We're Still Walking, not Running

Kemarin, Badan Pusat Statistik (BPS) merilis data neraca ekspor impor untuk periode semester pertama 2012. Hasilnya, total nilai ekspor Indonesia untuk semester pertama 2012 turun 1.8% dibanding periode yang sama tahun 2011, dari US$ 98.6 milyar menjadi hanya US$ 96.9 milyar. Kalau anda perhatikan, nilai ekspor Indonesia dalam beberapa tahun terakhir jarang sekali mencatat pertumbuhan minus, alias nyaris selalu naik pada setiap bulannya. Tapi sepertinya sekarang sudah tidak lagi. Jika dulu neraca ekspor impor kita juga senantiasa surplus (nilai ekspor lebih besar dari impor) dengan selisih yang besar, maka sekarang selisih tersebut tidak lagi besar, sehingga bisa berbalik menjadi defisit sewaktu-waktu. Pada semester pertama 2012, Indonesia hanya mencatat surplus perdagangan US$ 476 juta.


Penyebab dari tertekannya surplus tersebut adalah karena nilai impor telah tumbuh cukup kencang, tepatnya mencapai 15.3%, sementara nilai ekspor, seperti sudah disebut diatas, malah sedikit turun. Dari sepuluh komoditas utama untuk ekspor (diluar migas), yang nilai ekspornya turun adalah crude palm oil (CPO), karet, bijih logam, kertas, dan pakaian jadi. Untuk CPO, penurunan tersebut kemungkinan disebabkan karena perusahaan-perusahaan CPO mulai lebih banyak menjual produknya ke pasar domestik, seiring dengan terus meningkatnya permintaan. Sementara untuk bijih logam, ketentuan pajak ekspor yang berlaku sejak bulan lalu sepertinya mulai memaksa para perusahaan tambang bijih nikel, timah, emas, dan sebagainya, untuk mengerem produksi dan lebih fokus pada upaya pembangunan smelter.

Sementara ekspor batubara, barang-barang elektronik, mesin-mesin, dan sparepart kendaraan, masih naik dengan persentasenya masing-masing. Ekspor batubara masih bisa naik karena tidak dikenai pajak seperti bijih logam. Hanya saja, pertumbuhannya kini hanya 14.5% (dari US$ 12.2 menjadi 14.0 milyar), yang mungkin disebabkan karena penurunan harga jual batubara  belakangan ini. Berdasarkan data dari GlobalCoal, harga batubara jenis Australian Thermal Coal pada saat ini hanya US$ 89 per ton, jauh dibawah puncaknya beberapa waktu lalu yaitu US$ 127 per ton. Sementara harga batubara asal Indonesia biasanya lebih murah lagi, karena kadar airnya cenderung lebih banyak.

Sebuah Truk Pengangkut di Lokasi Tambang Batubara milik Adaro Energy

Lalu apa pentingnya mencermati data ekspor impor tersebut? Nah, anda tentu masih hafal dengan isu kenaikan harga kedelai impor, yang berujung pada kelangkaan tempe dan tahu, atau setidaknya begitulah yang diberitakan di televisi. Bagi penulis, pemberitaan tersebut mengingatkan bahwa kita, Indonesia, mau tidak mau memang harus mengimpor berbagai jenis barang untuk kebutuhan sehari-hari, termasuk bahan pangan, karena kita tidak mampu memproduksinya sendiri. Dan tidak cuma bahan pangan (termasuk kedelai), tapi untuk barang-barang lainnya juga kita mengimpor. Mungkin contohnya simpel saja: Penulis mengetik artikel ini menggunakan laptop dengan tulisan ‘Made in China’ dibelakangnya. Dan setahu penulis, dari sekian banyak mobil dan motor yang memenuhi jalanan Jakarta setiap harinya, tidak ada satupun diantaranya yang dibuat disini, kecuali hanya dirakit. Bersyukurlah anda kalau masih bisa beli beras Pandanwangi di supermarket, karena bagi rakyat kecil yang hanya bisa membeli beras di pasar tradisional, mereka terpaksa mengkonsumsi beras impor asal Thailand yang kualitasnya ‘asal bisa dimakan’. Sayangnya beras impor ini seringkali lebih banyak beredar di pasar ketimbang beras lokal, karena harganya lebih murah.

