Ancaman Krisis yang Sesungguhnya

Anda tentu sudah cukup sering mendengar tentang bencana tumpahan minyak milik BP di Teluk Meksiko, atau Krisis Yunani. Bagi Indonesia, efek dari bencana-bencana ini tidak sebesar peristiwa krisis global yang melanda pasar modal pada 2008 lalu. Namun bagi Amerika Serikat dan Inggris, bencana ini cukup ‘ampuh’ untuk meredam pergerakan Dow dan Footsie setidaknya dalam 2 bulan terakhir. Saat ini Dow Jones berada di posisi 10,322, turun cukup jauh dari puncaknya pada 26 April lalu yaitu 11,205. Sedangkan FTSE berada di posisi 5,179, juga turun cukup jauh dari puncaknya yaitu 5,247. Saham BP sendiri, saat ini terpuruk di posisi 333.5, terjun bebas dari puncaknya yaitu 658.2. Sounds bad enough? Seorang ekonom terkenal mengingatkan kita bahwa kedepannya, masih ada ancaman krisis yang jauh lebih besar daripada sekedar krisis Teluk Meksiko ataupun krisis Yunani.

Pada selasa 22 Juni kemarin, Robert T. Kiyosaki menulis artikel berjudul ‘Think the Gulf Spill Is Bad? Wait Until the Next Disaster’. Ini link-nya http://finance.yahoo.com/banking-budgetingk/article/109881/think-the-gulf-spill-is-bad-wait-until-the-next-disaster. Inti dari tulisan tersebut adalah, Mr. Kiyosaki mengingatkan kita bahwa: ketidak pastian pergerakan bursa saham global akhir-akhir ini yang disebabkan oleh krisis teluk meksiko gara-gara tumpahan minyak milik BP, nggak ada apa-apanya dibanding 'bom waktu' dari produk-produk derivatif yang bakal meledak dan akan menimbulkan krisis yg jauh lebih parah, suatu hari nanti.

Apa itu produk derivatif?
Saya yakin sebagian besar dari anda sudah sangat paham, apa itu produk derivatif. Jadi saya akan memberikan definisi yang mudah bagi yang belum paham: Produk derivatif adalah produk yang ketika kita membelinya, waktu antara penerimaan produk dan pembayaran uangnya berbeda. Jadi kalau transaksi jual beli yang biasa kita lakukan sehari-hari adalah seperti kalau kita membeli sabun mandi di mini market, dimana kita membayar dan menerima sabun tersebut dalam waktu bersamaan, maka produk derivatif tidak seperti itu. Kalau sabun tersebut di-derivatif-kan, maka transaksi jual belinya menjadi seperti ini: anda menerima sabun tersebut sekarang dan boleh membayar belakangan (utang), atau sebaliknya, anda membayar sabun tersebut sekarang namun barangnya baru bisa akan anda peroleh kemudian (investasi).

Dari definisi diatas, maka anda akan melihat bahwa produk derivatif ini ada dua macam: utang dan investasi. Dan dua-duanya menjanjikan keuntungan berupa bunga bagi pihak yang memiliki dana atau barangnya. Jika anda membeli sebuah mobil dengan cara dicicil (utang), maka sudah pasti harga yang harus anda bayarkan jauh lebih mahal daripada jika anda beli secara tunai bukan? Sebaliknya, jika anda membeli sebuah sebuah polis asuransi kesehatan (investasi), maka premi yang anda bayarkan tentu jauh lebih murah dibandingkan jaminan yang akan anda terima untuk membayar biaya rumah sakit dan dokter jika anda sewaktu-waktu jatuh sakit.

Di dunia finansial, bank adalah salah satu broker terbesar dari produk-produk derivatif. Ketika anda menyetor tabungan atau deposito ke bank, maka sebagai pemilik dana atau investor, anda akan memperoleh keuntungan berupa bunga, katakanlah kalau untuk deposito sekitar 6% per tahun. Dan bank akan menggunakan dana milik anda tersebut untuk memberikan pinjaman kepada pengusaha atau pihak-pihak lainnya yang menjanjikan bunga yang lebih besar, katakanlah 15% per tahun. Maka keuntungan yang diperoleh oleh bank adalah selisih dari persentase bunga tersebut, dikurangi beban operasional dan lain-lain.

