Tiga Pilar Sejahtera Food

Industri apa yang paling kebal terhadap gejolak perekenomian baik dalam skala nasional maupun global? Jawabannya tentu, industri consumer goods, salah satunya industri makanan dan minuman. Rupiah boleh anjlok, IHSG boleh terpuruk, tapi orang-orang akan tetap butuh makan. Karena itulah bagi sebagian investor di BEI, mereka memiliki kebijakan untuk harus memegang minimal satu saham perusahaan consumer goods, dimana biasanya saham tersebut akan tetap stabil meski saham-saham yang lainnya berjatuhan. Nah, Tiga Pilar Sejahtera Food (AISA) adalah salah satu saham yang mungkin bisa dipertimbangkan sebagai saham yang harus dipegang tersebut.

AISA merupakan perusahaan makanan dengan sejarah yang cukup panjang. Awalnya pada tahun 1959, seorang pengusaha bernama Tan Pia Sioe mendirikan pabrik bihun jagung di Sukoharjo, Jawa Tengah, dengan merk ‘Cap Cangak Ular’. Pada tahun 1978, Tan Pia Sioe wafat, dan usahanya diteruskan oleh putranya, Priyo Hadi Susanto. Tahun 1992, PT Tiga Pilar Sejahtera (TPS) secara resmi didirikan, dan tampuk pimpinan perusahaan diserahkan kepada Stefanus Joko Mogoginta, sementara Mr. Priyo tetap berada di belakang layar sebagai komisaris. Tidak ada informasi soal apakah Mr. Stefanus adalah putra ataukah keponakan dari Mr. Priyo, namun yang jelas direktur utama TPS tersebut adalah cucu dari Tan Pia Sioe.


Tahun 2001, TPS mulai masuk ke industri mie kering, dengan mendirikan pabrik mie kering di Sragen, Jawa Tengah, namun dengan tetap mempertahankan usaha produksi bihun jagung. Dua tahun berikutnya yaitu pada tahun 2003, TPS masuk lebih dalam ke industri mie kering ini dengan mengakuisisi PT Asia Inti Selera Tbk (AISA), sebuah perusahaan produsen mie kering dengan merk ‘Ayam 2 Telor’. Karena AISA merupakan perusahaan yang listing di BEI, maka akuisisi ini secara otomatis memasukkan TPS ke dalam bursa saham (backdoor listing). Nama PT Asia Inti Selera kemudian diubah menjadi PT Tiga Pilar Sejahtera Food (AISA). AISA kemudian melakukan right issue pertamanya (PUT I), dimana saham hasil right issue tersebut resmi terdaftar di bursa pada tanggal 7 November 2003.

Hingga beberapa tahun berikutnya, AISA menjalankan bisnisnya dengan biasa-biasa saja, yaitu hanya memproduksi bihun jagung dan mie kering. Kemudian barulah pada tahun 2007, AISA mulai berekspansi, ditandai dengan perubahan logo perusahaan. Setahun berikutnya yaitu pada tahun 2008, perusahaan melakukan right issue keduanya (PUT II), dan meraup dana Rp327 milyar. Dana tersebut kemudian digunakan untuk mengakuisisi tiga perusahaan yaitu PT Poly Meditra Indonesia (PMI), PT Bumi Raya Investindo (BRI), dan PT Patra Power Nusantara (PPN). PMI adalah produsen makanan ringan seperti biskuit, mie snack, wafer, dan permen, sehingga kini AISA memiliki usaha di bidang makanan ringan. Sementara BRI dan PPN masing-masing adalah perusahaan produsen minyak goreng dan pembangkit listrik. Dengan memegang pasokan minyak goreng dan listrik milik sendiri untuk kebutuhan produksi berbagai jenis makanan, maka diharapkan bahwa kinerja AISA ke depannya akan menjadi lebih efisien, karena perusahaan berhasil menekan biaya produksi.

Ekspansi tersebut terus berlanjut. Tahun 2010, AISA mengakuisisi lima perusahaan perkebunan kelapa sawit, untuk memenuhi kebutuhan bahan baku crude palm oil (CPO) bagi BRI. AISA juga masuk ke industri beras dengan mengakuisisi satu perusahaan perdagangan beras, dan satu perusahaan penggilingan gabah hasil panen menjadi beras. Dan pada tahun 2011, AISA kembali menyelenggarakan right issue (PUT III) untuk memperoleh dana bersih Rp690 milyar, dimana dana tersebut digunakan untuk mengembangkan kegiatan usaha, dan melunasi utang-utang karena akuisisi diatas. Pada tahun ini pula, AISA meluncurkan cukup banyak produk makanan ringan dengan berbagai merk, termasuk mengakuisisi merk makanan ringan ‘Taro’, dari Unilever Indonesia (UNVR).

