Penurunan Harga Minyak, dan IHSG
Selama hampir satu dekade terakhir, kita terbiasa
melihat harga minyak di kisaran US$ 100 per barel, dengan hanya sekali turun ke
level US$ 45 pada tahun 2008 lalu, tapi tak lama kemudian langsung naik lagi
untuk kemudian bertahan di rentang US$ 100 – 120 per barel. Memasuki tahun 2015
barulah harga minyak mulai turun dan.. tiba-tiba saja, sekarang dia sudah
berada di bawah level US$ 30 per barel. Pertanyaannya, what happen? Dan apakah
ini ada hubungannya dengan penurunan bursa China, Amerika, dan juga IHSG pada awal
tahun 2016 ini?
Meski harga minyak terus merangkak naik dari US$
30 pada awal dekade 2000-an hingga sempat menembus US$ 145 per barel pada tahun
2007, namun kalau kita lihat sejarahnya sejak tahun 1860-an, maka dengan
memasukkan faktor inflasi, harga minyak
lebih sering berada di rentang US$ 15 – 30 per barel. Dan faktanya, selama
lebih dari 150 tahun terakhir, maka dengan memasukkan faktor inflasi, harga minyak hanya pernah empat kali berada
pada level diatas US$ 100 per barel, yakni pada tahun 1864 (lima tahun
setelah ditemukannya internal combustion
engine, yakni cikal bakal mesin kendaraan bermotor yang menggunakan bahan
bakar bensin), lalu pada tahun 1979 (ketika terjadi Revolusi di Iran, sehingga produksi minyak disana berhenti total,
padahal Iran adalah salah satu eksportir minyak terbesar di dunia), tahun 2007
(ketika para spekulan di pasar futures terus
membeli minyak hingga harganya melambung), dan pada tahun 2011 – 2014.
Jadi ketika harga minyak sekarang sudah dibawah
US$ 30 per barel, maka secara historis itu wajar saja, karena seperti yang
sudah disebut diatas, dari dulu juga harga minyak memang lebih sering berada di
rentang US$ 15 – 30 per barel, dan hanya akan naik secara signifikan kalau ada penyebab yang spesifik. Ketika
harga minyak mulai merangkak naik pada awal dekade 2000-an, penyebab spesifik
tersebut adalah booming ekonomi di China, dimana permintaan (demand) minyak dunia melonjak tajam.
Namun karena belakangan ini perekonomian China melambat, dan akan terus
melambat (dengan statusnya sebagai perekonomian terbesar kedua di dunia, maka
tentu sangat sulit bagi China untuk kembali mencatat pertumbuhan ekonomi yang
luar biasa seperti beberapa tahun lalu), maka ya sudah: Cepat atau lambat harga
minyak akan balik lagi ke level yang memang seharusnya. Tidak perlu menjadi
analis yang canggih untuk menebak bahwa harga minyak mungkin akan lanjut turun
sampai dibawah US$ 20 per barel, karena memang disitulah dia seharusnya berada,
yakni pada rentang US$ 15 – 30 per barel.
Okay, tapi dengan penurunan harga minyak ini, lalu
bagaimana dampaknya terhadap ekonomi dunia?
Kenaikan harga minyak sejak awal tahun 2000-an
hingga 2014 kemarin, itu juga pernah terjadi pada dekade 70-an, dimana pada
tahun 1973 – 1974 harga minyak melonjak dari sebelumnya dibawah US$ 20 per
barel (sesudah inflasi), hingga menembus US$ 55 per barel, ketika itu karena
negara-negara Arab melakukan embargo minyak ke Amerika dan Inggris, sebagai
bentuk protes atas dukungan Amerika terhadap Israel yang menyerang Mesir dan
Suriah. Setelah tahun 1974, harga minyak tidak serta merta turun kembali,
melainkan lanjut naik hingga mencapai puncaknya yakni sekitar US$ 105 per barel
pada tahun 1979, yakni ketika terjadi Revolusi Iran. Nah, tingginya harga
minyak, atau lebih tepatnya kelangkaan supply minyak sepanjang dekade
70-an, pada akhirnya membuat perekonomian di Amerika dan dunia secara
keseluruhan, menjadi lesu, karena kegiatan ekonomi yang membutuhkan pasokan
minyak praktis terhenti. Pada tahun 1973 – 1974, pasar saham Amerika mengalami crash dimana Indeks S&P500 turun
total lebih dari 40% selama dua tahun berturut-turut, dan kenaikan S&P500
di tahun-tahun berikutnya sepanjang dekade 70-an juga terbilang tidak
signifikan (malah sempat turun sekali lagi pada tahun 1977).
