Prospek Saham Perkebunan Kelapa Sawit
Salah satu pekerjaan
rutin kami di Avere setiap awal tahun adalah mengecek statistik
BEI pada akhir tahun sebelumnya, untuk mengetahui berapa persen kenaikan IHSG,
dan sektor-sektor apa saja yang kenaikannya
tidak setinggi IHSG sepanjang tahun tersebut. Sebab berdasarkan pengalaman, value opportunity biasanya
terletak pada saham-saham yang ‘ketinggalan kereta’ ini. Contoh paling dramatis, pada 2015 lalu IHSG drop 12.1%, dan sektor yang paling kena hantam
adalah sektor tambang, dimana
sepanjang tahun 2015 indeks mining drop sampai 40.7%, terburuk dibanding semua
sektor lainnya. Namun ketika pasar mulai pulih di tahun 2016 dimana IHSG naik
15.3%, maka sektor mining-lah yang menjadi juaranya dengan kenaikan 70.7% (dan
memang sepanjang tahun 2016 lalu, di blog ini sendiri kami sudah banyak
membahas soal sektor mining tersebut, terutama batubara).
Okay, lalu bagaimana
dengan tahun 2018 ini? Kira-kira sektor apa yang ketinggalan kereta sepanjang
2017 lalu? Well, mari kita lihat saja datanya: Sepanjang 2017, IHSG naik total
20.0%, atau cukup signifikan, namun surprisingly ada dua sektor yang justru
turun yakni properti dan konstruksi (turun 4.3%), dan agriculture
alias perkebunan (turun 13.3%). Nah, jadi apakah peluangnya sekarang
terletak di saham-saham properti, konstruksi, serta perkebunan ini? Mari kita
cek, dalam hal ini kita lihat sektor perkebunan dulu.
Indeks | Kode di Yahoo Finance | Kinerja 2017 (%) |
IHSG | ^JKSE | 20.0 |
LQ45 | ^JKLQ45 | 22.0 |
Agriculture | ^JKAGRI | (13.3) |
Mining | ^JKMING | 15.1 |
Basic Industry & Chemicals | ^JKBIND | 28.1 |
Miscellaneous Industry | ^JKMISC | 0.8 |
Consumer Goods | ^JKCONS | 23.1 |
Property & Construction | ^JKPROP | (4.3) |
Infrastructure & Transportation | ^JKINFA | 12.1 |
Banking & Finance | ^JKFINA | 40.5 |
Trade & Service | ^JKTRAD | 7.1 |
Manufacturing | ^JKMNFG | 19.8 |
Ketika harga-harga
komoditas mulai melambung tinggi, awal dekade 2000-an lalu, salah satu
komoditas yang melejit adalah minyak sawit mentah alias crude
palm oil, atau CPO. Dan kebetulan, lahan di Indonesia terutama di Pulau
Sumatera dan Kalimantan ternyata sangat cocok untuk tanaman sawit. Maka muncullah
banyak perusahaan yang membeli lahan luas untuk kemudian disulap menjadi
perkebunan kelapa sawit, dan Indonesia segera menjadi salah satu produsen CPO
terbesar di dunia. Di tahun-tahun berikutnya, CPO, bersama dengan batubara, hampir
selalu menjadi dua komoditas utama ekspor nasional diluar migas. Pada puncak
booming komoditas di tahun 2011 lalu, CPO menjadi komoditas ekspor nonmigas
terbesar kedua dengan nilai ekspor nasional mencapai US$ 21.7 milyar (dibawah
batubara senilai US$ 27.3 milyar), dan pada tahun tersebut muncul banyak
perusahaan Tbk di bidang perkebunan kelapa sawit yang, karena kinerja fundamentalnya
yang bagus, menjadi favorit para investor pasar modal, seperti Astra Agro
Lestari (AALI), PP London Sumatera (LSIP), hingga Sampoerna Agro (SGRO).
Beberapa konglomerasi besar seperti Grup Sinarmas dan Grup Salim juga cuan besar
dari sektor CPO ini, dan mereka menggunakan uangnya untuk investasi di
sektor-sektor usaha lain seperti properti dan tambang, selain investasi/memperluas
kebun sawit yang mereka miliki itu sendiri.
