MNC Sky Vision

Dulu, layanan televisi berbayar (pay tv, atau disebut juga tv kabel) adalah layanan yang, bagi kebanyakan orang, sama sekali tidak menarik. Di Indonesia terdapat lebih dari sepuluh stasiun televisi swasta yang menyajikan berbagai macam tayangan secara gratis, jadi kenapa juga saya harus membayar hanya untuk menonton televisi? Namun sekarang ini, menonton acara stasiun televisi swasta adalah kegiatan yang membosankan bagi sebagian orang, karena acaranya kebanyakan nggak mutu, yakni kalau bukan acara gosip ya debat politik yang konyol. Alhasil, bagi orang-orang yang menginginkan tayangan yang berkualitas, maka pay tv bisa menjadi pilihan. Dan Mr. Hary Tanoesoedibjo, pemilik Grup Bhakti, sudah melihat peluang itu sejak tahun 1994, dimana ketika itu beliau mendirikan perusahaan penyedia layanan pay tv dengan merk Indovision.

Indovision adalah merk pay tv pertama di Indonesia, dan pada saat ini praktis merupakan pemimpin pasar di industri pay tv. Selain memegang Indovision, Grup Bhakti adalah juga pemilik pay tv dengan merk ‘Top TV’, dan ‘Okevision’, dimana kedua merk pay tv tersebut, dan juga Indovision, diletakkan dibawah satu perusahaan dengan nama MNC Sky Vision (MSKY). Dalam struktur perusahaan Grup Bhakti, MSKY diletakkan dibawah Global Mediacom (BMTR), sehingga MSKY boleh disebut sebagai saudara kembar dari Media Nusantara Citra (MNCN). Jika MNCN bergerak di industri media berbasis iklan, maka MSKY bergerak di industri media berbasis pelanggan (subscribers). MSKY sejatinya sudah didirikan sejak tahun 1988, namun baru beroperasi sebagai pemegang merk Indovision pada tahun 1994.

Sejak awal dirintisnya, Indovision sudah merupakan layanan pay tv untuk kalangan menengah keatas, sehingga industri ini cenderung rawan krisis. Setahun setelah diluncurkan, yaitu pada tahun 1995, Indovision mampu meraih 9 ribu pelanggan, dan meningkat menjadi 28 ribu pada tahun 1997. Tahun 1998, Indonesia dilanda krisis moneter, dan industri pay tv seketika mati suri. Barulah pada tahun 2002, jumlah pelanggan Indovision mulai meningkat kembali menjadi 30 ribu, dan pada tahun 2005 sudah menjadi 109 ribu. Sejak periode inilah, Indovision mulai ditantang oleh beberapa pesaing yang bermunculan, seperti Telkom Vision, First Media, dan Aora TV, namun Indovision tetap melaju sebagai pemimpin pasar.


Hingga barulah pada tahun 2008, setelah tekanan dari para pesaing tersebut semakin meningkat, MSKY meluncurkan merk pay tv baru untuk kalangan menengah kebawah dengan tarif berlangganan yang lebih murah, yaitu Top TV. Dan peluncuran Top TV ini terbilang sukses. Pada akhir tahun 2011, Top TV menguasai 17.8% pangsa pasar pay tv di Indonesia, atau merupakan pangsa pasar terbesar kedua setelah kakaknya, Indovision, yang menjadi pemimpin pasar dengan market share 53.3%. Selain Top TV, MSKY juga meluncurkan merk Okevision, namun Okevision sejauh ini baru mampu meraih pangsa pasar 2.6%, atau hanya lebih baik dibanding Aora TV.

