Prospek IPO Agung Podomoro

Kalau dibandingkan dengan perusahaan-perusahaan properti besar seperti Lippo Karawaci (LPKR) atau Bakrieland Development (ELTY), nama Agung Podomoro tampaknya jauh lebih terkenal. Penyebabnya mungkin karena Agung Podomoro, bersama dengan ‘Agung’ lainnya yaitu Agung Sedayu, cukup sering nongol di televisi untuk mempromosikan berbagai proyek properti milik mereka (catat bahwa dua perusahaan itu tidak memiliki hubungan kekeluargaan hanya karena namanya mirip, sebab pemiliknya berbeda). Apakah Agung Podomoro ini memang perusahaan properti yang besar? Terkenal iya, tapi ukurannya ternyata termasuk sedang. Pada 1H10, Agung Podomoro mencatat total aset Rp 5.2 trilyun, agak jauh dibawah LPKR yang sebesar Rp 13.0 trilyun, atau ELTY sebesar Rp 12.0 trilyun.

Berbeda dengan perusahaan-perusahaan properti lainnya yang memiliki proyek dimana-mana, termasuk di luar negeri, seluruh proyek milik Agung Podomoro jumlahnya tidak terlalu banyak dan tampaknya hanya terkonsentrasi di Jakarta (plus sebagian kecil di Bandung). Dan sebagian malah masih dalam tahap konstruksi alias belum jadi. Beberapa proyek perseroan yang sudah rampung (setidaknya sebagian) adalah Podomoro City (Slipi), Mediterania Garden (apartemen di Slipi) Senayan City, Lindeteves Trade Center (glodok), The Lavande (perumahan di Tebet), dan Gading Nias (perumahan di Kelapa Gading). Sementara proyek-proyek yang masih dalam tahap konstruksi adalah Kuningan City (Kuningan), Green Bay Pluit (Pluit), dan Festival City (Bandung).


Kita tentu tahu bahwa Senayan City, salah satu mall eksklusif di Jakarta, baru berdiri pada tahun 2006 lalu. Ternyata, Agung Podomoro sebagai pengembangnya, juga baru resmi berdiri dua tahun sebelumnya yaitu tahun 2004. Jadi Agung Podomoro ini terbilang pemain baru di industri properti tanah air. Meski demikian, perkembangannya sangat pesat. Pada akhir tahun 2005, aset perusahaan tercatat hanya Rp 714 milyar. Tapi sekarang, Agung Podomoro sudah lebih besar dari Bumi Serpong Damai (BSDE), sebuah perusahaan properti yang sudah berdiri jauh sebelumnya (tahun 1984).

Bagaimana dengan kinerjanya?

Sebelum kita membahas kinerja Agung Podomoro, terlebih dahulu anda harus paham mengenai cara perusahaan dalam bertumbuh. Untuk tumbuh menjadi perusahaan yang lebih besar dari sebelumnya, sebuah perusahaan memiliki dua opsi: tumbuh secara organik, dan tumbuh secara anorganik. Yang dimaksud dengan tumbuh secara organik adalah, perusahaan melakukan aktivitas bisnis secara biasa, mengumpulkan laba bersih sebanyak-banyaknya, dan memasukkannya ke dalam ekuitas sehingga menambah jumlah modal. Dengan demikian maka seiring dengan waktu, perusahaan akan menjadi lebih besar, dengan catatan laba bersihnya secara konsisten naik dari waktu ke waktu.

Misalnya anda merintis usaha rental mobil. Jumlah mobil yang anda miliki hanya satu unit, harganya Rp 100 juta. Setiap kali mobil anda direntalkan, anda mengantongi pendapatan kotor Rp 500 ribu. Dan setelah dipotong biaya ini itu, keuntungan bersihnya Rp 150 ribu. 50 ribunya anda ambil, terus 100 ribunya lagi anda simpan sebagai tambahan modal. Jika setiap hari anda rutin mengumpulkan 100 ribu tersebut, maka dalam setahun anda bisa mendapat tambahan modal Rp 36.5 juta. Artinya? Dalam tiga tahun anda bisa membeli satu unit mobil lagi, sehingga usaha rental mobil anda menjadi lebih besar karena memiliki dua unit mobil. Setahun setengah kemudian, anda bisa beli satu mobil baru lagi, demikian seterusnya.

