Indonesia Meraih Investment Grade?

Pada hari Kamis, tanggal 21 Mei kemarin, salah satu dari tiga lembaga pemeringkat terbesar di dunia, Standard & Poor’s (S&P), merilis perubahan credit rating bagi Indonesia, dari tadinya BB+ dengan outlook stabil, menjadi BB+ dengan outlook positif. Jadi sebenarnya ratingnya masih tetap sama, hanya outlook-nya saja yang berubah menjadi lebih baik. Meski demikian kabar ini tetap direspon oleh investor di pasar saham, dimana pada hari kamis tersebut IHSG ditutup naik meski pada pagi harinya sempat tertekan. Dan pada hari kamis itu pula, asing untuk pertama kalinya dalam beberapa minggu terakhir kembali mencatatkan net buy (tapi pada hari jumatnya langsung net sell lagi). Pertanyaannya mungkin, apa itu yang dimaksud dengan credit rating? Dan bagaimana itu mempengaruhi perekonomian di Indonesia, khususnya IHSG itu sendiri?

Bagi anda yang belum mengerti apa itu yang dimaksud dengan credit rating, coba baca lagi penjelasannya disini. Kalau berdasarkan rating yang dirilis oleh Moody’s dan Fitch (dua lembaga pemeringkat terbesar di dunia, selain S&P), Indonesia pada saat ini memiliki status investment grade, atau dengan kata lain dianggap sebagai negara yang layak untuk tujuan investasi bagi para investor global, meskipun perlu dicatat disini bahwa rating yang diberikan oleh Moody’s dan Fitch merupakan rating terendah di kelas investment grade, yakni Baa3 dan BBB-. Ini artinya jika kedepannya Moody’s dan Fitch menurunkan rating Indonesia sebanyak satu peringkat saja, maka Indonesia akan tidak lagi memiliki status investment grade. However, hingga saat ini tidak ada tanda-tanda bahwa kedua lembaga pemeringkat tersebut akan menurunkan rating Indonesia.

Sementara S&P, hingga saat ini masih belum memberikan status investment grade bagi Indonesia. Meski demikian, rating BB+ yang diberikan S&P merupakan rating tertinggi di kelas non-investment grade. Atau dengan kata lain, Indonesia hanya perlu memperoleh kenaikan satu peringkat saja agar juga dianggap sebagai negara investment grade oleh S&P. Dan pada Kamis kemarin, dengan mengubah outlook ratingnya dari stabil menjadi positif, maka S&P memberikan indikasi bahwa dalam beberapa waktu kedepan, paling lambat mungkin setahun dari sekarang (dengan catatan tidak ada kejadian luar biasa terkait perekonomian Indonesia), mereka akan juga mengganjar Indonesia dengan status investment grade.

Logo Standard & Poor's

Dan ketika itu terjadi (ingat bahwa S&P belum benar-benar menaikkan rating Indonesia), maka investor asing seharusnya akan lebih banyak lagi masuk kesini, entah itu melalui instrumen keuangan termasuk pasar modal, atau melalui investasi langsung dengan mendirikan pabrik dll. Karena ketika seorang fund manager dari perusahaan asset management global berencana untuk berinvestasi di negara-negara di seluruh dunia, maka yang pertama-tama ia pilih adalah negara yang memperoleh status investment grade secara penuh (dari tiga lembaga pemeringkat tadi). Jadi dalam hal ini, berhubung masih ada satu lembaga pemeringkat yang belum memberikan status investment grade, maka Indonesia masih dianggap sebagai pilihan kedua bagi para investor asing untuk menanamkan modalnya disini, apalagi jika dibandingkan dengan Singapura, misalnya, yang ratingnya bahkan lebih tinggi dibanding Amerika Serikat.

Balik lagi ke soal kenaikan outlook rating yang diberikan oleh S&P. Pertanyaannya, dengan kondisi perekonomian Indonesia yang, jujur saja, tidak terlalu baik belakangan ini, lalu kenapa kok S&P malah memberikan indikasi bahwa mereka mungkin akan menaikkan rating Indonesia? Well, sebelum menjawab pertanyaan itu, maka kita perlu pelajari dulu secara lebih lanjut, apa yang dimaksud dengan credit rating ini dan bagaimana cara kerjanya.

