Update Analisis IHSG, Setelah Laporan Keuangan Emiten

Tak terasa waktu sangat cepat berlalu sejak penulis menerbangkan lampion di malam tahun baru aaand.. here we are! Sekarang kita sudah memasuki bulan Mei, dimana boleh dibilang tidak ada isu yang lebih ramai untuk dibicarakan selain ‘Sell in May and Go Away’, apalagi kemarin IHSG memulai perjalanan di bulan Mei dengan hampir saja turun ke 4,700-an. Namun tahukah anda bahwa selama ini IHSG justru lebih sering naik di bulan Mei ketimbang turun?

Yup, berdasarkan data pergerakan IHSG antara tahun 1998 hingga 2015 (data IHSG di Yahoo Finance hanya tersedia sampai tanggal 1 Juli 1997), maka selama delapan belas tahun terakhir, IHSG hanya pernah tujuh kali turun di bulan Mei, dan naik sebelas kali. Jadi secara statistik historis, IHSG lebih berpeluang untuk naik ketimbang turun di bulan Mei. Berikut data posisi IHSG di awal dan akhir bulan Mei, antara tahun 1998 hingga 2015.

Year
Opening
Closing
Gain/Loss
2015
5,093
5,216
2.4
2014
4,845
4,894
1.0
2013
5,020
5,069
1.0
2012
4,181
3,833
(8.3)
2011
3,820
3,837
0.4
2010
2,972
2,797
(5.9)
2009
1,723
1,917
11.3
2008
2,334
2,444
4.7
2007
1,995
2,084
4.5
2006
1,468
1,330
(9.4)
2005
1,031
1,088
5.5
2004
785
733
(6.7)
2003
452
495
9.4
2002
534
531
(0.6)
2001
359
406
12.9
2000
527
454
(13.8)
1999
495
585
18.2
1998
460
420
(8.6)

Jadi jika dilakukan penelitian lebih lanjut, maka kemungkinan terdapat bulan lain dalam satu tahun dimana IHSG lebih berpeluang turun pada bulan tersebut, ketimbang pada bulan Mei. Namun memang istilah ‘Sell in May and Go Away’ lebih mudah diingat investor karena memang istilah tersebut terdengar pas sekali (sama-sama berakhiran ‘ay’), ketimbang istilah ‘Sell in August but Don’t be Rush’, misalnya (lah kalau pasarnya jeblok, maka gimana kita bisa tetap calm dan nggak ‘rush’?).

However, ini bukan mengatakan bahwa pasar tidak akan turun di bulan Mei ini, karena pada akhirnya pasar bisa bergerak kemana saja dalam jangka pendek, katalah satu bulan. Namun memang, kalau kita melihat jangka yang lebih panjang, maka dengan mempertimbangkan kinerja para emiten di Kuartal I 2016 yang ternyata belum begitu bagus (meski juga tidak seburuk tahun 2015 kemarin), maka suka atau tidak, untuk tahun 2016 ini kemungkinan IHSG tidak akan naik terlalu tinggi. Atau kalaupun IHSG naik tinggi, maka ujungnya dia akan terkoreksi signifikan. Untuk kasus kedua kita pernah mengalaminya tahun 2013 lalu dimana IHSG terbang dari 4,250 hingga menyentuh 5,250 antara bulan Januari – Mei, padahal kinerja Astra International dkk ketika itu mulai stagnan. Namun memasuki bulan Juni, IHSG dengan cepat terjun bebas hingga balik lagi ke posisi awal tahun, dan IHSG menutup tahun 2013 dengan tumbuh negatif alias turun 1.0%.

Hanya memang, kalau dari sisi fundamental makroekonomi, maka kondisi sekarang agak berbeda dengan tahun 2013. Pada tahun 2013, pertumbuhan ekonomi mulai terasa melambat setelah booming batubara, CPO, dan properti mencapai puncaknya pada tahun 2011, namun baru di tahap melambat saja (jadi belum benar-benar lesu, atau krisis). Dua tahun kemudian yakni tahun 2015, barulah ‘slowdown’ tersebut mencapai puncaknya, dimana kondisi di ekonomi di lapangan sangat-sangat lesu, jualan apa aja gak laku, kinerja emiten amburadul, Rupiah hampir saja tembus 15,000, dan IHSG sendiri jeblok 12.1%. Faktanya, meski penurunan 12.1% tersebut terdengar tidak seberapa dibanding market crash di tahun 2008, namun diluar tahun 2008 tersebut, maka terakhir kali IHSG turun diatas 10%, itu terjadi pada tahun 2000, alias sudah lama sekali, ketika itu karena Indonesia masih belum pulih sepenuhnya dari krisis moneter 1998. Jadi.. yap, penurunan 12.1% di tahun 2015 tersebut sejatinya besar sekali, dan memang kondisi ekonomi Indonesia di tahun 2015 secara umum jauh lebih buruk dibanding 2013.

