Menelaah Sektor Infrastruktur

Jika pertanyaan berikut ditanyakan kepada orang-orang, ‘Apa itu yang dimaksud dengan infrastruktur?’ Maka jawabannya biasanya, ‘Infrastruktur itu adalah jalan raya, jembatan, bandara, pelabuhan, dll.’ Itu karena orang pajak kalau ditanya oleh masyarakat awam tentang uang pajak kita akan dipakai buat apa, entah mengapa mereka selalu menjawab untuk bikin jalan dan jembatan. Padahal, konsep ‘infrastruktur’ jauh lebih luas dari itu. Menurut wikipedia, infrastruktur adalah (kalimatnya sudah saya permudah) struktur fisik maupun organisasi yang diperlukan untuk kelangsungan hidup masyarakat banyak atau operasional perusahaan. Atau dengan kata lain, infrastruktur adalah fasilitas atau layanan yang dibutuhkan oleh sebuah sistem ekonomi agar berfungsi dengan baik dan menghasilkan produk secara optimal.

Karena itulah, jenis infrastruktur berdasarkan wujudnya kemudian bisa dibagi dua: fisik dan organisasi. Infrastruktur fisik adalah seperti jalan raya, jembatan, dll yang sudah disebut tadi. Sementara infrastruktur organisasi biasanya terkait kebijakan pemerintah (jika yang dimaksud adalah infrastruktur untuk kegiatan ekonomi negara) atau kebijakan perusahaan (jika yang dimaksud adalah infrastruktur untuk kegiatan ekonomi perusahaan). Contohnya kebijakan perpajakan, subsidi, permodalan, asset management, konsultasi dll. Yup, jadi yang disebut dengan ‘subsidi’ adalah juga merupakan infrastruktur, karena itu merupakan fasilitas yang diberikan oleh pemerintah untuk mempermudah kelangsungan hidup masyarakat banyak.

Diluar infrastruktur fisik dan organisasi, ada juga infrastruktur ide (ideas) dan bidang studi (fields of study). Namun di artikel ini, pengertian ‘infrastruktur’ kita batasi menjadi infrastruktur fisik saja. Karena kalau kita masukkan infrastruktur organisasi sebagai bagian dari infrastruktur, maka perusahaan perbankan sebenarnya juga termasuk perusahaan infrastruktur, karena mereka menyediakan layanan (service) bagi masyarakat untuk mempermudah transaksi keuangan. Well, jadi dengan demikian mari kita sepakati kembali: Yang dimaksud dengan infrastruktur adalah jalan raya, jembatan, pelabuhan, bandara, infrastruktur telekomunikasi, kanal, waduk, jalan kereta api, infrastruktur kelistrikan, sekolah, rumah sakit, ruang terbuka publik, dan lain-lain.

Konstruksi jalan layang Antasari - Blok M, Jakarta, Proyek milik PT Waskita Karya

Berdasarkan klasifikasi yang dilakukan oleh BEI, berikut adalah beberapa perusahaan/saham yang tergolong sebagai saham infrastruktur. Untuk menyederhanakan, kita cantumkan kode sahamnya saja. Saham-saham yang tercantum disini belum termasuk saham-saham yang IPO pada Kuartal III 2012, atau saham dari perusahaan yang banting setir dari bidang lain ke bidang infrastruktur.

