Legacy Stock Series: Ultrajaya Milk

Warren Buffett pernah mengatakan, ‘Saya suka berinvestasi pada perusahaan yang sedemikian bagusnya, yang jika perusahaan tersebut dijalankan oleh seorang idiot maka hasilnya akan tetap profit’. Sudah tentu, ini bukan berarti kualitas manajemen perusahaan tidak penting, namun memang beberapa perusahaan lebih mudah dijalankan dibanding perusahaan lainnya, terutama jika perusahaan tersebut sejak awal memenuhi beberapa kriteria khusus seperti memberlakukan monopoli, memiliki kuasa untuk menentukan harga jual produknya, dan bisnisnya tidak dipengaruhi oleh naik turunnya kondisi makroekonomi.

Nah, jadi bagaimana jika penulis katakan bahwa ada beberapa perusahaan Tbk di BEI yang sedikit banyak memenuhi kriteria diatas, tapi tentu saja direkturnya bukan seorang idiot? Salah satunya Ultrajaya Milk Industry (ULTJ), dan memang perusahaan inilah yang akan kita bahas disini, okay here we go.

Sejarah PT Ultrajaya Milk Industry & Trading Company, Tbk dimulai pada tahun 1960-an ketika pendiri perusahaan, Bapak Achmad Prawirawidjaja (alm) memproduksi susu kemasan siap minum di rumahnya di Jalan Tamblong, Kota Bandung, Jawa Barat, dengan bahan baku susu tersebut terutama dibeli dari peternakan sapi di Pangalengan, Kabupaten Bandung. Usaha tersebut cukup sukses, namun ada satu problem: Susu hasil produksi hanya bisa bertahan selama beberapa hari, sehingga sering terjadi kondisi dimana susu tersebut sudah rusak sebelum sempat dijual/dikonsumsi, dan terpaksa dibuang.

Hingga pada tahun 1975, perusahaan menerapkan teknologi pengolahan susu secara UHT (ultra high temperature), dan bekerja sama dengan Tetra Pak asal Swedia untuk menggunakan kemasan karton aseptik (aseptic packaging), yang memungkinkan hasil produksi susu-nya menjadi jauh lebih tahan lama. Pada tahun ini pula perusahaan mengadopsi nama 'Ultrajaya'. Inovasi teknologi ini sukses besar, sehingga di tahun-tahun berikutnya ULTJ mulai memproduksi jenis-jenis minuman lainnya (jus buah, teh, dst) yang juga menggunakan teknologi UHT dan kemasan aseptik. Hingga pada hari ini, ULTJ memiliki satu pabrik produksi skala besar di Padalarang, Jawa Barat, yang memproduksi dan menjual susu UHT merk ‘Ultramilk’ dengan berbagai varian rasa, susu kental manis ‘Cap Sapi’, teh siap minum dengan merk ‘Teh Kotak’, minuman Sari Kacang Ijo, Sari Asem Asli, dan minuman sari buah. ULTJ juga memproduksi susu untuk perusahaan lain termasuk untuk ekspor, dan memproduksi jus merk ‘Buavita’ untuk PT Unilever Indonesia, Tbk. Secara keseluruhan ULTJ hanya fokus memproduksi dan menjual minuman, dengan lebih dari 95% diantaranya merupakan minuman UHT. Saat ini perusahaan dijalankan langsung oleh Bapak Sabana Prawirawidjaja (sebagai Presdir), yang merupakan generasi kedua perusahaan, dan juga Samudera Prawirawidjaja (sebagai Direktur), yang merupakan generasi ketiga. Keluarga Prawirawidjaja sendiri hampir tidak punya usaha lainnya selain ULTJ ini, sehingga disini kita punya tim manajemen yang berdedikasi penuh terhadap kelangsungan hidup perusahaan, dan sudah tentu mereka bukan ‘idiot’ karena sudah berpengalaman selama lebih dari setengah abad, jika dihitung dari Bapak Achmad sebagai generasi pertama.

Produk-produk minuman milik Ultrajaya, klik gambar untuk memperbesar.

