Adaro Energy
Kalau dari sisi volume
produksi, maka dengan produksi sekitar 55 juta ton batubara per tahun, PT Adaro
Energy, Tbk (ADRO) merupakan coal miner terbesar kedua di Indonesia
setelah PT Bumi
Resources, Tbk (BUMI). Namun berbeda dengan BUMI yang tidak disukai
investor karena manajemennya sering bikin ulah, maka ADRO dalam banyak hal
tampak lebih baik, dan sahamnya juga termasuk salah satu yang naik signifikan
dari 600 hingga sempat tembus 2,500 ketika terjadi euforia di sektor batubara,
tahun 2016 – 2017 lalu. However, seiring dengan kembali turunnya harga batubara
sejak awal tahun 2019 kemarin, maka ADRO juga ikut turun, dan tiba-tiba saja sekarang
pada harga 1,350, valuasinya tampak atraktif lagi dengan PBV 0.8 kali, dan PER
5.8 kali. Tapi, hey, bagaimana dengan harga batubara itu sendiri? Apakah harga
batubara sekarang ini ($70 per ton) sudah cukup rendah, atau masih bisa turun
lagi?
***
Ebook Rekomendasi Saham edisi Desember, plus analisa
window dressing dll sudah terbit! Dan anda bisa memperolehnya
disini. Gratis tanya jawab saham/konsultasi portofolio saham untuk
subscriber. Info telp/WA 0813-1482-2827 (Yanti).
***
Sejarah ADRO dimulai
pada tahun 1982 ketika PT Adaro Indonesia (AI) memperoleh kuasa pertambangan
untuk Tambang Paringin, Kabupaten Balangan, Kalimantan Selatan, dan mulai
berproduksi pada tahun 1992 dengan volume produksi perdana 1 juta ton, yang
kemudian terus meningkat di tahun-tahun berikutnya. AI ketika itu dimiliki oleh
konglomerat Sukanto Tanoto melalui bendera PT Asminco Bara Utama. Tahun 1998,
Indonesia dihantam krisis moneter, dan Asminco memiliki utang $100 juta ke
Deutsche Bank cabang Singapura yang tidak sanggup mereka bayar. Pihak Deutsche
Bank kemudian menyita saham AI yang dijadikan jaminan dari utang tersebut, dan pada
tahun 2001 menjualnya ke Grup Saratoga milik konglomerat Edwin Soeryadjaya
& Sandiaga Uno. Pihak Asminco sempat membawa masalah ini ke pengadilan,
sehingga proses peralihan kepemilikan AI jadi berkepanjangan, tapi akhirnya tetap
Saratoga yang menang. Tahun 2004, PT Adaro Energy didirikan untuk dijadikan
induk dari AI, dan pada tahun 2005, Adaro Indonesia resmi berpindah tangan ke Grup
Saratoga. Ketika itu volume produksi batubara AI sudah tembus 30 juta ton per
tahun. Hanya tiga tahun kemudian, tepatnya Juli 2008, Adaro Energy (ADRO)
sukses menggelar IPO dengan melepas 35% sahamnya senilai Rp12.2 trilyun,
yang kemudian menjadi nilai IPO terbesar dalam sejarah BEI, hingga hari ini.
Kesuksesan ADRO
untuk melantai di bursa ini pula, yang kemudian sukses memberikan cuan jackpot
bagi Grup Saratoga, serta banyak pihak lainnya yang terkait (rata-rata eks
petinggi Grup Astra, karena Mr. Edwin sendiri merupakan putra dari founder Astra,
William Soeryadjaya). However, dari sudut pandang investor publik, maka meski
sejak sahamnya melantai di bursa, ADRO ini sudah menjadi salah satu saham yang
cukup populer di kalangan trader (karena sahamnya sangat likuid), tapi penulis
sendiri sejak tahun 2010 lalu tidak merekomendasikan sahamnya untuk investasi
long term (baca lagi ulasannya disini), dan itu bukan
hanya karena industri batubara itu sendiri yang cyclical, melainkan juga
karena:
- Grup Saratoga mengakuisisi Adaro Indonesia menggunakan skema leveraged buy-out (LBO), alias pake dana $983 juta yang terdiri dari ekuitas $50 juta, dan utang $923 juta, dan utang itu kemudian ditempatkan di Adaro Energy yang didirikan kemudian.