Mengapa bank dikatakan sebagai broker dari produk-produk derivatif? Sebab bank memang hanya menyalurkan kredit alias pinjaman kepada orang-orang yang menjanjikan sesuatu yang belum ada. Katakanlah seorang pengusaha meminjam uang ke bank sebesar 10 milyar untuk mendirikan sebuah pabrik. Pengusaha tersebut tentunya baru bisa mengembalikan pinjamannya tersebut kalau pabriknya sudah berdiri dan berproduksi, dan hasil produksinya laku dijual. Artinya, pabriknya belum berdiri ketika bank sudah menyalurkan pinjaman (kalau pabriknya sudah berdiri ngapain juga si pengusaha meminjam uang ke bank?). Berarti itu sama saja seperti anda meminjamkan sejumlah uang anda untuk pengusaha tersebut melalui perantara bank. Atau dengan kata lain, anda membeli sesuatu yang belum ada namun dijanjikan akan ada, dan keuntungan yang anda peroleh adalah bunga dimana bunga tersebut juga baru akan anda peroleh kemudian.

Dalam perkembangannya, bank kini bukan lagi satu-satunya institusi yang membeli dan menjual produk-produk derivatif. Sekarang sudah ada sekuritas, perusahaan jasa pembiayaan (leasing sepeda motor, dll), perusahaan asuransi, perusahaan komoditas berjangka, investment bank (Lehman Brothers dkk), perusahaan reksadana, dan lain-lain. Pada intinya mereka semua menawarkan produk yang sama: keuntungan berupa bunga atau jaminan dari investasi yang anda tanamkan, atau kemudahan untuk membayar belakangan dengan cara menyicil.

Mengapa produk derivatif dianggap sebagai ‘bom waktu’?
Karena waktu antara penerimaan barang dan pembayaran uang berbeda, maka terdapat resiko dimana bisa jadi uangnya ternyata tidak dibayarkan meski barangnya sudah diberikan, atau sebaliknya, barangnya ternyata tidak diberikan meski uangnya sudah dibayarkan. Para bankir atau ahli-ahli keuangan tentu saja sudah mengetahui cara-cara untuk meminimalisir resiko ini. Misalnya jika anda datang untuk meminjam uang sekian milyar ke bank, maka pasti akan ada orang bank yang datang untuk men-survey harta kekayaan anda, untuk mengetahui apakah anda bisa mengembalikan pinjaman tersebut atau tidak. Sebaliknya, anda tentu akan meneliti terlebih dahulu sebelum anda memutuskan untuk menanamkan uang anda di berbagai instrumen investasi, kecuali jika anda ingin merugi.

Meski yang namanya resiko memang bisa diminimalisir hingga sekecil-kecilnya, namun patut dicatat bahwa resiko tersebut tidak pernah bisa dihapus 100%. Contohnya tidak perlu jauh-jauh: dulu, hampir semua bankir percaya bahwa Aburizal Bakrie adalah pengusaha yang berdedikasi, sehingga mereka tanpa ragu mengguyur beliau dengan pinjaman yang sangat besar. Namun sekarang justru mereka sendiri yang kalang kabut setelah Bakrie hanya bisa menunda dan kembali menunda pembayaran.

Aburizal Bakrie. Sumber: icalbakrie.com

Beberapa tahun belakangan ini, popularitas produk-produk derivatif semakin menjadi-jadi seiring dengan semakin banyaknya orang yang membutuhkan dana, dan semakin banyaknya pula orang yang ingin menginvestasikan dana mereka. Disisi lain, berbagai institusi keuangan memang hanya menggantungkan pendapatan mereka dari produk-produk derivatif ini. Contohnya bank: jika tidak ada orang yang datang untuk meminjam uang dan menjanjikan bunga, lalu dari mana lagi bank akan memperoleh pendapatan? Maka selain semakin gencar mempromosikan berbagai program tabungan, bank juga kini mulai bersaing memperebutkan peminjam. Karena kebutuhan akan penabung dan peminjam sama besarnya, maka mereka (bank) mulai mengabaikan faktor resiko, dimana akhirnya para peminjam ini tidak diseleksi seketat sebelumnya. Inilah yang kemudian menjadi ‘bom waktu’. Contoh paling nyata adalah ketika krisis moneter 1998, dimana para konglomerat pengutang tiba-tiba bangkrut dan tidak bisa mengembalikan utang mereka ke bank. Akibatnya pemerintah harus menalangi utang tersebut, dan dana APBN sebesar Rp 600 trilyun menguap begitu saja untuk membail out beberapa bank yang dikemudian hari merger menjadi bank yang sekarang kita kenal sebagai Bank Mandiri. Nama yang tidak cocok sebenarnya, karena bank ini berdiri menggunakan uang milik kita (APBN), bukan uangnya sendiri.

