Pada 28 September
kemarin, Saham PT Natura City Developments Tbk (CITY), yang merupakan anak
usaha dari Sentul City (BKSL), resmi melantai di bursa pada harga perdana 120.
Nah, yang menarik disini bukanlah fakta bahwa harga sahamnya langsung melesat
70.0% ke posisi 204, melainkan dengan listing-nya CITY, maka di Bursa Efek
Indonesia (BEI) genap sudah terdaftar 600
perusahaan Tbk. Suatu prestasi membanggakan bagi BEI itu sendiri? Well, maybe
not.
Ketika penulis mulai
belajar saham pada tahun 2009 lalu, saya masih ingat, di BEI hanya ada sekitar
350-an emiten. Dan sampai tahun 2015, jumlahnya hanya meningkat sedikit menjadi
400-an emiten. Lonjakan jumlah emiten di BEI memang baru terjadi dalam 2 – 3
tahun terakhir seiring dengan gencarnya sosialisasi dan ‘ajakan’ dari BEI itu
sendiri kepada perusahaan-perusahaan untuk menggelar IPO. Sekilas, ini kabar
bagus, karena dengan begitu maka investor menjadi punya lebih banyak pilihan
saham untuk investasi, ditambah lagi ada banyak perusahaan-perusahaan populer
yang akhirnya ikut go public. Namun benarkah demikian?
Sayangnya dalam 2 –
3 tahun terakhir ini pula, anda sendiri mungkin bisa memperhatikan: Jumlah IPO
memang melonjak signifikan, tapi kualitas
dari penyelenggaraan IPO itu sendiri turun drastis. Kualitas yang dimaksud
disini mulai dari perusahaannya (ada banyak perusahaan kecil gak jelas, yang
baru berdiri tiga empat tahun lalu, tapi sudah bisa ikut IPO), nilai IPO-nya
(dulu, nilai IPO itu trilyunan atau minimal ratusan milyar Rupiah, tapi kemarin
sempat ada IPO senilai Rp30 milyar saja, dan jumlah saham yang ditawarkan ke
publik sangat sedikit), hingga valuasi dari saham-saham yang di-IPO-kan
(rata-rata muahal semua). Tapi yang paling bikin jengkel dari semuanya adalah,
meski sekarang ini banyak diselenggarakan IPO, tapi sangat sulit bagi investor
publik manapun untuk bisa memperoleh jatah saham IPO-nya, biasanya karena itu
tadi: Jumlah saham yang ditawarkan ke publik sangat sedikit, dan bahkan saham
yang sedikit ini sejak awal sudah diborong oleh entah siapa. Sehingga di
beberapa emiten, investor publik sama sekali tidak memperoleh jatah saham IPO-nya.
Dan anehnya, hampir
semua saham IPO yang kecil-kecil ini langsung terbang gila-gilaan di hari-hari
perdana perdagangan, bahkan ada saham yang terbang sampai 30 kali lipat hanya
dalam sebulan! Tapi anehnya lagi, saham-saham tersebut langsung melesat hampir tanpa volume transaksi sama sekali.
Contohnya saham CITY tadi: Begitu perdagangannya dibuka, sahamnya langsung melesat
ke batas auto reject atas-nya, yakni 204. Dan berapa volume saham yang
diperdagangkan hari itu? Cuma 47,500 saham alias 475 lot, semuanya pada harga
204. Atau dengan kata lain, nilai transaksinya bahkan gak nyampe 10 juta
Rupiah! Sekarang pake logika saja: Jika benar bahwa dari 2.6 milyar lembar
saham yang dilepas CITY itu dibeli/dimiliki oleh investor publik, maka masa iya
sih gak ada sekian juta lembar saham yang langsung dilepas oleh para investor
publik tadi pada harga 204? Itu profit 70% loh!