Masalahnya, apa anda cukup sabar untuk menunggu sampai bertahun-tahun untuk bisa membeli 1 unit mobil tambahan? Kalau tidak, maka ada satu jalan lagi agar bisnis rental mobil anda bisa tumbuh lebih cepat lagi. Bagaimana? Dengan meminjam modal ke bank, katakanlah Rp 1 milyar, untuk membeli 10 unit mobil sekaligus. Karena jumlah mobil anda menjadi 11, maka modal andapun akan meningkat 11 kali lebih besar, yaitu Rp 1.1 juta per harinya. Jika Rp 1 juta diantaranya digunakan untuk membayar cicilan pinjaman plus bunganya (100 ribunya tetap disimpan untuk tambahan modal), dan dengan asumsi bunga pinjamannya adalah 16% per tahun, maka kira-kira dalam 4 tahun lebih sedikit, utang bank anda akan lunas. Dan ketika itu, anda sudah punya 11 unit mobil plus modal untuk membali satu unit mobil lagi! Jadi, pilih mana? 3 tahun menunggu dan hanya mendapat 1 unit mobil, atau 4 tahun menunggu dan mendapat 10 unit mobil sekaligus? Belum lagi modal terkumpul yang bisa dipakai untuk membeli 1 mobil lagi.

Cara tumbuh dengan meminjam ke bank itulah yang disebut dengan cara tumbuh secara anorganik. Memang terdapat resiko disini, dimana kalau bisnis rental mobil anda ternyata lesu atau malah bangkrut, maka anda justru harus menanggung beban utang yang besar. Makanya bank juga gak sembarangan ngasih kredit usaha.

Oke, kembali ke kinerja Agung Podomoro. Jika perusahaan memutuskan untuk tumbuh secara organik, maka mustahil asetnya bisa melejit hingga beberapa kali lipat hanya dalam waktu 5 tahun. Jadi? Yup, Agung Podomoro tumbuh secara anorganik. Dari total asetnya sebesar 5.2 trilyun pada 1H10, 3.4 trilyun diantaranya adalah utang, yang sebagian besar (2.1 trilyun) adalah utang bank. Maka meski Agung Podomoro tumbuh sangat cepat hingga menjadi perusahaan properti kelas menengah, namun ukurannya tidak (atau belum) sebesar kelihatannya.

Tentunya, bukan hal yang salah kalau perusahaan bisa tumbuh meski caranya tidak organik seperti dijelaskan tadi. Toh sama juga tumbuhnya kan? Malah lebih cepat. Namun yang perlu dicatat adalah, meski perusahaan bisa tumbuh secara cepat, kita tetap harus memperhatikan pertumbuhan perusahaan yang ‘alamiah’nya, apakah juga meningkat atau tidak. Apa itu? Saldo laba, alias bagian dari laba bersih yang dimasukkan ke dalam ekuitas (seperti Rp 100 ribu yang dicontohkan diatas). Jika saldo laba ini memang meningkat secara konsisten, maka kita bisa simpulkan kalau secara alamiahnya, perusahaan juga beneran tumbuh.

Kalau kita cek saldo laba Agung Podomoro, perusahaan ternyata baru benar-benar tumbuh pada tahun 2008, karena pada 2005 – 2007, perusahaan mengalami defisit. Tapi secara keseluruhan, saldo laba perusahaan memang meningkat secara konsisten. Pada 2005, perusahaan mencatat defisit 30 milyar (tapi ini wajar karena pada tahun tersebut, berbagai proyek milik perusahaan belum ada yang kelar dibangun sehingga perusahaan belum memperoleh pendapatan). Defisit tersebut mulai turun menjadi 23 dan 5 milyar pada 2006 dan 2007, seiring dengan selesainya pembangunan Senayan City dan proyek-proyek lainnya. Dan pada 2008, perusahaan mulai mencetak saldo laba, meski cuma 1 milyar. Angka tersebut meningkat menjadi 35 dan 195 milyar pada 2009 dan 1H10. So, kalau dilihat dari sini, Agung Podomoro memiliki prospek pertumbuhan yang terbukti cukup baik, meski perusahaannya sendiri baru berdiri tempo hari.

Lalu bagaimana dengan catatan laba ruginya?