Jadi begini. Pada dasarnya ketika seorang investor meminta pendapat dari penasihat investasi mengenai saham apa (atau instrumen investasi lainnya) yang terbaik untuk dibeli,  maka si penasihat investasi tersebut akan balik bertanya: ‘Seberapa besar risiko kerugian yang bisa anda tanggung?’ Karena kalau yang ditanyakan adalah, ‘Seberapa besar potensi keuntungan yang ingin anda peroleh?’ Maka sudah pasti jawaban si investor adalah ‘Sebesar-besarnya!’ Tapi ketika yang ditanyakan adalah risiko kerugian, maka jawaban si investor akan berbeda-beda. Beberapa investor mungkin berani mengambil investasi dengan risiko yang tinggi jika memang itu menawarkan potensi gain yang juga lebih, namun beberapa investor lainnya mungkin lebih memilih konservatif dengan mengambil investasi dengan risiko yang rendah.

Karena dalam berinvestasi, risiko kerugian serta potensi keuntungan adalah seperti dua sisi mata uang yang tidak terpisahkan. Pada perkembangannya, investor profesional senantiasa fokus pada upaya untuk menekan risiko kerugian hingga serendah-rendahnya, kemudian baru bicara soal potensi keuntungan. Seperti quote Warren Buffett yang terkenal: ‘Rule No.1, never lose money. Rule No.2, don’t forget rule No.1’. Ini artinya, alih-alih mengejar keuntungan yang sebesar-besarnya, Warren lebih suka berupaya untuk minimal tidak sampai menderita kerugian. Analoginya seperti dalam pertandingan sepakbola: Kalau tim anda bisa dengan sekuat tenaga menjaga agar gawangnya tidak kebobolan, maka cukup dengan mencetak 1 gol saja ke gawang lawan, tim anda tetap menang bukan?

Nah, posisi Moody’s, Fitch, dan S&P adalah seperti penasihat investasi tadi. Mereka tidak ikut berinvestasi pada saham atau instrumen apapun, melainkan hanya memberikan rekomendasi kepada para investor di seluruh dunia dalam bentuk rating tadi, dimana rating tersebut bukan didasarkan pada seberapa besar potensi keuntungan yang ditawarkan oleh instrumen investasi yang memperoleh rating tersebut, melainkan didasarkan pada seberapa rendah risiko kerugian yang mungkin akan diderita investor, jika ia memilih instrumen investasi tadi.

Ini artinya, ketika sebuah negara memperoleh rating cukup tinggi hingga statusnya menjadi investment grade, maka negara tersebut dianggap aman untuk investasi (hanya dianggap aman saja, dan bukan berarti bahwa negara tersebut memiliki potensi return investasi yang tinggi). Semakin tinggi ratingnya, maka semakin aman negara tersebut. Jika Pemerintah Singapura menerbitkan surat utang, misalnya, maka surat utang tersebut dianggap memiliki risiko yang amat sangat rendah untuk mengalami default alias gagal bayar. Sementara jika Pemerintah Indonesia menerbitkan surat utang, maka surat utang tersebut dianggap memiliki risiko yang lebih tinggi untuk mengalami gagal bayar, dibanding surat utang Singapura.

Padahal jika kita bicara soal prospek atau potensi keuntungan yang bisa diperoleh investor, maka bisa jadi Indonesia justru lebih menawarkan potensi keuntungan dibanding Singapura. Contoh simpel saja: Dalam lima tahun terakhir, IHSG sudah naik total 90.0%, belum termasuk dividen. Sementara Straits Times of Singapore? Hanya naik 25.3% selama periode waktu yang sama. However, sekali lagi, baik itu Moody’s, Fitch, dan S&P sama sekali tidak memperhatikan potensi keuntungan tersebut, melainkan hanya fokus pada faktor risiko.