Kedepannya, AISA masih punya segudang rencana pengembangan usaha. Di tahun 2012 ini, AISA fokus pada pengembangkan produk-produk makanan ringan dengan harga jual yang murah (Rp1,000 per bungkus), terutama di kategori biskuit dan cracker. Thanks to ketersediaan pasokan minyak goreng dan tenaga listrik milik perusahaan sendiri, sehingga biaya produksi menjadi rendah dan pada akhirnya harga jual produk juga bisa ditekan menjadi murah. Alhasil AISA memiliki pangsa pasar yang luas untuk produk-produk makanan ringannya, karena konsumen dari kalangan menengah ke bawah juga bisa membeli produk-produk tersebut.

Sementara di bidang perkebunan kelapa sawit, AISA tengah menanam pohon sawit pada lahan seluas 5 - 8 ribu hektar per tahun, sehingga perusahaan akan memiliki lahan tertanam sawit seluas total 45 ribu hektar pada tahun 2015. Perusahaan juga sedang membangun pabrik pengolahan CPO dengan kapasitas 30 ton fresh fruit bunch (FFB) per jam, dengan jumlah pabrik satu buah untuk setiap 6,000 hektar perkebunan. Jika prosesnya lancar, maka kedepannya tidak menutup kemungkinan AISA akan bisa menjual CPO atau minyak goreng dengan merk tersendiri. Namun untuk saat ini, AISA tidak menjual minyak gorengnya ke masyarakat, melainkan menggunakannya sebagai bahan baku produksi makanan ringan. AISA sebenarnya menjual sebagian FFB-nya ke perusahaan lain, namun nilai penjualannya terbilang kecil dibanding pendapatan perusahaan secara keseluruhan.

Terakhir, di bidang pengolahan beras, saat ini AISA tengah mengembangkan bisnis beras dengan target bisa memegang 5% pangsa pasar beras di seluruh Indonesia di tahun 2016. AISA akan mendirikan pabrik penggilingan gabah di sentra-sentra padi di Indonesia, hingga totalnya berjumlah delapan belas pada tahun 2016, dari hanya dua pabrik pada saat ini. Selain itu, saat ini AISA juga tengah bekerja sama dengan universitas-universitas untuk mengembangkan beras bervitamin, yang akan menjadikan beras yang diproduksi perusahaan memiliki nilai lebih dibanding beras biasa.

Well, sounds promising, right? Dengan demikian maka AISA akan punya bisnis di tiga bidang usaha sekaligus, yakni makanan ringan, minyak goreng, dan beras alias nasi. Lalu bagaimana dengan bisnis asli perusahaan, yaitu produksi bihun jagung dan mie kering? Sepertinya manajemen tidak punya rencana ekspansi untuk bisnis tersebut, kecuali tetap menjalankannya seperti biasa.

Oke, sekarang kita ke laporan keuangan. Pada Kuartal I 2012, AISA mencatat pendapatan Rp599 milyar (setelah dikurangi diskon, bersihnya Rp577 milyar), dengan perincian sebagai berikut: Rp106 milyar atau 17.8% berasal dari penjualan bihun dan mie kering, Rp162 milyar atau 27.1% berasal dari penjualan makanan ringan, Rp7 milyar atau 1.1% berasal dari penjualan buah sawit alias FFB, dan Rp324 milyar atau 54.0% berasal dari penjualan beras. Berdasarkan data tersebut, maka jelas bahwa pada saat ini dagangan utama AISA bukan lagi bihun dan mie kering, melainkan beras. Nilai penjualan beras tersebut juga telah tumbuh pesat dibanding periode setahun sebelumnya, yang hanya Rp109 milyar (kenaikannya hampir tiga kali lipat, sementara kenaikan pendapatan AISA sendiri secara keseluruhan hanya 64%). Itu adalah peningkatan yang sangat menjanjikan, mengingat AISA sendiri baru masuk ke industri beras pada tahun 2010. Apalagi, kita semua tentu tahu bahwa beras atau nasi adalah makanan pokok orang Indonesia, sehingga konsumennya akan terus bertambah seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk. Saat ini AISA praktis merupakan perusahaan penggilingan dan perdagangan beras terbesar di Indonesia, diluar Bulog milik Pemerintah.

