Prospek Saham Bank BRI Menjelang, dan Pasca Right Issue

Hingga Kuartal II 2021, Bank BRI (BBRI) melaporkan laba bersih Rp12.5 trilyun, naik dibanding periode yang sama tahun sebelumnya sebesar Rp10.2 trilyun. Namun jika dibandingkan dengan periode yang sama di tahun sebelum pandemi (2019), dimana ketika itu BBRI mencatat laba Rp16.2 trilyun, maka secara agregat kinerja BBRI masih turun dalam dua tahun terakhir, dan penyebab utamanya sama seperti yang juga dialami oleh bank-bank lain: Tingginya rasio kredit macet yang disebabkan oleh belum pulihnya kondisi ekonomi, yang memaksa BBRI membukukan kenaikan signifikan atas cadangan kerugian penurunan nilai (CKPN). Yup, pada Q1 2020 ini, angka CKPN tersebut mencapai Rp18.8 trilyun, naik dua kali lipat dibanding Q2 2020 sebesar Rp9.4 trilyun, imbas dari persentase kredit macet atau non performing loan BBRI yang masih agak tinggi yakni 3.3% gross, dan 0.9% net.

***

Ebook Investment Planning yang berisi kumpulan 30 analisa saham pilihan edisi Kuartal II 2021 sudah terbit, dan sudah bisa dipesan disini. Gratis tanya jawab saham/konsultasi portofolio, langsung dengan penulis.

***

Meski demikian, karena persentase CKPN tersebut terhadap nilai aset produktif sekarang sudah mencapai 6.7%, alias jauh diatas persentase NPL-nya, maka bahkan kalaupun dalam 1 – 2 tahun kedepan rasio kredit macet ini tidak juga membaik, BBRI secara teori tidak perlu lagi menaikkan beban CKPN-nya, yang itu artinya pada tahun 2022 nanti harusnya labanya akan sudah minimal sama seperti di tahun 2019, alias kinerjanya sudah 100% pulih seperti sebelum pandemi.

Anyway, tapi itu proyeksi masa depan. Sedangkan untuk saat ini faktanya adalah kinerja BBRI kurang lebih sama seperti kinerja emiten-emiten bluechip lainnya di BEI, entah itu sesama perbankan atau non perbankan, yakni: Meski sudah agak membaik dibanding titik terendah resesi di tahun 2020 lalu, tapi secara umum masih belum cukup baik dibanding kinerja historisnya. Namun berbeda dengan mayoritas saham-saham bluechip lainnya yang pasca market crash di bulan Maret 2020 memang belum naik lagi ke posisi mereka masing-masing seperti sebelum pandemi dulu, maka saham BBRI di sepanjang tahun 2021 ini sudah balik lagi ke level 4,000 – 4,500 seperti di tahun 2019 lalu, dan hanya belakangan ini saja dia turun sampai dibawah 4,000. Alhasil secara valuasi dia jadi relatif mahal dibanding saham-saham lain, baik itu sesama big caps maupun second liner, dengan PBV mencapai 2.5 kali, dan PER 19.6 kali pada harga saham 4,000. Kemungkinan ini karena BBRI bersama-sama dengan BBCA menikmati reputasi sebagai duo emiten dengan market cap terbesar di BEI, nama perusahannya sangat populer, dan dengan fundamental historis yang sangat baik dan konsisten. Jadi ya, ketika ada dana besar dari luar masuk ke Indonesia, maka mereka masuknya ke BBRI ini. Demikian pula ketika belakangan ini banyak investor baru di bursa, maka bagi para investor ritel ini yang tidak mau berspekulasi di saham-sahamnya Pak Ustad dan seleb YouTube, maka mereka masuknya juga ke BBRI ini. Berdasarkan data registrasi pemegang efek per tanggal 31 Juli 2021, terdapat total 344 ribu investor domestik individu yang memegang saham BBRI. Sebagai perbandingan pada 30 April 2020, jumlah investor individu tersebut hanya 176 ribu.

