Analisis Teknikal, dari Sudut Pandang Value Investing

Beberapa waktu lalu penulis menerima saran dari seorang teman, ‘Mas Teguh, saya tahu Mas Teguh ini tipe value investor yang lebih banyak pake analisis fundamental. Tapi sebagaimana yang kita ketahui, di market terdapat lebih banyak trader yang pake teknikal. Jadi gimana kalau Mas Teguh nulis juga soal analisis saham dari sisi teknikal? Pasti blog-nya bakal lebih banyak lagi yang baca’

Well, itu saran yang bagus! Tapi sayangnya penulis sendiri gak ngerti analisis teknikal itu gimana. Kalau cuma sekedar moving average, bollinger bands, itu saya ngerti lah, dan kita juga pernah membahasnya disini (coba klik link-nya). Tapi kalau lebih dari itu, maka kemampuan saya mungkin cuma setara anak TK di hadapan para analis teknikal di sekuritas-sekuritas yang punya sederet gelar. Sempet kepikiran juga untuk meng-hire penulis lain yang jago teknikal untuk mengisi blog ini, tapi sulit sekali menemukan orang yang bisa membuat tulisan yang enak dibaca dan sekaligus mudah dimengerti.

Namun penulis cukup paham tentang konsep dasar dari analisis teknikal, yaitu: ‘Follow the trend’. Jika kerjaan value investor fundamentalist adalah membeli saham-saham yang bagus (secara fundamental) dan valuasinya juga masih murah, maka kerjaan trader technicalist adalah membeli saham yang trend-nya sedang bergerak naik alias uptrend. Kemudian soal timing jualnya, value investor akan menjual sahamnya ketika fundamental dari saham tersebut tidak lagi sebagus sebelumnya, atau jika dia sudah naik terlalu tinggi hingga valuasinya tidak bisa dikatakan murah lagi. Sementara trader? Ya jika trend dari pergerakan saham yang ia beli sudah berubah arah, dari tadinya uptrend menjadi downtrend.

Beberapa investor/analis profesional menyarankan untuk tidak mengkombinasikan antara analisis fundamental dan teknikal, karena menurut mereka hasil analisisnya bisa sangat berlawanan. Jadi kalau anda pake fundamental, maka ya sudah, anda pake fundamental saja. Sebaliknya kalau anda suka trading cepat pake teknikal, maka jangan lagi liat laporan keuangan perusahaan dll, melainkan cukup liat chart saja. Kalau anda pake analisis fundamental dan teknikal secara bersamaan, maka anda akan bingung ketika fundamental sebuah perusahaan menunjukkan bahwa saham tersebut layak buy, misalnya karena laba perusahaan naik dll, tapi teknikalnya justru menunjukkan sebaliknya (downtrend). Selain itu di bagian dunia manapun, belum pernah ada investor/analis yang cukup ahli dalam dua bidang tersebut (fundamental dan teknikal) secara sekaligus. Jika Warren Buffett gak tau apa-apa soal garis menggaris, maka demikian pula dengan George Soros, yang cuma mengerti sedikit soal apa itu nilai intrinsik.

Tapi berdasarkan pengalaman penulis selama ini, kesimpulan akhir dari analisis fundamental dan teknikal terhadap suatu saham lebih sering seiring sejalan ketimbang berlawanan, dengan catatan analisis teknikal yang dipakai adalah analisis untuk jangka yang tidak terlalu pendek, misalnya beberapa bulan (jangan beberapa minggu, apalagi beberapa hari).  Jadi kalau anda melihat sebuah saham fundamentalnya bagus, misalnya ROE-nya besar, utangnya kecil, labanya naik signifikan, dan valuasinya juga masih rendah, maka coba deh perhatikan chart sahamnya dalam waktu 3 – 6 bulan terakhir, kemungkinan juga sedang dalam posisi bergerak naik. Contohnya, Elnusa (ELSA). Perusahaan minyak ini mengalami kerugian pada tahun 2010 dan 2011 (fundamental jelek), dan alhasil sahamnya terus turun (downtrend) hingga mentok di 170-an. Pada tahun 2012, perusahaan kembali sukses membukukan laba (fundamental berbalik jadi bagus), dan sahamnya pada awal tahun 2013 (setelah laporan keuangan perusahaan untuk tahun 2012 keluar) mulai naik ke 250-an (uptrend). Pada tahun 2013, laba ELSA ternyata naik lagi hampir dua kali lipat (fundamentalnya semakin bagus), dan alhasil pada awal tahun 2014 saham ELSA kembali melanjutkan uptrend-nya hingga sekarang berada di level 600-an.