Namun beruntung, kita tidak sampai mengalami krisis, dan perekonomian perlahan tapi pasti mulai pulih lagi pada awal tahun 2016, dimana inflasi stabil, Rupiah stabil, dan kinerja emiten sudah tidak seburuk tahun 2015 lalu (beberapa perusahaan besar masih mengalami penurunan laba bersih, tapi penurunannya tidak lagi signifikan), meski disisi lain belum bisa disebut bagus juga. Dalam hal ini penulis jadi lebih realistis: Seperti halnya perlambatan ekonomi bisa memerlukan waktu bertahun-tahun hingga mencapai titik terendahnya (dari tahun 2011 hingga 2015, dengan asumsi bahwa tahun 2015 lalu merupakan puncak lesunya perekonomian), maka demikian pula ketika ekonomi pulih akan butuh waktu  bertahun-tahun juga, dimulai dari tahun 2016 ini. Untuk contoh kasus dimana IHSG hancur lebur di tahun 2008 namun langsung terbang lagi di tahun 2009, maka ingat bahwa yang mengalami krisis di tahun 2008 itu sebenarnya Amerika, sementara Indonesia cuma kena getahnya. Jadi ketika cerita krisis itu menguap, maka IHSG dengan cepat langsung naik lagi, karena ketika itu ekonomi dalam negeri masih on fire.

Sementara untuk saat ini, yang mengalami economic slowdown adalah Indonesia sendiri. Jadi jika anda mengharapkan bahwa IHSG akan kembali naik banyak seperti ketika dia tumbuh hampir tiga kali lipat antara tahun 2004 – 2007 lalu, maka bisa penulis katakan bahwa itu akan terjadi, tapi bukan di tahun ini. Sementara jika pada bulan-bulan pertama di tahun 2016 ini IHSG naik sangat tinggi, maka endingnya bisa seperti tahun 2013 lalu.

Data GDP Indonesia antara tahun 2006 - 2014, dalam milyar US Dollar. Perhatikan bahwa pertumbuhan GDP mulai stagnan sejak tahun 2011 (tapi mudah-mudahan mulai naik lagi pelan-pelan di tahun 2016 ini). Source: tradingeconomics.com

Untungnya, hingga awal Mei ini IHSG baru naik sekitar 5% secara YTD, alias belum terlalu tinggi. Jadi kalaupun nanti pada akhirnya terjadi koreksi (karena normalnya, IHSG akan mengalami koreksi besar paling tidak satu kali dalam setahun), maka IHSG seharusnya tidak akan turun terlalu dalam, paling-paling hanya balik lagi ke kisaran posisi awal tahun yakni 4,500-an, sebelum kemudian naik lagi. Karena, berapapun posisi penutupan IHSG di akhir tahun 2016 nanti, namun dengan mempertimbangkan ekonomi yang mulai pulih, kinerja emiten yang lebih baik, plus tidak adanya isu ekonomi yang signifikan dari luar negeri, maka seharusnya IHSG tidak akan sampai tumbuh minus lagi seperti tahun 2015 lalu. We’ll see!

Buletin Analisis IHSG & Rekomendasi Saham Bulanan edisi Mei 2016 sudah terbit! Anda bisa memperolehnya disini, gratis konsultasi portofolio/tanya jawab saham untuk member, langsung dengan penulis.

Komentar

Anonim mengatakan…
Pak teguh, saya masih bingung masalah PDB atau GDP ini. Pertumbuhan ekonomi kita kan selalu positif, ya taroklah 4-5 persen pertahun. Tapi kok di grafik di atas PDB dari tahun 2012 malah turun ya?
Mohon penjelasannya Pak Teguh.
Terima kasih.
Teguh Hidayat mengatakan…
@Anonim: Angka PDB pada grafik diatas adalah dalam milyaran Dollar. Di tahun 2013, PDB kita dalam mata uang Rupiah masih naik dibanding tahun 2012. Tapi karena kurs Rupiah itu sendiri ketika itu mulai turun signifikan (dari 9,500 hingga tembus 11,000), maka PDB-nya dalam mata uang Dollar justru turun.
Unknown mengatakan…
pak teguh, coba bahas saham SCMA dong, ROE nya tinggi dan kelihatan menarik, terima kasih :)
Unknown mengatakan…
Pak teguh, mau tanya, utk perusahaan yg pembukuannya menggunakan USD, apakah lebih beresiko dibandingkan dg perusahaan yg menggunakan IDR? Soalnya saya sering melihat adanya kerugian karena penterjemahan kurs
Unknown mengatakan…
1. Indonesia akan baik-baik saja.
2. Ekonomi skrg yg sepi masih merupakan dampak sistemik dari pencabutan subsidi yg efeknya saya pernah bilang kurang lebih 3 tahun
3. Kebijakan pemerintah yg hanya di sektor supply ya ekonomi begini begini saja 2 tahun kedepan.
IHSG juga akan begini2 saja tahun ini dan tahun depan.
kalau mengharap IHSG anjlok sampai kepala 3 kog keliatannya nggak ya.. kalau saya melihat hal jni karena demand dan supply tidak seimbang sehingga terkesan sepi..

ARTIKEL PILIHAN

Live Webinar Value Investing, Sabtu 27 April 2024

Ebook Investment Planning Kuartal I 2024 - Terbit 8 Mei

Indo Tambangraya Megah: Masih Royal Dividen?

Laporan Kinerja Avere Investama 2022

Prospek Saham Energi Terbarukan, Kencana Energi Lestari (KEEN)

Prospek Saham Samudera Indonesia (SMDR): Bisakah Naik Lagi ke 600 - 700?

Perkiraan Dividen PTBA: Rp1,000 per Saham