Indonesia bukannya tidak punya komoditas andalan untuk diekspor, karena kita memiliki setidaknya tiga jenis komoditas utama untuk diekspor, yaitu migas, CPO, dan batubara. Namun untuk migas, sejak tahun 2007 nilai ekspornya sudah lebih kecil ketimbang impor, sehingga Indonesia sudah tidak bisa lagi disebut sebagai negara pengekspor migas. Untuk CPO, cepat atau lambat peningkatan konsumsi minyak goreng dkk di dalam negeri akan menyebabkan kita tidak bisa mengekspor CPO lagi. Satu-satunya yang masih jadi andalan ekspor adalah batubara, dan itupun karena PLN masih belum mampu secara penuh untuk menghadirkan listrik di seluruh penjuru nusantara.

Kita tahu bahwa neraca ekspor impor yang surplus akan mendorong keseimbangan pertumbuhan GDP, atau disebut juga pertumbuhan ekonomi. Sementara neraca yang defisit bisa mengganggu keseimbangan tersebut. Pada tahun 2011 lalu, kita baru saja mencapai pertumbuhan ekonomi 6.5%, atau salah satu yang tertinggi sejak krisis 1998, dan itu boleh dikatakan sebagai sebuah prestasi. Namun, apakah prestasi tersebut hanya sampai disitu saja? Maksud penulis, okelah angka 6.5% tersebut mungkin cukup baik, tapi dimana letak akselerasinya? Dalam beberapa tahun terakhir ini, Indonesia seringkali digadang-gadang akan menjadi kekuatan ekonomi baru Asia, menyusul ‘kesuksesan’ Tiongkok dan India. Akan tetapi dua negara tersebut, Tiongkok dan India, pernah mencatat pertumbuhan ekonomi tertingginya masing-masing 13.0 dan 9.7%. Sementara Indonesia? Baru saja mencapai ‘prestasi’ 6.5%, sekarang sudah turun lagi menjadi hanya 6.3%. Penyebabnya, seperti yang bisa anda lihat diatas, karena kita memang kekurangan barang untuk dijual keluar negeri. Sementara masyarakat di dalam negeri terus menerus berbelanja produk-produk impor, bukan karena mereka tidak cinta produk Indonesia, tapi lebih karena terpaksa.

Tahukah anda, bahwa Unilever Indonesia (UNVR) tidak membuat produk-produknya disini, melainkan mengimpornya dari Thailand? Tapi penulis yakin dalam hal ini UNVR tidak sendirian.

Pertumbuhan ekonomi Indonesia, seperti yang anda ketahui, lebih banyak atau bahkan memang hanya ditopang oleh konsumsi domestik. Tapi setinggi apapun level konsumsi domestik tersebut, jika tidak dibarengi dengan catatan surplus perdagangan yang signifikan, maka hanya akan mendorong kenaikan GDP hingga segitu-gitu saja, dalam hal ini 6 – 7%. Dan ‘prestasi’ tersebut tentunya tidak perlu dicapai dengan kerja keras Pemerintah, karena seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk, maka level konsumsi akan meningkat dengan sendirinya. Negara autopilot, kalau para politisi BSH bilang.

Lalu apa inti dari artikel ini?

Barusan, penulis selesai mengecek sekitar empat ratusan laporan keuangan untuk periode first half 2012 yang dirilis para emiten di BEI. Hasilnya, hanya sebagian kecil saja yang mencatat kinerja menonjol. Selebihnya, mengecewakan. Bisa dibilang rata-rata emiten besar di BEI mulai mengikuti jejak Telkom (TLKM) selama ini, yaitu mencatat kinerja yang stagnan, atau masih tumbuh namun tidak lagi dengan angka pertumbuhan yang signifikan. Kalau penulis ingat-ingat lagi tahun 2009 dan 2010 lalu, ketika itu banyak sekali emiten yang mencatat kinerja istimewa, sehingga di market terdapat banyak pilihan saham yang bisa dikoleksi untuk invest jangka panjang. Istilahnya ketika itu asalkan anda nggak pegang saham-saham Bakrie, maka anda sudah hampir pasti bakal untung. Tapi kalau untuk sekarang ini, maka anda harus lebih jeli dalam memilih saham, termasuk untuk tujuan trading.

