Penyebab Anjloknya Saham-Saham IPO/Gorengan, dari Sudut Pandang Value Investing
Setahun lalu,
tepatnya tanggal 28 September 2018, Bursa Efek Indonesia (BEI) mencatat sejarah
dimana jumlah saham yang melantai di bursa pada hari itu genap berjumlah 600
saham/emiten, ketika itu dengan mulai diperdagangkannya saham PT Natura City
Developments, Tbk (CITY). Sebagai catatan, antara tahun 2009 – 2015, jumlah emiten
yang sahamnya diperdagangkan di BEI hanya tumbuh sedikit dari 350-an menjadi
400-an, dan barulah setelah tahun 2015 tersebut jumlah emiten ini melonjak hingga
menjadi 600-an emiten pada tahun 2018. Di satu sisi ini terbilang bagus, karena
sekarang investor di bursa jadi punya lebih banyak pilihan investasi di banding
sebelumnya. However, setelah penulis pelajari satu persatu saham-saham anyar
ini, saya kemudian jadi jengkel sendiri. Kenapa?
***
Ebook Rekomendasi
Saham edisi Desember, plus analisa window dressing dll akan terbit tanggal 1
Desember mendatang, dan anda bisa memperolehnya
disini. Gratis tanya jawab saham/konsultasi portofolio saham untuk
subscriber. Info telp/WA 0813-1482-2827 (Yanti).
***
Sebab mayoritas dari
saham-saham IPO ini (meski tidak semuanya), punya kecenderungan sebagai berikut:
- Perusahaannya termasuk perusahaan kecil gak jelas, bahkan ada yang baru berdiri 3 – 4 tahun sebelum tanggal IPO-nya itu sendiri.
- Fundamentalnya rata-rata nol besar, termasuk banyak juga yang perusahaannya masih merugi tapi sudah IPO.
- Sudah fundamental jelek, valuasi sahamnya gila-gilaan mahalnya. Contohnya saham Bali United (BOLA), masa iya valuasinya mencapai separuh valuasi Inter Milan? Memangnya Bali United ini pernah juara Liga Champions gitu?? (baca lagi ulasannya disini).
- Meski valuasinya sejak awal mahal, tapi sahamnya tetap aja naik banyak. Contohnya CITY itu tadi, yang pada hari perdagangan perdananya melompat dari 120 sampai mentok di 204, atau auto reject 70%. Tapi anehnya, kenaikan tersebut terjadi nyaris tanpa volume transaksi sama sekali. Sehingga muncul teori bahwa ketika perusahaan kecil gak jelas IPO, maka yang ambil sahamnya sebenernya owner-nya sendiri, kemudian mereka melakukan memperjual belikan sahamnya sendiri, dimana setiap transaksi dilakukan pada harga yang lebih tinggi dari transaksi sebelumnya, sehingga harga sahamnya naik terus (logikanya, jika benar sebagian saham CITY dimiliki investor publik, maka minimal sebagian dari investor publik ini akan sudah mulai menjual sahamnya ketika saham CITY terbang tak lama setelah listing, sehingga volume transaksinya menjadi ramai, tapi bukan itu yang terjadi). Inilah yang dimaksud dengan menggoreng saham, dan setelah harganya diatas maka barulah Mr. Bandar ini mulai jualan ke investor publik, sehingga mereka memperoleh keuntungan substansial yang, ironisnya, berasal dari kerugian investor. Karena biasanya setelah itu sahamnya akan turun lagi, karena sejak awal fundamentalnya tidak mendukung.
Alhasil, penulis
sendiri termasuk yang jarang sekali beli saham yang baru IPO, apalagi yang
kemudian naik banyak sedangkan fundamentalnya sama sekali tidak mendukung.
Karena kita sudah hafal bahwa, mau dikerek setinggi apa, pada akhirnya
saham-saham itu akan jatuh lagi, dan dengan persentase penurunan yang tidak
kalah gilanya. Jadi ketika dalam sebulanan terakhir ada banyak saham IPO yang
rontok, maka itu adalah sesuatu yang sudah kita perkirakan sejak jauh hari.
