Bursa Tiongkok Jatuh, What Happen?
Pada tanggal 12 Juni
lalu, setelah baru saja mencetah another new high di 5,178, Indeks Shanghai Stock Exchange (SSE) tiba-tiba saja turun dengan
cepat.. dan terus turun hingga sempat balik lagi ke posisi 3,383 pada tanggal 9
Juli kemarin, atau anjlok lebih dari 30% hanya dalam tempo kurang dari sebulan! Penurunan
yang dialami SSE ini begitu cepat dan begitu tiba-tiba, hingga kemudian
menimbulkan pertanyaan dari investor di seluruh dunia termasuk di Indonesia:
Apa yang sebenarnya sedang terjadi di Tiongkok? Apakah benar bahwa disana
sedang terjadi krisis?
Dan kalau bukan karena
kebijakan otoritas Bursa Tiongkok bahwa sebuah saham hanya bisa turun maksimal
hingga 10% dalam satu hari (kalau di Indonesia istilahnya auto reject kiri),
maka SSE seharusnya anjlok lebih rendah lagi. Pada hari Rabu, tanggal 8 Juli,
nyaris separuh dari saham-saham yang diperdagangkan di SSE (dan juga di
Shenzhen) di-suspend, karena penurunan mereka sudah mencapai 10%.
Sekarang anda bayangkan: Jika tidak ada kebijakan batas maksimal penurunan ini,
dimana saham-saham di SSE bisa saja turun hingga 25% dalam sehari seperti yang
bisa (dan pernah) terjadi pada saham-saham tertentu di BEI, maka kira-kira
bakal bagaimana jadinya?
Meski tampak mengkhawatirkan,
namun jika anda sudah mengamati pola pergerakan SSE ini sejak awal, dalam hal
ini sejak setahunan lalu, maka anda mungkin sudah memprediksi bahwa
kejatuhan SSE ini cepat atau lambat pasti akan terjadi.
Sebab persis sejak
setahun lalu (Juli 2014), SSE tiba-tiba saja naik terus dari posisi 2,000-an
hingga akhirnya menembus level psikologis 5,000-an pada awal Juni 2015, atau naik
lebih dari 150% hanya dalam tempo
sebelas bulan. Dan menariknya kenaikan yang luar biasa tersebut dicapai justru
ketika Negeri Tiongkok menunjukkan data fundamental perekonomian yang kurang
bagus, dimana pertumbuhan ekonomi pada Kuartal I 2015 tercatat hanya 7.0%,
terendah sejak 2009, salah satunya karena penurunan nilai ekspor hingga 15%.
Dan ketika kenaikan
indeks saham suatu negara, apalagi dengan kenaikan yang sangat ekstrim, sama
sekali tidak ditopang oleh fundamental ekonomi negara yang bersangkutan, maka
itu berarti? Bubble, tentu saja.
Sejak bulan April kemarin, ketika SSE terus saja naik tanpa henti, sudah
terdapat banyak tulisan di internet mengingatkan soal indikasi bubble tersebut,
atau bahkan dalam hal ini tidak perlu lagi disebut ‘indikasi’, karena bubble
tersebut tampak sangat nyata adanya. Maksud penulis adalah, bagaimana mungkin
anda mengatakan bahwa Bursa Tiongkok berada pada level yang ‘wajar’, ketika
satu dari lima saham disana di hargai pada PER.. 100 kali???
Pertanyaannya kemudian,
apa yang menyebabkan bubble tersebut? Well, jawaban atas pertanyaan tersebut
bisa macam-macam. Namun yang jelas, pada tanggal 11 Maret 2015 lalu, People’s
Bank of China (bank sentral Tiongkok) mengumumkan setidaknya dua kebijakan
stimulus bagi investor di pasar modal Tiongkok, yakni: 1. Pemotongan suku bunga
acuan (sama dengan BI
Rate di Indonesia) hingga 4.85%, terendah
sepanjang sejarah, dan 2. Dukungan atas pemberian pinjaman dana bagi
investor di pasar saham, termasuk bagi investor yang baru saja membuka rekening untuk pertama kalinya di
sekuritas.
