Gambaran Perekonomian Indonesia Saat Ini

Jumat kemarin, tanggal 23 Agustus 2013, Pemerintah melalui Presiden dan Kementerian terkait mengumumkan paket kebijakan penyelamatan ekonomi, termasuk didalamnya kebijakan moneter dari Bank Indonesia (BI) sebagai otoritas moneter, untuk mengatasi gejolak pelemahan Rupiah yang sempat menembus level Rp11,000 per US Dollar. Jika dilihat dari nama paket kebijakannya, yakni ‘penyelamatan ekonomi’, maka tujuan akhir dari paket kebijakan tersebut tentunya bukan sekedar untuk mencegah Rupiah agar tidak terperosok lagi, atau untuk mengatasi penurunan bursa saham (IHSG) yang terjadi akhir-akhir ini, melainkan menyelamatkan perekonomian Indonesia secara keseluruhan. Tapi hal ini mungkin sekaligus menimbulkan pertanyaan, memangnya ada apa dengan perekonomian kita?

Jawaban atas pertanyaan ini mungkin mengarah pada flashback perekonomian Indonesia sekitar sepuluh hingga lima belas tahun kebelakang, tepatnya pasca krisis moneter 1998. Pasca krisis, ekonomi nasional bergerak stagnan selama dua hingga tiga tahun berikutnya, hingga pada awal tahun 2000-an terdapat satu peristiwa global penting yang tampak sebagai peluang bagi Indonesia: Kebangkitan Tiongkok. Sejak awal tahun 2000-an, Tiongkok mencatat pertumbuhan ekonomi yang luar biasa tinggi, yang terutama didorong oleh kemajuan berbagai macam industri manufakturnya. Negara ini mampu membuat apa saja, semuanya! Mulai dari jepitan rambut, baut sepeda motor, hingga smartphone yang tidak kalah canggihnya dengan iPhone maupun Android. Produk-produk buatan Tiongkok ini kemudian dijual tersebar keseluruh dunia, dan bisa dengan mudah ditemukan di negara manapun.

Saking banyaknya jenis produk yang dibuat oleh Tiongkok ini, termasuk produk-produk imitasi dari merk-merk terkenal, sampai-sampai ada anekdot ‘God made Heaven and Earth, and the rest was made in China.’

Pertumbuhan industri di Tiongkok hanya bisa ditopang oleh dua hal: pasokan besi dan baja, dan pasokan bahan bakar, dalam hal ini batubara. Besi dan baja dan produk turunannya diperlukan untuk membuat mesin-mesin industri, konstruksi bangunan, hingga untuk bahan baku pembuatan barang-barang elektronik dan otomotif. Sementara batubara? Untuk bahan bakar pembangkit listrik, dimana listrik itu sendiri tentunya sangat dibutuhkan bagi segala jenis industri. Tiongkok sebenarnya memiliki batubaranya sendiri, namun karena berbagai macam industrinya berkembang lebih cepat dari kemampuan perusahaan-perusahaan tambang setempat dalam menggali batubara, maka jadilah Tiongkok perlu juga mengimpor batubara dari luar, salah satunya tentu saja, dari Indonesia.

Karena itulah, di Indonesia pada awal tahun 2000-an mulai booming bisnis batubara, dimana kemudian banyak orang yang menjadi sangat sukses dari bisnis ini. Beberapa grup usaha kakap, seperti Grup Bakrie dan Saratoga, bisa kembali menjadi konglomerat seperti sekarang ini karena kejelian mereka pada awal tahun 2000-an untuk segera masuk ke bisnis batubara, dimana Bakrie masuk ke Arutmin dan Kaltim Prima Coal/KPC, yang kemudian diletakkan dibawah Bumi Resources (BUMI), sementara Saratoga masuk ke Adaro Energy (ADRO).

Logo PT Adaro Energy, Tbk
Booming batubara segera membawa pengaruh positif terhadap pertumbuhan perekonomian nasional. Pada tahun 2000 Indonesia mencatat rekor surplus perdagangan (ekspor impor) sebesar nyaris US$ 3 milyar, yang terutama karena meningkatnya nilai ekspor batubara, dimana surplus tersebut kemudian berlanjut hingga tahun-tahun berikutnya.