Termasuk saham CITY diatas, yang meski sempat dikerek naik sampai 478, tapi
ketika ulasan ini ditulis, dia sudah balik lagi ke 111, alias drop 76.8%.
Beberapa saham IPO lainnya yang juga rontok adalah sebagai berikut (data
berikut ini hanya merupakan contoh yang belum lengkap, jadi anda mungkin bisa
menambahkan sendiri):
Kode Saham
|
Harga tertinggi (1 tahun)
|
Harga sekarang
|
(%)
|
ENVY
|
3,040
|
880
|
-71.1
|
JSKY
|
1,000
|
234
|
-76.6
|
DEAL
|
2,130
|
488
|
-77.1
|
DFAM
|
1,150
|
384
|
-66.6
|
TGRA
|
910
|
158
|
-82.6
|
LUCK
|
2,050
|
500
|
-75.6
|
BOSS
|
2,400
|
206
|
-91.4
|
BAPI
|
254
|
50
|
-80.3
|
FILM
|
1,200
|
183
|
-84.8
|
FORZ
|
990
|
202
|
-79.6
|
Nah, dalam situasi
seperti ini maka komentar yang muncul biasanya, OJK ngapain aja? Kenapa para
bandar ini dibiarkan berkeliaran? Dan bagaimana bisa BEI meloloskan IPO-IPO seperti
ini?? Termasuk ketika penulis memenuhi undangan dari BEI Jawa Barat untuk
memberikan edukasi pengenalan investasi saham di Kota Cirebon, beberapa waktu
lalu, salah seorang peserta memang bertanya (kepada perwakilan dari BEI yang
juga ikut hadir): Kenapa sekarang ini banyak sekali IPO yang tidak berkualitas,
yang sahamnya ujung-ujungnya cuma jadi gorengan? Sebagai catatan, ketika itu
belum banyak saham gorengan IPO yang jatuh berantakan seperti sekarang, tapi peserta
yang bertanya ini sepertinya sudah cukup paham bahwa, meskipun saham-saham IPO
ini ketika itu belum turun, tapi tetap saja mereka tidak layak invest.
Kejatuhan
Saham-saham IPO = Peluang Multibagger?
Karena penulis
sendiri, dari posisi saya sebagai investor, juga punya pandangan sendiri
terkait fenomena ‘saham IPO yang liar’ ini, maka setelah perwakilan dari BEI memberikan
jawabannya, saya juga ikut menjawab sebagai berikut: Salah satu penyebab minimnya
partisipasi masyarakat Indonesia untuk berinvestasi di pasar modal, adalah
karena syarat untuk menjadi investor itu sendiri sangat berat, tapi semakin
kesini syarat-syarat tersebut semakin dipermuda. Contohnya, pada awal tahun
2000-an, minimal setoran pembukaan rekening di sekuritas adalah Rp25 juta, yang
tentu saja tidak akan terjangkau oleh katakanlah mahasiswa atau karyawan entry
level. Tahun 2010, angkanya turun menjadi Rp5 juta, dan sekarang turun lagi
menjadi Rp1 juta, sehingga bahkan anak sekolahan pun bisa invest. Inilah salah
satunya yang kemudian menyebabkan jumlah investor ritel di bursa meningkat
signifikan, terutama sejak ramai kampanye Yuk Nabung Saham!, tahun 2015
lalu.
Nah, itu dari sisi jumlah
investor. Sedangkan dari sisi perusahaan Tbk itu sendiri, maka jumlahnya juga
masih sangat sedikit. Sebagai perbandingan, sekarang ini di Stock Exchange of
Thailand terdapat 700-an saham terdaftar, di Bursa Malaysia terdapat 900-an saham,
dan di Singapore Exchange terdapat 1,200 saham. Jika mau perbandingan yang
lebih ekstrim, maka di New York Stock Exchange terdapat lebih dari 7,000 saham
berbeda, sehingga 600-an saham yang terdaftar di BEI tentu saja masih sangat
sedikit. Padahal, berdasarkan data dari Kementerian Hukum dan HAM, di Indonesia
terdapat setidaknya 40,000 Perseroan Terbatas (PT). Namun ketatnya syarat dari
BEI bagi perusahaan-perusahaan yang hendak IPO, menyebabkan jumlah perusahaan
Tbk di Indonesia amat sangat sedikit dibandingkan total jumlah perusahaan yang
ada.