Berikut adalah fakta-fakta penting terkait perusahaan.
  1. Merk susu Ultramilk merupakan pemimpin pasar susu cair UHT di Indonesia dengan pangsa pasar 42% per September 2018. Merk ‘Teh Kotak’ juga merupakan pemimpin pasar teh kemasan karton dengan pangsa pasar 71%. Personally, penulis sendiri menganggap bahwa susu Ultramilk adalah susu cair paling enak yang ada di Indonesia, bahkan lebih enak dibanding susu impor asal Eropa, dan Teh Kotak adalah minuman teh terenak kedua setelah Teh Botol Sosro. Jadi disini kita punya dua jenis produk minuman yang, meski tidak sampai monopoli, namun merupakan favorit konsumen di Indonesia.
  2. Di Indonesia, minuman favorit sebagian besar masyarakat adalah teh dan kopi, sedangkan konsumsi susu disini masih sangat rendah, hanya 12 liter per kapita (sebagai perbandingan, negara dengan konsumsi susu terbesar, yakni Finlandia, konsumsinya mencapai 361 liter per kapita). Namun demikian volume produksi susu di dalam negeri masih lebih rendah lagi, dimana sekitar 75% kebutuhan susu dalam negeri dipasok oleh impor, terutama dari Australia. Ini menyebabkan ULTJ tidak pernah kesulitan memasarkan produknya, bahkan meski mereka hampir setiap tahun menaikkan harga jual, karena biar bagaimana harga produk mereka lebih murah dibanding susu impor (sedangkan kualitasnya juga tidak kalah, malah lebih baik), dan alhasil pendapatannya naik terus dari tahun ke tahun. However, kecilnya produksi susu dari peternak sapi di dalam negeri juga menyebabkan ULTJ terpaksa mengimpor sebagian bahan baku susu-nya, sehingga hal ini juga berpengaruh terhadap kinerja perusahaan, terutama jika kurs Rupiah melemah.
  3. Meski bisnisnya mudah, namun manajemen ULTJ terbilang pekerja keras dimana mereka terus berekspansi, dengan tetap fokus pada usaha dairy dan minuman secara umum. Tahun 1981, ULTJ bekerja sama dengan Kraft Food Ltd, Amerika Serikat, untuk memproduksi dan memasarkan keju merk ‘Kraft’, meski kemudian kerjasama tersebut dihentikan tahun 2002. Tahun 1994 perusahaan mulai memproduksi susu kental manis, dilanjut dengan produksi susu bubuk pada tahun 1995, dan tahun 2008 perusahaan menjual merk dagang ‘Buavita’ dan ‘Go-Go’ ke Unilever, untuk kembali fokus ke produk susu. Di tahun 2008 pula, ULTJ mendirikan perusahaan peternakan sapi di Brastagi, Sumatera Utara, dalam rangka menciptakan suplai bahan baku susu sehingga tidak lagi terlalu bergantung pada peternakan sapi di Pangalengan, Bandung. Tahun 2010 perusahaan mendirikan peternakan sapi di Pangalengan, sehingga mereka kini mulai memiliki pasokan bahan bakunya sendiri, selain tetap membeli susu dari peternak rakyat. Tahun 2013, ULTJ mendirikan dua anak usaha di Jakarta dibidang produksi dan distribusi minuman. Dan tahun 2017 kemarin, ULTJ mendirikan anak usaha dibidang pengelolaan air di Cimahi, Jawa Barat. Kalau melihat jenis-jenis usaha yang didirikan oleh manajemen, maka cukup jelas bahwa manajemen berusaha menjadikan ULTJ sebagai perusahaan dairy yang efisien dan terintegrasi dari hulu hingga hilir. Perusahaan juga terus memperluas jaringan distribusi ke seluruh Indonesia termasuk ekspor, meningkatkan kapasitas produksi, dan meluncurkan banyak varian rasa baru sesuai selera konsumen. Dan kalau kita lihat lagi point dua diatas dimana volume produksi susu nasional masih jauh lebih kecil dibanding permintaannya, maka kalaupun ULTJ sukses meningkatkan kapasitas produksinya hingga 2 – 3 kali lipat, maka perusahaan tetap tidak akan kekurangan konsumen. Jadi, yap, ULTJ memiliki prospek jangka panjang yang sangat menarik, apalagi jika di masa yang akan datang konsumsi susu di Indonesia juga turut meningkat seiring dengan meningkatnya GDP per kapita nasional (negara-negara dengan konsumsi susu terbesar rata-rata adalah negara maju, dan Indonesia, meski pelan-pelan, terus tumbuh ke arah negara maju tersebut).
  4. Karena cashflow-nya sangat besar, maka ULTJ hampir tidak pernah butuh utang bank untuk menjalankan usahanya termasuk untuk ekspansi, dan alhasil pendapatannya relatif bersih dari beban bunga utang sehingga margin labanya terbilang besar yakni mencapai 15 – 20% pendapatannya, dan perusahaan kebal terhadap risiko krisis/terjadinya perubahan pada ekonomi makro. Perusahaan juga sudah memiliki unit distribusinya sendiri, sehingga ini juga membantu menaikkan margin laba. However, pendapatan dan margin laba ini harusnya bisa lebih besar lagi andaikata ULTJ memiliki pasokan bahan bakunya (baca: peternakan sapi-nya) sendiri. Tapi untungnya dalam 10 tahunan terakhir, memang itulah yang sedang dikerjakan oleh manajemen.
Kesimpulannya, kita disini punya perusahaan dairy yang sudah sangat mapan, punya merk yang kuat, merupakan pemimpin pasar di bidangnya, dikelola langsung oleh keluarga pendiri perusahaan (dan mereka fokus hanya menjalankan ULTJ saja), manajemennya pekerja keras (dan juga tidak pernah macam-macam, jadi gak kaya owner-nya AISA), dan memiliki prospek jangka panjang yang cerah. Kebijakan dividen perusahaan, dimana ULTJ hanya membayar sekitar 15 – 20% laba bersihnya sebagai dividen, juga menunjukkan bahwa manajemen masih punya banyak rencana jangka panjang untuk pengembangan perusahaan (jadi beda dengan emiten consumer lain yang biasanya menghabiskan labanya untuk dividen, karena mereka sudah gak berniat mengembangkan perusahan lebih jauh lagi). Jika ada kekurangan maka itu adalah fakta bahwa minuman susu tidak begitu disukai masyarakat Indonesia, termasuk ada kesan bahwa susu hanya cocok untuk anak-anak, tapi ingat sekali lagi bahwa produksi susu di Indonesia itu sendiri masih jauh lebih kecil dibanding volume permintaannya, sehingga tidak salah jika manajemen ULTJ memutuskan untuk fokus di produk susu ini saja, ketimbang bikin produk baru yang belum tentu ada pembelinya.

