Prospek Saham Indah Kiat Pulp & Paper (INKP)

Hingga Kuartal II 2021, PT Indah Kiat Pulp & Paper, Tbk (INKP) membukukan laba bersih $283 juta, naik hampir 40% dibanding periode yang sama tahun 2020, dan mencerminkan ROE 12.5%. Kemudian yang menarik adalah valuasinya: Pada harga Rp7,400 per saham, PER-nya tercatat 4.9 kali, dan PBV 0.6 kali. Ditambah sahamnya cukup likuid, market cap besar (sekitar Rp40 trilyun), dan di masa lalu sahamnya pernah terbang sampai 20,000 ketika perusahaan memang membukukan kinerja yang sangat bagus di tahun 2018, maka praktis sahamnya sangat bisa dipertimbangkan secara value investing. Nah, tapi INKP ini sebenarnya perusahaan apa sih?

***

Ebook Investment Planning yang berisi kumpulan 30 analisa saham pilihan edisi Kuartal II 2021 sudah terbit, dan sudah bisa dipesan disini. Gratis tanya jawab saham/konsultasi portofolio, langsung dengan penulis.

***

Kalau dari bidang usahanya maka mungkin anda sudah mengetahui bahwa INKP ini adalah perusahaan kertas. Lebih spesifiknya, INKP adalah satu dari setidaknya empat anak usaha terpisah dari Asia Pulp & Paper atau APP, yang merupakan satu dari dua perusahaan pulp (bubur kertas) dan kertas terbesar di Indonesia (satunya lagi APRIL Group, milik konglomerat Sukanto Tanoto). APP sendiri merupakan salah satu unit usaha terbesar milik Grup Sinarmas, dan sahamnya dulu sempat listing di New York Stock Exchange (NYSE). Namun pasca krisis moneter 1998, dimana APP ketika itu menjadi salah satu dari sekian banyak perusahaan yang gagal bayar utang (default) di Indonesia, maka sahamnya ditendang keluar dari NYSE, dan sekarang menjadi perusahaan private. However, untuk dua anak usahanya yakni INKP dan PT Pabrik Kertas Tjiwi Kimia, Tbk (TKIM), saham keduanya masih terdaftar di BEI. APP juga memiliki dua lagi anak usaha dengan nama PT Lontar Papyrus dan PT OKI Pulp & Paper, dimana keduanya terdaftar BEI sebagai penerbit obligasi.

Dan yang membedakan INKP dengan anak usaha APP lainnya adalah di lokasi kepemilikan pabrik kertasnya, dimana INKP memiliki tiga pabrik di Perawang (Riau), Tangerang (Banten), dan Serang (Banten), sedangkan TKIM memiliki satu pabrik di Sidoarjo (Jawa Timur), PT Lontar memiliki satu pabrik di Tebing Tinggi (Jambi), dan PT OKI memiliki satu pabrik di Ogan Komering Ilir (Sumatera Selatan). Dari kepemilikan pabriknya maka kita bisa lihat bahwa INKP merupakan anak usaha terbesar dari APP, dan memang per 30 Juni 2021, INKP tercatat memiliki aset $8.5 milyar, terbesar dibanding semua sister company-nya diatas. INKP, seperti juga anak usaha APP lainnya, memproduksi pulp, kertas untuk keperluan tulis dan cetak (disebut juga kertas budaya), dan kertas industri yang mencakup kertas kemasan, kertas bungkus makanan, kertas karton, dan kardus untuk bungkus paket. Kemudian sejak tahun 2018 INKP juga memproduksi dan menjual kertas tisu. Sekitar 60% pendapatan perusahaan berasal dari ekspor terutama ke China dan negara-negara Asia lainnya, dan sisanya dari penjualan domestik. Dari sisi volume penjualan, maka antara tahun 2011 – 2020, angkanya terus naik meski tidak signifikan, dengan peningkatan terbesar dialami oleh volume penjualan kertas industri dan tisu. Selengkapnya bisa dilihat di tabel berikut (data volume penjualan INKP, angka dalam ribuan ton):


Kenapa Valuasi INKP Selalu Rendah?