  1. Infrastruktur Energi: LAPD, PGAS, RAJA
  2. Infrastruktur Jalan Tol, Bandara, Pelabuhan: CMNP, JSMR, META
  3. Infrastruktur Telekomunikasi: BTEL, ISAT, INVS, FREN, TLKM, EXCL
  4. Infrastruktur Transportasi: APOL, BLTA, BULL, CASS, CMPP, GIAA, HITS, PTIS, IATA, MBSS, MIRA, MBSS, WEHA, TMAS, RIGS, SMDR, SDMU, SAFE, INDX, TRAM, WINS, ZBRA
  5. Infrastruktur Non-Bangunan: INDY, IBST, RINA, TOWR, SUPR, TBIG, TRUB.
Mungkin anda bertanya, lalu dimana posisi saham-saham konstruksi macam ADHI dll? Oleh BEI, saham-saham konstruksi tidak digolongkan sebagai saham infrastruktur, melainkan lebih dianggap sebagai ‘saudara jauh’ dari saham-saham properti, yang mungkin itu karena ADHI dkk lebih banyak memperoleh pendapatannya dari konstruksi bangunan properti, dan bukan konstruksi fasilitas umum seperti jembatan, jalan raya, dll. Namun jika anda menganggap bahwa saham-saham konstruksi juga merupakan bagian dari infrastruktur, maka berikut adalah saham-saham konstruksi tersebut: ADHI, PTPP, WIKA, DGIK, JKON, SSIA, dan TOTL. Dan satu lagi yang IPO kemarin, WSKT.

Diluar perusahaan-perusahaan konstruksi di BEI, terdapat juga perusahaan-perusahaan pendukung konstruksi, diantaranya perusahaan kabel, semen, dan besi dan baja. Logikanya jika dimasa mendatang nanti sektor infrastruktur beneran booming, dimana terjadi pembangunan infrastruktur hampir di seluruh penjuru negeri, maka kebutuhan akan kabel, semen, besi dan baja juga akan meningkat pesat, sehingga perusahaaan-perusahaan yang bergerak di bidang tersebut juga akan meraup peningkatan keuntungan.

Tapi itu kalau kita bicara masa depan yang belum pasti. Sementara kalau kita bicara mengenai data yang sudah ada, berikut ini adalah kurang lebih rangkuman kinerja dari perusahaan-perusahaan infrastruktur yang ada di BEI:

Energi. Kalau kita pakai contoh Perusahaan Gas Negara (PGAS), maka perusahaan ini merupakan salah satu perusahaan dengan kinerja dan fundamental terbaik di BEI, bahkan meskipun PGAS hanya berstatus sebagai perusahaan distributor gas, bukan produsen. Penyebabnya adalah karena PGAS hampir memonopoli pasar distribusi gas di Indonesia, khususnya gas untuk industri. Namun saat ini PGAS sudah berstatus sebagai perusahaan mature dengan total aset yang sangat besar, yakni US$ 3.6 milyar, sehingga relatif sulit untuk bisa berkembang dan tumbuh lebih besar lagi.

Jalan tol, bandara, dan pelabuhan. Nah, mungkin inilah jenis infrastruktur yang ‘paling merupakan infrastruktur’ dibanding jenis-jenis infrastruktur lainnya. Sayangnya, saham yang terdaftar di BEI yang bergerak di sektor ini cuma ada tiga, dan hanya Jasa Marga (JSMR) yang bagus. Citra Marga Nusaphala (CMNP) belakangan ini juga cukup bagus, namun konsistensi kinerjanya dalam jangka panjang masih dipertanyakan.

Baik JSMR maupun CMNP sebenarnya hanya merupakan perusahaan infrastruktur jalan tol, dan mereka gak membuat atau mengoperasikan bandara serta pelabuhan. Sementara dua perusahaan infrastruktur bandara yang ada di Indonesia, yakni Angkasa Pura I dan Angkasa Pura II, keduanya tidak listing di BEI. Sementara perusahaan infrastruktur pelabuhan yang ada di Indonesia, yakni Pelindo I, II, dan III, juga tidak listing di BEI. Namun ICTSI Jasa Prima (KARW) bisa disebut sebagai perusahaan pelabuhan pertama yang listing di BEI, setelah backdoor listing-nya ICTSI, sebuah perusahaan pelabuhan internasional asal Filipina. Tapi karena sebelumnya KARW ini cuma perusahaan tekstil yang ngak jelas hidup matinya, maka belum ada yang bisa diceritakan soal kinerjanya pasca peralihan bidang usaha perusahaan, dari perusahaan tekstil menjadi perusahaan operator pelabuhan.