Lalu bagaimana cara lembaga pemeringkat mengukur tingkat risiko investasi di suatu negara?

Pada dasarnya risiko investasi di sebuah negara dikelompokkan menjadi dua jenis, yakni risiko politik dan risiko ekonomi. Negara dengan perpolitikan yang stabil akan dianggap lebih aman untuk investasi dibanding negara yang perang saudara melulu, misalnya. Dan negara dengan perekonomian yang maju juga akan dianggap lebih aman dibanding negara berkembang. Untuk masalah politik, Indonesia relatif stabil sejak Pak Jokowi menjadi Presiden menggantikan Sir Beye. Sementara untuk ekonomi, pertumbuhan ekonomi kita terakhir tercatat hanya 4.7%, atau terendah dalam lima tahun terakhir dan ini tentu saja merupakan sinyal yang buruk, terutama ketika inflasi serta nilai tukar Rupiah juga tidak menunjukkan angka yang menggembirakan.

Namun berbagai kebijakan Pemerintah terkait perekonomian seperti mencabut subsidi BBM, kemungkinan dilihat oleh S&P sebagai satu langkah yang, dalam jangka panjang, akan mampu mengurangi risiko terjadinya masalah tertentu pada kondisi keuangan negara. Selama ini, setiap kali harga minyak dunia melambung tinggi maka demikian pula beban subsidi negara untuk BBM turut naik, sehingga negara tidak punya cukup ruang fiskal untuk pengeluaran lain yang lebih bermanfaat seperti pembangunan infrastruktur. Ketika subsidi tersebut sekarang sudah dihapuskan sama sekali, maka negara kini memiliki lebih banyak uang untuk keperluan lain, termasuk untuk membayar utang-utang luar negeri tertentu (plus bunganya) ketika nanti utang tersebut jatuh tempo.

Jadi dalam hal ini, atau setidaknya dalam pandangan S&P, risiko gagal bayar utang yang mungkin bisa dialami Indonesia, entah itu utang perusahaan-perusahaan asal Indonesia atau utang Pemerintah Indonesia itu sendiri, bisa menjadi lebih rendah kedepannya, jika memang penghapusan subsidi BBM dll mampu untuk secara efektif berpengaruh positif terhadap APBN, dan tentunya perekonomian secara keseluruhan.

Namun sekali lagi, yang diubah S&P hanya outlook ratingnya, bukan rating itu sendiri. Dalam pandangan S&P, Indonesia belum menjadi negara yang cukup maju secara ekonomi, dan praktis masih belum benar-benar layak untuk memperoleh status investment grade, dan risiko investasi disini masih dianggap tinggi (risiko tersebut belum berkurang). Jika berbagai kebijakan Pemerintah memang benar-benar berdampak positif terhadap perekonomian nasional dalam waktu, let say, 1 – 2 tahun dari sekarang, maka barulah setelah 1 atau 2 tahun tersebut, S&P mungkin akan memberikan kenaikan rating bagi Indonesia.

Okay, tapi mari kita bersikap sedikit optimis disini: Jika S&P pada akhirnya nanti memberikan status investment grade bagi Indonesia? Lalu apa dampaknya terhadap IHSG? Well, tentu saja tidak ada dampaknya secara langsung. Kemarin kamis IHSG memang sempat naik dan asing mencatatkan net buy, tapi pada Jumatnya dia langsung turun lagi (dan asing net sell lagi). Sementara dalam jangka panjang pun, diatas tadi sudah disebutkan bahwa kenaikan Straits Times dalam lima tahun terakhir justru lebih rendah dibanding IHSG, padahal rating Singapura jauh lebih tinggi dibanding Indonesia.

