB mulai mengakumulasi saham Coca Cola (KO), hingga akhirnya BRK memegang KO senilai lebih dari US$ 1 milyar pada tahun 1990, dan ketika itu KO berada di level US$ 4 per saham dan terus naik. Hingga di tahun 1998, KO sudah berada di level diatas US$ 40, atau naik 10 kali lipat dari harga beli WB. Setelah itu KO mulai turun, dan terus saja turun sampai tinggal US$ 20 di tahun 2004 (penulis belum cek karena sulit cari datanya, tapi kemungkinan pada tahun-tahun tersebut Coca Cola mengalami penurunan kinerja). Dan barulah pada hari ini, atau hampir 20 tahun sejak saham KO mencapai titik tertingginya di tahun 1998, saham KO kembali naik ke level US$ 40-an.

Harga saham Coca Cola dari tahun 1975 sampai sekarang. Perhatikan bahwa harga sahamnya sekarang ini tidak jauh berbeda dibanding tahun 1998 lalu. Source: Google.

Jadi, yes, pada akhirnya WB tetap profit besar dari KO, tapi profit 1,000% dalam waktu hampir 30 tahun tentunya bukan kinerja investasi yang memuaskan. Memang, keuntungan terbesar WB dari KO bukan cuma dari kenaikan harga sahamnya, melainkan juga dari dividen, dimana saat ini BRK menerima dividen dari KO sekitar US$ 500 – 600 juta per tahun, tapi tetap saja total profitnya tidak terlalu besar, sekali lagi, jika mempertimbangkan holding period-nya yang kelewat lama. Jika WB menjual KO di tahun 1998, maka ia ketika itu sudah menghasilkan profit 10 kali lipat, dan ia bisa menginvestasikan kembali uangnya di saham lain untuk menghasilkan profit yang bisa saja mencapai 10 kali lipat lagi dalam 10 tahun berikutnya (jadi totalnya WB cuan 100 kali lipat dalam 20 tahun). But still, bukan itu yang ia lakukan.

‘Holding Period’ Buffett di Tahun 1960-an

Penasaran, penulis kemudian pelajari lebih lanjut cara investasi WB, apakah beliau sejak awal kariernya sebagai investor sudah menerapkan strategi holding forever, ataukah dulu strateginya beda lagi. Daaaan ternyata pada tahun 1960-an, WB sama sekali tidak pernah membeli saham untuk kemudian ‘dipegang selamanya’, melainkan untuk dijual lagi setelah beberapa waktu, tentunya pada harga yang lebih tinggi. Kalau anda baca-baca annual letter WB sejak ia masih mengelola Buffett Partnership, maka disitu ada banyak disebutkan saham-saham yang WB beli pada harga murah, lalu dijual kembali pada harga yang memang seharusnya. Sebut saja Sanborn Map, Dempster Mill, hingga HKC Dept. Store. Termasuk ketika WB membeli saham BRK di tahun 1962, tujuan awalnya adalah untuk nanti dijual lagi pada harga yang (diharapkan) lebih tinggi (tapi karena sedikit ‘kecelakaan’, Berkshire Hathaway akhirnya tetap di-hold WB sampai sekarang, meski aset-aset tetap perusahaan sudah dilego semua/tinggal sisa nama perusahaannya saja sebagai holding company). Pada tahun 1960-an, WB rata-rata menjual kembali sahamnya setelah 1 – 2 tahun, atau paling lama 3 tahun, tapi ada juga saham yang langsung ia jual kembali di tahun yang sama (jadi hold-nya hanya beberapa bulan).

Setelah menyadari fakta diatas, termasuk setelah baca-baca (dan berlatih) lebih banyak lagi tentang metode value investing, maka penulis kemudian mengerti bahwa, value investing itu bukanlah ‘Beli saham hari ini lalu jualnya 5 tahun kemudian’, sama sekali bukan! Melainkan: Beli saham bagus pada harga murah. Lalu bagaimana kalau nanti saham tersebut naik terus hingga valuasinya jadi gak murah lagi? Atau jika fundamentalnya gak bagus lagi? Ya ketika itulah, anda bisa mempertimbangkan untuk menjualnya, dan nanti duitnya dipindah ke saham lain yang juga bagus, tapi valuasinya masih murah. Gitu!