Hingga akhir Januari 2012, trio Indovision, Top TV, dan Okevision, memiliki total 1.2 juta pelanggan, atau telah tumbuh lebih dari sepuluh kali lipat sejak tahun 2005. Namun pertumbuhan yang signifikan tersebut masih berpotensi untuk berlanjut, mengingat penetrasi layanan pay tv di Indonesia masih sangat rendah, yaitu hanya 4.8% dari jumlah penduduk Indonesia pada akhir tahun 2011 (dari seribu rumah tangga, hanya empat puluh delapan diantaranya yang berlangganan pay tv). Angka penetrasi tersebut merupakan salah satu yang terendah di Asia Pasifik, sehingga peluang pertumbuhannya masih terbuka lebar. Media Partner Asia, perusahaan konsultan riset media, memperkirakan bahwa pertumbuhan jumlah pelanggan pay tv di Indonesia hingga tahun 2016 nanti akan mencapai rata-rata 27% per tahun, dimana Indovision sebagai pemimpin pasar seharusnya bisa mencapai angka pertumbuhan yang lebih besar dari itu.

Sayangnya, terkait kinerja keuangan, pada akhir tahun 2011, MSKY hanya mencatat laba bersih komprehensif Rp65 milyar, cenderung kecil jika dibandingkan ekuitasnya yaitu Rp958 milyar (ROE-nya hanya 6.8%). Bandingkan dengan saudaranya, MNCN, yang mencatat ROE 16.5% di periode yang sama. Sementara dalam jangka panjang, MSKY juga mencatat kinerja yang kurang stabil, termasuk menderita kerugian Rp33 milyar di tahun 2008. Hal ini sekali lagi berbeda dengan kinerja MNCN yang cenderung stabil, dimana meski laba bersihnya juga sempat turun pada tahun 2008, tapi nggak sampai merugi.

Kesimpulannya, MSKY memiliki prospek yang cerah, dan keunggulannya dibanding para pesaingnya adalah pengalamannya sebagai perintis pertama di industri pay tv di Indonesia. Terbukti hingga kini merk Indovision dan Top TV merupakan pemimpin pasar di industri pay tv. Akan tetapi industri ini ternyata memiliki margin yang kecil, dan juga rentan terhadap krisis, yang mungkin karena layanan pay tv biar bagaimanapun bukan merupakan kebutuhan utama masyarakat, melainkan hanya sebatas menyajikan hiburan. Pay tv berbeda dengan stasiun televisi biasa, yang akan tetap ditonton orang-orang meski krisis sekalipun.

Penulis sendiri secara pribadi, pernah juga tertarik untuk berlangganan pay tv, karena sumpek dengan tayangan stasiun televisi biasa yang gitu-gitu melulu. Dan merk pertama yang terlintas di kepala adalah Indovision. Tapi setelah dipikir-pikir lagi, manfaatnya apa sih? Toh saya juga lebih sering nongkrong di depan monitor laptop ketimbang televisi. Kalau cuma mau nonton film box office, di Youtube juga bisa kok!

Satu lagi, anda sebagai investor sebenarnya tidak perlu mengkoleksi saham MSKY jika anda tertarik untuk berinvestasi di sektor pay tv, melainkan bisa mengambil saham BMTR, karena MSKY sejatinya sudah terdaftar di bursa melalui induknya tersebut. Malah, penulis lebih merekomendasikan BMTR ini ketimbang MSKY, mengingat kinerja BMTR turut didukung oleh kinerja dari unit usaha utama Grup Bhakti, MNCN. Sepanjang tahun 2011, MNCN menyumbang 74% pendapatan BMTR, sementara MSKY hanya 24% (2% sisanya dikontribusikan oleh satu lagi anak usaha BMTR, yaitu PT Infokom Elektrindo).

Tapi, mungkinkah suatu hari nanti pendapatan dan profit margin MSKY akan setara atau bahkan lebih besar dibanding MNCN? Itu sih mungkin saja. Dulupun MNCN sempat diprediksi akan melempem di bursa, karena industri media termasuk televisi adalah industri yang susah. Gak gampang lho cari iklan buat acara televisi. Tapi kenyataannya kinerja MNCN terus melaju dalam beberapa tahun terakhir, dan demikian pula dengan sahamnya. Dan saham MNCN tidaklah sendirian, karena dua koleganya, Surya Citra Media (SCMA), dan Indosiar Karya Mandiri (IDKM), juga telah naik cukup banyak.