- Setelah sukses mengakuisisi perusahaan menggunakan skema LBO, strategi selanjutnya adalah menggelar IPO, dimana hasil dananya sebagian dipake untuk membayar utang tadi. Namun yang di-IPO-kan adalah ADRO, sehingga boleh dibilang bahwa investor publik hanya menerima saham dari perusahaan cangkang yang isinya cuma utang semua. Sedangkan Adaro Indonesia tetap menjadi perusahaan private, yang kinerja riil-nya tidak terbuka untuk publik/hanya bisa diakses oleh Saratoga sendiri. Jadi sama seperti BUMI akuisisi Kaltim Prima Coal (KPC) pake utang, dimana KPC ini adalah coal miner terbesar di Indonesia, tapi yang bisa dibeli investor di bursa adalah saham dari BUMI yang neracanya dipenuhi utang, bukan saham KPC itu sendiri.
- Kemudian memanfaatkan euforia di sektor batubara ketika itu, maka Saratoga kemudian melepas saham anyar ADRO pada valuasi super premium, yakni Rp12.2 trilyun untuk 35% sahamnya, sehingga market cap-nya adalah Rp34.9 trilyun, padahal ekuitas perusahaan sebelum IPO cuma $50 juta atau kurang dari Rp500 milyar. Tapi apapun itu, hal ini menyebabkan valuasi ADRO sejak awal menjadi sangat mahal, meskipun barangnya memang bagus. Disisi lain, karena perusahaan memiliki utang yang besar (dana hasil IPO-nya tidak seluruhnya digunakan untuk melunasi utang, melainkan), maka margin laba ADRO jadi kecil karena adanya beban bunga utang yang besar, dan alhasil perusahaan terbilang kurang menguntungkan kalau dibandingkan dengan katakanlah PT Bukit Asam (PTBA), atau Indo Tambangraya Megah (ITMG).
Meski demikian, dan
meski kinerja perusahaan benar-benar turun setelah harga batubara mulai turun
pada tahun 2012 lalu, tapi perkembangan operasional perusahaan selama 10
tahunan terakhir ini terbilang memuaskan. Okay, mari kita lihat lagi ADRO hari
ini, pertama-tama dari sisi utangnya. Saat ini total kewajiban ADRO tercatat
$2.7 milyar, atau sudah lebih kecil dibanding ekuitasnya yang $3.8 milyar.
Kedua, biasanya pemilik perusahaan batubara hanya menjadikan perusahaannya
tersebut sebagai cashcow dengan menarik dividen besar, kadang sampai
100% labanya setiap tahun, tapi tidak mengembangkan industri hilir dari
batubara itu sendiri. Namun ADRO berbeda, dimana meski perusahaan juga membayar
dividen yang lumayan, yakni kurang lebih 40% dari laba bersihnya setiap tahun,
tapi sisanya yang 60% ini diinvestasikan kembali dalam bentuk peningkatan
kapasitas produksi dari tambang yang sudah ada, akuisisi tambang baru (selain
Tambang Paringin, ADRO juga memiliki setidaknya enam lokasi tambang lain di
Kalimantan Tengah dan Timur, Sumatera Selatan, dan Australia), masuk ke bisnis
kontraktor tambang (melalui PT Saptaindra Sejati), akuisisi dan membangun
bisnis logistik (kapal tongkang, kapal keruk sungai Barito, coal storage,
dan pelabuhan), dan juga pembangkit listrik. Karena disisi lain jumlah utang
perusahaan terus mengecil, maka bisa dikatakan bahwa ADRO melakukan ekspansi
dengan cukup gencar, namun tetap hati-hati, alias tidak sampai mengambil utang
baru.