Baik Angkasa Pura maupun Pelindo, keduanya merupakan BUMN. Ada dua lagi BUMN yang bergerak di bidang infrastruktur transportasi, tepatnya perkereta apian, yakni Kereta Api Indonesia (KAI) dan Industri Kereta Api (INKA). Namun seperti dua BUMN diatas, KAI dan INKA ini juga tidak listing di BEI.

Telekomunikasi. Perusahaan terbesar di sektor ini tentu saja Telkom (TLKM), dan kinerja perusahaannya juga cukup bagus. Namun seperti saudaranya sesama BUMN, yakni PGAS, kinerja TLKM tampaknya sudah sulit untuk berkembang lebih bagus lagi, karena ukuran perusahaannya sudah kelewat besar. Pertumbuhan kinerja TLKM sendiri sudah stagnan dalam lima tahun terakhir.

Sementara kinerja perusahaan-perusahaan lainnya di sektor ini, seperti XL Axiata (EXCL), Indosat (ISAT), Bakrie Telecom (BTEL), hingga Smartfren Telecom (FREN), malah cenderung berantakan. Kinerja EXCL mungkin agak mendingan sejak perusahaan diambil alih oleh Axiata Berhad tahun 2009 lalu, tapi kesininya malah melempem lagi. Bagi penulis sendiri, ini agak membingungkan, karena bukannya industri telekomunikasi itu industri yang menguntungkan? Tapi memang ada juga yang bilang bahwa industri telekomunikasi di Indonesia sudah mulai sunset, karena pentrasi kepemilikan telepon selular sudah mencapai hampir 100% penduduk Indonesia, sehingga sudah tidak ada celah lagi bagi perusahaan untuk berkembang.

Transportasi. Secara umum, infrastruktur transportasi dibedakan menjadi tiga, yakni darat, laut, dan udara. Di darat, tidak ada saham yang cukup menarik untuk dicermati. Di udara? Ada Garuda Indonesia (GIAA), tapi kinerjanya masih jauh dari kata bagus. Kalau di laut? Ada beberapa nama, seperti Berlian Laju Tanker (BLTA), atau Arpeni Pratama Ocean Line (APOL). Tapi kinerja mereka berdua boro-boro bagus, yang ada malah justru bermasalah. Well, penulis tidak tahu apa yang menyebabkan industri transportasi di Indonesia tampak sangat tidak menarik, namun yang jelas tidak ada saham yang bisa dilirik disini, setidaknya untuk saat ini.

Infrastruktur Non-Bangunan. Meski yang disebut dengan ‘infrastruktur non-bangunan’ itu jenisnya bisa jadi sangat banyak, namun saham-saham sektor ini yang listing di BEI bisa diklasifikasikan menjadi dua kelompok saja, yakni infrastruktur tambang, dan infrastruktur menara telekomunikasi. Untuk kelompok pertama diwakili oleh Indika Energy (INDY), dan untuk kelompok kedua diwakili oleh beberapa perusahaan, namun yang terbesar adalah Sarana Menara Nusantara (TOWR), dan Tower Bersama Infrastructure (TBIG). Baik INDY, TOWR, maupun TBIG, ketiganya memiliki kinerja yang cukup bagus. Sayangnya sejauh yang penulis amati, masalah utama di ketiga perusahaan tersebut adalah tipikal manajemennya yang cenderung ‘perusahaan aing, kumaha aing’, alias kurang memperhatikan kepentingan pemegang saham publik. Sehingga agak sulit bagi investor retail untuk bisa masuk kedalamnya jika tujuannya adalah untuk investasi.

Konstruksi. Seperti yang pernah penulis bahas di artikel sebelumnya (yang berjudul Waskita Karya/WSKT), perusahaan-perusahaan konstruksi di BEI kalau yang berstatus sebagai BUMN, secara fundamental mereka nggak begitu menarik, atau bahkan tidak menarik sama sekali. Namun yang berstatus perusahaan swasta, seperti Total Bangun Persada (TOTL), atau Surya Semesta Internusa (SSIA), maka mereka berdua termasuk bagus dan layak investasi.