Dalam jangka yang lebih panjang, perhatikan: Analisis teknikal juga selalu seiring sejalan dengan fundamental. Pada tahun 2009 hingga 2011, laba Astra International (ASII) naik terus, dan alhasil sahamnya terus uptrend dari 2,400 hingga sempat menyentuh 8,000. Namun pada tahun 2012 hingga saat ini, seiring dengan perlambatan kinerja perusahaan karena penurunan harga CPO dan batubara dimana labanya tidak lagi naik setinggi sebelumnya (tapi gak turun juga), maka sahamnya pun cenderung bergerak mendatar dalam tiga tahun terakhir alias sideways. Memang, selama tiga tahun tersebut ada saja waktu-waktu dimana ASII bergerak naik atau turun secaar signifikan, katakanlah lebih dari 10% (tergantung IHSG juga). Tapi secara keseluruhan, dia bergerak sideways alias mendatar, dan itu memang sesuai dengan kondisi fundamentalnya.

Contoh lainnya adalah Bumi Resources (BUMI). Perusahaan batubara ini mencatat kinerja yang cukup baik dengan laba sekian ratus juta Dollar pada tahun 2011 lalu, dan alhasil sahamnya yang sempat anjlok sampe 450 gara-gara krisis global pada awal 2009, kembali naik hingga menyentuh 3,000-an, dua tahun kemudian (trend BUMI selama dua tahun tersebut jelas uptrend). Namun pada tahun 2012 BUMI merugi, dan sahamnya mulai turun. Karena pada tahun 2013 labanya kembali minus hingga ekuitasnya pun menjadi minus, maka jadilah penurunan (downtrend) tersebut terus berlanjut hingga BUMI terkapar di posisinya sekarang.

Gocap here I cooommmeee...!

Yang perlu dicatat adalah, meski pada trahun 2012 lalu hingga saat ini BUMI sempat beberapa kali naik dan menampakkan indikasi uptrend di chart-nya (dalam jangka pendek), namun karena fundamentalnya belum menunjukkan perbaikan, maka pada akhirnya trend-nya tetap downtrend. Penulis ada kenalan yang seneng banget trading-in BUMI ketika masih di 300-an, dan memang sempet beberapa kali untung, tapi toh akhirnya nyangkut juga.

Jadi sekali lagi, dan anda boleh perhatikan contoh saham yang lainnya lagi, kesimpulan yang dihasilkan analisis teknikal itu lebih banyak seiring sejalan ketimbang berlawanan dengan fundamental, dengan catatan anda menganalisis teknikal suatu saham berdasarkan jangka waktu minimal menengah, yakni diatas 3 bulan. Kenapa 3 bulan? Ya karena perusahaan juga hanya merilis laporan keuangannya setiap kuartal alias 3 bulan sekali, dimana setiap 3 bulan itulah fundamental perusahaan bisa tampak berubah, entah itu kenaikan labanya tidak setinggi sebelumnya, atau jika perusahaan tiba-tiba menanggung utang yang besar. Kalau anda pake teknikal dalam jangka yang sangat pendek, apalagi harian (di trading forex bahkan ada metode analisis teknikal yang, katanya, bisa mendeteksi perubahan trend setiap 3 detik!), maka barulah kesimpulan analisisnya bisa berbeda dengan analisis fundamental, dimana suatu saham bisa saja menunjukkan pola downtrend dimana ia bakal turun dalam jangka pendek, padahal fundamentalnya masih oke.