Logo Central Bank of China |
Dua kebijakan tersebut
menyebabkan para investor di Bursa Tiongkok bisa meminjam dana dalam jumlah besar dari
bank/sekuritas pada tingkat bunga yang rendah. Dan hasilnya gampang ditebak:
Investor ramai-ramai meminjam dana untuk membeli saham. Per April 2015, nilai
pinjaman seluruh investor di Bursa Tiongkok mencapai US$ 269 milyar, naik tiga kali lipat dibanding setahun
sebelumnya. Ketika semua orang memiliki uang yang banyak (meski sebenarnya itu
bukan milik mereka), maka mereka terus saja membeli saham, sehingga alhasil,
SSE terus saja naik.
Jadi sekarang anda
sudah mengetahui, apa yang menyebabkan SSE langsung anjlok tanpa ampun dalam
sebulanan terakhir: Margin call. Ketika harga suatu saham mulai turun
hingga batas tertentu, maka investor yang membelinya menggunakan dana pinjaman/margin
akan diminta oleh pihak sekuritas untuk menyetor dana tambahan, untuk menutup
besarnya kerugian yang mungkin terjadi. Jika si investor tidak bisa menyetor
dana, maka ia terpaksa menjual sahamnya pada
harga berapapun (bahkan meski harga tersebut sangat rendah) alias force
sell. Dan ketika terdapat banyak investor melakukan force sell secara
bersamaan, maka ya begitulah jadinya: SSE langsung anjlok 30% dalam sebulan.
Pertanyaannya sekarang,
apakah perekonomian Tiongkok memang dalam kondisi krisis? Termasuk, benarkah
bahwa krisis Tiongkok ini lebih parah dari Yunani? Actually, nggak juga. Diatas
memang sudah disebutkan bahwa pertumbuhan ekonomi Tiongkok sedang melambat,
namun kondisinya masih jauh dari krisis. Untuk memberikan gambaran, berikut ini
adalah perbandingan data ekonomi makro antara Tiongkok dengan Indonesia (yang
mulai batuk-batuk), dan Yunani (yang sudah masuk UGD). Perhatikan bahwa dari
sisi pertumbuhan ekonomi, tingkat pengangguran, hingga rasio jumlah utang
terhadap GDP, maka berbeda dengan Yunani yang memang sedang dalam bad
condition, baik Tiongkok maupun Indonesia sama sekali tidak bisa dikatakan
sedang dalam kondisi krisis.
Country
|
GDP Growth
|
Interest Rate
|
Inflation
|
Jobless
|
Debt/GDP
|
Cur. Account
|
China
|
7.0
|
4.9
|
1.4
|
4.1
|
22.4
|
2.1
|
Indonesia
|
4.7
|
7.5
|
7.3
|
5.8
|
25.0
|
(3.0)
|
Greece
|
0.2
|
0.1
|
(2.1)
|
25.6
|
177.1
|
0.9
|
Jadi penurunan Bursa
Tiongkok ini murni hanya merupakan dinamika pasar saja, dan tidak berkaitan
langsung dengan kinerja para emiten ataupun kondisi makro ekonomi Tiongkok. Faktanya meski turun sangat signifikan dalam sebulan terakhir, namun secara year to date, SSE masih naik
sekitar 8% sepanjang tahun 2015 ini.
Hanya saja karena magnitude
dari penurunan SSE terbilang sangat ekstrim, maka kemungkinan terburuknya
adalah, jika para investor gagal membayar utangnya bahkan setelah mereka mengalami force sell, maka itu bisa menyebabkan bank
atau sekuritas yang memberikan utang juga turut mengalami gagal bayar.