Okay, lalu apa yang menyebabkan WB mengubah strateginya, dari yang tadinya hold selama beberapa bulan hingga 2 – 3 tahun, menjadi ‘hold forever’? Penulis sendiri perlu waktu cukup lama untuk menjawab ini, tapi sekarang saya sudah mengerti jawabannya: Kalau anda pegang Rp10 juta, maka anda bisa invest di saham-saham apa saja, termasuk saham gak likuid sekalipun, dan anda bisa dengan mudah menjualnya kembali setelah beberapa waktu.

Tapi kalau anda pegangnya let say Rp10 milyar, maka tentu gak segampang itu untuk melakukan aktivitas jual beli saham, dimana anda gak bisa lagi beli saham yang anda incar secara sekaligus dalam satu kali transaksi, demikian pula ketika anda menjualnya gak bisa sekaligus. Dengan kata lain, investor dengan dana besar tidak bisa ‘gerak lincah’ seperti investor lain yang dananya lebih kecil. Bahkan WB sendiri butuh waktu beberapa tahun (dari 1987 sampai 1990) hanya untuk mengakumulasi saham Coca Cola, senilai total US$ 1 milyar ketika itu.

Dan pada hari ini, nilai investasi BRK di KO sudah naik menjadi US$ 15 milyar (harusnya US$ 10 milyar, tapi WB kemudian beberapa kali menambah investasinya di KO). Pertanyaannya, kalau untuk membeli saham KO senilai US$ 1 milyar saja butuh waktu beberapa tahun, maka berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk menjual saham yang sama senilai 15 kali lipat-nya???

Karena itulah, penulis kira WB bukannya nggak mau menjual KO di tahun 1998 lalu, tapi ia sejak awal gak bisa/sulit untuk menjualnya. WB sendiri melalui annual letter-nya mengakui bahwa sebelum tahun 1980, ia selalu menerapkan strategi beli saham murah, lalu kemudian dijual di harga tinggi. Tapi seiring dengan terus meningkatnya dana kelolaan, WB kemudian menyadari bahwa ia gak bisa lagi menerapkan strategi jual – beli seperti itu. Jadi memasuki tahun 1980-an, terutama setelah ketemu Charlie Munger (justru Munger-lah yang pertama kali mengajarkan WB untuk beli saham lalu hold selamanya), WB kemudian mengubah strateginya: Hanya beli saham-saham yang benar-benar bagus (sebelumnya WB kadang beli saham dari perusahaan kelas coro, asalkan harganya benar-benar terdiskon) pada harga yang lebih rendah dari nilai intrinsik-nya, lalu hold selamanya.

Dan berbekal strategi ‘holding forever’ tersebut, BRK kemudian sukses untuk terus bertumbuh sampai sekarang, but still, jika dibanding return investasi WB di tahun 1960-an, maka kinerja BRK dalam satu atau dua dekade terakhir terbilang kurang memuaskan (baca lagi paragraf diatas, soal tidak optimalnya kinerja investasi dengan strategi hold forever). Dan WB sendiri mengakui bahwa periode 1960-an justru merupakan periode terbaiknya sebagai seorang value investor, dimana ia ketika itu membukukan rata-rata return 29% per tahun, sudah termasuk tahun-tahun krisis. Sementara pada hari ini, rata-rata return BRK dari tahun 1965 – 2016 hanya 19% per tahun (tapi ini sekaligus mematahkan kritik yang mengatakan bahwa ‘Warren Buffett nggak sehebat itu karena return investasinya bahkan gak nyampe 20% per tahun’. Well, silahkan anda tunjuk investor manapun yang anda anggap hebat, lalu suruh dia pegang dana sebesar yang dipegang WB saat ini: Kira-kira bisa nggak dia dapet return 19% juga per tahunnya?).

Kesimpulan

Kebanyakan investor pemula, ketika ia pertama kali googling nama ‘Warren Buffett’, maka yang ia pelajari adalah cara investasi WB pada saat ini, yakni ketika beliau sudah menjadi salah satu orang terkaya di dunia. However, investor berpengalaman mengerti bahwa cara investasi WB, meski tetap konsisten berpedoman pada kaidah value investing, namun senantiasa berubah dan berkembang seiring dengan berjalannya waktu, karena menyesuaikan dengan besarnya dana kelolaan, dll. Jadi kecuali nama anda juga pernah nongol di Majalah Forbes, maka anda tidak bisa berinvestasi dengan cara yang persis sama dengan cara investasi WB sekarang ini, melainkan anda boleh coba baca lagi, seperti apa cara investasi WB ketika dulu dananya masih terbilang kecil (meski mungkin juga perlu dicatat bahwa WB sejak dulu tidak pernah trading cepat/swing trading. Masa hold beliau paling singkat adalah beberapa bulan).

