Elnusa
IHSG memulai perjalanannya di tahun 2016 ini
dengan kurang mulus. Ketika artikel ini ditulis, IHSG masih turun 2% secara year to date. Meski penurunan tersebut
masih jauh lebih baik dibanding penurunan Bursa China dan juga Amerika, dimana Indeks
Shanghai dan Dow Jones masing-masing
turun 16.7 dan 6.2%, namun beberapa saham di sektor migas dan tambang sudah
jatuh lebih dalam. Salah satunya, Elnusa
(ELSA), yang terakhir ditutup di posisi 200 atau sudah turun hampir 20% sejak
awal tahun, dan cukup jelas bahwa penyebabnya adalah penurunan harga minyak
yang sekarang sudah menyentuh US$ 30 per barel.
Dan tidak hanya di dalam negeri, tapi saham-saham
perusahaan migas skala global seperti Royal Dutch Shell, Exxon Mobil, BP,
Chevron, Total SA, semuanya juga tumbang. Tapi yang menarik, kemarin Berkshire
Hathaway merilis keterbukaan informasi bahwa mereka menambah kepemilikan di
saham Phillips 66, sebuah perusahaan
minyak kelas menengah yang bermarkas di Texas, Amerika Serikat. Nah, kita tentu
sudah hafal kebiasaan Opa Warren yang suka membeli saham suatu perusahaan justru
ketika orang-orang menghindarinya, dan dalam hal ini membeli saham perusahaan
minyak justru ketika harga minyak terus meluncur turun. Tapi mungkin
pertanyaannya, apakah ini merupakan sinyal bahwa smart
money sudah mulai masuk ketika mayoritas investor
sudah desperate dengan bisnis perminyakan? Lalu terkait Elnusa
tadi, apakah penurunan harganya adalah sebuah opportunity?
Sekilas Elnusa
Sekilas Elnusa
ELSA merupakan anak usaha dari BUMN paling
mengesalkan di Indonesia, Pertamina, yang bergerak di bidang jasa perminyakan.
Yup, ELSA tidak memproduksi minyak, namun menyediakan layanan land seismic, drilling, fabrication dll
bagi perusahaan-perusahaan minyak. Beberapa pelanggan ELSA adalah Pertamina
Hulu Energi, Pertamina EP, Medco, Pertagas, Total Indonesie, hingga Chevron Pacific
Indonesia. Khusus untuk jasa land
seismic, ELSA merupakan salah satu pionir yang sudah berpengalaman sejak
tahun 1974, dan saat ini berstatus sebagai market
leader di tanah air.
Nah, sejak dulu entah kenapa sektor perminyakan di
BEI tidak pernah mencatatkan kinerja fundamental yang bagus, bahkan ketika dulu
harga minyak masih diatas US$ 100 per barel, dan alhasil penulis sendiri hampir
gak pernah melirik peluang investasi di sektor ini (tapi sebenarnya itu ada penjelasannya, anda bisa membacanya disini). And btw, Perusahaan Gas Negara
(PGAS) tidak bisa dikelompokkan sebagai perusahaan migas atau jasa migas,
karena dia cuma distributor.
Namun dibanding beberapa emiten sejenis seperti
Ratu Prabu Energi (ARTI), Benakat Integra (BIPI), Energi Mega Persada (ENRG),
hingga Medco (MEDC), maka ELSA memiliki kinerja fundamental yang relatif baik,
meski tetap saja masih dibawah standar ‘baik’ versi penulis. However, dengan
terus menurunnya harga minyak yang diiringi oleh penurunan harga saham dari
perusahaan-perusahaan terkait, maka jika anda tertarik untuk mengikuti langkah Buffett yang justru
masuk ke sektor perminyakan, pilihan saham yang paling masuk akal ya ELSA ini. Dan
dengan PBV 0.6 kali pada harga 200, maka jika nanti harga minyak rebound
sedikit saja, harusnya dia bisa dengan mudah membal keatas.