Okay, lalu bagaimana dengan sahamnya? Nah, jika beberapa tahun lalu Warren Buffett harus mengakuisisi ‘Kraft Heinz’ (yang juga memproduksi susu) pada harga yang mencerminkan PBV 9.0 kali, maka pada harga 1,250, berdasarkan laporan keuangan Kuartal III 2018, PBV ULTJ tercatat 3.2 kali. Tidak bisa dikatakan murah memang, terutama jika dibandingkan dengan saham-saham non-consumer, tapi untuk saham sebagus ULTJ ini maka mungkin kita memang gak bisa minta harga yang lebih rendah lagi, dimana kalau kita lihat historis valuasinya di masa lalu, maka ULTJ ini pernah juga dihargai pada PBV 4 – 5 kali. Yup, jadi PBV 3 kali tersebut terbilang relatif murah, termasuk juga jika dibandingkan dengan saham-saham consumer goods lainnya dengan kualitas fundamental yang kurang lebih setara seperti Kalbe Farma, Sido Muncul, Indofoof CBP, hingga Mayora Indah.

However, seperti saham lain pada umumnya, ULTJ tetap memiliki risiko. Pertama, kebijakan perusahaan yang ‘pelit’ dividen menyebabkan posisi kas-nya membengkak menjadi Rp2.3 trilyun, atau mencapai separuh ekuitasnya yang Rp4.6 trilyun. Ini artinya jika kita membeli saham ULTJ, maka separuh nilai buku perusahaan sejatinya merupakan uang tunai yang tidak menghasilkan apa-apa kecuali bunga deposito, dan alhasil PBV-nya yang 3.2 kali tadi mungkin tidak serendah kelihatannya. Diatas memang sudah disampaikan bahwa ULTJ punya rencana besar untuk membelanjakan kas tersebut (untuk ekspansi), tapi sayangnya realisasinya di lapangan sangat lambat (yang mungkin karena Pak Samudera, yang notabene generasi ketiga pemilik perusahaan, juga sudah berusia 53 tahun, sehingga beliau gak mau grasa-grusu seperti kebanyakan anak muda), termasuk sampai sekarang ULTJ hanya punya satu pabrik saja di Padalarang. Jika trend ‘kerja lambat’ ini terus berlanjut kedepannya, maka artinya investor pemegang saham ULTJ juga harus menunggu lebih lama lagi hingga perusahaan tumbuh menjadi benar-benar besar. Kedua, seperti disebut diatas, kinerja ULTJ dipengaruhi oleh kurs Rupiah, dan memang pada Kuartal III 2018 labanya sedikit turun (meski pendapatannya masih naik) karena pelemahan Rupiah. Ini artinya meski pendapatan ULTJ harusnya bakal naik terus, tapi proyeksi yang sama belum tentu berlaku untuk labanya.