Dan memang itulah yang penulis lakukan: Mempelajari strategi investasi WB di masa lalu, dimana setelah disesuaikan lagi dengan kondisi pasar saham di Indonesia dll, hasilnya adalah ‘Strategi investasi saham ala Teguh Hidayat’, seperti yang banyak disampaikan di blog ini. Tapi meski ada banyak perbedaan, yang penting prinsip value investing-nya tetap dipake: Beli saham bagus pada harga murah, that’s it. Dan hasilnya, seperti yang bisa anda baca-baca lagi di arsip analisa saham di blog ini, terbilang cukup baik.

Btw untuk minggu ini tadinya kita mau bahas konstruksi, tapi setelah penulis pertimbangkan lagi, ngapain bahas saham yang udah naik duluan, jadi yo wis nanti saja. Untuk minggu depan kita akan bahas soal ‘value trap’.

Pengumuman: Buku Kumpulan Analisis Saham Pilihan ('Ebook Kuartalan') edisi Kuartal IV sudah terbit! Anda bisa memperolehnya disini.

Jadwal Seminar: Value Investing Advanced Class, Jakarta, Sabtu 17 Maret 2018. Keterangan selengkapnya baca disini.

Follow/lihat foto-foto penulis di Instagram, klik 'View on Instagram' dibawah ini: Instagram

Komentar

Raihan mengatakan…
Wah, pertanyaan pribadi saya dijadikan artikel wkwk...
Sep pak, maafkeun karena kekurangtahuan saya jadi meragukan strategi investasi pak teguh 😆
Ngurah mengatakan…
Artikel bapak selalu memberikan insight yang menarik dan gratiss lagi..thanks pak teguh. Saya ampe beli bukunya pak teguh and rekomend ke banyak temen buat lebih paham value investing
Unknown mengatakan…
Maaf, poin pertama tentang penjualan pada saat pasar bear saya rasa meragukan dan pasar bear sendiri tidak bisa diprekdiksi, dan justru karena pasar bear itulah kita harus menambah posisi saham kita (kalau kita menyakinkan bahwa bisnisnya bagus), dan Coca Cola pada tahun tersebut Laba nya flat terus makanya sahamnya turun dan karena itulah (mungkin) WB menambah posisinya. (Coca Cola di prediksi untuk memperoleh kenaikan 15% dari pendapatan tahunan oleh banyak investor seperti tahun2 sebelumnya tetapi sangatlah susah untuk sebuah bisnis besar untuk mempertahankan kenaikan 15% secara terus menerus tetapi Coca Cola di percaya merupakan brand yg sangat kuat dengan pasar penjualan internasional, bayangkan pada waktu itu Coca Cola hanya di jual d bawah 20x PER dengan UNVR yg skrg d jual lbh dari 40x) CMIIW
Anonim mengatakan…
Kalo di hold forever, ngapain beli saham? tujuannya kan dapat profit. Kita juga nggak tahu apakah bener WB hold forever?
Unknown mengatakan…
Setuju dengan statement mengelola dana 10 juta berbeda dengan 10 milyard. WB beli Coca Cola memang untuk dimiliki let say seperti duo hartono di BBCA. Kesimpulan nya kita ambil dasar ilmu nya yaitu value investing lalu mix match dengan planning dan yg terpenting MODAL kita karna gak mungkin bertahan hidup cuman dari dividen 1 lot UNVR misalnya hehe. Untuk Pak Teguh mungkin bisa bahas pola menabung saham yang bisa memberikan hasil optimal karna saya setiap bulan menyisihkan gaji untuk menabung saham. Terima kasih :)
Unknown mengatakan…
Sbg investor di market yg bull, brp rata2 return bpk selama 5 tahun? Apakah diatas 25persen?
shen long mengatakan…
Jual saham ketika fundamentalnya berubah dan ketika harga nya terlalu tinggi karna ketamakan orang.
Soal berapa lama tergantung situasi
Kalo perusahaan fundamentalnya bagus harga nya wajar bagi deviden pula ya pegang aja sampai mati
Fundamental bagus harga turun karna ketakutan orang ya nambah lagi kalo ada uang
Fokus pada bisnis perusahaan, Fokus pada yang mikro abaikan yang makro, nilai tak selalu beriringan dengan harga. teori di buku gitu katanya pasar irasional prakteknya perlu mental kuat kayaq nya
Value investor memanfaatkan ketamakan dan ketakutan mr. market
Kita Benar bukan karna semua orang setuju dengan kita tapi kita benar karna analisis dan fakta2 yang kita dapati memang benar
Kalo ada salah di koreksi aja