Sebenarnya selain batubara, peluang lainnya yang juga dihasilkan oleh kemajuan perekonomian Tiongkok adalah meningkatnya permintaan akan besi dan baja. Sayangnya karena belum ada perusahaan di Indonesia yang mampu memproduksi besi dan baja dalam jumlah besar, maka peluang tersebut kemudian ditangkap oleh India, salah satunya oleh perusahaan yang kemudian tumbuh menjadi perusahaan baja terbesar di dunia, Arcelor Mittal. Berkat industri besi dan baja ini pula, India kemudian sukses mencatat pertumbuhan ekonomi signifikan.

Kembali ke Indonesia. Jika anda perhatikan, meski Indonesia dan India sama-sama mencatat pertumbuhan ekonomi yang tinggi dalam sepuluh tahun terakhir ini, namun tidak pernah sampai menyentuh rekor 13% per tahun seperti yang pernah dicapai Tiongkok. Wajar, karena Indonesia dan India sebenarnya hanya kecipratan rezeki dari negaranya Yao Ming tersebut, dimana industri di dua negara ini sejatinya belum benar-benar berkembang, terutama di Indonesia yang para pelaku ekonominya justru terlena dengan mudahnya mengambil keuntungan dari mengeruk batubara, sehingga lupa untuk mengembangkan industri.

Sebenarnya, ketika Indonesia sempat dihantam efek krisis global pada tahun 2008, mulai timbul kesadaran bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia tidak bisa selamanya bergantung pada ekspor sumber daya alam, dalam hal ini batubara, melainkan para pelaku ekonominya harus pula mendorong pengembangan industri untuk menciptakan hilirisasi, untuk menciptakan produk yang memiliki nilai tambah. Kesadaran ini pula yang kemudian melahirkan Masterplan Percepatan & Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI), dengan tujuan utamanya yaitu untuk mengembangkan infrastruktur, dimana infrastruktur tersebut, baik dalam bentuk fisik maupun kebijakan pemerintah, memang sangat diperlukan untuk mengembangkan industri dan pada akhirnya menumbuhkan ekonomi. Ide mengenai MP3EI ini pertama kali dicetuskan oleh Presiden SBY pada tahun 2008, ketika krisis global mencapai puncaknya.

Sayangnya, sebelum MP3EI tersebut benar-benar dikerjakan, minimal dalam hal ini perencanaannya (gak usah praktek pembangunannya, yang penting blue print-nya aja dulu), Indonesia keburu ‘ketiban rezeki’ lagi. Pada awal tahun 2010, harga crude palm oil (CPO) alias minyak sawit mentah mulai melejit, dan hal ini segera memberikan peningkatan keuntungan yang besar bagi perusahaan-perusahaan perkebunan kelapa sawit. Karena bisnis batubara sendiri pada saat itu juga belum meredup, maka jadilah pertumbuhan ekonomi Indonesia melaju kencang lagi, bahkan ketika Pemerintah maupun para pelaku ekonominya almost do nothing.

Hasilnya, pertumbuhan ekonomi Indonesia yang sempat drop menjadi 4.1% pada tahun 2009 karena pengaruh krisis global, pada tahun 2010 langsung tancap gas lagi, dan mencapai puncaknya pada awal tahun 2011 dimana pertumbuhan ekonomi nasional sempat menyentuh rekor 6.9% secara year on year, berkat booming dua komoditas sekaligus, yakni batubara dan CPO. Pada tahun 2011 ini pula, Indonesia sempat mencatat surplus ekspor impor hingga lebih dari US$ 3 milyar, berkat tingginya nilai ekspor batubara dan CPO.

Namun pasca tahun 2011 tersebut, seperti yang sudah anda ketahui, keadaan seketika berbalik arah ketika harga-harga komoditas dunia, termasuk CPO dan batubara sebagai andalan utama ekspor Indonesia, menurun. Nilai ekspor Indonesia kemudian tertekan, dan karena ditambah oleh meningkatnya arus impor, neraca pedagangan nasional akhirnya menjadi defisit, dan hal ini perlahan tapi pasti menggerus pertumbuhan ekonomi hingga terakhir menjadi hanya 5.8% pada Kuartal I 2013. Sebenarnya sejak tahun 2011, draft MP3EI resmi disahkan sekaligus menjadi penanda bahwa Pemerintah bersama-sama BUMN dan pihak swasta mulai membangun infrastruktur dan lain-lain. Namun sebelum beberapa infrastruktur tersebut selesai dibangun dan mulai memberikan kontribusi positif terhadap perkembangan industri dan perekonomian itu sendiri, ekonomi kita keburu woles duluan.