Nah, jika kita lihat lagi kinerja INKP yang cukup baik dengan track record yang bertumbuh, rutin bayar dividen, plus fakta bahwa dia merupakan salah satu perusahaan terbesar di Indonesia sekaligus market leader di bidangnya (buku yang sekarang sedang anda baca, itu hampir pasti kertasnya dari APP), maka agak mengherankan jika valuasi sahamnya selalu rendah, karena dengan kriteria seperti itu maka harusnya valuasi INKP setara saham-saham blue chip. Jadi kenapa PBV INKP hampir selalu dibawah 1 kali?

Untuk menjawab itu maka boleh baca lagi diatas, dimana penulis menyebutkan bahwa APP sempat default pasca krismon 1998, dan gara-gara itu pula perusahaannya delisting dari NYSE. Nah, anda tahu berapa totalnya nilai utang yang gagal dibayar tersebut? Semua sumber yang penulis peroleh menyebut angka yang bervariasi, tapi kisarannya di $12 – 14 milyar, atau setara hampir Rp200 trilyun! Dan ingat bahwa ini adalah jumlah utang di jaman krismon dulu, sehingga jika memperhitungkan inflasi, maka pada hari ini angkanya lebih besar lagi.

But somehow APP hanya delisting saja tapi tidak sampai bangkrut, dan demikian pula anak-anak usahanya termasuk INKP masih beroperasi dengan normal sampai hari ini, dan masih membukukan laba pula. Jadi ceritanya, setelah APP dinyatakan default pada tahun 2001, maka di tahun-tahun selanjutnya Grup Sinarmas berjuang agar APP tidak dinyatakan pailit oleh Pengadilan, atau seluruh aset-aset APP bisa disita habis oleh para kreditor, ketika itu dibantu oleh seorang pengacara yang sekarang menjadi pengacara paling terkenal di Indonesia: Hotman Paris Hutapea. Dan upaya tersebut berhasil dimana APP ataupun anak-anak usahanya tidak ada yang sampai dinyatakan pailit, dan dari kesuksesannya dalam menangani kasus ini pula Bang Hotman kemudian menjadi kaya raya. Namun ‘sukses’ disini hanya sebatas tidak sampai bangkrut saja, dimana setelah kasusnya tuntas maka INKP dan anak-anak usaha APP lainnya tetap menanggung utang yang besar, meski nilai utang tersebut sedikit demi sedikit berkurang dari waktu ke waktu. Yup, pada tahun 2011, INKP tercatat memiliki utang $4.3 milyar, berbanding ekuitasnya $2.0 milyar.

Karena utangnya yang besar itulah, INKP harus membayar beban bunga yang juga besar, dan alhasil laba bersihnya selalu kecil (ROE hanya 3%, atau lebih rendah lagi), tak peduli meski pendapatannya naik terus. Ditambah masih belum pulihnya reputasi perusahaan karena pernah default di masa lalu, sedangkan manajemennya gak pernah ngomong apa-apa ke media terkait ekspansi usaha atau semacamnya (istilahnya gak pom-pom sahamnya), dan jenis usahanya juga tidak umum (satu-satunya perusahaan kertas yang cukup besar di BEI selain INKP adalah TKIM, yang notabene masih saudaranya INKP itu sendiri), maka jadilah investor tidak berminat dengan sahamnya, dan harganya tidak pernah kemana-mana.

Disisi lain meski labanya kecil, tapi INKP tidak pernah sampai merugi, dan alhasil ekuitasnya naik terus. Dan karena harga sahamnya sendiri gak kemana-mana, maka jadilah PBV-nya terus turun, hingga PBV tersebut cuma 0.1 kali (yup, anda tidak salah baca) pada tahun 2016 di harga saham 1,000, dan berdasarkan nilai ekuitasnya ketika itu yakni $2.8 milyar. Memasuki tahun 2017, barulah INKP untuk pertama kalinya membukukan kinerja yang tampak meyakinkan, dimana labanya naik signifikan menjadi $413 juta dari sebelumnya $206 juta di tahun 2016, dan ROE-nya kali ini mencapai 12%. Pada awal tahun 2017 juga, tepatnya sekitar bulan Februari – April, Pak Lo Kheng Hong diketahui mengakumulasi INKP ini pada harga 1,000 – 2,000 senilai total Rp50 – 100 milyar, dan setelah itu sahamnya terbang. Memasuki tahun 2018, ternyata kenaikan laba INKP masih berlanjut menjadi $588 juta dan ROE-nya 15%, dan alhasil INKP lanjut naik lagi hingga sempat tembus 20,000 di bulan Agustus. Dengan asumsi beliau profit taking di harga pucuk, maka Pak LKH sukses meraup cuan Rp1 – 1.5 trilyun hanya dari satu saham INKP ini saja.