Dan kalau hal ini dikaitkan dengan perlambatan pertumbuhan ekonomi yang dialami Indonesia, maka kinerja para emiten yang stagnan tersebut memang bisa dijelaskan. Lalu apa itu karena ruang tumbuh para perusahaan sudah mulai terbatas? Oh, jelas tidak. Anda bisa tanya pakar ekonomi manapun di dunia, mereka akan sepakat bahwa Asia Tenggara, termasuk Indonesia di dalamnya, masih menjanjikan peluang pertumbuhan yang signifikan, dengan peluang sektornya masing-masing.

Satu-satunya penyebab kita masih saja nggak bisa menyusul Tiongkok dan lainnya, atau setidaknya yang penulis amati, adalah karena Pemerintahnya juga cenderung do nothing. Mereka maunya yang gampang-gampang saja, misalnya mengatur kebijakan fiskal seperti pajak, bea, dan cukai. Contohnya yang baru saja diberlakukan kemarin: Untuk mendorong hilirisasi produk tambang di dalam negeri, kebijakan yang  diberlakukan adalah pajak ekspor untuk bijih logam. Ketika Indonesia krisis kedelai, kebijakan yang dilakukan juga hanya menghapus bea masuk. Pemerintah memang mengatakan bahwa mereka juga akan mendorong produksi kedelai dalam negeri. Tapi seingat penulis, bukannya dulu juga di Indonesia pernah terjadi kenaikan harga kedelai impor? Kalau ketika itu produksi kedelai lokal sudah dinaikkan, lalu kenapa sekarang kita masih ngimpor?

Anyway, dalam hal ini penulis juga nggak ada bedanya dengan ‘komentator’ lainnya, yang cuma bisa mengeluh tanpa bisa membantu apa-apa. Penulis sendiri kalau berada di posisi para Menteri yang hebat-hebat itu, belum tentu juga bisa do something. Tapi yang ingin penulis katakan disini adalah, setelah lewat enam bulan, sepertinya di tahun 2012 ini perekonomian Indonesia masih belum akan kemana-mana, termasuk IHSG juga belum akan kemana-mana, persis seperti yang kita prediksikan di akhir tahun 2011 lalu. Ketika artikel ini ditulis, IHSG dengan gagahnya berada di posisi 4,100-an, tapi itu hanya karena didorong oleh masuknya asing, sehingga cuma soal waktu saja ia akan turun kembali.

Kalau bicara jangka panjang, penulis masih percaya bahwa kita semua (Indonesia) masih bisa terus tumbuh hingga menjadi besar, dan IHSG juga bukannya tidak mungkin akan mencapai posisi 5,000, suatu hari nanti. Tapi semua itu memerlukan waktu, dan kalau melihat progress-nya dalam 1 – 2 tahun terakhir ini, maka sepertinya kita masih harus menunggu lebih lama. We’re still walking, not running, tapi mudah-mudahan nggak sampai ‘going nowhere’.

NB: Ebook analisis kuartalan edisi semester pertama 2012 akan terbit tanggal 13 Agustus mendatang. Anda bisa membelinya disini.

Komentar

Monang mengatakan…
Pak Teguh
saya berlatar belakang non-ekonomi, persisnya di geosien, namun cenderung ke ekonomi-nya, dan kursi kerja saya lebih banyak muter-muter dari satu hutan ke hutan lain di luar jawa saja.

Analisa anda ini sanggat menggugah.
untuk tambang, tau kah sedikit saja penurunan demand ke produk tambang indonesia, langsung terasa koq: ga pake hitungan bulan, hitungan minggu langsung di rumahkan. banyak parameter yang bermain disini, namun yg jelas perlu perbaikan system di aturan main pertambangan yang lebih support kepada pengusaha tambang dalam negeri, yang pada akhir ya untuk memproteksi tenaga kerja dan turunannya.
kan ga lucu gara gara demand turun, lalu ujug ujug semua di shut down.