Nah, jadi mari kita urutkan kejadiannya. Pertama, neraca perdagangan kita defisit karena harga batubara dan CPO turun. Kedua, defisit tersebut pada akhirnya menekan pertumbuhan ekonomi. Dan ketiga, mata uang Rupiah dengan sendirinya melemah sebagai refleksi atas perlambatan pertumbuhan ekonomi tersebut.

Jadi ketika Rupiah melemah, maka itu tidak memberikan dampak perlambatan pertumbuhan ekonomi ataupun masalah lainnya, melainkan justru perlambatan pertumbuhan ekonomi tersebut-lah, yang kemudian menyebabkan Rupiah melemah. Di negara manapun, pelemahan mata uangnya terhadap ‘mata uang dunia’, yakni US Dollar, memang menjadi semacam pertanda bahwa perekonomian negara yang bersangkutan sedang bermasalah. Tahun 2011 lalu, ketika terjadi Krisis Yunani dan Uni Eropa secara umum, mata uang Euro juga melemah terhadap US Dollar.

Jadi ketika kemarin Pemerintah meluncurkan paket kebijakan, maka judulnya adalah paket kebijakan penyelamatan ekonomi, bukan paket kebijakan penyelamatan Rupiah. Karena jika kita ingin agar nilai Rupiah kembali menguat, maka yang harus dibenahi adalah perekonomiannya. Ibaratnya jika saya adalah Sandiaga Uno, pemilik ADRO, dan saya ingin agar saham ADRO kembali naik, maka caranya bukan dengan menggoreng sahamnya di market (meski itu bisa saja sih), melainkan harus dengan cara meningkatkan kinerja perusahaaan, dan nantinya harga saham ADRO akan naik dengan sendirinya.

Hal yang juga perlu diingat disini adalah, pelemahan Rupiah secara otomatis akan membuat harga barang-barang impor menjadi mahal, sehingga masyarakat akan mengurangi membeli barang-barang impor tersebut. Alhasil nilai impor Indonesia akan turun, dan jika nilai ekspornya tetap, maka kita akan sampai pada satu titik tertentu neraca perdagangan kita akan menjadi surplus kembali. So, pelemahan Rupiah bisa juga dianggap sebagai balancing (penyeimbang) yang dalam jangka panjang justru bermanfaat untuk menumbuhkan perekonomian kembali. Meski memang kalau dalam jangka pendek, pelemahan Rupiah akan lebih memberikan efek negatif ketimbang positif, karena naiknya harga barang-barang impor tadi sudah jelas akan menyulitkan beberapa pelaku ekonomi, terutama perusahaan-perusahaan berbasis impor seperti distributor ponsel, farmasi, pakan ternak (karena mereka harus impor jagung dan kacang kedelai), hingga industri umum.

Lalu Bagaimana Kedepannya?

Seperti yang sudah disebut diatas, pelemahan Rupiah yang terjadi pada hari ini diawali dari turunnya harga dua komoditas, yakni CPO dan batubara, sehingga Indonesia tiba-tiba saja kehabisan sesuatu untuk dijual keluar. Karena disaat yang bersamaan, berbagai jenis infrastruktur dan industri yang tengah dibangun belum siap untuk berkontribusi terhadap perekonomian, termasuk belum siap untuk menghasilkan barang berkualitas untuk diekspor, untuk menjaga agar nilai ekspor tetap tinggi.

Disisi lain, barang-barang impor terus masuk ke Indonesia, sehingga akhirnya neraca kita menjadi defisit. Defisit inilah yang kemudian menekan pertumbuhan ekonomi kita, karena ibaratnya pengeluaran lebih besar daripada pemasukan. Defisit ini tampak buruk mengingat sejak tahun 70-an, neraca ekspor impor kita selalu surplus dan hanya mengalami defisit signifikan sebanyak tiga kali yakni pada tahun 1983, 2008, dan sekarang. Yup, percaya atau tidak, meski kelihatannya rumah kita dikepung barang-barang impor, namun ekspor kita selama ini hampir selalu lebih besar, terutama karena ekspor sumber daya alam/SDA. Jika dulu SDA unggulan kita adalah migas, maka sejak tahun 2000-an SDA tersebut adalah batubara dan aneka bijih logam. Kita juga merupakan salah satu produsen CPO, kertas, kakao (coklat), dan karet terbesar di dunia.