Disisi lain, minimnya
jumlah perusahaan yang terdaftar menyebabkan volume transaksi tidak likuid, dan
pasar saham Indonesia itu sendiri jadi sulit untuk berkembang. Karena itulah,
sejak tahun 2015 lalu, pihak SRO (self regulated organization, alias
BEI, OJK, dkk) tidak hanya mempermudah syarat bagi perusahaan untuk IPO, tapi
mereka bahkan banyak melakukan seminar dan workshop untuk mengajak perusahaan-perusahaan
itu sendiri, untuk menggelar IPO. Hasilnya, seperti yang sudah disampaikan
diatas, jumlah perusahaan Tbk di bursa meningkat hampir dua kali lipat dalam
lima tahun terakhir (sampai dengan ketika artikel ini ditulis, jumlah emiten di
BEI sudah mencapai 662 emiten), dan volume transaksi di BEI tetap ramai meski
dalam dua atau tiga tahunan terakhir, investor
asing terus keluar dari sini. Namun efek sampingnya ya seperti yang juga
sudah disebutkan diatas: Ada banyak perusahaan gak jelas, yang sebenarnya dilihat
dari sisi manapun tidak layak invest (kecuali kalau anda hendak spekulasi
jangka pendek, dengan membeli saham yang diharapkan akan dikerek naik oleh
bandarnya), tapi bisa ikutan IPO.
Tapi selama kita
bisa menilai mana perusahaan yang bagus, mana saham yang murah, maka sebenarnya
tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Yep, dalam hal ini kita bisa lihat contoh investasi
bodong kampung kurma (lagi rame ini, coba googling aja), dimana
korbannya mencapai ratusan (atau ribuan?) orang. Tapi jika anda sejak awal sudah
mengerti bahwa skema yang ditawarkan kampung kurma itu sejatinya mencurigakan
(baca lagi penjelasannya
disini, waktu itu kita bahas soal penipuan Golden Traders), maka ya anda juga
tidak akan menjadi salah satu korbannya. Demikian pula dengan ramainya
saham-saham IPO: Itu kan seperti ada orang yang datang menawarkan peluang investasi
kepada anda, tapi setelah anda pelajari lagi ‘peluang’ tersebut (dan ini gak ribet
kok, tinggal baca aja prospektus-nya), ternyata itu cuma investasi
bodong. Maka, tidak ada seorangpun yang kemudian memaksa anda untuk membeli ‘saham
bodong’ tersebut bukan?
However, berbeda
dengan kampung kurma yang hampir pasti bakal wassalam, maka tidak semua ‘saham
IPO bodong’ ini bakal bernasib seperti saham
MYRX dkk. Sekarang begini: Mayoritas perusahaan yang baru IPO ini,
fundamental mereka memang jelek, tapi bisa saja kinerja perusahaan tersebut
akan jadi bagus di masa yang akan datang bukan? Sehingga sahamnya pun akan
naik lagi, dan kali ini kenaikannya bukan lagi karena digoreng bandar,
melainkan murni karena mekanisme pasar yang wajar. Contohnya? Charoen Pokphand
Indonesia (CPIN)! Bagi yang belum tahu, sebelum tahun 2010 lalu, CPIN ini
kinerjanya buruk, dan sahamnya juga gak kemana-mana di level 200 – 300 perak.
Tapi ketika perusahaan kemudian sukses meluncurkan produk olahan daging ayam
(nuget, sosis, dll), maka jadilah perusahaan panen laba, dan sahamnya juga naik
signifikan dan gak turun lagi, sampai hari ini. Contoh yang lebih ekstrim, pada
tahun 1998 – 2000 lalu, saham Astra International (ASII) juga termasuk
saham blangsak yang gak kemana-mana di level 100 – 200 (itu sebelum stocksplit,
kalau sesudah stocksplit berarti setara 10 – 20 perak), karena memang ekuitas
perusahaannya sendiri negatif. But thanks to commodity booming, dalam 10
tahunan berikutnya ASII kemudian sukses membukukan kinerja yang sangat bagus,
dan sahamnya sekarang sudah menjadi salah satu top bluechip di BEI.