Dan ketiga, saham ULTJ tidak pernah likuid, sehingga pergerakannya seringkali fluktuatif pada satu periode waktu tertentu, tapi kemudian bergerak mendatar para periode berikutnya (bisa sampai berbulan-bulan, salah satunya jika labanya turun pada kuartal tertentu), dan ini biasanya tidak disukai para trader jangka pendek. Meski demikian jika kita melihatnya dalam jangka panjang, katakanlah 5, 10, hingga 15 tahun kebelakang, maka ULTJ senantiasa naik terus, dimana pada April 2009 (10 tahun lalu), ULTJ masih di level 170, tapi sekarang sudah di 1,250, atau profit 7 kali lipat belum termasuk dividen. Thus, jika anda berminat dengan ULTJ ini, maka pertama-tama anda harus komitmen untuk memegangnya selama mungkin, dalam hal ini bukan lagi 1 – 2 tahun, tapi minimal 5 tahun. Jika anda berharap profit cepat, maka ULTJ tidak disarankan.

Nevertheless, dengan segala kelebihan dan kekurangannya, ULTJ tetap masuk kategori wonderful company untuk legacy stock versi Warren Buffett, dan bahkan penulis berpikir bahwa, kalau saja Berkshire melebarkan portofolio-nya termasuk ke negara dunia ketiga seperti Indonesia, maka hampir pasti ULTJ ini akan diambil alih. However, anda bukan Buffett, jadi silahkan anda tambahkan analisa dan pertimbangan milik anda sendiri sebelum memutuskan.

Untuk minggu depan kita akan bahas perusahaan yang kebalikannya dari ULTJ ini: Bukan wonderful company untuk investasi jangka panjang, tapi mungkin menawarkan profit besar dalam waktu singkat.

Buletin Analisis Arah IHSG & Stockpick Saham Bulanan edisi April 2019 sudah terbit! Anda bisa memperolehnya disini, gratis konsultasi/tanya jawab saham untuk member.

Follow/lihat foto-foto penulis di Instagram, klik 'View on Instagram' dibawah ini: Instagram

Komentar

doenk mengatakan…
ULTJ punya moat yg sangat kuat, tapi bukan berarti pesaing2nya ga bisa ngejar...inovasi yg kurang dr ultj dikhawatirkan membuka jalan untuk pesaing...d mana japfa ltd sudah gencar dengan susu ijo'nya..bahkan termasuk produk turunan susu
Raihan mengatakan…
Sangat disayangkan walaupun sedikit dia masih punya utang bank di q3 2018 pak, 2 M utk jk pendek dan 52 M utk jk panjangnya.. Semoga kedepannya bisa dilunasin deh.. Kas 2 triliun kenapa dah mesti masih ada utang bank 50 miliaran hahah
halley mengatakan…
Belum lagi owner nya masih kolek saham nya sendiri. Jadi bakal makin gak liquid ini saham. Mungkin mau go private saja. Secara perusahaan bagus kan. Mending dia punya sendiri
Unknown mengatakan…
Dear Pak teguh sekedar menambahkan saja untuk statemen berikut.

dan mereka fokus hanya menjalankan ULTJ saja

sebenarnya sabana prawirawidjaja juga sebagai pemilik mayoritas saham campina es cream pak. terimaakasih
Anonim mengatakan…
Tlg bahas jpfa mas...trims
Kandi mengatakan…
Analisa yang mantap, pak Teguh.. Ditunggu analisa berikutnya.
Sukses terus..
Made Gelgel mengatakan…
bagaimana jika dilihat dari sisi teknikal? apakah analisa ini perlu? terimakasih
Anonim mengatakan…
Pa Teguh bagaimana tanggapan anda terkait manajemen ULTJ yang menggunakan sebagian cashnya untuk membeli obligasi?
Trims
Anonim mengatakan…
mantapp pak pembahasannya.terima kasih.
Teguh Hidayat mengatakan…
Terima kasih tambahannya. Iya maksud saya Es Krim Campina masih satu produk dengan susu (bahan baku es krim itu ya susu), sehingga masih bisa disebut fokus di bidangnya. Dan harusnya mereka bisa bikin juga butter, keju, dst, tapi belum dilakukan.
Eulis mengatakan…
Analisa yg enak dibaca dan mudah dimengerti pak teguh. Sering2 bahas ginian ya pak
Morosepuh mengatakan…
Informasi owner kolek sahamnya indikasinya bagaimana ya ? menarik untuk disimak m

ARTIKEL PILIHAN

Ebook Investment Planning Q3 2024 - Terbit 8 November

Live Webinar Value Investing Saham Indonesia, Sabtu 12 Oktober 2024

Mengenal Investor Saham Ritel Perorangan Dengan Aset Hampir Rp4 triliun

Prospek Saham Samudera Indonesia (SMDR): Bisakah Naik Lagi ke 600 - 700?

Saham Telkom Masih Prospek? Dan Apakah Sudah Murah?

Mengenal Saham Batubara Terbesar, dan Termurah di BEI

Penjelasan Lengkap Spin-Off Adaro Energy (ADRO) dan Anak Usahanya, Adaro Andalan Indonesia