Ilustrasi Perkebunan Kelapa Sawit & Pabrik Pengolahan Biji Sawit menjadi CPO milik PT Astra Agro Lestari, Tbk |
However, pada tahun
2011 tersebut, jika dibanding batubara, maka sektor sawit ini tidak terlalu terasa
booming-nya, dimana investor yang tertarik untuk invest di
sektor riil biasanya akan lebih memilih beli tambang batubara ketimbang lahan
kebun sawit. Sementara di pasar modal, penulis ingat betul, saham-saham CPO juga
agak telat naiknya dibanding saham-saham batubara. Padahal pada awal tahun
2011, bersamaan dengan harga batubara yang mencapai rekor tertinggi US$ 120 per
ton, benchmark harga CPO di Bursa Malaysia juga sempat menyentuh rekor
RM4,000 per ton. Tapi ketika saham PTBA dkk ketika itu beterbangan bahkan sejak
tahun sebelumnya (2010), saham LSIP dkk masih adem ayem saja/tetap naik tapi
kenaikannya tidak banyak.
Dan saham-saham CPO ini
baru naik banyak mulai pertengahan tahun 2011, yakni ketika para emiten merilis
laporan keuangan untuk Kuartal I 2011, dimana memang profit mereka melonjak
signifikan. Berdasarkan pengalaman inilah, penulis kemudian mikir lagi: Kenapa saham-saham
batubara bisa dengan cepat naik simply ketika harga batubara naik (jadi
para emiten batubara sejatinya belum benar-benar membukukan profit di laporan
keuangannya), tapi saham-saham CPO harus tunggu laporan keuangan mereka dulu,
baru kemudian naik? Dan jawabannya adalah, karena batubara itu cenderung easy
business. Yup, kalau anda pegang KP (kuasa pertambangan) untuk satu
lahan tambang tertentu, maka selanjutnya anda tinggal gali tanahnya, ambil
batubara yang ada dibawah lapisan tanah tersebut, angkut ke pelabuhan, lalu
jual, terima duit, selesai!
Sementara sawit? Well,
ketika anda menanam pohon sawit, maka pohon itu baru bisa dipanen/menghasilkan
CPO paling cepat sekitar tiga tahun
kemudian, itupun jika selama itu kita rajin menyiram dan memberi pupuk (pohon
sawit termasuk jenis tanaman yang membutuhkan pasokan air yang sangat besar). Masalahnya, let say kita sukses
memelihara kebun sawitnya hingga siap panen, tapi bagaimana kalau harga CPO sedang turun justru ketika kebunnya sudah siap panen? Dari sinilah kemudian timbul ketidak pastian: Hanya
karena harga CPO naik, maka bukan berarti perusahaan sawit bakal langsung cuan.
Jadi kalau anda hendak beli saham LSIP dkk, maka sebaiknya tunggu dulu hingga
perusahaan merilis laporan keuangannya, just to make sure.
Karena alasan inilah,
ketika harga-harga komoditas mulai pulih lagi pertengahan 2016 lalu, penulis
ketika itu hanya melirik saham-saham batubara saja, dan tidak atau belum
melirik sektor perkebunan ini (baca lagi penjelasannya
disini). Okay, tapi untuk sekarang ini kan saham-saham batubara udah pada
naik semua tuh, sedangkan sawit kelihatannya masih belum kemana-mana. Jadi apakah
sekarang sudah waktunya kita pindah ke sektor perkebunan ini?