Right Issue di Momen yang Tepat

Kemudian seperti yang kita ketahui, beberapa waktu lalu PT Bukalapak.com, Tbk (BUKA), yang sejatinya secara kinerja masih rugi berjilid-jilid, ternyata tetap sukses menggelar IPO dimana perusahaan meraup dana jumbo Rp21.9 trilyun dari para investor di BEI, dimana itu menunjukkan masih tingginya antusiasme investor untuk membeli saham apapun yang ditawarkan ke mereka, yang penting asal kemasannya bagus saja. Nah, jadi mungkin Pemerintah, atau dalam hal ini Kementerian BUMN sebagai pengelola BBRI, juga melihat peluang yang sama untuk menggalang dana, dalam hal ini melalui mekanisme right issue, apalagi BBRI jelas bukan perusahaan rugi, melainkan dilihat dari aspek manapun BBRI adalah salah satu emiten terbaik di BEI. Kemudian mumpung harga sahamnya di pasar juga sedang tinggi, maka harga pelaksanaan right issue-nya bisa ditetapkan di level yang juga tinggi. Yup, meski harga pelaksanaan right issue-nya di level Rp3,400 per saham alias dibawah harga saham BBRI di pasar, namun harga tersebut mencerminkan PBV 2.1 kali, sehingga gak bisa disebut murah juga (boleh lihat PBV BBNI sekarang berapa). Tapi jika saham baru hasil right issue-nya sukses diserap investor publik, maka dana yang diperoleh BBRI juga akan maksimal.

Okay Pak Teguh, tapi kan saat ini Pemerintah hanya memegang 70.0 milyar lembar, setara 56.7% dari saham beredar BBRI sebanyak total 123.3 milyar lembar. Jadi dalam right issue ini Pemerintah gak bisa dong melempar semua 28.2 milyar lembar saham baru yang diterbitkan ke investor publik, karena kalau demikian maka kepemilikan Pemerintah terhadap BBRI nantinya akan terdilusi menjadi kurang dari 50%, dan itu berarti BBRI tidak lagi menjadi BUMN, melainkan perusahaan swasta??

Nah, disinilah cerdasnya Kementerian BUMN sebagai ‘investment banker’ bagi BBRI. Jadi jauh sebelum rencana right issue-nya, BBRI sudah direncanakan untuk dibentuk menjadi BUMN holding ultra mikro, dimana BBRI akan mengakuisisi/mengambil alih saham Pemerintah di dua BUMN yang juga bergerak di bidang kredit mikro, yakni PT Pegadaian, dan PT Permodalan Nasional Madani (PNM). Yup, jadi sama seperti PT Pertamina menjadi holding energi dengan mengakuisisi Perusahaan Gas Negara (PGAS), dan Elnusa (ELSA), atau PT Inalum menjadi holding tambang dengan mengakuisisi Aneka Tambang (ANTM), Timah (TINS), dan Bukit Asam (PTBA). Penyatuan dua atau lebih BUMN ke dalam satu perusahaan induk/holding ini diharapkan akan mendorong kerjasama dan sinergi (jadi bukan lagi kompetisi) antar para BUMN itu sendiri, sehingga kinerja keuangan mereka juga diharapkan akan lebih profit dalam jangka panjang.


Namun berbeda dengan Pertamina dan Inalum yang sahamnya dimiliki 100% oleh Pemerintah, maka BBRI ini merupakan perusahaan Tbk, yang itu artinya? Yup, BBRI bisa melakukan penggalangan dana investor dengan mekanisme right issue. Perhatikan: Total tambahan modal yang diperoleh BBRI melalui right issuenya kali ini adalah Rp95.9 trilyun (28.2 milyar lembar saham dikali harga Rp3,400 per saham). Kemudian berdasarkan penilaian dari Kantor Jasa Penilai Publik, nilai wajar saham Pegadaian dianggap Rp48.7 trilyun, sedangkan PNM Rp6.1 trilyun, sehingga totalnya Rp54.8 trilyun. Maka Pemerintah sebagai pemegang saham pengendali BBRI akan menebus right issue BBRI senilai Rp54.8 trilyun, tapi Pemerintah sebenarnya sama sekali tidak akan keluar biaya, karena pemilik Pegadaian dan PNM juga Pemerintah (jadi yang bayar harga akuisisinya Pemerintah, dan yang terima duitnya Pemerintah juga). Tapi dengan cara ini maka Pemerintah akan tetap menjadi pemegang saham pengendali di BBRI/kepemilikannya di BBRI tidak akan terdilusi, karena 57% dari saham baru yang diterbitkan BBRI akan tetap menjadi milik Pemerintah.