However, pengalaman sekali lagi membuktikan bahwa para trader yang tipe ‘follow the trend’, setelah beberapa tahun biasanya lebih sukses ketimbang trader ‘pembalap’, karena para trader pembalap ini seringkali terpeleset dan jatuh (baca: cut loss) ketika bermanuver di tikungan (ketika suatu saham, berdasarkan TA jangka pendek, menunjukkan bahwa dia akan berbalik arah dari uptrend menjadi downtrend, demikian sebaliknya). Contohnya ya temen penulis yang trading BUMI tadi. Sementara trader tipe follow the trend lebih mengabaikan perubahan trend dalam jangka pendek dan lebih melihat trend dalam jangka panjang. Bagi anda investor yang pake fundamental, dimana anda membeli saham bagus pada harga murah dan menjualnya beberapa waktu kemudian ketika fundamental saham tersebut tidak bagus lagi atau valuasinya sudah mahal (biasanya bukan keesokan harinya atau minggu depan, tapi agak lama), maka  disadari atau tidak anda juga sama dengan trader yang follow the trend tadi, tepatnya ‘trend fundamental’.

Jadi dalam hal ini, value investor juga bukannya tidak mengenal cut loss. Kalau memang terjadi perubahan fundamental yang menyebabkan saham yang kita pegang turun duluan sebelum sempat naik, maka ya ndak apa-apa, jual aja dulu. Hanya memang, kita lebih suka hold jika saham yang dipegang entah kenapa turun sendiri padahal perusahaannya gak kenapa-napa, karena biasanya dia akan naik lagi nanti. Dan berdasarkan pengalaman, hal itu (sebuah saham turun sendiri padahal kinerjanya gak kenapa-napa, tapi pada akhirnya naik lagi) memang cukup sering terjadi.

Intinya sih, FA (fundamental analysis) dan TA (technical analysis) bukanlah sesuatu yang saling berlawanan, melainkan justru saling mendukung. Kalaupun ada perbedaan, maka itu karena TA terkadang menunjukkan bahwa suatu saham sedang bergerak naik alias uptrend (biasanya ditandai dengan break out), sehingga rekomendasinya adalah buy, tak peduli meski fundamentalnya nol. Contohnya ya BUMI tadi. Antara bulan Mei hingga Juni 2014, BUMI sempat mulai bergerak naik (uptrend) dari 122 hingga sempat menembus 200-an, atau naik lebih dari 60 persen! Para technicalist yang bisa mendeteksi perubahan trend tersebut mungkin akan meraup keuntungan sekian puluh persen dari BUMI, sekali lagi, tak peduli meski BUMI ini fundamentalnya nol. Permasalahannya adalah, kalau anda telat keluarnya dari BUMI ini, maka ya bakal nyangkut juga akhirnya, dan keuntungan yang anda peroleh sebelumnya bakal habis tak tersisa.

Sebaliknya, saham yang fundamentalnya bagus juga seringkali turun sendiri tanpa penyebab yang jelas. Lippo Cikarang (LPCK) adalah saham yang secara fundamental bisa dinobatkan sebagai saham properti terbaik di BEI, tapi coba lihat sahamnya: Setahun yang lalu entah kenapa dia anjlok sendiri dari 10,000-an sampai 4,600 (jeblok gak main-main, lebih dari separuhnya!). Dan pada Oktober 2014 lalu dia juga turun ke 7,100 dari sebelumnya 8,500, padahal kinerjanya gak kenapa-napa. Kalau anda murni pake TA, maka ketika LPCK turun sampai 7,100 tersebut, maka tidak ada tawar menawar lagi: Harus cut loss! Tapi toh, karena fundamentalnya masih oke, maka anda bisa lihat sendiri, berapa posisi LPCK sekarang? Meski memang harus menunggu agak lama (dari Oktober ke Desember, itu berarti 3 bulan).

(Selain LPCK, ketika artikel ini ditulis juga ada beberapa saham berfundamental bagus yang sedang dalam posisi turun entah itu karena sentimen negatif terkait sektornya atau murni karena penurunan IHSG. Tapi coba lihat lagi nanti setelah beberapa bulan: Biasanya mereka juga akan mengikuti jejak LPCK, tentunya selama tidak terjadi perubahan fundamental).