Balik lagi ke soal defisit. Yang perlu digaris bawahi disini adalah, defisit perdagangan terjadi karena meningkatnya volume impor, yang belakangan ini tidak lagi mampu diimbangi kenaikan ekspor. Sepuluh tahun yang lalu, yakni di tahun 2003, nilai impor kita masih di kisaran US$ 3 – 3.5 milyar per bulan. Sekarang? Data terakhir US$ 15.6 milyar pada bulan Juli 2013, turun dari puncaknya di angka US$ 17.2 milyar pada Oktober 2012. Let say kita ambil angka yang US$ 15 milyar ini saja, maka dalam sepuluh tahun terakhir nilai impor kita telah meningkat antara 4 – 5 kali lipat.

Sementara dalam kurun waktu yang sama, ekspor kita juga meningkat dari rata-rata US$ 5.0 milyar per bulan di tahun 2003 hingga sempat mencatat rekor lebih dari US$ 18.6 milyar di tahun 2011 (ketika booming batubara dan CPO mencapai puncaknya), sebelum kemudian turun ke level sekarang yakni US$ 14.7 milyar. Sekarang kita berandai-andai, jika selama sepuluh tahun ini yang naik hanya ekspor, sementara impor kita stagnan, maka berapa pertumbuhan ekonomi kita sekarang ini? Mungkin bisa lebih tinggi dari Tiongkok.

Lalu apa yang menyebabkan jumlah impor kita seperti meledak? Orang awam mungkin akan menunjuk impor daging sapi, kedelai, bawang, hingga produk-produk smartphone dan tablet PC, karena impor barang-barang itulah yang sering diberitakan di media, dan barangnya juga sering digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Tapi sebenarnya nilai impor dari barang-barang yang disebut diatas terbilang kecil. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), impor terbesar kita saat ini (diluar impor migas, karena migas akan selalu menjadi impor terbesar Indonesia) adalah impor mesin-mesin dan peralatan mekanik. Bukan, mesin disini bukan perkakas seperti yang biasa anda beli di Ace Hardware, melainkan mesin-mesin berat dan peralatan teknik untuk industri. Dibawah mesin mekanik, impor terbesar kita adalah mesin-mesin listrik, besi dan baja, kendaraan bermotor dan bagiannya, plastik, bahan kimia organik, dan barang-barang dari besi dan baja, dengan nilai impor sepanjang Semester I 2013 sebesar antara US$ 2.5 milyar (barang-barang dari besi dan baja), hingga US$ 13.3 milyar (mesin mekanik). Setelah barang-barang dari besi dan baja, tidak ada impor barang lain yang nilainya lebih dari US$ 2 milyar.

Ketujuh kategori barang diatas, mulai dari mesin mekanik hingga barang-barang dari besi dan baja, menyumbang nilai impor sebesar total 58.7% dari impor non migas, dan sisanya baru berasal impor barang-barang yang ecek-ecek, seperti daging sapi dan semacamnya.

Nah, jika anda jeli, maka anda akan bisa melihat bahwa impor kita terutama adalah besi dan baja. Sebab mesin-mesin mekanik pun, itu dibuat dari besi atau baja toh? Demikian pula dengan mesin-mesin listrik, yang rata-rata dibuat dari produk turunan baja, yakni stainless steel. Ini karena mesin-mesin tersebut memang dibutuhkan untuk industri. Ketika ada banyak perusahaan-perusahaan yang bikin pabrik di Cikarang dan Kawasan Industri lainnya, mereka kemudian segera mengimpor mesin-mesin karena belum banyak perusahaan teknik di Indonesia yang bisa membuat mesin serupa (atau mungkin memang belum ada sama sekali kalau untuk mesin tertentu). Termasuk karena produksi besi dan baja kita juga masih megap-megap, maka kebutuhan akan besi dan baja kita lagi-lagi harus impor.