Okay, terus sisa saham barunya yang senilai Rp41.2 trilyun, itu akan ditebus oleh siapa? Ya oleh investor publik, tentu saja. Dan karena harga pelaksanaannya (Rp3,400) dibawah harga pasar, plus sekali lagi momennya juga tepat dimana para investor di BEI masih bersemangat untuk belanja saham, maka penulis perkirakan right issue-nya akan laris manis/saham baru yang terbitkan itu akan habis terjual. Sehingga ini seperti sambil menyelam minum air: BBRI sekarang menjadi BUMN holding ultra mikro, plus dapat bonus dana tunai Rp41.2 trilyun. Yup, jadi bahkan nilai IPO BUKA ternyata gak ada apa-apanya! Tapi bagaimana jika saham barunya tidak diserap/ditebus oleh investor publik? Ya gpp, karena kan tujuan utamanya adalah pembentukan holding ultra mikro itu tadi. Tapi penulis kira kalaupun BBRI tidak sampai dapat Rp41.2 trilyun tadi, maka barang terima Rp10 – 20 trilyun harusnya masih bisa karena.. Ini BBRI lho! Bukan saham bank zombie yang tiba-tiba terbang cuma karena dikasih cap ‘digital’.

Prospek Jangka Pendek dan Jangka Panjang

Anyway, pembahasan diatas belum menjawab pertanyaan pentingnya: Jadi bagaimana prospek BBRI ini? Apakah dengan diakuisisinya Pegadaian dan PNM benar akan meningkatkan kinerja perusahaan kedepannya? Lalu jika saya sudah pegang saham BBRI, maka apa yang harus dilakukan? Apakah saya harus tebus saham barunya di harga Rp3,400 itu tadi, atau tidak?

Nah, kalau kita lihat kinerja historis Pegadaian dalam lima tahun terakhir (2016 – 2020), maka nilai total aset, ekuitas, pinjaman yang diberikan, pendapatan, dan laba bersihnya konsisten naik saban tahun (labanya hanya turun di tahun 2020 saja, karena efek resesi), dan demikian pula ROE-nya stabil di level 13 - 14% tiap tahun, hanya turun menjadi 8% di tahun 2020 dan 2021. Jadi Pegadaian bisa kita sebut memiliki kinerja fundamental yang baik/menguntungkan, dan juga konsisten. Hanya saja jika dibandingkan dengan BBRI itu sendiri, yang ROE-nya konsisten di 19 – 20% tiap tahun, maka jika laporan keuangan (LK) Pegadaian nantinya dikonsolidasikan ke dalam LK BBRI, maka kinerja BBRI jadinya akan sedikit turun. Untuk PNM tidak ada data LK-nya, tapi dengan asumsi kinerjanya kurang lebih sama dengan Pegadaian, maka itu artinya kinerja BBRI pasca menjadi BUMN holding ultra mikro secara umum akan sedikit turun dibanding sebelumnya. Jangan lupa juga bahwa, karena ekuitas BBRI setelah right issue-nya akan bertambah Rp95.9 trilyun (dimana itu adalah kenaikan yang sangat besar/hampir 50%, karena sebelum right issue nilai ekuitas BBRI hanya Rp197.0 trilyun), maka dari sisi valuasi PBV, sahamnya akan jadi lebih murah/PBV-nya turun, tapi ROE-nya juga akan turun lebih dalam lagi (karena ekuitasnya naik, tapi labanya tetap). Dan dengan demikian BBRI tidak akan lagi berstatus sebagai ‘bank paling profitable’ di bursa, melainkan gelar itu akan diambil alih oleh BBCA. Memang dengan asumsi kinerja Pegadaian dan PNM kedepannya akan lebih baik lagi setelah dikelola oleh BBRI, maka pada akhirnya ROE BBRI akan naik lagi, tapi tentu realisasinya akan perlu waktu, mungkin bisa sampai 5 – 7 tahun dari sekarang.