Tapi CITY tidak
sendirian. Silahkan anda cek lagi saham-saham IPO sebelum CITY ini, rata-rata
ceritanya sama saja: Investor publik sulit memperoleh jatah IPO-nya, kemudian
begitu listing sahamnya langsung terbang tapi nyaris tanpa volume
transaksi, dan barulah setelah harganya
diatas maka volumenya mulai ramai. Makanya wajar jika kemudian muncul
tuduhan bahwa ketika sebuah perusahaan go public, sebenarnya yang
membeli saham anyar yang diterbitkan adalah pihak owner perusahaan itu sendiri. Kemudian mereka akan
melakukan transaksi kecil-kecil agar harganya dipasar naik terus (yang beli dan
yang jual adalah orang yang sama, meski tentunya pake beberapa rekening
berbeda), dan setelah harganya diatas maka barulah Mr. Bandar ini mulai jualan
ke investor publik, sehingga mereka memperoleh keuntungan substansial yang,
ironisnya, berasal dari kerugian investor. Salah satu contohnya adalah saham
Campina Ice Cream Industry (CAMP), yang begitu listing pada Desember 2017 lalu
langsung dikerek gila-gilaan dari harga perdana 330 hingga ke level 1,833
(sekali lagi, nyaris tanpa volume transaksi sama sekali), dan barulah setelah
itu sahamnya mulai cukup ramai diperdagangkan/besar kemungkinan investor publik
mulai masuk, tapi CAMP ini pelan-pelan
turun hingga sekarang sudah di level 300-an lagi.
Terus bagaimana
nasib investor yang udah kadung beli CAMP ini di harga 900, 1,200, atau 1,500??
Unfortunately, CAMP bukanlah satu-satunya saham IPO yang sudah makan
korban, padahal secara fundamental perusahaan terbilang bagus, dengan kinerja
yang profitable serta punya merk produk yang populer (siapa yang gak tau merk
es krim Campina?)
Dilema Ketika
Mengajak Perusahaan Untuk IPO
Ketika BEI
meluncurkan kampanye ‘Yuk Nabung Saham!’, tahun 2015 lalu, maka yang didorong
untuk ikut meramaikan pasar saham tidak hanya para investor publik pemilik
dana, melainkan para perusahaan juga diajak untuk go public. Nah, untuk
mengajak investor publik membuka rekening di sekuritas, maka itu relatif mudah,
misalnya dengan menurunkan batas minimum setoran di sekuritas. Jaman penulis
nubie tahun 2009 – 2010 dulu, kalau kita buka rekening maka harus setor minimal
Rp5 juta. Tapi sekarang beberapa sekuritas mensyaratkan setoran minimal Rp1
juta saja, bahkan ada yang cuma Rp100,000. Harapannya adalah, kalaupun para
investor baru ini kemudian dikepret rugi bolak balik karena belum ngerti
apa-apa, maka ruginya gak akan besar karena sejak awal setorannya juga kecil,
dan secara psikologis gak akan sampe bikin si investor kapok. In the end, hari
gini duit seratus ribu cuma cukup buat sekali makan di Solaria buat dua orang.
Tapi bagaimana
ketika BEI mengajak perusahaan untuk IPO? Nah, seperti halnya investor publik,
pemilik perusahaan juga akan mengajukan pertanyaan yang sama: Apa untungnya kalau perusahaan saya
menggelar IPO? Pihak BEI normalnya akan menyebut beberapa benefit seperti, 1.
Perusahaan memperoleh sumber pendanaan baru, 2. Membuat perusahaan lebih
dikenal publik, 3. Meningkatkan citra serta nilai perusahan. Tapi tetap saja si
pemilik perusahaan akan bertanya lagi: Saya gak peduli soal citra bla bla bla, lo
kira citra itu bisa dimakan? Sekarang to the point saja lah! Berapa
besar jumlah uang yang bisa kita
peroleh kalau perusahaan go public?? Yep, jadi kurang lebih sama saja seperti
ketika orang-orang diajak untuk buka rekening di sekuritas, dimana meski BEI
mengatakan bahwa keuntungan menjadi investor adalah kita akan menjadi pemilik
perusahaan bla bla bla, tapi tetap saja yang mereka tanyakan adalah, berapa besar
keuntungan yang bisa kami peroleh setiap tahunnya? Setiap bulannya? Bisa gak dapetnya
minimal 100% gitu per tahun? Terus bisa gak keuntungan itu ditarik sebulan
sekali untuk kebutuhan sehari-hari? Saya gak mau rugi, gimana caranya agar kita invest di
saham tanpa pernah rugi sedikitpun?? Dan banyak lagi pertanyaan ala pemula
lainnya.