Sayangnya, jawabannya
mungkin masih belum. Sejak sekitar setahun lalu, penulis sudah mengatakan bahwa
seiring dengan rencana IPO Aramco,
yang merupakan perusahaan minyak terbesar di dunia asal Arab Saudi, maka harga
minyak kemungkinan akan dijaga agar tidak turun, atau bahkan dikerek naik (baca
lagi ulasannya
disini). Dan memang, pada hari ini kita bisa menyaksikan harga minyak dunia
cenderung naik, dari US$ 40, 50, hingga tembus US$ 60 per barel. Sementara rumus
gampangnya adalah, kalau harga minyak naik, maka harga komoditas energi lainnya, seperti gas dan juga batubara, biasanya juga akan ikut naik. Problemnya, sekali lagi
berdasarkan pengalaman, jika semua orang di seluruh dunia hanya fokus pada
kenaikan harga minyak yang notabene merupakan komoditas dunia paling penting, apalagi jika diiringi oleh ‘peristiwa besar’ seperti IPO Aramco
diatas, maka terkadang komoditas-komoditas lainnya (komoditas non energi) justru
terlupakan, dan alhasil harga
komoditas non energi ini menjadi stagnan atau bahkan malah turun.
Dan memang itulah yang terjadi
pada CPO. Sebenarnya ketika harga komoditas mulai naik pada penghujung tahun
2016 lalu, maka harga CPO juga turut merangkak naik dari RM1,900 hingga hampir
saja tembus RM3,000 pada awal 2017, tapi kesininya harga CPO malah justru turun, hingga terakhir balik lagi ke
level dibawah RM2,500 per ton (anda bisa melihatnya di www.bursamalaysia.com). Yup, jadi
inilah yang bikin saham-saham perkebunan pada lesu darah sepanjang tahun 2017
lalu. Karena coba pikir: Jika harga CPO lagi tinggi saja maka para emiten sawit
belum tentu cuan, apalagi jika harga CPO lagi turun?
Indonesia:
Produsen CPO Terbesar di Dunia, but That’s Actually Bad News
Kemudian,
penulis sendiri baru menyadari belakangan ini bahwa sepertinya terdapat satu lagi
alasan khusus kenapa harga CPO agak susah naik: Bagi anda yang belum tahu, sejak beberapa tahun
lalu Indonesia sudah menyalip Malaysia untuk menjadi produsen CPO terbesar di dunia. Yup, jadi berbeda
dengan batubara dimana Indonesia hanya menempati peringkat lima
produsen terbesar (setelah China, Amerika Serikat, India, dan Australia), maka
untuk CPO, kita adalah numero uno. Kemudian kalau melihat cakupan penggunaan CPO yang sangat luas mulai dari minyak goreng hingga bahan
bakar kendaraan bermotor, maka CPO ini sejatinya juga
tidak kalah pentingnya dibanding minyak. Jadi secara teori, Indonesia seharusnya tidak kalah makmur dibanding, katakanlah,
Arab Saudi.
Hanya saja, I don’t
know, mungkin karena Indonesia merupakan third world country, maka jadilah
harga CPO ini rada susah naiknya karena memang kita kurang pinter di
marketing-nya, dimana bahkan benchmark harga CPO dunia yang dipakai adalah
yang di Bursa Malaysia, bukan di Indonesia itu sendiri. Yup, jadi berbeda
dengan minyak yang dimana produsen terbesarnya adalah negara superpower macam
Rusia dan Amerika Serikat (Arab Saudi juga merupakan ‘kawan baik’ Amerika),
sehingga mereka bisa dengan leluasa menaik turunkan harga minyak, Indonesia
belum memiliki kemampuan untuk mengendalikan harga CPO dunia, padahal kita
merupakan produsen terbesar. Lebih buruk lagi, sudah sejak lama industri sawit juga diserang
dengan isu pembabatan hutan, global warming, hingga perusakan habitat
hewan-hewan seperti orangutan di Kalimantan (tapi anehnya industri minyak,
yang jelas-jelas lebih merusak lingkungan, jarang diserang dengan isu-isu
seperti itu). Para produsen CPO di Malaysia (lagi-lagi Malaysia, bukan
Indonesia) mencoba mengatasi isu-isu negatif ini dengan mendirikan organisasi Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO)
di tahun 2004, dimana RSPO ini menerbitkan sertifikat CSPO (certified
sustainable palm oil) bagi perusahaan-perusahaan sawit yang dianggap ‘tidak
merusak lingkungan’, dan CSPO ini juga sudah diakui dunia. But still, hal ini tidak
mampu meredam sepenuhnya isu-isu negatif di sektor perkebunan.