Kesimpulannya, dengan profil industri dan rencana ekspansi perusahaan yang sudah dibahas diatas, maka AISA ini tidak diragukan lagi merupakan perusahaan yang sahamnya sangat-sangat menjanjikan, terutama untuk koleksi long term. Saat ini sektor properti sedang booming, tapi kita tidak pernah tahu kapan booming tersebut akan berakhir. Demikian juga dengan sektor perbankan yang sempat jaya di tahun 2010 lalu, sekarang juga pertumbuhannya mulai melambat. Sementara beras? Sampai kiamat juga orang-orang akan tetap makan nasi. Begitu pula dengan bihun, mie kering, jajanan anak-anak, hingga minyak goreng, akan terus dikonsumsi oleh banyak orang, sehingga semuanya menawarkan pendapatan dan laba bersih yang konsisten untuk jangka panjang. So, what are you waiting for?

Namun, tetap terdapat beberapa hal yang perlu dicatat disini. Pertama, margin dari bisnis perdagangan beras ternyata kecil, sebab AISA tidak memiliki sawah sendiri, melainkan membeli gabah dari petani. Dalam public expose yang diadakan perusahaan pada 12 Juni lalu, manajemen mengakui bahwa jualan beras adalah kegiatan usaha yang aman kalau dari sisi volume (volume beras yang dijual tidak akan pernah turun), namun kurang menguntungkan kalau dari sisi margin. Manajemen sebenarnya sempat menyebutkan pula bahwa perusahaan telah memperoleh izin lokasi untuk lahan konsesi seluas 5,000 hektar di Kalimantan Barat, namun tidak dijelaskan apakah lahan itu akan dijadikan sawah atau apa.

Selain itu, AISA hanya menjual beras ber-merk, yaitu beras dalam kemasan 5 - 10 kg yang biasa kita temui di supermarket. Harga dari beras ber-merk ini cenderung lebih mahal ketimbang beras biasa, sehingga otomatis pangsa pasarnya menjadi terbatas. AISA tidak atau belum memiliki rencana untuk menjual beras biasa yang harganya tujuh ribu sekilo, yang mungkin karena memang tidak segampang itu juga kalau perusahaan mau jualan beras biasa. Beras, biar bagaimanapun merupakan kebutuhan utama masyarakat, dan menempati posisi pertama dalam daftar sembako. Artinya? Suplai-nya diatur oleh Pemerintah, dan itu berarti politik. Jadi dalam hal ini, AISA tidak mungkin bisa bersaing melawan Bulog.

Kedua, AISA boleh dikatakan telah mengambil keputusan tepat dengan masuk ke industri makanan ringan, karena ini juga merupakan industri yang tidak akan ada matinya. Namun, AISA akan berhadapan dengan banyak perusahaan yang jauh lebih mapan di bidang ini, sebut saja Garuda Food, Nabati, Kraft Foods, Wings Food, Nestle, Unilever, Siantar Top, Orang Tua, hingga Indofood. AISA boleh jadi sudah sangat kuat sebagai produsen bihun dan mie kering. Namun di bidang makanan ringan, perusahaan masih berstatus sebagai pemain baru. Merk-merk makanan ringan yang diproduksi AISA belum banyak dikenal masyarakat, dan mungkin itu pula yang menyebabkan perusahaan mengakuisisi merk snack ‘Taro’ dari Unilever, tapi kan AISA gak bisa sering-sering mengakuisisi merk snack dari perusahaan lain.

Tapi memang, AISA sudah mencoba mengatasi masalah ini dengan membajak salah satu petinggi Orang Tua Grup, Jo Tjong Seng, yang ditempatkan sebagai direktur branding dan marketing perusahaan. Keberadaan Mr. Jo diharapkan mampu membantu perusahaan dalam memperkenalkan merk-merk snack yang diproduksi perusahaan kepada masyarakat (brand campaign). Kita lihat bagaimana hasilnya nanti.

Ketiga, dan ini yang terpenting, berhubung hingga saat ini AISA masih dalam proses pengembangan usaha, maka hasilnya belum akan bisa dilihat dalam waktu dekat ini. Seperti sudah disebut diatas, target-target AISA untuk usaha perkebunan kelapa sawit dan perdagangan beras diperkirakan baru akan dicapai masing-masing pada tahun 2015 dan 2016. Perusahaan sendiri hanya mentargetkan laba bersih Rp200 - 250 milyar untuk tahun penuh 2012 ini. Katakanlah equity AISA pada akhir tahun 2012 mencapai Rp2 trilyun (pada Kuartal I 2012, equity AISA tercatat Rp1,886 milyar), maka itu berarti ROE-nya hanya 10% - 12.5%, sangat kecil untuk ukuran perusahaan consumer goods. Dari sisi pertumbuhan sebenarnya AISA mencatat track record yang cukup baik, terutama sejak perusahaan memulai ekspansinya pada tahun 2007. Termasuk di Kuartal I 2012, AISA juga mencatat kenaikan laba bersih 115.1% dibanding Kuartal I 2011, cukup signifikan. But still, pertumbuhan tersebut belum mampu mendorong AISA hingga menjadi perusahaan yang menguntungkan.