Memasuki tahun 2019, laba INKP kembali turun, tapi laba tersebut masih lebih tinggi dibanding labanya di tahun 2016, sehingga dalam jangka panjangnya trend pertumbuhan kinerja perusahaan terbilang masih positif. Kemudian memasuki tahun 2020 dan 2021 ini (hingga Semester I), labanya kembali naik, dan alhasil sahamnya juga naik lagi. Tapi yang perlu diperhatikan disini adalah, tidak hanya kinerjanya kurang konsisten dari tahun ke tahun, namun laba bersih INKP juga sering tampak turun sendiri pada kuartal tertentu, sebelum kemudian naik lagi di kuartal berikutnya. Karena disisi lain manajemennya sekali lagi gak pernah promosi apa-apa (jadi beda banget dengan Grup MNC misalnya, yang pompom habis-habisan saham BABP), maka sahamnya bisa dengan mudah turun lagi ketika kinerjanya tampak kurang bagus, termasuk di tahun 2021 ini dimana INKP drop dari 14,000 di bulan Agustus, hingga kemarin mentok di 6,200 di bulan Agustus. Penyebab dari angka laba yang tidak konsisten tersebut kemungkinan karena sampai hari ini utang INKP masih besar (total liabilitasnya masih di kisaran $4 milyar), sehingga beban bunganya juga masih cukup besar, dan terjadinya fluktuasi kondisi ekonomi di negara-negara yang menjadi tujuan ekspor perusahaan, dimana itu kemudian mempengaruhi volume permintaan dan harga jual kertas. Sayangnya karena kertas bukanlah komoditas, melainkan merupakan produk hilir hasil olahan kayu (jadi beda dengan misalnya batubara, CPO, nikel dst, yang merupakan komoditas mentah), maka kertas tidak diperdagangkan di pasar berjangka, dan alhasil tidak ada patokan harganya. Hal ini pada gilirannya menyebabkan kinerja INKP kedepannya menjadi sulit diprediksi, apakah labanya akan naik atau turun.

Namun terlepas dari hal tersebut, penulis menilai bahwa INKP pada hari ini sudah jauh lebih baik dibanding 5 atau 10 tahun lalu, dan kedepannya perusahaan berpeluang untuk membukukan laba bersih yang besar dan konsisten, dengan alasan sebagai berikut. Pertama, meski penurunannya tidak signifikan, namun dalam jangka panjang jumlah utang INKP terus turun dimana terakhir angkanya $3.9 milyar, dengan mayoritas utangnya sekarang merupakan utang jangka pendek, yang itu menunjukkan bahwa nilai utang-utang jangka panjangnya yang mengandung bunga seperti medium term notes, wesel bayar, hingga utang obligasi, semuanya turun, sehingga beban bunga INKP juga turun. Dengan beban bunga utang yang sekarang lebih rendah, maka laba INKP kedepannya, meski tetap bisa naik dan turun, tapi ROE-nya tidak akan minimalis lagi seperti di masa lalu.

Kedua, ekuitas INKP terus bertumbuh, terakhir sudah $4.5 milyar, atau sudah lebih besar dari liabilitasnya, sehingga kita sekarang bisa mengatakan bahwa INKP memiliki keuangan yang sehat. Disisi lain INKP juga ada bayar dividen meski kecil, sehingga kita bisa katakan bahwa nilai pertumbuhan ekuitas INKP termasuk dividen sejatinya lebih tinggi lagi.

Dan ketiga, meski diatas dikatakan bahwa kinerja INKP kedepannya sulit diprediksi, namun prospek perusahaan secara umum terbilang cerah jika kita lihat lagi tabel volume penjualannya diatas. Perhatikan: Antara tahun 2016 hingga 2020, volume penjualan pulp dan kertas budaya relatif hanya naik sedikit, tapi volume penjualan kertas industri dan tisu meningkat signifikan. Kemudian berdasarkan komposisi pendapatan INKP, maka pada tahun 2019, 64.8% berasal dari pulp dan kertas budaya, dan hanya 35.2% dari kertas industri dan tisu. Tahun 2020, komposisi tersebut berubah menjadi 61.9% pulp dan kertas budaya, dan 38.1% kertas industri dan tisu. Pada Semester I 2021, komposisinya berubah lagi menjadi 58.6% pulp dan kertas budaya, dan 41.4% kertas industri dan tisu.