Dan masalahnya
adalah, berbeda dengan orang-orang yang diajak 'nabung saham' dimana mereka adalah bagian dari masyarakat umum, maka pemilik perusahaan sedikit berbeda dimana mereka rata-rata sudah sangat mapan secara
finansial, sehingga mereka gak akan mau kalau diajak menggelar IPO jika hanya dengan
iming-iming perusahaan bakal dapet duit sekian, melainkan mereka baru akan
tertarik kalau bisa dapet duit lebih besar dari itu. Nah, bener kan?
Let say anda adalah pemilik perusahaan besar dengan aset Rp5 trilyun, dan laba
bersih per tahun Rp500 milyar. Kemudian anda diajak IPO dimana perusahaan anda
akan dapet tambahan modal Rp300 milyar saja.. Dan setelah itupun perusahaan
anda harus merilis laporan keuangan setiap kuartal, termasuk harus mematuhi
peraturan ini itu yang ditetapkan oleh BEI dan OJK. Kira-kira bagaimana reaksi
anda??
Inilah yang mungkin
menjelaskan kenapa saham-saham IPO sekarang ini rata-rata ‘berperilaku aneh’, karena
tujuannya adalah agar pemilik perusahaan memperoleh ‘profit lebih besar’ dari yang
seharusnya (meski, sekali lagi, profit ekstra itu berasal dari kerugian
investor publik), dan pihak otoritas juga seperti mengabaikan hal ini karena
itu tadi: Kalau cara-cara seperti ini dilarang (actually secara undang-undang, insider
trading atau perdagangan saham yang dilakukan oleh dua pihak yang sama
memang dilarang, tapi penerapannya sangat tidak tegas, karena insider trading
ini juga sulit dibuktikan), maka juga tidak ada alasan yang cukup menarik bagi
para pemilik perusahaan tadi untuk go public. Sedangkan dalam rangka mengejar
ketertinggalan dibanding negara-negara tetangga (misalnya, di Bursa Malaysia
terdapat 900-an emiten, dan di Singapore Exchange terdapat 1,500-an emiten),
maka para perusahaan di Indonesia memang harus diberi semacam ‘insentif’ agar
mereka mau menggelar IPO.
Jadi, yap, ini
seperti polisi yang mempermudah proses penerbitan SIM bagi para pemilik
kendaraan bermotor, meski itu menimbulkan risiko bakal banyak terjadi
kecelakaan di jalan raya. Tapi jika proses penerbitan SIM ini dipersulit, maka
akan timbul protes dari perusahaan-perusahan otomotif yang kesulitan jualan.
Serba salah kan?
Lalu Bagaimana Sikap
Kita Sebagai Investor?
Sebenarnya, meski
mayoritas IPO dalam beberapa tahun terakhir terbilang ‘bikin kesel’, tapi
beberapa saham IPO memang layak invest, dan tidak kelihatan kalau sahamnya
digoreng. Sebut saja Buyung Poetra Sembada (HOKI), Kirana Megatara (KMTR),
hingga Panca Budi Idaman (PBID). Tapi memang, dibanding IPO-IPO yang terjadi
sebelum tahun 2015, maka IPO-IPO jaman now seringkali langsung bikin males
penulis tak lama setelah saya membaca prospektusnya. Salah satunya IPO Garudafood,
yang sejatinya sudah ditunggu-tunggu oleh semua orang, tapi ternyata IPO-nya ya
gitu deh.
![]() |
Ini perusahaan bagus lho, baru listing Desember 2017 kemarin |
However, kalau kita
balik lagi ke kaidah value investing, maka sebenarnya fenomena ‘maraknya IPO
liar’ ini tidak usah dibuat pusing, karena yang perlu kita lakukan adalah cukup
ignore saja saham-saham IPO tersebut (baca lagi soal cara ignore/mengabaikan
saham di artikel
ini), apalagi jika belum apa-apa sahamnya langsung terbang hingga
valuasinya menjadi gak masuk akal, dan kita bisa tetap fokus hunting saham-saham
bagus pada harga murah. Kemudian ingat bahwa, tak peduli segigih apapun Mr.