Memasuki dekade 80-an, keributan di Timur Tengah
mulai mereda, sehingga supply minyak
dunia kembali lancar.. hingga tiba-tiba saja pada tahun 1982, harga minyak
sudah berada di level US$ 30-an per barel lagi, dan terus turun. Alhasil mulai
tahun 1982 ini dan seterusnya, beberapa negara produsen minyak seperti
Venezuela, Brazil, dan Meksiko mengalami krisis, Arab Saudi mengalami
perlambatan pertumbuhan ekonomi, dan Uni Soviet bahkan sampai bubar (menjadi
Rusia, Ukraina, Kazakhstan, dst) pada tahun 1991. Pada kasus Brazil dan
Meksiko, mereka sampai mengalami krisis karena masalah klasik: Utang. Ketika dua negara tersebut
mengalami booming ekonomi berkat kenaikan harga minyak pada awal dekade 1970-an,
Pemerintah dan sektor swasta dengan cepat mengambil utang besar-besaran untuk
membangun ini dan itu, yang kemudian tidak mampu dibayar setelah harga minyak
itu sendiri turun. Di Meksiko, krisis ekonomi yang terjadi baru benar-benar
pulih pada tahun 1984.
However, pada dekade 1980-an tersebut, beberapa
negara konsumen minyak terbesar seperti Amerika Serikat, Jepang, hingga banyak
negara-negara berkembang, justru mengalami pertumbuhan ekonomi yang lebih baik
dibanding ketika terjadi krisis energi pada dekade 1970-an, dan alhasil perekonomian
dunia secara keseluruhan tetap tumbuh dengan lancar. Kalau kita membandingkan
pergerakan indeks Dow Jones pada dekade 70-an dengan 80-an, maka cukup jelas
bahwa periode tahun 80-an, yakni ketika harga minyak turun (atau lebih tepatnya
kembali ke level harga yang seharusnya),
adalah lebih baik dibanding periode tahun 70-an. Perhatikan gambar berikut, dimana
tampak jelas bahwa pergerakan Dow antara tahun 1970 – 1980 cenderung mendatar/sideways
dengan beberapa kali penurunan ekstrim. Namun antara tahun 1980 – 1990, Dow
sukses naik dari 900-an hingga 2,800, atau naik lebih dari tiga kali lipat (klik gambar untuk memperbesar).
Antara Supply dan Demand
Nah, setelah harga minyak sempat relatif stabil selama
hampir dua dekade, memasuki tahun 2000-an dia mulai naik lagi, tapi kali ini
penyebabnya bukan karena menurunnya supply
seperti ketika pada tahun 1973 negara-negara Arab menghentikan ekspor
minyak, melainkan karena meningkatnya
demand, yang berasal dari pertumbuhan
ekonomi di China. Karena disisi lain supply
minyak masih aman, maka kenaikan harga minyak tersebut tidak sampai
menyebabkan krisis seperti tahun 1970-an, dimana pertumbuhan ekonomi di Amerika
dll masih tetap lancar.
