Kemarin penulis jalan-jalan ke
Kawasan Pluit, Jakarta Utara, dan disana penulis menemukan baligho besar yang
isinya benar-benar bikin kaget. Nih, anda lihat sendiri fotonya, klik gambar untuk
memperbesar:
'Patience Makes Difference' -Teguh Hidayat, artikel baru diposting setiap minggu.
Ebook Rekomendasi Saham edisi Desember, plus analisa window dressing dll sudah terbit! Dan anda bisa memperolehnya disini. Gratis tanya jawab saham/konsultasi portofolio saham untuk subscriber. Info telp/WA 0813-1482-2827 (Yanti).

Dyandra Media International
Dyandra Media International, atau disebut juga Dyandra & Co.
(DYAN), merupakan perusahaan penyedia jasa event
organizer (EO), event supporting, venue and hall, dan jasa perhotelan. DYAN
merupakan bagian dari grup media terkemuka, Kompas Gramedia, dan 30% sahamnya (menjadi 21% pasca IPO) dipegang
langsung oleh pimpinan grup, Tuan Jakob Oetama. Sebagai anak perusahaan dari
grup usaha yang sudah sangat terkenal, ditambah statusnya sebagai pemimpin
pasar di industri EO (DYAN melalui anak usahanya yakni Dyandra Promosindo, merupakan pemimpin pasar di industri EO
Indonesia, dengan market share sekitar 80%), menyebabkan perusahaan ini banyak
diperbincangkan ketika akan IPO. Dan sejauh ini, DYAN sukses naik 11.4% ke
posisi 390, dari harga perdananya yakni 350. Lalu bagaimana kedepannya?
Saratoga: IPO?
Jika anda mengetik kata ‘Saratoga’ di Google, maka yang akan keluar adalah
nama sebuah county di negara bagian
New York, Amerika Serikat. Namun di Indonesia, Saratoga lebih dikenal sebagai
nama dari salah satu perusahaan investasi terbesar di tanah air, yang dimiliki
oleh pengusaha terkenal Edwin Soeryadjaya dan Sandiaga S. Uno. Sejak awal tahun
lalu, perusahaan dengan nama lengkap PT
Saratoga Investama Sedaya ini dikabarkan akan menggelar IPO pada tahun
2013. Pengumuman mengenai IPO ini bahkan sudah keluar lebih awal di website
perusahaan yang bersangkutan, yaitu pada September 2012 lalu. Jika prosesnya
lancar, Saratoga akan meraup dana US$ 200 juta dari IPO-nya tersebut, tapi ada
juga yang bilang US$ 500 juta.
Gajah Tunggal
Penulis sudah mengamati saham Gajah
Tunggal (GJTL) ini sejak lama, yaitu sejak sekitar 3.5 tahun lalu ketika
harganya masih di 400-an. Ketika itu kinerja perusahaan ban yang masih satu
grup dengan Mitra Adiperkasa (MAPI) ini mulai pulih kembali pasca babak belur dihajar
krisis global 2008, dengan mencatat laba bersih Rp905 milyar di tahun 2009,
dibanding rugi bersih Rp625 milyar di tahun sebelumnya. Kinerja yang apik
tersebut kemudian berlanjut di periode-periode berikutnya, hingga saham GJTL
juga terus naik hingga sempat menembus 3,400 di pertengahan tahun 2011 lalu. Namun
sejak saat itu GJTL terus saja turun, dan sekarang sudah berada di posisi
2,150. Apakah itu karena kinerjanya sudah tidak bagus lagi? Mungkin nggak juga ya,
soalnya hingga Kuartal III 2012, GJTL masih mencatatkan kenaikan laba bersih 31.4%,
atau masih cukup baik, dan ROE-nya juga masih terjaga di level 20.4%.
Hary Tanoe: Where are You Going?
Beberapa tahun lalu, tepatnya awal tahun 2010, Grup MNC yang kala itu masih bernama Grup Bhakti, menggemparkan bursa saham dengan mengumumkan bahwa mereka, melalui salah satu perusahaannya yakni Bhakti Investama (BHIT), berencana untuk masuk ke sektor natural resources, dengan cara mengakuisisi tambang minyak di Papua. Karena pengumuman tersebut, saham BHIT seketika melejit dari posisi 200 hingga sempat menembus level 1,000, hanya dalam tempo dua bulan (Januari - Maret 2012). Dalam tempo dua bulan itulah, hampir semua orang di market membicarakan tentang fenomena saham BHIT, dan sebagian lagi merayakan euforia karena untung besar dari saham tersebut. Sayang, seiring dengan tidak adanya kelanjutan dari proses dari akuisisi tambang minyak tersebut, saham BHIT kemudian anjlok besar-besaran, dan terus anjlok hingga sempat menyentuh level 105, atau sudah jauh lebih rendah ketimbang posisi sebelum kenaikannya (200). Meski saat ini BHIT memang sudah berada di posisi 500-an, namun ketika itu tidak sedikit investor yang pada akhirnya melontarkan sumpah serapah terhadap saham ajaib ini.
Belajar dari Kasus Penipuan Investasi
Beberapa hari terakhir ini di media-media baik cetak
maupun elektronik, sedang ramai dibicarakan kasus dugaan penipuan investasi
oleh PT Golden Traders Indonesia Syariah
(GTIS), dengan perkiraan nilai kerugian nasabah hingga Rp600 milyar, tapi
ada juga yang bilang hingga Rp10 trilyun. Manapun yang benar, tetap saja itu
adalah jumlah kerugian yang tidak sedikit. Namun kasus ini adalah yang kesekian
kalinya terjadi di negeri ini, dengan modus yang selalu sama: Penipuan berkedok
investasi dengan iming-iming keuntungan
besar dalam waktu singkat. Nah,
actually kasus ini tidak berkaitan langsung dengan investasi kita di saham, tentu
saja, namun penulis kira tetap penting untuk dibahas untuk memberikan informasi
kepada masyarakat yang mungkin masih awam tentang apa itu investasi. Okay here
we go!
Langganan:
Postingan (Atom)