Lalu, masih terkait proses pengembangan usaha perseroan, sejak tahun 2007, AISA sudah melakukan dua kali right issue untuk memperoleh dana untuk akuisisi, yaitu pada Mei 2008 dan Desember 2011. Harga eksekusi right-nya hampir sama, yaitu Rp522 di 2008, dan Rp560 di 2011. Berapa harga saham AISA sekarang? Juga belum banyak berubah, yaitu 760. Masalahnya, berhubung kedepannya perusahaan masih membutuhkan banyak dana untuk memperluas jaringan distribusi produk makanan ringan, untuk menanam lebih banyak pohon sawit, dan untuk membangun pabrik-pabrik penggilingan gabah, maka bukan tidak mungkin perusahaan akan menggelar right issue lagi. Dulu juga perusahaan pernah mengkonversi utangnya menjadi saham, yaitu di tahun 2003, beberapa hari setelah AISA melakukan backdoor listing. Jika nanti perusahaan melakukannya lagi, maka itu tentunya akan mendilusi kepemilikan anda sebagai investor retail.

Kesimpulan akhirnya, prospek AISA ini sangat menarik, dimana perusahaan berpeluang untuk menjadi perusahaan makanan besar sekelas Indofood, suatu hari nanti. Namun proses ke arah sana masih memerlukan waktu, dan mungkin juga sedikit perjuangan ekstra dari tim manajemennya. Tapi satu hal yang cukup jelas, hingga saat ini AISA belum bisa disebut sebagai perusahaan dengan fundamental yang ‘berisi’. Termasuk dari total asetnya yang mencapai Rp3.5 trilyun, hanya Rp156 milyar yang merupakan saldo laba ditahan. So we’ll see next quarter, dan mudah-mudahan kita nggak perlu nunggu sampai tahun 2015.

Jadi, kembali ke pertanyaan diatas, apakah AISA bisa dipertimbangkan sebagai saham pegangan di sektor consumer goods? Penulis katakan, mungkin belum bisa, setidaknya kalau untuk saat ini. Kecuali jika nanti sewaktu-waktu AISA ini turun hingga dibawah 600, maka barulah dia bisa diambil. Pada posisi 600, PBV AISA sudah dibawah 1 kali, dan itu terbilang murah kalau kita mempertimbangkan track record of growth serta prospek dari perusahaan.

Komentar

Anonim mengatakan…
Thx Pak Teguh atas analisanya, yang saya mau tanyakan AISA juga punya perusahaan sekuritas apakah sama pemiliknya ? Kalo sama pemiliknya apakah saham AISA bisa dimainkan sendiri oleh perusahaan sekuritasnya ? Juga pada awal tahun AISA diberitakan sedang diincar oleh asing, bagaiman kebenaran berita ini kalo benar apakah efeknya bagi AISA ? Thx atas jawabannya
Anonim mengatakan…
Pak Teguh, jika bisa mohon di ulas ttg saham OKAS = Ancora Indonesia Resources. Karena sulit sekali mencari equity research report utk saham ini padahal produksinya adalah bahan utama utk support pertambangan khususnya batubara, padahal kita tahu business batubara sedang booming skr... semua - semua masuk ke batubara :) terima kasih
fajar mengatakan…
Tiga Pilar Sejahtera sama Tiga Pilar Sekuritas emang dulunya yang punya sama ya pak.??

kalo ga salah Tiga Pilar Sekuritas sudah diakuisisi Morgan Stanley kan ya.?
Sesep B. G. Sianturi mengatakan…
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

ARTIKEL PILIHAN

Live Webinar Value Investing, Sabtu 16 Maret 2024

Ebook Investment Planning Kuartal IV 2023 - Sudah Terbit!

Laporan Kinerja Avere Investama 2022

Peluang dan Strategi Untuk Saham Astra International (ASII)

Indo Tambangraya Megah: Masih Royal Dividen?

Indah Kiat Pulp & Paper (INKP) Bangun Pabrik Baru Senilai Rp54 triliun: Prospek Sahamnya?

Prospek Saham Energi Terbarukan, Kencana Energi Lestari (KEEN)