Karena itulah, dalam FA khususnya value investing, kita mengabaikan saham-saham yang naik atau terbang selama fundamentalnya tidak mendukung. Disisi lain, kita justru tertarik pada saham yang sedang downtrend, tentunya jika fundamentalnya bagus dan valuasinya sudah murah. Sebelumnya catat bahwa hanya karena sebuah saham sudah turun banyak, katakanlah dari 1,000 menjadi tinggal 500, maka itu bukan berarti kita bisa langsung menyimpulkan bahwa dia sudah murah. Ada beberapa indikator yang kita gunakan dalam menentukan apakah suatu saham sudah murah atau belum, namun bukan dengan cara melihat bahwa dia sudah naik atau turun sekian persen. Malah kalau ada saham yang sudah naik 100% sekalipun tapi valuasinya masih murah, maka ya why not? Warren Buffett juga membeli Coca-Cola dalam jumlah besar pada penghujung tahun 1980-an, justru setelah saham tersebut naik berkali-kali lipat selama beberapa tahun sebelumnya. Jadi dalam kondisi inilah metode value investing juga bisa memiliki kesimpulan analisis yang sama dengan metode teknikal, yakni buy when breakout.

Okay, ada yang mau menambahkan?

Instagram

Komentar

Unknown mengatakan…
Analisa yang menarik Pak Teguh.
Anonim mengatakan…
Bagus dan bermanfaat sekali ulasan Pak Teguh. Untuk long term, JPFA saat sekarang ini lg turun, apa ini kesempatan buy on weakness?
Unknown mengatakan…
Mau bahas ITMG ya Pak Teguh?
saya malah udah borong saham ITMG. But anyway ditunggu bahasan nya.
Santo mengatakan…
Pak, yg saya mau tanyakan sbg orang awam.. kenapa ada istilah buy when breakout? kalo kita sudah tau dia akan menuju breakout knapa ga beli dari sekarang?
Unknown mengatakan…
menurut saya, istilah break out atau break down merupakan kejadian dimana harga saham tersebut sudah melewati harga support (break down) atau resisten (break out).. harga saham yang sedang menuju harga break out atau break down kecenderungannya lebih kepada ke-belum-tentu-an, karena analis technikal cenderung memberikan rekomendasi setelah terbentuknya konfirmasi. seperti pembahasan Pak Teguh di atas, dimana seorang teknikal akan membeli ketika pergerakan trennya berubah arah (tentu dengan konfirmasi) atau sebaliknya..kecuali kalau kita terbantu dengan indikator indikator teknikal yang meyakinkan kita dan konfirm untuk tau saham ini akan break out, biasanya kita akan beli saham ini..
seperti saya bermain sepak bola, saya akan lebih pede (menang) bila tim saya sudah mencetak gol keeper lawan (resisten), meskipun bukan jaminan kalau saham break out akan kuat dan terus menjaga tren tetap naik..
terima kasih
Angga earieska mengatakan…
Selamat malam pak teguh. Saya karyawan golongan 2 di salah satu BUMN. Saya tertarik invest saham, salah satu nya setelah baca blog bapak teguh. Coba coba saya beli BBRI setelah stocksplit, menjadi terjangkau hanya 3.000 an saja,. Mau saya pakai metode dollar cost averaging.. sisa uang saya pakai beli saham WTON karena fundamental lumayan. PER dan PBV rendah. Namun nyangkut di saham WTON. Saya lihat di chart, jangan jangan ulah bandar yang sedang fase distribusi. Tolong di komentari pak teguh. Makasih

ARTIKEL PILIHAN

Ebook Investment Planning Q3 2024 - Sudah Terbit!

Live Webinar Value Investing Saham Indonesia, Sabtu 21 Desember 2024

Prospek PT Adaro Andalan Indonesia (AADI): Better Ikut PUPS, atau Beli Sahamnya di Pasar?

Mengenal Investor Saham Ritel Perorangan Dengan Aset Hampir Rp4 triliun

Pilihan Strategi Untuk Saham ADRO Menjelang IPO PT Adaro Andalan Indonesia (AADI)

Prospek Saham Samudera Indonesia (SMDR): Bisakah Naik Lagi ke 600 - 700?

Saham Telkom Masih Prospek? Dan Apakah Sudah Murah?