Hanya saja, kalau untuk investasi
serius untuk jangka panjang, maka ELSA terbilang meragukan. Sejak 2010 sampai
sekarang, pendapatan perusahaan stagnan di Rp4 trilyunan per tahun, alias gak
naik-naik, dan kenaikan laba ELSA lebih didorong oleh efisiensi kinerja, tapi bahkan sampai sekarang margin labanya masih dibawah 10%, dan itu terbilang sangat
rendah untuk ukuran perusahaan jasa. Lalu seiring dengan penurunan harga minyak
sejak awal tahun 2015 lalu, pendapatan ELSA juga ikut tertekan dimana hingga
Kuartal III kemarin, angkanya baru tercatat Rp2.6 trilyun, sehingga ada
kemungkinan bahwa untuk sepanjang tahun 2015 ini pendapatan ELSA akan tercatat
dibawah Rp4 trilyun, dan memang dari pihak manajemen sendiri memperkirakan
bahwa laba ELSA hanya akan mencapai Rp350 milyar untuk tahun 2015, atau turun
signifikan dibanding tahun 2014 sebesar Rp412 milyar. Dalam materi public
expose yang diselenggarakan perusahaan ketika harga minyak masih US$ 45 per
barel, manajemen sudah mengatakan bahwa kinerja perusahaan, meski turun, tapi
penurunannya tidak sedalam industri migas secara umum, karena berbeda dengan
mayoritas perusahaan migas lain di tanah air, ELSA relatif tidak memiliki
utang.
Penurunan Kinerja
Tapi kata kuncinya disini adalah
bahwa ‘kinerja perusahaan ikut turun seiring dengan penurunan harga minyak’.
Dan berhubung harga minyak sekarang tinggal US$ 30 per barel, maka ya wassalaaaam... Terkait sahamnya sendiri, pada tahun 2011 lalu, yakni ketika harga
minyak lagi tinggi-tingginya di level US$ 120 per barel, ELSA justru menderita
kerugian Rp43 milyar, dan itu menyebabkan sahamnya jeblok dari 350-an hingga
160-an. Namun memasuki tahun 2012 hingga 2014, perolehan laba perusahaan terus
membaik hingga mencapai Rp420 milyar pada akhir tahun 2014, dan alhasil sahamnya
juga terus naik sampai sempat menyentuh posisi 700, alias mencetak gain lebih dari tiga kali lipat.
Memasuki tahun 2015, secara
efisiensi kinerja ELSA mungkin sudah lebih baik (jadi perusahaan gak akan
sampai menderita rugi lagi), namun problemnya masih terletak di ketidakmampuan
perusahaan untuk meningkatkan pendapatan. Dan berhubung harga minyak juga tinggal
seperempat dari harganya di tahun 2011 maka pendapatan ELSA ikut turun,
dan investor biasanya gak mau tau: Kalau pendapatan dan laba perusahaan turun
tajam maka gue gak akan beli sahamnya, dan sebenarnya itulah yang menyebabkan sahamnya
terpuruk. Ingat bahwa penuruan harga minyak, yang sampai awal tahun 2016 ini
masih terus terjadi, bisa berarti bahwa kinerja ELSA untuk awal tahun 2016 ini
juga akan kembali turun dibanding 2015.
Jadi agar saham ELSA bisa naik maka
caranya ada dua: 1. Harga minyak rebound, dan 2. Kinerja perusahaan menunjukkan
perbaikan. Untuk poin pertama, itu bisa terjadi kapan saja dan kalau itu
terjadi maka saham ELSA bakal naik sangat tajam, mungkin bisa sampai beberapa
puluh persen hanya dalam satu dua hari, tapi hanya untuk sesaat sebelum kemudian turun
lagi (karena pada akhirnya orang akan lihat laporan keuangan lagi). Untuk poin
kedua, itu paling cepat baru akan kelihatan di laporan keuangan Kuartal I 2016 nanti, yang akan dirilis sekitar akhir April, dan itupun dengan catatan harga minyak sudah rebound sebelumnya.
Kesimpulannya, I don’t know with
others, namun kalau untuk penulis ELSA ini hanya masuk watchlist saja dulu. Ketika Opa
Buffett beli Phillips 66, mungkin pertimbangannya adalah karena perusahaan oil refinery ini hingga Kuartal III 2015
masih membukukan laba US$ 3.6 milyar, atau hampir sama dengan periode yang sama
tahun 2014, sementara kinerja perusahaan-perusahaan minyak lain sudah pada
bertumbangan bahkan sejak tahun 2013. Jadi kalau nanti harga minyak pulih lagi maka kinerja Phillips 66 juga akan melaju kencan lagi. Sementara ELSA? We’ll, he’s not that good,
setidaknya untuk saat ini, so it's better to wait, kecuali jika anda hendak
berspekulasi pada harga minyak yang bisa saja membal sewaktu-waktu. Tapi yah,
penulis tentu saja tidak menyarankan untuk ‘investasi saham’ dengan cara
seperti itu.