Bandar dalam memain-mainkan harga suatu saham, tapi pada akhirnya harga saham tersebut
akan mengikuti fundamentalnya. Yang itu artinya, kalau sebelumnya dia terbang hingga
valuasinya ridiculously overvalue, maka cepat atau lambat akan turun
lagi, dan sebaliknya mau dia turun kaya apa tapi kalo barangnya no problemo,
maka nanti juga akan naik lagi.
Dengan kata lain,
meski saham-saham anyar yang nongol bak jamur di musim hujan ini rata-rata gorengan
semua, tapi pada akhirnya mereka akan bergerak normal sesuai dengan mekanisme
pasar, biasanya setelah 2 – 3 tahun sejak tanggal IPO-nya. Thus, adalah
benar bahwa dengan kehadiran 600 emiten di bursa, maka kita jadi lebih punya
banyak pilihan investasi, tapi khusus untuk saham-saham yang baru IPO ini maka
kita gak usah buru-buru, melainkan wait n see saja dulu (termasuk melihat
perkembangan kinerja perusahaan setiap kuartalnya), hingga akhirnya pergerakan
sahamnya menjadi normal dengan sendirinya. Contohnya ya saham CAMP tadi, dimana
meski kenaikannya kemarin mungkin memakan sejumlah korban, tapi pada kisaran harganya
saat ini maka sahamnya sudah bisa dipertimbangkan kembali (tapi masih rada
mahal sih, tunggu dikit lagi deh).
Sementara bagi saham
tertentu yang gak juga turun setelah beberapa waktu, maka ya sudah abaikan saja.
Actually beberapa orang, dengan strategi tertentu mungkin justru bisa memperoleh
keuntungan instan dari saham-saham IPO ini, dan jika anda termasuk yang profit
tersebut then go ahead. Tapi jika anda termasuk yang sempat terkena jebakan
betmen disini, maka anda tahu apa yang harus dilakukan.
Mingdep kita akan bahas IPO Restoran Raja Bebek.
Mingdep kita akan bahas IPO Restoran Raja Bebek.
***
Penulis menyampaikan turut berduka cita atas peristiwa gempa bumi dan tsunami di Kota Palu dan sekitarnya,
Sulawesi Tengah. Semoga amal ibadah para korban diterima disisi-Nya, semoga
anggota keluarga yang ditinggalkan diberikan ketabahan, dan semoga rumah-rumah hingga jalan yang rusak bisa segera diperbaiki kembali.. Aamiin. Dan bagi
temen-temen sesama investor, setelah kemarin Lombok, maka sekarang kita punya
satu kesempatan lagi untuk berbagi manfaat untuk saudara-saudara kita di Sulawesi
Tengah, yang memang tengah membutuhkan. Silahkan berkunjung ke www.kitabisa.com atau website charity
lainnya.
Buletin Analisis
IHSG
& stockpick saham bulanan edisi Oktober
2018 sudah terbit! Anda bisa langsung memperolehnya
disini, gratis konsultasi tanya jawab saham untuk member.
Follow/lihat foto-foto penulis di Instagram, klik 'View on Instagram' dibawah ini:

4 komentar:
Bung Teguh,
Definisi insider trading di artikel ini sudah benar?
Bangsa ini tidak belajar dari kehancuran V.O.C, keserakahan dan kejahatan hanya akan membawa kehancuran dan malapetaka...tetap jadilah investor yang baik..
bagus tulisannya..
Insider trading itu adalah transaksi jual beli saham oleh orang dalam perusahaan, bukan orang yang sama. Jadi memang definisi di artikelnya kurang tepat, karena orang yang sama itu belum tentu orang dalam perusahaan/bisa saja orang lain. Tapi tidak ada istilah lain u/ ini, atau bandar trading?
Posting Komentar