So, meski bisnis pay tv kelihatannya belum begitu menguntungkan kalau untuk saat ini, tapi di masa depan ceritanya bisa berbeda. Apalagi, kini MSKY punya dana segar Rp2.1 trilyun hasil dari IPO-nya, dimana 70% diantaranya juga memang akan digunakan untuk belanja modal dalam rangka mendukung kegiatan ekspansi perusahaan. Mr. Hary sudah terbukti sukses dalam memimpin trio RCTI, MNC-TV, dan Global TV hingga menjadi kelompok media televisi terbesar di Indonesia, dibawah bendera MNCN. Dan kalau melihat kemampuannya dalam membangun visi, maka bukan tidak mungkin beliau juga akan sukses dengan Indovision dan kawan-kawan, we’ll see.

Namun, Mr. Hary tidak hanya brilian dalam industri media, tapi beliau juga sangat hebat dalam hal mencetak uang dari pasar modal. Maklum, beliau mantan investment banker. Setelah dulu pada tahun 2007 beliau sukses meng-IPO-kan MNCN dengan perolehan dana yang ajib, yaitu Rp2.5 trilyun, kali ini beliau pun tanpa kesulitan mampu meraup Rp2.1 trilyun dari IPO MSKY (padahal ekuitas MSKY gak nyampe Rp1 trilyun). Harga IPO MSKY bisa-bisanya disetel pada level Rp1,520 per saham, padahal nilai nominalnya cuma Rp100 (selisihnya jauh banget!). Demikian pula ketika dulu MNCN IPO, harganya mencapai Rp900 per saham, padahal nilai nominalnya juga sama Rp100. Alhasil karena sejak awal valuasi sahamnya sudah sangat mahal, maka MNCN tidak mampu untuk langsung naik, melainkan terpaksa ‘menyesuaikan diri’ terlebih dahulu hingga ke posisi 300-an, atau 65% lebih rendah dari harga IPO-nya, sebelum kemudian baru naik terus hingga posisinya saat ini.

Jadi untuk MSKY, kemungkinan ceritanya juga akan sama: Terkoreksi terlebih dahulu untuk menyesuaikan dengan harga wajarnya, kemudian baru naik lagi, itupun dengan catatan kinerjanya meningkat pesat seperti yang diharapkan. Kalau penulis hitung, harga wajar MSKY cuma di sekitar 600 - 700 perak. MSKY tentunya bukan tidak mungkin bisa naik dalam waktu dekat, katakanlah hingga menembus level 2,000. Tapi kalaupun itu terjadi, maka cuma soal waktu saja sebelum dia akan turun kembali, sehingga keputusan untuk mengambil MSKY pada saat ini akan menjadi keputusan yang berisiko secara fundamental.

Kalau gitu, Mas Teguh, apa itu berarti sebaiknya saya ngambil saham MNCN saja? Mungkin, nggak juga, karena kalau penulis lihat sekilas sih, saham MNCN juga udah mulai mahal. Tapi detilnya akan kita bahas lagi kapan-kapan.

Komentar

Roedi mengatakan…
Prospek pay-TV di Indonesia secara umum kurang menggembirakan, disebabkan oleh layanan free-TV yg sangat memanjakan penonton, terutama dgn siaran olah raga live. (Sebagai contoh, Telkomvision terus merugi sejak pertama kali didirikan, sementara hampir 60% revenue First Media berasal dari layanan data)

Terlebih lagi bagi MNC Sky Vision yg msh menggunakan teknologi satelit, yg kedepannya akan kesulitan bersaing dgn pay-TV yg berbasis serat-optik terutama untuk melayani bundling-produk yg telah dan akan menjadi trend dalam bisnis ini.

ARTIKEL PILIHAN

Live Webinar Value Investing, Sabtu 16 Maret 2024

Ebook Investment Planning Kuartal IV 2023 - Sudah Terbit!

Laporan Kinerja Avere Investama 2022

Peluang dan Strategi Untuk Saham Astra International (ASII)

Indo Tambangraya Megah: Masih Royal Dividen?

Indah Kiat Pulp & Paper (INKP) Bangun Pabrik Baru Senilai Rp54 triliun: Prospek Sahamnya?

Prospek Saham Energi Terbarukan, Kencana Energi Lestari (KEEN)