PT. Elnusa, Tbk
Rating Kinerja pada Kuartal III
2015: BBB
Rating Saham pada 200: A
Btw, hingga Rabu, 13 Januari, IHSG
masih turun 1.2% secara year to date, namun
sektor properti/konstruksi dan finance/perbankan masing-masing hanya turun 0.7%, dan sektor infrastruktur/transportasi malah naik 1.2%. Sementara sektor pertambangan, termasuk ELSA di dalamnya, sudah turun 2.5%. Hal ini
menunjukkan bahwa meski IHSG masih dipengaruhi fluktuasi bursa global dan juga
turunnya harga minyak, namun beberapa saham di tiga sektor yang lagi ‘hot’ diatas tetap
menanjak karena, sekali lagi, fundamental ekonomi kita mulai pulih dengan
sektor-sektor tersebut sebagai pendorongnya. Anda bisa baca lagi ulasannya disini.
Info Investor: Layanan pre-order ebook analisis saham-saham pilihan edisi Kuartal IV 2015 sudah dibuka. Keterangan lebih lanjut klik disini.
Info Investor: Layanan pre-order ebook analisis saham-saham pilihan edisi Kuartal IV 2015 sudah dibuka. Keterangan lebih lanjut klik disini.
Komentar
Perlu dibedakan jenis2 perusahaan yang bergerak di bidang perminyakan. Karena beda jenis perusahaan, akan beda pula strategi nya serta business model nya. Beberapa jenis perusahaan minyak itu:
1. Upstream company
Perusahaan ini yang identik dgn yang selama ini public sebut oil company. Perusahaan seperti ini melakukan eksplorasi dan produksi. Mereka mencari sumber minyak dan selanjutnya melakukan drilling, bangun platform, dan upstream processing minyak dan gas tersebut untuk dijual ke user. Minyak dan gas yang diproses hanya minimal processing utk memenuhi kebutuhan user nya. User/pembeli crude oil ini biasanya downstream company yang akan memproses lebih lanjut crude tsb.
2. Downstream company
Crude dr upstream company akan diproses oleh downstream company melalu refinery atau plant untuk menjadi bahan bakar kendaraan bermotor, pesawat, material2 pembuat plastik, polymer, dsb. Phillips 66 termasuk jenis perusahaan ini.
3. Service company
Perusahaan ini akan menyediakan jasa utk upstream company mulai dari jasa seismik utk eksplorasi, penyediaan rig, service utk drilling, service utk perbaikan sumur, project management, pemeliharaan platform, dsb. Ada berbagai jenis service company.
Nah ketika harga minyak turun, yang terkena imbas nya ialah upstream company dan service company. Karena bagi upstream company, harga minyak tsb ialah harga jual produk mereka. Revenue mereka akan turun drastis kalau harga minyak turun. Alhasil akan banyak pengurangan aktivitas dan efisiensi yang membawa imbas ke service company.
Lalu bagaimana dengan downstream company? Anda liat deh ketika harga minyak turun lebih dr 50%, apakah harga BBM lantas turun dgn persentase yg sama? Tidak kan. Karena ketika harga minyak turun, downstream company akan generate profit. Karena harga minyak bagi mereka adalah harga bahan baku mereka. Dengan mereka tidak terlalu menurunkan harga jual, tentu nya profit mereka akan semakin besar dgn turunnya harga minyak. Phillips 66 tadi nya merupakan bagian dari ConocoPhillips (COP). Jadi tadinya COP merupakan perusahaan yang terintegrasi antara upstream dgn downstream. Tapi sejak 2-3 thn lalu mereka dipisahkan menjadi 2 perusahaan berbeda. Masih ada company business nya menggabungkan upstream & downstream (TOTAL, Exxon, etc) tp banyak juga yang skrg ini hanya fokus ke upstream.
Keputusan Om Buffet membeli Phillips 66 di saat oil price lg turun justru tepat karena Phillips 66 akan generate profit di tengah situasi spt ini. Analisis saya, Buffet memperkirakan harga oil di masa depan tidak akan setinggi thn2 sebelumnya karena USA skrg malah surplus minyak (mereka menemukan teknologi utk menghasilkan shale oil dan gas). Skrg USA merupakan produsen terbesar kedua dibawah Saudi. Setiap orang akan surprise tau fakta ini. Analisis Buffet mungkin justru di masa depan margin profit downstream company akan tumbuh karena seimbangnya demand dan supply crude oil.
Sorry kepanjangan.
RAS
kalo PGAS downstream gak ya :o
dengan harga minyak yang rendah, umumnya USD akan cukup tinggi terhadap mata uang negara lain.
Jika USD tetap berkisar dengan harga ini,
emiten dgn fundamental bagus dengan pendapatan USD yaitu SRIL.
B.
selama ini saya juga sering mempertanyakan kontradiksi antara langkah bisnis buffet dengan kondisi makro yang terjadi. setelah membaca penjelasan pa ricky tnyata kontradiksi itu sama sekali tidak ada dan ternyata sangat logis langkah yang dilakukan buffet itu. tq sudah mencerahkan saya ,pa ricky