Alhasil, pada hari
ini penulis bisa katakan bahwa ADRO sudah menjadi perusahaan batubara yang
lengkap dan terintegrasi, serta memiliki posisi keuangan yang sehat. Sehingga
asalkan harga batubara normal saja, maka ADRO akan profit besar lagi,
kemungkinan malah lebih besar dibanding perusahaan batubara lain yang cuma
punya tambang, tapi mereka gak punya pelabuhan dll. Dalam posisinya sebagai
‘integrated mining company’, saingan ADRO ada dua yakni BUMI, dan Indika
Energy (INDY). However, seperti halnya BUMI, INDY juga punya utang yang segunung,
yang menyebabkan kinerja labanya sangat fluktuatif dari tahun ke tahun. Dalam
hal ini penulis tetap tidak bisa rekomen ADRO untuk long term, karena kita tahu
bahwa kalau harga batubara besok-besok turun lagi, maka Om Garibaldi Thohir
juga gak akan bisa ngapa-ngapain.
Tapi jika harga
batubara naik, maka ADRO akan menjadi coal miner pertama yang bakal
jackpot. Dan actually, kinerja ADRO hingga Kuartal III 2019 ini juga terbilang
bagus terutama jika mempertimbangkan harga batubara yang turun terus, dimana
pendapatannya hanya turun 0.5%, sedangkan labanya masih naik 29.8%, dan ROE-nya
juga lumayan di 14.1%. Sebagai perbandingan, tahun 2017 – 2018 lalu ada satu
emiten batubara kecil yang labanya tetap saja turun meski harga batubara ketika
itu sedang tinggi-tingginya, dan itu ternyata karena di lokasi tambang milik
perusahaan sedang hujan lebat terus menerus, sehingga batubaranya belum bisa
digali, karena batubara hanya bisa dijual dalam keadaan kering. Nah, untuk ADRO
ini penulis bisa pastikan bahwa perusahaan tidak akan mengalami masalah yang
sama, karena mereka sudah memiliki infrastruktur pengeringan dan penyimpanan
batubara yang lengkap, yang memungkinkan perusahaan untuk menggali batubara dalam
keadaan cuaca yang paling ekstrim sekalipun.
Kemudian yang
terpenting tentu saja valuasi sahamnya. Tahun 2010 lalu, pada harga saham
2,000-an, ADRO mencatat PBV sekitar 4 kali, dan PER diatas 20 kali, tapi saat
ini pada harga 1,350, PBV dan PER-nya masing-masing hanya 0.8 dan 5.8 kali, clearly
undervalue ditamah ADRO sekarang berbeda dengan yang dulu, dan ini pula
yang menjelaskan kenapa meski sahamnya sempat drop sampai 1,020 pada Agustus
kemarin, ketika itu karena sentimen penurunan harga batubara yang ketika itu
mencapai $65 per ton, maka ketika harga batubara naik lagi ke level $70 per ton
seperti sekarang, ADRO juga dengan cepat naik lagi. Jika besok-besok harga
batubara naik ke $75 per ton, misalnya, maka ADRO juga bisa dipastikan bakal rally
lagi. Karena bahkan pada harga 2,000 sekalipun, valuasinya belum bisa disebut
mahal (PBV 1.1, PER 8.6 kali).
Proyeksi Harga
Batubara?
Problemnya tentu,
sebagai coal related stock, maka naik turunnya saham ADRO hampir
sepenuhnya tergantung pada naik turunnya harga batubara di pasar internasional.
That means, mau ADRO membukukan kenaikan laba yang sangat signifikan sekalipun,
tapi kalau harga batubara sedang turun, maka sahamnya tetap akan turun. Dan
jangankan dalam jangka pendek, dalam jangka panjang sekalipun kita tidak bisa
prediksi harga batubara ini. Namun demikian, ketika Agustus lalu batubara
akhirnya drop sampai dibawah $70 per ton (dari sebelumnya $100 per ton di awal
tahun), maka penulis sendiri mulai tertarik dengan ADRO, dan juga saham-saham
batubara lainnya.