Krisis global yang terjadi pada 2008 kemarin juga berakar dari masalah yang sama. Ketika itu, mortgage atau KPR sedang booming, dimana hampir semua orang di AS bisa memiliki rumah dengan cicilan hingga 50 tahun! Lalu dari mana uang untuk mendirikan rumah-rumah tersebut berasal? Ya dari bank. Dan bank sendiri bekerja sama dengan banyak lembaga keuangan lainnya seperti sekuritas, investment bank, dan lain-lain, untuk menjaring investasi yang lebih besar lagi, dan investasi tersebut digunakan untuk membangun rumah lebih banyak lagi. Kesalahan terbesarnya adalah, produk KPR tersebut dipasarkan secara membabi buta dan orang-orang yang mengajukan KPR tidak diseleksi dengan ketat terlebih dahulu (sekali lagi, mengabaikan faktor resiko), sehingga akhirnya jutaan bahkan puluhan juta orang belakangan tidak sanggup membayar cicilan rumahnya. Ketika kredit mulai macet, maka saat itulah bencana dimulai.

Seberapa besar ancaman bom waktu ini?

Mr. Kiyosaki mengingatkan kita bahwa bencana dari BP tidak ada apa-apanya dibanding bencana finansial pada 2008 lalu. Dan kalau saya boleh menambahkan, krisis global tahun 2008 lalu hanya disebabkan oleh satu jenis produk derivatif bernama mortgage. Selain mortgage, masih ada banyak sekali produk-produk derivatif lainnya yang siap menawarkan ledakan krisis yang jauh lebih besar. Dan produk-produk tersebut semakin lama bukannya semakin berkurang, namun justru bertambah. Misalnya kalau di Indonesia, untuk produk derivatif utang, anda tentu tahu bahwa sekarang ini siapapun bisa dengan mudah mengajukan kredit sepeda motor. Atau kalau untuk produk derivatif investasi, sekarang ini banyak sekali pilihan investasi dengan beragam resikonya masing-masing (termasuk saham). Semakin hari, produk-produk derivatif yang beredar semakin beragam, dengan faktor resiko yang semakin diabaikan. Bahkan kini ada istilah ‘high risk high return’, dimana tingginya resiko diabaikan hanya karena janji keuntungan yang besar. Dan inilah yang disebut Mr. Kiyosaki sebagai bom waktu.

Dan bom tersebut memang menyebar dimana-mana. Tahukah anda bahwa Amerika Serikat memiliki utang negara (belum termasuk utang-utang swasta) sekitar US$ 2 trilyun? Jumlah itu 20 kali lipat utang negara Indonesia yang ‘cuma’ US$ 100 milyar. Berbagai proyek prestisius seperti yang sedang dikerjakan di Dubai, pendanaannya juga bersumber dari utang.

Mungkin anda bingung: kalau semua negara, pihak swasta, dan orang-orang berhutang, lalu yang memberikan utang tersebut sebenarnya siapa? Jawabannya adalah masa depan, alias anak cucu kita. Yap, kita berhutang kepada mereka. Atau lebih tepatnya, kita mengambil dan menikmati kekayaan yang sesungguhnya bukan milik kita, melainkan milik anak cucu kita. Contohnya, ketika seseorang mengajukan KPR dengan jangka waktu pembayaran selama 50 tahun, maka jika kita meninggal sebelum utang KPR tersebut terlunasi (karena 50 tahun itu sangat lama!), utangnya akan diwariskan kepada anak kita.

Demikian pula ketika misalnya pemerintah AS menerbitkan surat utang sekian trilyun dollar dengan jangka waktu pembayaran katakanlah 30 tahun, dengan cicilan awal akan dibayarkan 10 tahun mendatang. Maka, yang menikmati uang hasil penjualan surat utang tersebut adalah pemerintah yang sekarang. Dan yang harus membayarnya adalah? Yap! Pemerintah AS pada 10 tahun hingga 30 tahun berikutnya. Konyolnya, bisa jadi pemerintah AS yang saat itu (10 tahun mendatang), akan menerbitkan surat utang baru sehingga utang tersebut tidak akan dibayar oleh mereka, melainkan oleh pemerintahan yang selanjutnya. Dan begitu seterusnya. Jadi bom tersebut tidak akan pernah dijinakkan, melainkan hanya berpindah tangan.