Logo PT Krakatau Steel, Tbk
Namun seperti juga halnya Tiongkok yang membutuhkan banyak sekali besi dan baja untuk membangun industrinya di awal tahun 2000-an (sampai-sampai harus impor dari India, padahal mereka punya banyak perusahaan baja sendiri), yang akhirnya berujung pada pertumbuhan ekonominya yang luar biasa terutama sejak tahun 2004, maka mungkin kita juga sedang menuju kesana. Jika upaya Indonesia saat ini untuk naik kelas dari negara berkembang menjadi negara industri ini sukses, termasuk Krakatau Steel dan sejawatnya juga mampu memproduksi besi dan baja dalam jumlah besar-besaran sehingga kita nggak harus impor lagi, maka kita akan menyusul Tiongkok sebagai negara yang mampu membuat apa saja, atau minimal bikin jarum pentul dulu deh, soalnya itu juga masih diimpor dari Tiongkok sana.

Sementara kalau kita melihat historis sejarah yang lebih jauh lagi ke belakang, negara adidaya seperti Amerika Serikat pun bisa menjadi negara yang amat sangat maju seperti sekarang ini, karena diawali dari perkembangan industrinya yang luar biasa pada awal abad ke 20, dimana mereka bikin mobil, barang-barang elektronik, gedung-gedung pencakar langit di New York, jalur transportasi kereta api, peralatan militer, hingga pesawat terbang. Dan seluruh industri tersebut menjadi mungkin untuk dibangun setelah sebelumnya, yakni pada tahun 1901, seorang pengusaha terkenal bernama Andrew Carnegie mendirikan US Steel, perusahaan besi dan baja yang luar biasa besar, dan dikenal sebagai perusahaan pertama di dunia yang memiliki nilai lebih dari US$ 1 milyar. US Steel inilah, yang kemudian menyuplai kebutuhan besi dan baja untuk segala jenis industri yang berkembang di Amerika.

Balik lagi ke Indonesia. Kesimpulannya, meski kita pada saat ini, hari ini, mengalami defisit perdagangan, perlambatan pertumbuhan ekonomi, hingga pelemahan Rupiah, namun mudah-mudahan itu semua justru merupakan ancang-ancang agar kita melompat lebih tinggi lagi kedepannya. Suatu hari nanti, kita nggak perlu lagi mengekspor batubara karena PLN sudah cukup besar untuk menyerap semua batubara tersebut, dan mengkonversinya menjadi listrik yang sangat dibutuhkan oleh industri, lalu industri tersebut-lah yang akan menghasilkan barang-barang kualitas ekspor. Suatu hari nanti pula, kita nggak perlu lagi mengekspor CPO, melainkan mengekspor produk turunannya seperti margarin, oleochemical, hingga bahan baku kosmetik dan farmasi, dengan nilai jual yang tentunya jauh lebih tinggi. Dan seterusnya.

However, semua visi tersebut memerlukan waktu yang tidak sebentar untuk dicapai, dan yang jelas faktanya pada saat ini perekonomian dalam negeri kita sedang sedikit bermasalah, dimana banyak yang memperkirakan bahwa dalam jangka pendek Rupiah masih akan melemah lagi. Artikel ini juga masih belum menjawab banyak sekali pertanyaan, seperti bagaimana kontribusi sektor properti terhadap perekonomian, bagaimana progress dari pembangunan infrastruktur, bagaimana pengaruh BI Rate jika nanti dinaikkan lagi, bagaimana kira-kira manfaat yang bisa dihasilkan dari paket kebijakan pemerintah yang diumumkan kemarin, seperti apa tepatnya pengaruh negatif yang diberikan oleh pelemahan Rupiah terhadap kinerja-kinerja perusahaan yang berbasis impor, apakah saham KRAS boleh dikoleksi, hingga yang terpenting tentunya, IHSG gimana kelanjutannya nih?

Well, tapi berhubung artikel ini sudah lumayan panjang, maka selebihnya akan kita bahas minggu depan. Atau jika anda memiliki analisis atau informasi penting untuk disampaikan kepada teman-teman investor yang lain, anda bisa menuliskannya melalui kolom komentar dibawah.