Sebab, sudah sejak tahun
2016 lalu, penulis katakan bahwa kalau mengacu pada penilaian dari manajemen
beberapa top coal miner, seperti BUMI, United
Tractors (UNTR), dan Harum Energy (HRUM), maka mereka
rata-rata sepakat bahwa berdasarkan permintaan batubara dari China dll, maka
dalam 5 – 10 tahun kedepan, titik tengah harga batubara akan berada di level $70
– 75 per ton. Ini artinya, harga batubara bisa saja terbang sampai $120,
atau sebaliknya anjlok sampai $60 per ton, tapi pada akhirnya ya dia akan
berada di rentang $70 – 75 tersebut. Sehingga kalau kita melihat bahwa harga
batubara di $60-an, maka cepat atau lambat dia akan naik, dan sebaliknya, kalau
nanti harga batubara tiba-tiba sudah berada di $100 lagi, maka itulah saatnya
profit taking, karena dia akan sulit untuk naik lebih tinggi lagi. Anda bisa
baca lagi ulasannya
disini. Dan sampai hari ini, penulis bisa katakan bahwa, para perusahaan
batubara diatas masih belum mengubah proyeksi mereka terkait harga batubara,
alias titik tengahnya masih di $70 – 75 per ton.
Karena itulah,
ketika beberapa bulan lalu harga batubara terus turun pelan-pelan dari $100,
$90, $80, $70, maka penulis tetap cuek. Tapi ketika Agustus kemarin harganya
sudah di $65 per ton, maka barulah kita tertarik, dan ternyata benar bahwa
level harga $65 tersebut menjadi titik terendahnya, dan harga batubara kemudian
perlahan tapi pasti naik lagi ke $70-an per ton. Nah, dalam hal ini kita tetap
tidak bisa prediksi, apakah batubara kedepannya akan stay di kisaran harganya
sekarang, turun lebih lanjut (awal tahun 2016 lalu, batubara drop sampai
$52 per ton, yang menjadi titik terendahnya dalam 15 tahun terakhir), atau naik
dan balik lagi ke rentang $80 – 100 per ton. Tapi seperti halnya harga minyak
yang dulu sempat bikin heboh karena drop dari
$100 sampai dibawah $30 per barel, tapi kesininya
harga minyak ketemu titik tengahnya di rentang $50 – 55 per barel, maka penulis
percaya bahwa harga batubara juga gak akan turun hingga ke level yang bikin
panik lagi seperti awal 2016 lalu. In the end, seperti halnya minyak yang masih
sangat dibutuhkan, batubara juga masih digunakan oleh sekitar 40% pembangkit
listrik di seluruh dunia, dan masih merupakan solusi energi yang paling murah
dibanding katakanlah gas, tenaga matahari, tenaga angin, dll.
Kesimpulannya,
jika anda juga termasuk yang menganggap bahwa harga batubara sekarang sudah
cukup rendah dan bisa naik lagi sewaktu-waktu, maka ADRO sudah boleh dibeli.
However, jika tidak mau berspekulasi dengan harga batubara, maka waktu terbaik untuk
masuk adalah sekitar Februari – Maret mendatang. Sebab para perusahaan
batubara, termasuk ADRO, biasanya akan membayar dividen pada bulan Mei. Dan
karena saham-saham batubara sekarang sudah rendah semua, maka dividend yield
mereka jadi tinggi, sehingga sahamnya bisa naik sejak beberapa bulan
sebelumnya bahkan meski harga batubara stagnan. Untuk ADRO, tahun lalu
perusahaan membayar dividen Rp55 per saham, sehingga pada harga 1,350, yield-nya
mencapai 4%. Well, lumayan tinggi untuk ukuran saham big caps. Dan
actually, rendahnya valuasi ADRO ini, baik dari sisi PER, PBV, hingga dividend
yield, adalah cerminan dari kondisi pasar saat ini, dimana seiring dengan
lesunya pasar sejak 2 – 3 tahun lalu, maka tidak hanya saham yang kecil-kecil,
tapi saham yang besar dan populer pun sudah pada murah semuanya. Jadi mungkin
next time kita akan bahas lagi saham besar lainnya, yang juga sudah murah.
PT Adaro
Energy, Tbk (ADRO)
Rating
Kinerja pada Kuartal III 2019: A
Rating
Saham pada 1,350: AA
Ebook Rekomendasi Saham edisi Desember, plus analisa
window dressing dll sudah terbit! Dan anda bisa memperolehnya
disini. Gratis tanya jawab saham/konsultasi portofolio saham untuk
subscriber. Info telp/WA 0813-1482-2827 (Yanti).
Follow/lihat foto-foto penulis di Instagram, klik 'View on Instagram' dibawah ini:
Komentar
Nanti kalo sdh di 1.300 pingin beli lagi🙏👍😀