Kita tahu bahwa ledakan satu bom saja yang berlabel ‘mortgage’ sudah mampu membangkrutkan Lehman Brothers dengan meninggalkan utang sekitar US$ 590 milyar, dan juga beberapa bank besar lainnya di Amerika. Secara keseluruhan, ledakan bom mortgage pada 2008 telah merugikan dunia sekitar US$ 4 trilyun. Saat ini, total produk derivatif yang beredar di seluruh dunia diperkirakan mencapai US$ 700 trilyun, dan terus bertambah. Apakah anda bisa membayangkan bagaimana jadinya jika semua bom derivatif tersebut meledak sekaligus dalam waktu yang bersamaan?

Bagaimana dengan Indonesia?
Untungnya sebagai negara berkembang, produk-produk derivatif ini baru belakangan ini memasuki Indonesia. Namun untuk saat ini bom-bom derivatif memang sudah ada disekeliling kita. Saya yakin bahwa jika anda kebetulan memiliki simpanan dalam jumlah yang cukup besar di bank, katakanlah deposito Rp 1 milyar, maka tawaran investasi dengan iming-iming keuntungan berlipat dalam waktu sekejap akan datang menghampiri anda secara bertubi-tubi. Dan bentuk investasi tersebut rata-rata ya derivatif, dimana barangnya sebenarnya tidak ada, atau tidak nyata. Contohnya saham, reksadana, komoditas berjangka, obligasi, dan semacamnya.

Tanpa perlu diberi tahu pun anda pasti sudah tahu bahwa meski produk-produk derivatif tersebut menjanjikan keuntungan yang besar, namun resikonya juga tak kalah besarnya. Ingat bahwa uang yang anda setorkan tersebut akan dipakai oleh orang-orang tertentu, sementara anda tidak memperoleh apapun kecuali janji bahwa uang tersebut akan dikembalikan dengan bunga berlipat. Dan yang namanya janji bisa saja gagal ditepati bukan?

Lho, memangnya saham di IDX juga termasuk produk derivatif? Jadi begini. Berdirinya bursa saham di masa lalu bertujuan agar para pengusaha bisa membagi keuntungan perusahaannya kepada masyarakat dalam bentuk dividen, dan sebagai gantinya masyarakat menyetor modal dalam bentuk membeli saham perusahaan tersebut. Jadi di masa lalu atau pada awalnya, saham bukanlah produk derivatif, karena barang yang dibeli memang ada dan nyata (perusahaan). Namun seiring dengan bergulirnya waktu, ketika sebuah perusahaan memiliki kinerja yang bagus atau memiliki prospek yang bagus, maka harga sahamnya akan naik, dan permintaan investor terhadap saham perusahaan yang bersangkutan meningkat. Alhasil, daripada capek-capek menunggu dividen, kenapa tidak jual belikan saja sahamnya? Dengan cara membeli ketika harganya murah, dan menjual ketika harganya mahal. Keuntungannya bisa jauh lebih besar dibanding kalau menunggu dividen. Inilah yeng kemudian mennyebabkan saham bermutasi dari produk konvensional menjadi produk derivatif, sebab yang dijual sekuritas biasanya adalah prospek, dan bukannya kinerja perusahaan yang sudah terealisasi.

Sebagaimana produk derivatif lainnya, saham juga beresiko tinggi. Tak peduli sebaik apapun fundamental sebuah perusahaan yang sahamnya anda koleksi, namun jika salah satu saja bom waktu dari total bom sebesar US$ 700 trilyun diatas meledak sewaktu-waktu, maka nilai investasi anda akan segera anjlok tak bersisa. Dan kita tidak pernah tahu, kapan itu akan terjadi. Krisis global 2008 kemarin hanyalah salah satu contoh kecil.

Jadi bagaimana cara untuk mengantisipasinya?

Saat ini produk-produk derivatif termasuk saham, mau tak mau sudah menjadi sesuatu yang familiar dan ada di sekitar kita. Dan tidak bisa dipungkiri bahwa produk-produk tersebut memang bisa memberikan keuntungan yang besar jika anda bisa me-manage-nya dengan baik. Akan tetapi, jangan pernah sekalipun berpikir untuk menginvestasikan semua dana yang anda miliki kedalam produk-produk tersebut. Memang sih, high risk means high return. Tapi bagaimana kalau suatu ketika anda ketiban sial dimana semua risk menimpa anda namun semua return justru menghampiri orang lain? Karena baik di lantai bursa, di bank, atau dimanapun, anda tidak sendirian. Ada banyak investor lainnya yang juga mengharapkan keuntungan besar dalam waktu sekejap, tak peduli meski keuntungan itu hanya bisa diperoleh dengan cara yang merugikan anda sekalipun.