Tapi yang jelas, ketika S&P pada akhirnya nanti memberikan status investment grade bagi Indonesia, maka itu akan meningkatkan posisi tawar perusahaan-perusahaan asal Indonesia dihadapan investor asing. Let say, jika sebelumnya perusahaan-perusahaan di Indonesia harus menawarkan bunga 10 – 12% per tahun ketika mereka menerbitkan obligasi di Singapura (bunga tersebut terbilang tinggi, dan itu karena obligasi asal Indonesia dianggap berisiko tinggi), maka kedepannya bunga tersebut bisa diturunkan menjadi hanya 7 – 9% saja. Karena bunganya lebih rendah, maka otomatis beban keuangan perusahaan menjadi lebih ringan, sehingga laba bersihnya bisa menjadi lebih besar. Jika kondisi tersebut terjadi pada banyak perusahaan sekaligus, maka fundamental perekonomian nasional akan menjadi lebih baik. Dana investasi asing juga akan lebih banyak masuk kesini, entah itu dalam bentuk FDI (foreign direct investment) atau melalui pasar saham dan obligasi, dan itu akan meningkatkan likuiditas keuangan, meningkatkan volume transaksi jual beli, dan pada akhirnya bisa membantu menumbuhkan perekonomian.

But still, pada saat ini kondisi diatas belum terjadi, melainkan mungkin baru akan terjadi setahunan dari sekarang, itupun jika S&P benar-benar menaikkan ratingnya bagi Indonesia (dan Moody’s dan Fitch, dalam waktu yang bersamaan, juga mempertahankan ratingnya bagi Indonesia dan tidak menurunkannya). Sementara untuk saat ini, let’s face it: Our economy is not in a very good shape.

Untuk artikel minggu depan, karena banyaknya permintaan, maka kita akan bahas sedikit soal Trada Maritime (TRAM).

Pengumuman: Buletin Analisis IHSG dan informasi stock-pick saham bulanan edisi Juni 2015 sudah terbit hari ini. Anda bisa memperolehnya disini.

Komentar

Anonim mengatakan…
Makasih Mas Teguh atas tuntunannya
Anonim mengatakan…
Masalah dasar yg sering terlupa ttg lembaga rating adalah sumber pendapatan mereka berasal dari fee perusahaan/ negara yg di-rating. Ini tentu mengurangi independensi dalam memberikan credit rating. Contoh paling nyata adalah ketika produk2 derivatif subprime diberikan rating AAA (super aman) pada tahun 2008 kemarin. Ini menyebabkan banyak investor tidak ragu untuk menempatkan dana di instrumen ini. Akibatnya efek domino dari krisis subprime pun cepat sekali menyebar dan investor kehilangan banyak uang.
Anonim mengatakan…
Dear Mas Teguh,

Terima kasih untuk lesson yang ditulis. Great Article.
Mas Teguh, karena akan ngupas tentang TRAM, sekalian dibandingkan dgn WINS boleh nggak? Thanks mas.

WG
Anonim mengatakan…
Saya setuju dengan anonim di atas saya.
Kasus 2008 mencerminkan lembaga pemeringkat internasional sekalipun bukanlah lembaga yang benar2 objektif.

Namun, however, mereka tetap menjadi salah satu patokan investor untuk menaruh uangnya, tetap menjadi patokan perusahaan ketika mau menjual obligasinya, dll.

Mari berharap saja mereka fair dalam menilai negara kita & nilainya bagus.
Sanda Wibowo mengatakan…
yup bener juga sih. tapi sejak kapan Indonesia rela membayar standard & poors?
saya pikir tidak ada gunanya pak jokowi menyogok itu lembaga. Masyarakat kita lebih akrab sama harga rokok ketimbang rating S&P. hehe

ARTIKEL PILIHAN

Live Webinar Value Investing, Sabtu 27 April 2024

Ebook Investment Planning Kuartal I 2024 - Terbit 8 Mei

Indo Tambangraya Megah: Masih Royal Dividen?

Laporan Kinerja Avere Investama 2022

Prospek Saham Energi Terbarukan, Kencana Energi Lestari (KEEN)

Prospek Saham Samudera Indonesia (SMDR): Bisakah Naik Lagi ke 600 - 700?

Perkiraan Dividen PTBA: Rp1,000 per Saham