Nah, jadi dari
banyak saham yang baru IPO ini, kalau mereka langsung terbang hingga valuasinya
menjadi gak masuk akal, maka ya sudah biarkan saja, karena cepat atau lambat sahamnya
bakal jeblok lagi (dan memang itu sudah kejadian hari ini). Tapi ketika
saham-saham itu akhirnya turun, maka coba cek lagi: Mungkin saja valuasi
mereka sekarang sudah murah. Dan kalau misalnya fundamentalnya memang
jelek, maka kita tetap tidak boleh beli sahamnya, tapi saham-saham ini boleh
kita masukkan ke ‘kotak watchlist’, alias daftar saham-saham yang setiap
tiga bulan sekali kita cek lagi laporan keuangan terbarunya, dimana kalau
perusahaan menunjukkan perbaikan kinerja, maka itulah waktunya untuk masuk.
Actually, dengan cara inilah kita berpeluang untuk menemukan CPIN dan ASII
berikutnya, dan meraih keuntungan multibagger alias profit hingga
2 kali lipat atau lebih, karena sejak awal kita membeli saham yang valuasinya
sangat terdiskon, yang kemudian naik banyak bukan karena digoreng bandar, tapi
memang karena fundamentalnya bagus.
Sehingga, balik lagi
ke pertanyaan diatas, kenapa BEI banyak meloloskan IPO yang tidak berkualitas?
Maka jawaban penulis, untuk sekarang ini yang penting jumlah saham di BEI jadi
banyak saja dulu/perusahaan-perusahaan tadi IPO saja dulu. Kemudian seiring
dengan berjalannya waktu, maka dari ratusan saham IPO ini, pasti ada saja emiten-emiten
yang kinerjanya kemudian jadi bagus bukan? Demikian pula, mau sahamnya dikerek
setinggi apa, maka in the end saham tersebut akan turun lagi, dan valuasinya
jadi murah lagi. Nah, jika kita kemudian bisa ambil saham berfundamental bagus
yang harganya sudah murah tersebut, maka keuntungan yang dihasilkan juga akan
lumayan, dan bahkan justru dari sinilah kita bisa memperoleh profit
multibagger.
Sehingga dalam hal
ini, yang kita lihat bukanlah fenomena banyaknya IPO, atau banyaknya saham IPO
gorengan yang jatuh berantakan seperti yang terjadi belakangan ini, melainkan
kita melihatnya jauh kedepan. Yakni ketika saham-saham gorengan ini satu
per satu balik lagi ke valuasi yang seharusnya, dan dari tumpukan sampah
inilah (baca: emiten-emiten berfundamental buruk), kita justru bisa menemukan ‘mutiara
terpendam’, yakni jika laporan keuangan mereka suatu hari nanti menunjukkan peningkatan
laba yang signifikan. Nah, karena para saham gorengan ini memang sudah mulai
turun, dan beberapa diantaranya juga sekilas sudah murah (PBV nol koma), maka kita
sekarang tinggal cek laporan keuangan (LK) mereka, satu per satu. Dan kalau
nggak ketemu yang LK-nya bagus, maka ya coba lihat lagi kuartal depan, atau
tahun depan bagaimana. As simple as that!
***
Jadwal Kelas Value Investing: Cara Menilai Fundamental Perusahaan,
dan Menghitung Harga Saham. Untuk saat ini belum ada jadwal lagi (jadwal
terdekat sekitar Januari 2020), namun anda bisa memperoleh rekaman
seminarnya disini. Tersedia rekaman terbaru lengkap dengan slide materinya,
dan excel 'kalkulator saham' untuk menghitung harga wajar saham.
Follow/lihat foto-foto penulis di Instagram, klik 'View on Instagram' dibawah ini:

Komentar
Pak Teguh, mungkin boleh di bahas mengenai KINO, krn secara PBV, ROE, PER maupun EPS nya masih cukup bagus dan harga sahamnya juga masih wajar di banding dgn perusahaan FMCG lainnya .