Jadi, selalu sisihkan dana anda untuk investasi yang aman dan nyata, seperti membeli tanah, dan semacamnya. Memang sih, yang namanya investasi tidak pernah ada yang benar-benar aman. Bahkan harga properti pun bisa saja turun sewaktu waktu. Tapi anda tentu bisa menyeleksi, mana jenis investasi yang resikonya rendah, dan mana jenis investasi yang resikonya tinggi. Komposisi idealnya adalah 80% untuk yang aman, dan 20% untuk yang high risk. Atau kalau anda memang suka berspekulasi, maka maksimal 40% untuk yang high risk, termasuk saham. Jangan pernah terlalu tergiur dengan istilah 'high return' karena sekali lagi, itu hanya janji yang bisa saja tidak ditepati.

Jika bom waktu US$ 700 trilyun diatas sewaktu-waktu benar-benar meledak, apakah ekonomi dunia akan hancur seluruhnya? Tidak. Yang hancur hanyalah yang berhubungan dengan produk derivatif saja. Ketika terjadi krisis global 2008 lalu, bursa saham kita memang anjlok, namun kondisi makro ekonomi dan sektor riil kita secara umum baik-baik saja. Jadi jika anda menyisihkan sebagian besar investasi anda pada sesuatu yang aman dan nyata, maka tak peduli meski bursa-bursa saham di seluruh dunia hancur lebur sekalipun, anda akan baik-baik saja.

Susahnya, di jaman sekarang sepertinya instrumen investasi apapun hampir pasti berhubungan atau dihubungkan dengan produk-produk derivatif. Termasuk juga deposito di bank yang sebenarnya resikonya relatif kecil, namun karena para bankir meminjamkan dana anda tersebut kepada orang-orang yang mungkin sejak awal memang tidak berniat untuk mengembalikannya, maka dana deposito anda bisa saja 'kering' secara tiba-tiba. Contoh paling mudah adalah kasus Bank Century.

Jadi pada akhirnya, anda harus tetap berhati-hati dengan pilihan investasi anda, apapun itu.

Komentar

Anonim mengatakan…
pertama-tama saya ingin mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya atas kesediaan mas teguh menulis info sebaik dan sepanjang ini....dan begitu sederhana namun jelas sehingga mudah dimengerti....bahkan ketika anda kelelahan, juga ngantuk habis nonton serunya piala dunia...he he he...ini namanya berusaha memenuhi "janji"....

dari apa yang saya baca, saya mulai paham tentang "risk" yang harus ditanggung seorang investor di pasar modal.....ini benar-benar menjadi peringatan kita semua untuk selalu bersikap hati-hati dan waspada....mengerem keserakahan....

namun, seperti yang sebagian orang lain yakini, ketika bursa anjlok dalam itulah saatnya mengoleksi saham-saham pilihan.....meski bagi saya pribadi masih timbul pertanyaan....berapa lama saham-2 "pilihan" itu akan pulih atau bisa memberikan gain...???

semoga kita semua tetap berhati-hati dan berusaha mengerem keserakahan yang berlebihan....

thx atas artikelnya mas teguh....semoga kebaikan dan kemurahan hati anda berbagi info akan membawa banyak manfaat bagi para trader....dan yang tidak kalah pentingnya, semoga anda semakin sukses dan murah hati dalam berbagi kesuksesan...

salam sukses....!
kami menunggu dan berharap terjadi krisis global lagi...kalu bias agak besar dikit,...agar harga saham jadi murah…. sebel banget nunggu ASII nggak diskon 80% lagi kayak 2008...

ARTIKEL PILIHAN

Ebook Investment Planning Q3 2024 - Sudah Terbit!

Live Webinar Value Investing Saham Indonesia, Sabtu 21 Desember 2024

Mengenal Investor Saham Ritel Perorangan Dengan Aset Hampir Rp4 triliun

Prospek Saham Samudera Indonesia (SMDR): Bisakah Naik Lagi ke 600 - 700?

Prospek PT Adaro Andalan Indonesia (AADI): Better Ikut PUPS, atau Beli Sahamnya di Pasar?

Pilihan Strategi Untuk Saham ADRO Menjelang IPO PT Adaro Andalan Indonesia (AADI)

Saham Telkom Masih Prospek? Dan Apakah Sudah Murah?