Kondisi ini pernah terjadi di Amerika pada tahun 1929 lalu, dimana puluhan bank
tidak mampu menagih utang kepada para debitur-nya, hingga bank itu sendiri
kesulitan keuangan dan akhirnya cuma bisa angkat tangan ketika para nasabah
datang untuk mencairkan tabungan/deposito. Dan ketika bank-bank tersebut
bangkrut, maka itulah awal dari periode great
depression di Amerika Serikat pada dekade 1930-an, yang hingga saat ini
masih diingat sebagai krisis ekonomi terburuk sepanjang masa.
However, meski para
investor di Tiongkok mulai menderita kerugian yang sangat besar, namun hingga
saat ini belum ada berita bahwa ada investor yang gagal sama sekali dalam membayar
utangnya. Dan Pemerintah Tiongkok sendiri gerak cepat dengan meluncurkan
sepuluh kebijakan sekaligus yang diharapkan mampu untuk kembali memulihkan
kondisi pasar, yakni:
- Pemerintah Tiongkok, melalui China Securities Finance Corp. (CSF), akan meminjamkan setidaknya US$ 42 milyar ke dua puluh satu perusahaan sekuritas, agar mereka bisa membeli saham-saham bluechip di SSE maupun Bursa Shenzhen.
- CSF sendiri akan secara langsung membeli saham-saham kecil dan menengah di Bursa.
- Pemerintah akan memberikan stimulus tunai sebesar US$ 40 milyar, yang akan disalurkan ke wilayah-wilayah tertentu di mainland yang dianggap membutuhkan, untuk kembali mendorong pertumbuhan ekonomi.
- Pemerintah akan mengeluarkan anggaran lebih untuk belanja infrastruktur.
- Otoritas Bursa Tiongkok mengizinkan lebih dari separuh perusahaan yang terdaftar di bursa SSE dan Shenzhen untuk menghentikan perdagangan sahamnya, agar harga saham mereka tidak turun lebih jauh.
- Otoritas Bursa Tiongkok melarang pemegang saham mayoritas dari seluruh perusahaan di bursa untuk menjual sahamnya (untuk mencegah agar harga saham tidak turun semakin dalam), setidaknya hingga enam bulan kedepan.
- Otoritas Bursa Tiongkok membatalkan semua rencana IPO, setidaknya untuk saat ini.
- Bank Sentral Tiongkok akan sekali lagi menurunkan tingkat suku bunga, agar terdapat lebih banyak dana masuk ke bursa.
- Investor saham akan dipermudah untuk mengajukan pinjaman/menggunakan dana margin. Sebagai contoh, investor kini bahkan boleh menjaminkan sertifikat rumah mereka ke pihak sekuritas untuk memperoleh pinjaman. Dan
- Bank Sentral Tiongkok akan menurunkan nilai mata uang Yuan terhadap US Dollar, dimana itu diharapkan akan meningkatkan nilai ekspor Tiongkok, yang sebelumnya memang turun 15% atau cukup signifikan.
Nah, lalu apakah
kebijakan-kebijakan tersebut akan mampu kembali menaikkan indeks SSE? Well,
kita lihat saja nanti. Tapi kalau penulis boleh jujur, saya justru khawatir. Seperti
yang sudah kita bahas diatas, penyebab dari kejatuhan Bursa Saham Tiongkok ini
sejatinya sudah sangat jelas: Adanya kebijakan pemerintah, dalam hal ini Bank
Sentral, yang menyebabkan hampir semua orang membeli saham menggunakan utang, dan seperti biasa itu kemudian menyebabkan bubble (dan bubble tersebut memang sudah mulai meletus dalam
sebulanan terakhir). Lalu kenapa Pemerintah
Tiongkok sekarang malah memberikan pinjaman yang lebih besar lagi? Bukankah itu
berarti bahwa Pemerintah hanya menunda bubble yang terjadi untuk tidak meletus
sekarang, tapi pada akhirnya justru akan menyebabkan letusan yang lebih besar, suatu hari nanti???