Lebih jelasnya sebagai berikut: Dalam perekonomian
terdapat dua faktor fundamental yang sangat penting, yakni supply and demand. Namun kalau disuruh memilih yang paling penting
diantara keduanya, maka supply/pasokan adalah yang terpenting. Malahan, asalkan
ada supply, maka demand/permintaan akan
muncul dengan sendirinya. Ketika orang-orang menemukan minyak pada awal
abad ke-19, ketika itu mereka belum tahu, apa kegunaan minyak ini. Tapi
kemudian diciptakan mesin kendaraan bermotor, sehingga timbul permintaan akan
minyak. Seandainya minyak tidak pernah ditemukan, maka mesin mobil dan motor
yang ada sekarang ini juga tidak akan pernah ada. Analogi yang sama juga ketika
internet ditemukan pada tahun 1980-an, dimana ketika itu belum ada yang bisa
melihat manfaatnya (belum ada demand terhadap internet). Tapi sekarang, coba
bayangkan kalau internet tiba-tiba tidak lagi tersedia mulai hari ini: Mungkin
tak lama kemudian IHSG langsung jeblok ke 2,500, karena orang-orang yang biasa
pake online trading tiba-tiba harus
pake cara dulu lagi, yakni telpon broker atau datang langsung ke lantai bursa
di Gedung BEI di Jakarta, dimana penulis sendiri gak bisa ngebayangin kalau
kita harus kaya gitu (mungkin harus tanya Om Lo Kheng Hong).
Balik lagi soal minyak. Ketika pasokan minyak
berkurang, maka segala jenis industri yang membutuhkan minyak, termasuk
industri transportasi yang tentu saja sangat vital bagi negara manapun, akan
mandek semuanya, dan ekonomi praktis akan terganggu secara keseluruhan. Tapi
ketika gilirannya permintaan minyak yang berkurang, maka yang akan terkena
dampak negatifnya hanyalah para perusahaan minyak dan juga negara-negara
produsen minyak. Sementara kegiatan ekonomi lainnya? Ya berjalan seperti biasa.
Karena itulah, meski harga minyak terus merangkak
naik sepanjang dekade 2000-an, namun ekonomi dunia tidak mengalami
perlambatan/krisis seperti tahun 1970-an, karena tidak ada problem dari sisi
supply.
Dan ketika sekarang gilirannya harga minyak turun
lagi, maka apakah akan terjadi krisis? Well, sebenarnya pertanyaan ‘apakah akan
terjadi krisis’, itu merupakan pertanyaan yang tricky, karena krisis bisa disebabkan oleh apa saja, tidak harus
karena naik turunnya harga minyak. Ketika Indonesia dihantam krisis moneter
1998, harga minyak ketika itu adem ayem saja tuh.
Tapi kalau kita fokus pada penurunan harga minyak,
maka ya lihat saja tahun 1980-an: Terjadi krisis tidak? Yang terjadi
perekonomian dunia secara umum justru membaik, Dow Jones naik terus, meski
beberapa negara eksportir minyak memang mengalami krisis. Khusus untuk
Indonesia, penurunan harga minyak sama sekali gak jadi soal, malah justru bagus, mengingat kita ini sejak
tahun 2007 sudah berstatus sebagai importir minyak, bukan lagi eksportir. Okay,
industri pertambangan termasuk tambang batubara, yang sempat menjadi tulang
punggung perekonomian Indonesia di tahun 2000-an, mungkin akan semakin
tenggelam dengan turunnya harga minyak, tapi jangan lupa bahwa kontribusi sektor
tambang, termasuk tambang minyak dan gas terhadap GDP nasional hanya 7.3% (per Kuartal III 2015), dan ini sangat
berbeda dengan beberapa ‘raja minyak’ seperti Venezuela, yang 55% GDP-nya
berasal dari ekspor minyak, atau Qatar, yang 60% GDP-nya berasal dari ekspor
gas.
Hanya memang, untuk tahun 2016 ini, yang
dikhawatirkan bukan soal penurunan harga minyaknya, tapi penyebab dari penurunan harga minyak itu sendiri, yakni perlambatan pertumbuhan ekonomi di China,
yang sebagian menyebutnya dengan istilah yang lebih dramatis: Krisis. Anyway, berhubung pembahasan
selanjutnya akan fokus pada bagaimana outlook
perkembangan ekonomi Indonesia kedepan, salah satunya jika kondisi China terus memburuk
(jadi tidak lagi ngomongin soal minyak), maka kita akan bahas itu minggu depan.
Tapi sebelum nanti artikelnya dipublikasikan, maka silahkan anda tulis analisa
anda masing-masing terkait perkembangan ekonomi nasional (dan juga global)
melalui kolom komentar dibawah.
Info Investor: Buletin Analisa IHSG, investment
plan, dan stock pick bulanan
edisi Februari sudah terbit! Anda bisa memperolehnya disini.
Komentar