Carles mengatakan…
Waaahhh...luarrr biasa...Terima kasih banyak Pak Teguh...akhirnya saya mengerti sekarang...Saya memang melihat beberapa karakter orang yang menerapkan Value Investing ini berbeda-beda karakteristiknya.

Beberapa buku dan materi yang kita gali di internet tentang Warren Buffet pasti bercerita tentang strategi Beliau terkini..tapi bagi kita yang baru belajar begini, saya rasa harus lihat dan gali juga flash back bagaimana dulu WB strategi Investasinya..biar ada bayangan.

Kesimpulan saya, kita tidak bisa "telan bulat-bulat" juga semua strategi nya Pak WB di Indonesia...selain core marketnya beda, model manusia dan psikologiss pelakuk pasar disini juga beda..

Sukses terus Pak Teguh..ditunggu yach materi Value Trap Indicator nya...


Thank you..
andreas mengatakan…
Pak, bisa diulas pandangannya antara ipo aramco dan kepentingan trump?? Apa ada efek yg besar terkait kepentingan trump bila ipo aramco tdk dilakukan di usa??
Santo mengatakan…
Saya kira ini hanya soal mindset. Investor kecil tentu membeli saham untuk dijual lagi. Kalau investor besar beli saham bukan untuk dijual lagi tapi untuk mengendalikan bisnis. Grup Djarum masuk ke BCA setelah krismon 1998, dan sekarang setelah saham BCA di harga 23000, apakah akan dijual Djarum ? Seandainya nanti saham BCA turun ke harga 15000, apakah akan dijual supaya tidak rugi sebelum turun ke 10000 ? Tentu tidak bukan ? Juga saham BUMI dulu di harga 5000 dan 50, apakah dijual sama Bakrie ? Saya ga pernah dengar berita misalnya grup Djarum tahun ini beli saham BCA, trus dua tahun lagi jual dan beli saham Unilever. Karena benar seperti pak Teguh bilang, investor kecil bisa lincah, investor besar tak bisa lincah karena beli grosiran. Kalau mau lincah artinya beli sedikit, dan yang namanya sedikit itu tidak menarik buat mereka. Pemahaman investasi itu berbeda, untuk investor ritel artinya beli saham yang bagus untuk dijual saat naik, untuk investor yang BENAR-BENAR BESAR artinya menambah koleksi bisnis.
Unknown mengatakan…
Saya dulu juga menerapkan strategi investasi dengan men-hold saham selama mungkin. Tapi setelah dipraktekkan, pertumbuhan portofolio menjadi stagnan. Profit puluhan persen ada yang berubah jadi single digit bahkan ada yang menjadi minus.

Setelah saya evaluasi saya teringat pernyataan Pak Teguh dan sekarang diulang lagi: Value investing itu yang penting beli saham bagus pada harga yang murah.
Masalah jual itu tergantung, bisa karena valuasi nya udah mahal atau kena sentimen negatif dll.

Dan juga setelah baca buku Pak Teguh "Value Investing" saya setuju bahwa pendekatan PER (yang sebelumnya saya pakai) punya kelemahan. PER lebih cocok untuk perusahaan yang cenderung konsisten pertumbuhannya.
Saya pikir ini satu2nya buku investasi berbahasa Indonesia yang memandu tugas2 mingguan, bulanan, kuartalan dan tahunan buat investor.
Saya sampai beli 2 bukunya, yang satu saya berikan ke saudara saya karena berisi "rahasia dapur" value investor.