Untuk komoditas kebun: tau-kah anda kalau harga Tandan buah segar (TBS) di tingkat petani hanya di hargai Rp 600-800/kg saat ini di wilayah kalimantan?
bandingkan dengan harga minyak goreng curah di pasar tradisional: Rp 9.000-13.000/kg?.
tau kah anda harga komodity karet (cetak/susu) di tingkat petani: Rp. 9.000 - 12.000/kg di wilayah sumatera kalimantan?.
coba, berapa harga karet di Bursa?
Harga kopi di tingkat petani Rp. 5.000-8.000/kg di sumatera-sulawesi, coba berapa harga 1 gelas kecil ekspresso 150ml di starbuck? Rp. 25.000/150ml

Disparitas harga ini kan keterlaluan sekali..
saya melihat trend market di indonesia lebih memajukan kepada hilirisasi, tidak membangun kepada hulu-nya
Jadi wajar aja kalau di tingkat supply paling rendah (petani, penambang): perubahan sedikit saja atas supply dan demand, udah langsung menciutkan hati mereka. ini bisa memaklumi mengapa petani kedelai beralih ke usaha lain.
istilahnya: ngapain juga cape cape kerja banting tulang membantu pertumbuhan roda ekonomi di indonesia kalau "kue" keuntungan di dominasi pengusaha semata? Harusnya distribusi keuntungan juga di tularkan ke tingkat paling bawah dari roda ekonomi tersebut.

Disisi lain, sebagai investor, pemilik modal (dalam hal ini, investor saham, termasuk saya tentunya..He..he..), sangat memaksakan pertumubuhan laba suatu emiten (ini domainnya para trader), sementara kita sadar: membangun suatu item perekonomian adalah hal yang suangat sulit.
contoh yang paling baik untuk menjelaskan fenomena ini ya emiten dari group bakrie...maksakan banget pertumbuhan laba
pertumbuhan laba ini tentu akan memojokkan sisi lain (prinsip newton toh: sebab akibat), harus ada pihak-pihak yang tidak puas atas pemaksaan akselerasi pertumbuhan laba.

Dari cerita ga beralur di atas, saya intinya sepaham dengan Pak Teguh, ada yang harus kita perbaiki.
karena kita di sisi minoritas (tanpa kekuasaan dan Uang), otomatis kita tidak punya kekuatan untuk merubah.
tapi dengan ide, pemikiran dan rasa cinta sesama dan nasionalitas; kita masih punya kepala untuk berpikir-mulut-hati-telinga dan laptop untuk menyuarakan perubahan yang ke arah lebih baik.
dari titik ini, kita bisa menggalang ide ide ini kepada teman teman lain yang segalau pikiran dengan kita. Amin

Hamonangan
hamonangansilaban@gmail.com
Tanaya mengatakan…
Smart analysis. dalam kaitannya dengan investor ritel yang seritel-ritelnya, bagaimana sebaiknya kita memposisikan diri di tengah situasi ini? Saham apa saja yang sebaiknya dikoleksi? terimakasih.
Anonim mengatakan…
Analisis yg bagus pak Teguh.
Namun demikian, menurut saya ada hal yg perlu dikoreksi. UNVR membuat sebagian besar produknya di Indonesia. UNVR mempunyai 2 pabrik besar di Cikarang dan Rungkut. Sebagian produknya memang tdk diproduksi sdri (misalnya Sariwangi dan Buavita) tp masih diproduksi diproduksi di dlm Indonesia.

ARTIKEL PILIHAN

Live Webinar Value Investing, Sabtu 16 Maret 2024

Ebook Investment Planning Kuartal IV 2023 - Sudah Terbit!

Laporan Kinerja Avere Investama 2022

Peluang dan Strategi Untuk Saham Astra International (ASII)

Indo Tambangraya Megah: Masih Royal Dividen?

Indah Kiat Pulp & Paper (INKP) Bangun Pabrik Baru Senilai Rp54 triliun: Prospek Sahamnya?

Prospek Saham Energi Terbarukan, Kencana Energi Lestari (KEEN)