Tapi yah, mudah-mudahan
saja para ahli ekonomi disana lebih ngerti soal ini, dan kebijakan Pemerintah
tersebut memang tepat adanya. Hanya memang, kalau skenario yang terjadi adalah
yang terburuk, maka mau tidak mau perekonomian Indonesia termasuk IHSG akan
terkena imbasnya. Seperti yang sudah dibahas disini,
jika Yunani mengalami krisis maka pengaruhnya ke Indonesia akan sangat kecil
atau bahkan tidak ada pengaruh sama sekali (kecuali pengaruh secara
psikologis). Namun kalau Tiongkok yang krisis? Ya wassalaaam.. Memangnya ketika
harga batubara terus saja turun, dimana itu menyebabkan turunnya nilai ekspor
Indonesia dan pada akhirnya menurunkan pertumbuhan ekonomi nasional sejak tahun
2011 lalu, itu apa lagi penyebabnya kalau bukan menurunnya permintaan batubara
dari Tiongkok, karena memang pertumbuhan ekonomi disana melambat?
However, penulis kira sekarang
ini masih terlalu dini untuk menebak-nebak tentang apa yang kira-kira bakal
terjadi dengan Bursa Saham dan perekonomian Tiongkok kedepannya, termasuk
bagaimana pengaruhnya ke IHSG dan perekonomian Indonesia. Tapi yang jelas,
kalau kita melihat kondisi ekonomi di lapangan, maka sulit untuk mengatakan
bahwa periode Kuartal II tahun 2015 ini sudah lebih baik dibanding Kuartal I
lalu. Maksud penulis adalah, jika pada Kuartal I lalu pertumbuhan ekonomi
nasional tercatat 4.7%, maka pada Kuartal II mendatang angkanya mungkin akan lebih
rendah lagi. Dan itu, sudah tentu, akan menjadi sentimen negatif bagi bursa
saham di dalam negeri, bahkan jika Indeks Shanghai ternyata mampu untuk pulih
kembali.
Komentar
http://www.wikiwand.com/en/Debt_deflation
yang sedang dilakukan pem tiongkok kurasa Reflation
Sementara itu, untuk nomenklatur resmi secara internasional tetap digunakan istilah "China". Penggunaan "Tiongkok" hanya berlaku di Indonesia saja.
Semoga membantu
Mohon pencerahan, apakah sebelum diterapkannya kebijakan strategis (setelah bursa Tiongkok turun tajam sejak 12 Juni 2015 lalu), aturan di Tiongkok tidak menerapkan suatu mekanisme agar nilai margin yang dapat digunakan oleh investor tetap terjaga? Maksud saya potensi loss dari margin tsb masih dapat tertutupi dari aset lain yang dia miliki di akun sahamnya?
Misalnya dia sedang hold saham, dengan duit dia sendiri, sebesar 100jt kemudian diberikan margin katakanlah hanya sebatas 50jt. Dengan aturan tersebut, katakanlah saham yang dibeli dengan margin minus signifikan misalnya nilainya tersisa 5jt. Dalam kondisi demikian nilai potensi kerugian yang dimiliki perusahaan sekuritas adalah 45jt. Namun dalam hal ini kerugian tersebut dapat diatasidengan forced cell saham2 yang dia miliki sebelumnya yang nilainya 100jt.
Berbeda kasusnya kalau ketentuan margin tersebut tidak diatur secara pruden, misalnya nasabah dengan nilai aset 100jt dapat mengakses margin sebesar 200jt. Ketika nilai saham yang dibeli dengan margin minus hingga tersisa 50jt maka potensi loss perusahaan sekuritas adalah 150 jt yang sudah pasti tidak akan tertutupi dengan menjual aset si nasabah yang hanya sebesar 100jt.
Mohon pencerahan Pak Teguh...
Kalau saya lihat dari cerita Bapak sepertinya opsi peraturan yang kedua yang ada di sana (tidak diatur secara ketat mengenai penggunaan margin) karena dari kebijakan yang ada justru nasabah diberikan kemungkinan untuk menjaminkan aset fisik misanya properti. Jadi kalau boleh disimpulkan Pemerintah Tiongkok sedang menggenjot investasi retail di Pasar Modal.
Demikian Pak Teguh, mohon maaf kalau kepanjangan :-)