Dilihat dari sini, kinerja perusahaan juga mencatat pertumbuhan yang cukup baik, meski tampaknya cukup rentan terhadap krisis ekonomi. Penjualan perusahaan terus naik dalam lima tahun terakhir, termasuk Rp 1.1 trilyun pada 1H10. Laba bersihnya juga naik secara kontinyu. Pada tahun 2005, perusahaan masih mengalami rugi bersih 29 milyar. Pada tahun 2006 dan 2007, perusahaan mulai mencetak laba bersih, meski kecil, yaitu 7 dan 11 milyar. Pada 2008, perusahaan sekali lagi mengalami rugi bersih 25 milyar, yang mungkin karena faktor krisis global. Pada 2009 dan 1H10, perusahaan kembali bangkit dan mencetak laba bersih 35 dan 157 milyar. Quite good!

Hanya saja, untuk ukuran perusahaan dengan aset Rp 5.2 trilyun, maka laba bersih 314 milyar pada full year 2010 tentu saja sangat kecil, karena hanya 6%-nya. Kalau kita perhatikan tahun-tahun sebelumnya, laba bersih Agung Podomoro bahkan gak nyampe 1% dari nilai asetnya, atau dengan kata lain, rasio profitabilitasnya sangat lemah. Tapi rata-rata perusahaan properti memang seperti itu: tidak profitabel. Itu sebabnya di BEI jarang ada perusahaan properti yang bisa dikoleksi untuk long term, termasuk LPKR dan BSDE (apalagi ELTY).

Jika dibandingkan dengan banyak perusahaan properti di bursa, tampaknya prospek Agung Podomoro masih lebih baik. Sebabnya? Karena masih ada banyak proyek-proyek properti milik perusahaan yang akan segera rampung, dan tentunya akan memberikan perusahaan tambahan pendapatan.

Lho, tapi kalau cuma proyek, bukannya perusahaan-perusahaan properti lainnya juga punya segudang proyek? Contohnya Bakrieland dengan proyek Jonggol-nya, Ciputra dengan proyek Ciputra World-nya, dan sebagainya. Benar, tapi proyek-proyek milik Agung Podomoro punya sedikit kelebihan dibanding proyek-proyek milik perusahaan properti lainnya. Apa itu? Televisi! Agung Podomoro selama ini sangat agresif mempromosikan berbagai proyeknya di televisi, tak peduli meski biaya promosinya sangat mahal. Alhasil, masyarakat umum termasuk juga investor di stock market, mudah hafal dengan berbagai proyek milik perseroan, dan mereka bisa dengan mudah melihat kalau Agung Podomoro memang memiliki banyak proyek properti.

Sekarang saya tanya, apakah anda tahu kalau Bakrieland punya proyek di Jonggol? Mungkin sebagian dari anda menjawab tahu, sebagian lagi tidak (emang proyek apaan? Jonggol itu dimana?). Tapi jika saya tanya, tahukah anda tentang proyek Denpasar Residence at Kuningan City milik Agung Podomoro? Apartemen hunian super muahhaall yang terletak di Segitiga Emas Jakarta? Saya yakin sebagian besar dari anda menjawab tahu, kecuali jika anda gak punya tv. Kenapa? Karena agung Podomoro secara rutin mempromosikan proyek Denpasar Residence tersebut di MetroTV atau TvOne setiap akhir pekan. Sementara Bakrieland? Gak ngomong apa-apa kecuali ke koran dan media internet soal proyek Jonggol-nya.

Setelah Agung Podomoro listing nanti, maka promosi mingguannya di televisi tersebut akan bermakna ganda: 1. promosi bagi calon konsumen proyek-proyeknya, dan 2. promosi bagi calon investor pembeli sahamnya. Karena itu, saya kira sahamnya akan mudah melejit setiap kali perusahaan mengumumkan bahwa mereka punya proyek baru.

After all, Agung Podomoro tetap saja hanyalah perusahaan properti yang rasio profitabilitasnya kecil, dan laba bersihnya rawan terhadap krisis ekonomi. Jadi sahamnya agak beresiko jika dikoleksi untuk long term, kecuali jika anda bisa memperkirakan kapan IHSG bakal naik, dan kapan IHSG bakal terkoreksi. Tapi jika dibandingkan dengan saham-saham properti lainnya, Agung Podomoro termasuk layak dikoleksi, apalagi sahamnya kemungkinan akan likuid. Tapi itu dengan catatan: sebaiknya anda masuknya ketika kondisi IHSG mulai beranjak naik. Jika suatu hari nanti IHSG terkoreksi, maka saham Agung Podomoro kemungkinan akan ikut terpeleset.