Jadi kesimpulannya, dari perspektif Pemerintah sebagai pemilik BBRI maka right issue ini sangat menguntungkan, karena horizon investasinya juga super panjang hingga puluhan tahun kedepan, atau selama Republik Indonesia masih ada. Namun untuk investor publik, maka prospek BBRI jadi kurang cerah pasca right issue-nya ini, bahkan meskipun anda berniat menyimpannya hingga 2 – 3 tahun mendatang (jadi horizon investasinya harus lebih lama lagi dari itu), selain karena sejak awal valuasi BBRI memang tanggung, karena seperti dijelaskan diatas, sahamnya sudah naik tinggi duluan ketika kinerjanya masih agak turun karena resesi. Dalam setahun kedepan, penulis perkirakan bahwa saham BBRI akan disitu-situ saja antara 3,400 – 3,900, bahkan jika kinerjanya di tahun 2022 nanti sudah pulih seperti sebelum pandemi. Sedangkan untuk saham-saham bluechip lainnya yang masih ketinggalan, maka justru merekalah yang ketika itu kemungkinan akan naik banyak, yakni ketika kinerja mereka juga sudah pulih seperti sebelum pandemi.

Okay Pak Teguh, jadi saran terakhirnya bagaimana? Nah karena harga pelaksanaan right issue-nya di Rp3,400, maka dalam sebulan kedepan (right issuenya dijadwalkan selesai tanggal 29 September 2021), saham BBRI mungkin akan turun hingga mendekati 3,400, tapi tidak akan sampai dibawah itu, sebelum kemudian naik lagi. Jika anda sudah pegang sahamnya dan tidak berniat untuk hold long term, maka boleh beli lagi di harga dekat-dekat 3,400 itu, lalu jual ketika kemudian sahamnya naik lagi ke 3,900 atau diatasnya. Sedangkan jika anda pegang dan komitmen untuk long term, maka boleh hold saja, tapi tidak perlu menebus right issue-nya hanya karena harganya dibawah harga pasar, karena secara valuasi maka harga Rp3,400 itu sebenarnya tidak murah-murah banget. Just remember bahwa baru saja setahun lalu pernah juga BBRI ini cuma Rp2,200, dimana meski penulis tidak melihat kalau suatu hari nanti BBRI akan turun serendah itu lagi, tapi untuk turun dibawah 3,400 maka itu bisa saja, tergantung kondisi pasar/IHSG-nya. Dan pada saat itulah, kalau memang anda tertarik untuk tambah posisi, maka anda bisa beli lagi/average down.

***

Ebook Market Planning edisi September 2021 yang berisi analisis IHSG, rekomendasi saham, info jual beli saham, dan update strategi investasi bulanan sudah terbit. Anda bisa memperolehnya disini. gratis tanya jawab saham/konsultasi portofolio untuk member.

Dapatkan postingan via email

Komentar

ARTIKEL PILIHAN

Live Webinar Value Investing, Sabtu 27 April 2024

Ebook Investment Planning Kuartal I 2024 - Sudah Terbit!

Indo Tambangraya Megah: Masih Royal Dividen?

Laporan Kinerja Avere Investama 2022

Prospek Saham Samudera Indonesia (SMDR): Bisakah Naik Lagi ke 600 - 700?

Perkiraan Dividen PTBA: Rp1,000 per Saham

Mengenal Investor Saham Ritel Perorangan Dengan Aset Hampir Rp4 triliun