Dan salah
satu problem kenapa Indonesia tidak memiliki kendali atas harga jual CPO,
adalah karena di Indonesia sendiri belum berkembang industri-industri hilir untuk CPO
(paling sebatas bikin margarine saja), sehingga otomatis posisi tawar kita menjadi
lemah dibanding negara lain yang mampu mengolah CPO tersebut.
Padahal, seperti halnya minyak
dan batubara, CPO adalah merupakan kebutuhan utama dunia untuk bahan baku
minyak goreng dan margarine, produk-produk makanan, obat-obatan, kosmetik, produk-produk
kimia (oleochemical), bahkan untuk membuat biosolar. Jadi seperti yang disebut diatas, cakupan
penggunaan CPO ini sangat luas. Dan lebih penting lagi, berbeda dengan
kebanyakan komoditas lainnya, CPO hampir
tidak memiliki komoditas pengganti. I mean, kalau anda pakai bensin untuk mobil, maka sekarang sudah ada mobil listrik. Kalau anda pake batubara untuk
pembangkit listrik, maka di Amerika sana sebagian pembangkit listrik sudah
mengganti batubara dengan gas. Sementara CPO? Well, sebenarnya anda bisa juga
pakai minyak kelapa atau olive oil untuk
memasak, tapi harganya muahal sekali, dan juga sulit diperoleh. Jadi pada akhirnya
orang hanya akan pakai minyak sawit.
Hanya
saja, sekali lagi, berbeda dengan Arab Saudi yang sudah mampu mengolah sendiri
minyaknya menjadi produk-produk petrochemical dll, Indonesia masih belum
benar-benar mampu untuk mengolah CPO. Karena itulah, harga CPO mungkin justru malah ditekan oleh negara-negara maju agar
mereka bisa memperoleh suplai CPO dari Indonesia pada harga murah. Karena
toh pada akhirnya, para perusahaan perkebunan di Indonesia nyaris tidak punya
pilihan lain kecuali menjual CPO-nya ke pasar ekspor ‘pada harga berapapun asal
laku’, karena mereka belum bisa menjualnya ke pasar/industri dalam negeri. Jadi
kecuali nanti di Indonesia sudah berdiri pabrik farmasi, kosmetik dll yang
menggunakan minyak sawit sebagai bahan baku, maka harga CPO belum akan naik
dulu.
Anyway, kabar baiknya, meski
harga CPO turun lagi, namun penurunannya tidak sampai balik lagi ke level
terendahnya di awal tahun 2016 lalu. Yup, jadi secara keseluruhan harga CPO
sebenarnya masih naik, dan penulis termasuk yang percaya bahwa masa-masa kritis
sektor komoditas secara umum memang sudah berakhir pada tahun 2016 tersebut,
dimana untuk sekarang perlahan tapi pasti harga-harga komoditas kembali
bergerak naik (karena juga seiring inflasi dunia), tapi tentu, seringkali naiknya tidak secara bersamaan, alias
bergiliran.
Jadi meski
seperti yang dibahas diatas, terdapat alasan kuat kenapa harga CPO susah naik, tapi disisi
lain harga CPO juga tidak akan turun
lagi, karena toh pada akhirnya negara-negara diluar Indonesia tetap butuh
CPO ini. Kata kuncinya disini adalah, Indonesia
harus bisa mengembangkan industri hilir bagi CPO agar kemudian bisa memiliki
kendali atas harga CPO dunia. Jadi, yap, yang kita tunggu sekarang ini
adalah kebijakan Pemerintah atau semacamnya, yang bertujuan untuk mendorong
hilirisasi CPO, yang kemudian mendorong kenaikan harga CPO. Dan ketika itulah
saham-saham perkebunan kelapa sawit, yang valuasinya memang bisa dianggap paling murah di bursa saat ini, akan punya alasan kuat untuk naik.
Untuk
kedepannya kita mungkin akan update lagi prospek sektor perkebunan kelapa sawit
ini. Tapi untuk minggu depan, kita akan bahas update sektor konstruksi, atau
properti.
Follow/lihat foto-foto penulis di Instagram, klik 'View on Instagram' dibawah ini:
Komentar