Bagaimana dengan harga sahamnya? Ada kemungkinan pada IPO kali inipun, harga saham yang ditawarkan cukup mahal. Agung Podomoro mungkin akan melepas sahamnya di harga Rp 400 – 500 per saham, yang itu berarti PBV-nya sekitar 5 kali. Kalau sahamnya memang dilepas pada harga segitu, apalagi jika lebih tinggi dari itu, maka anda gak perlu terburu-buru mengkoleksi sahamnya. Santai saja, kecuali jika anda memang hanya mengejar ‘one night profit’. Agung Podomoro mungkin baru akan mulai bergerak naik secara siginifikan setelah perusahaan merilis laporan keuangan kuartal ketiganya nanti, yang kalau melihat trend peningkatan kinerja perusahaan, sepertinya sih bakal cukup bagus. We’ll see.

Untuk selasa depan (19 oktober), gak akan ada artikel baru, kecuali jika ada peristiwa penting di market yang menarik untuk dibahas, atau jika saya lagi mood buat nulis, hehe. Artikel terbaru akan diposting minggu berikutnya.

Komentar

Unknown mengatakan…
di tunggu artikel nya lagi Mas Teguh, harap mood trus dong...
Anonim mengatakan…
Kayanya masih mending DILD mas Teguh, PER nya masih rendah (kurang dari 10), ROA ataupun ROE nya tinggi banget, PBV juga masih kurang di sekitar 1.4 an. Memang bedanya DILD ndak tampil di TV.
Anonim mengatakan…
Tulisan yang bagus. tks atas pencerahannya
Anonim mengatakan…
thanks..wawasan jadi nambah nih ditunggu ulasan berikutnya..salam
Anonim mengatakan…
Bro mau komentar ya:
1. Kenapa kalau tumbuh dgn utang disebut anorganik? That’s organic indeed, hanya memang membutuhkan bantuan leverage. Wong masih di dalam wadah yang sama dengan bisnis yang sama kok. Perusahaan biasanya tumbuh secara anorganik jika mengakuisi perusahaan lain (entity yang berbeda) untuk memperbesar sizenya.

2. Utang itu bagus selama dijaga agar tidak terlalu berlebihan. Utang yang berlebihan akan menggerus cash flow karena besarnya bunga yang harus dibayar. Selain itu, semakin besar D/E ratio, biasanya rating perusahaan menurun yang mengakibatkan perusahaan tersebut jika ingin mengambil utang tambahan akan terkena interest rate yang lebih besar.

3. Gw agak ragu tentang cara penilaian saham dengan PBV saja. Setau saya, menilai perusahaan property dilakukan dengan mencari NAV dari masing-masing asetnya (biasanya lahan). PBV hanya menilai equity dari harga perolehannya padahal kita tahu bahwa harga tanah cenderung naik dan bisa jauh lebih tinggi dari harga perolehannya.

4. Strategi promosi yang diterapkan Agung Podomoro dengan secara rutin ngiklan di TV juga perlu diwaspadai. Berapa besar budget mereka untuk itu? Setau gw biayanya gede bgt lho untuk ngiklan di TV, apalagi sampai ngeblok gitu (1/2 jam – 1 jam).


Boleh dijelaskan secara lebih detil mengenai nilai bisnis dari Agung Podomoro ini. Setiap perusahaan memang punya prospek, tetapi kalau kita beli dengan harga yang kemahalan bisa jadi bumerang.
Anonim mengatakan…
Makasih Bro Parahita, semakin didiskusikan, semakin luas perspektif kita terhadap suatu saham. Masukan yang tajam bro.
Rizky mengatakan…
http://rentalmobilanda.blogspot.com/

Keren Pak

ARTIKEL PILIHAN

Live Webinar Value Investing, Sabtu 16 Maret 2024

Ebook Investment Planning Kuartal IV 2023 - Sudah Terbit!

Laporan Kinerja Avere Investama 2022

Peluang dan Strategi Untuk Saham Astra International (ASII)

Indo Tambangraya Megah: Masih Royal Dividen?

Indah Kiat Pulp & Paper (INKP) Bangun Pabrik Baru Senilai Rp54 triliun: Prospek Sahamnya?

Prospek Saham Energi Terbarukan, Kencana Energi Lestari (KEEN)