Thanks pak Teguh buat artikel2 dan buku2nya. Recommended banget !
David Citra mengatakan…
Saya setuju mengenai kita yang tidak bisa disamakan dengan WB karena dana beliau yang sudah triliunan tidak bisa disamakan dengan kita yang masi cere. Tapi, mengenai posisi bear market maka kita harus menjual saham yang kita pegang saya kurang setuju. Yang saya lakukan sekarang adalah holding saham dengan wonderful fundamental dan menyiapkan dana min 15% untuk akumulasi saham saham bagus di saat bear market. Dengan cara ini saya akan terus dapat saham yang berfundamental excellent di harga yang paling jatuh. Nah kalo pun saham yang sudah terlanjur saya pegang turun saat bear market saya tidak akan menjualnya atau cut loss. Saya akan hold bahkan nambah posisi disaham yang telah saya pegang tersebut. Perlu di perhatikan bahwa ketika kita membeli saham maka kita harus paham betul tentang saham tersebut secara fundamental (LKH ato WB biasa menggunakan 10th terakhir data dari perusahaan tersebut untuk di pertimbangkan). Nah kalo sudah dilihat fundamental yang baik baru dibeli sahamnya. Karena kalo kita buru buru menjual atau panik dalam bear market berarti kita tidak tau isi dari perusahaan yang kita beli, makanya jadi ketakutan dan kabur, alias kita akan gak ada bedanya dengan trader pada umumnya. Salah satu quote Buffett yang paling terkenal "be greedy when others are fearful and be fearful when others are greedy".
Unknown mengatakan…
Menurutku perkataan "holding period favorit saya adalah selamanya" itu salah di-mengerti. Orang awam yg ga paham lantas mencontoh saja, kata per kata. Maksudnya perkataan itu adalah 'idealnya': akan paling baik, paling menyenangkan, kalau kita bisa beli di harga paling termurah, level harga yg ga akan pernah dicapai lagi... dan setelah itu sahamnya akan naik terus dan terus... dan krn kita juga ga butuh duitnya, bisa kita biarkan saja di situ, bener-bener ga ngapa-ngapa-in tapi jadi makin kaya. Itu memang impiannya. Tetapi realita kan berbeda. Kenyataannya tidak ada saham seperti itu (yg bener2 ga ada turunnya). Dan makanya tetep harus ikutin: kalau udah tinggi dan mengarah turun: jual, kalau udah rendah dan mengarah naik, beli. Ini sama aja seperti seorang pendekar bilang: 'idealnya saya akan selalu menang'. Impian memang boleh, tapi kenyataannya situasi memang bisa berubah, dan kadang memang waktu pas untuk maju, dan kadang memang sebaiknya mengalah dan mundur dulu. 'Maksa' itu cara orang tolol yg ga lama kemudian akan mati.
Unknown mengatakan…
kalo jadi saya saat market bearish tetap akan saya jual, kenapa? jika harga sekarang misal ggrm 80rb.an, lalu saya jual pasar bearish di hrga 75rb,siapa yang tau harga akan mantul di berapa? seperti menangkap pisau jatuh kan, lalu saat harga mantul saya beli lagi di misal 50rb,dengan duit yang sama dapat lebih banyak lot,ketimbang beli lagi sama saja averaging tok kan? kalo kualitas sama kenapa beli yang mahal?kecuali dana saya 1 triliyun, mau turun 50 persen pun masih banyak,masih bisa survive,masih bisa beli lambhorgini sama ferrai
Sagala mengatakan…
@Agus Lim:
arah pasar yang bullish tidak mungkin berubah ke bearish dalam waktu sehari. tentu kita sadar ketika arahnya sudh mulai bearish, maka itulah waktu yg tepat utk jual. lalu kita masuk lagi ketika sudah mulai bulish. bantu jawab ya

ARTIKEL PILIHAN

Live Webinar Value Investing, Sabtu 16 Maret 2024

Ebook Investment Planning Kuartal IV 2023 - Sudah Terbit!

Laporan Kinerja Avere Investama 2022

Peluang dan Strategi Untuk Saham Astra International (ASII)

Indo Tambangraya Megah: Masih Royal Dividen?

Indah Kiat Pulp & Paper (INKP) Bangun Pabrik Baru Senilai Rp54 triliun: Prospek Sahamnya?

Prospek Saham Energi Terbarukan, Kencana Energi Lestari (KEEN)