Jadi tambah kesini, persentase pendapatan dari kertas industri dan tisu semakin mendominasi pendapatan INKP secara keseluruhan, tapi itu bukan karena pendapatan INKP dari pulp dan kertas budaya-nya turun, melainkan nilai penjualan kertas industri dan tisu naiknya lebih tinggi. Dan anda tahu, kenapa penjualan kertas industri dan tisu itu naik signifikan? Benar sekali: Booming ecommerce dan layanan delivery makanan menyebabkan permintaan kardus untuk bungkus paket, hingga kertas bungkus makanan meningkat signifikan (karena sekarang ribet banget kalau mau dine in di restoran, dan pizza atau donat itu kan bungkusnya pake kertas?), sedangkan pandemi Covid-19 juga meningkatkan permintaan kertas tisu. Kemudian penulis sendiri tadinya berpikir bahwa permintaan kertas budaya bakal turun, karena sekarang ini siapa sih yang masih baca buku atau koran fisik? Sehingga jika dilihatnya dari situ, prospek INKP ini kurang cerah. Tapi kenyataannya itu tidak terjadi, setidaknya sampai dengan saat ini.

Sehingga, terlepas dari kemungkinan laba bersihnya akan tetap fluktuatif, namun INKP menawarkan prospek jangka panjang yang menarik, karena trend ecommerce seharusnya akan terus bertumbuh di tahun-tahun mendatang. Nah, tapi sekarang coba kita bicara jangka pendeknya: Pada Q2 2021 barusan, laba INKP tercatat kembali naik, yang kalau disetahunkan sudah hampir sama dengan labanya di tahun 2018 lalu, yakni ketika sahamnya sempat menyentuh 20,000, tapi sekarang INKP ini masih di 7,000-an, dengan PBV yang juga hanya 0.6 kali. Sehingga, dengan asumsi kondisi pasarnya akan lebih baik pada akhir tahun dan awal tahun 2022 nanti, maka INKP juga bisa naik signifikan seperti yang memang terjadi pada November 2020 – Februari 2021 lalu, terutama karena perolehan labanya sejauh ini sudah naik signifikan dibanding tahun 2019 maupun 2020. Sudah tentu, proyeksi ini bisa batal jika pada Q3 nanti laba INKP turun lagi. Namun dengan memperhatikan faktor-faktor yang sudah disebut diatas, plus kinerja INKP juga seharusnya tidak terlalu terpengaruh PPKM karena sebagian besar pendapatannya berasal dari ekspor, maka penulis optimis bahwa kenaikan labanya akan berlanjut setidaknya sampai akhir tahun nanti, sehingga demikian pula sahamnya akan lanjut naik, we’ll see!

***

Jadwal Kelas Online/Webinar Value Investing, Sabtu 25 September 2021, pukul 08.00 - 11.00 WIB, dengan pemateri Teguh Hidayat. Untuk mendaftar maka bisa klik disini.

Disclosure: Ketika artikel ini diposting, Avere sedang dalam posisi memegang INKP di harga beli Rp7,175. Posisi ini bisa berubah setiap saat tanpa pemberitahuan sebelumnya.

Dapatkan postingan via email

Komentar

Anonim mengatakan…
Dasar manusia tidak konsisten! beberapa waktu lalu anda sebut INKP tidak punya prospek karena ada pergeseran menuju era paperless, sekarang tulisan anda bertolak belakang. How can I trust you?
Dedy Kurniadi mengatakan…
sekarang udah terbang sahamnya pak teguh, padahal baru satu bulan setelah tulisan ini.

ARTIKEL PILIHAN

Ebook Investment Planning Q3 2024 - Terbit 8 November

Live Webinar Value Investing Saham Indonesia, Sabtu 12 Oktober 2024

Mengenal Investor Saham Ritel Perorangan Dengan Aset Hampir Rp4 triliun

Prospek Saham Samudera Indonesia (SMDR): Bisakah Naik Lagi ke 600 - 700?

Saham Telkom Masih Prospek? Dan Apakah Sudah Murah?

Mengenal Saham Batubara Terbesar, dan Termurah di BEI

Penjelasan Lengkap Spin-Off Adaro Energy (ADRO) dan Anak Usahanya, Adaro Andalan Indonesia