Komentar

Anonim mengatakan…
180.241.113.248 pak teguh ini ip saya tolong dibuka yaa, terima kasih
janji gak nakal lagi hehehe
ISD888 mengatakan…
Pak Teguh

Mohon ulasannya tentang hedging obligasi. Saya sudah googling tapi belum menemukan uraian yang memuaskan. Mungkin hedging yang dilakukan oleh ASRI bisa menjadi contohnya.

Terima kasih ya.
Anonim mengatakan…
Pak Teguh, anda menguraikan permasalahan ekonomi yang sedang kita hadapi dengan sangat jelas dan sistematis. Very execellent. Terus menulis ya pak.
Anonim mengatakan…
Bang Eido, bang NDY, Pak Sinau, Pak BS, pak Thomas, bang GUN222 kenapa saya gak bisa masuk ke forum ya? tolong dong dikonfirmasi pak TH, saya merasa gak ada kesalahan
(dokter bobo)
ip saya 202.67.44.35#sthash.kaEo2A7e.dpuf
202.67.44.35, 202.67.44.35
Anonim mengatakan…
Analisa yg bagus mas. Coba ada analisa seperti ini pada awal 2013, pasti akan menolong byk para trader dan investor...


Unknown mengatakan…
Wp 2013

Mas teguh makasih analisa yang update jadi tahu pokok masalah ekonomi yang sedang terjadi saat ini,terima kasih
Anonim mengatakan…
Mantrap Pak....bagaimana pengaruh pencabutan kebijakan qe America the perekonomian Indonesia jangka menengahnya ?
myself mengatakan…
sepertinya memang harus BUMN / pemerintah pak..
tp .. syngnya.. duit bocor masih banyak...
baik untuk swasta maupun di pemerintahan itu sendiri..

masih agak pesimis.. hehehe..
Anonim mengatakan…
Agak surprise juga bacanya... menarik sekaligus mencerahkan.

Ngomong2 cari data ekspor/impornya di mana Pak ?
Satu lagi yang bikin defisit: impor pesawat 200 biji...
Anonim mengatakan…
tulisannya sepertinya menrik
Anton J mengatakan…
saya suka dengan tulisan/ulasan p Teguh. ditulisan ini saya jadi tau meledaknya volume import ada dimana dan akan kemana arahnya.
Rizal mengatakan…
perkekonomian bsisa bagus namun kita harus lebih banyak ekspor artinya kita harus memperbaiki sistem yang salah di indonesia indonesia adalah negara agraria jadi knpa harus import seharusnya kita export..
Unknown mengatakan…
export terus pun harus hati-hati... jangan sampai seperti kasus rotan (rattan)... export rotan terus-menerus menyebabkan rotan di pasaran lokal menghilang... bisa mematikan industri lokal... Bahan baku diexport besar-besaran bisa mematikan perekonomian di daerah industri.
Anonim mengatakan…
Sebenarnya industri indonesia terutama BUMN bisa lebih maju jika politik dijauhkan atau tidak ikut campur dalam urusan perusahaan.
Kita masih ingat ketika sebuah BUMN mengadakan RUPS DPR ikut campur dengan mengatakan keuangan BUMN termasuk kewenangan DPR dalam keuangan negara.
Anonim mengatakan…
ulasan pak teguh menarik ni,gak ngebosenin.ngebantu banget buat tugas PI saya.
semoga apa yang dibahas oleh pak teguh benar-benar menjadi kenyataan,pelemahan yg menjadi batu loncatan ekonomi Indonesia menjadi lebih baik.ya itupun kalau pemerintahnya sadar XD
Anonim mengatakan…
Terima kasih pak Teguh Hidayat,ulasan jitunya..nuhuun..
ATE Capital mengatakan…
Logis...Masuk Akal...

ARTIKEL PILIHAN

Live Webinar Value Investing, Sabtu 16 Maret 2024

Ebook Investment Planning Kuartal IV 2023 - Sudah Terbit!

Laporan Kinerja Avere Investama 2022

Peluang dan Strategi Untuk Saham Astra International (ASII)

Indo Tambangraya Megah: Masih Royal Dividen?

Indah Kiat Pulp & Paper (INKP) Bangun Pabrik Baru Senilai Rp54 triliun: Prospek Sahamnya?

Prospek Saham Energi Terbarukan, Kencana Energi Lestari (KEEN)