Semen. Untuk sektor ini kita gak usah bicara panjang lebar lagi. Yang jelas semua orang sudah tau bahwa Semen Gresik (SMGR) dan Indocement (INTP) termasuk bagus, dan mereka berdua juga merupakan saham bluchip di BEI.

Kabel, besi dan baja. Sektor kabel mungkin salah satu sektor yang paling gelap di BEI, karena hampir semua perusahaan di sektor ini sahamnya nggak likuid. Jadi juga nggak ada yang bisa diceritakan, meski beberapa perusahaan seperti Supreme Cable (SCCO), dan Jembo Cable (JECC) sempat menarik perhatian karena kinerjanya melejit. Sementara sektor besi dan baja, well, kalau kita pake contoh Krakatau Steel (KRAS), maka sektor ini belum cukup layak untuk investasi.

Prospek dan Outlook Infrastruktur

Dalam perkembangan perekonomian suatu negara, infrastruktur memegang peranan yang sangat-sangat penting, dimana jika sebuah negara memiliki infrastruktur yang buruk, maka hampir pasti perekonomiannya juga jelek. Dan sayangnya Indonesia dari dulu hampir selalu merupakan salah satu negara dengan infrastruktur yang buruk tersebut. Berdasarkan data dari Bappenas untuk tahun 2011, Indonesia berada di peringkat 82 sebagai negara dengan infrastruktur terbaik di dunia, jauh dibawah Malaysia (peringkat 30), dan hanya sedikit lebih baik dibanding Vietnam (peringkat 83). Kalau anda pernah mampir ke Kuala Lumpur International Airport (KLIA), kemudian membandingkannya dengan Bandara Soekarno-Hatta milik kita, maka rasa-rasanya anda juga akan setuju bahwa kualitas infrastruktur di negaranya Siti Nurhaliza itu memang jauh lebih oke ketimbang disini.

Nah, oleh kalangan pengusaha, kekurangan infrastruktur di Indonesia ini disebut sebagai ‘bottle neck’, karena menyulitkan mereka untuk mengembangkan perusahaan dan pada akhirnya menghambat pertumbuhan ekonomi. Meski begitu, Indonesia ternyata tetap mampu mencatat pertumbuhan ekonomi yang cukup menonjol, yakni 6.5% pada tahun 2011 lalu, lebih tinggi dibanding 5.2% milik Malaysia untuk periode yang sama. Inilah salah satunya yang menyebabkan banyak pihak yang menyebutkan bahwa infrastruktur akan segera berkembang pesat di Indonesia. Karena pertumbuhan berbagai macam perusahaan dan sektor bisnis di Indonesia (yang pada akhirnya menciptakan pertumbuhan ekonomi) yang signifikan tersebut, mau tidak mau akan turut mendorong pembangunan infrastruktur di Indonesia untuk bisa menunjangnya, dalam hal ini terutama infrastruktur transportasi, telekomunikasi, dan kelistrikan.

Jadi istilahnya, lambat laut bottle neck tadi akan pecah dengan sendirinya. Pihak pemerintah sendiri tampak mendukung hal tersebut dengan meluncurkan Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi (MP3EI) sejak tahun 2010 lalu. Salah satu poin dalam MP3EI yang dianggap bisa mendorong pertumbuhan sektor infrastruktur adalah, Pemerintah akan berupaya untuk memperkuat konektivitas nasional yang terintegrasi secara lokal, dan terhubung secara global. Yang dimaksud dengan ‘konektivitas’ tersebut tentunya adalah infrastruktur transportasi dan telekomunikasi. Untuk transportasi, salah satu proyek yang paling terkenal mungkin proyek Jembatan Selat Sunda, yang direncanakan akan mulai dibangun pada tahun 2010 (eh, sekarang kan sudah tahun 2013?), dan akan mulai beroperasi pada tahun 2020. Sementara untuk komunikasi, proyek yang terkenal adalah Palapa Ring, yaitu pembangunan jaringan serat kabel optik sepanjang lebih dari 50,000 kilometer, baik di darat maupun laut, yang menjangkau seluruh penjuru nusantara. Jika proyek ini selesai, maka hampir bisa dipastikan bahwa internet di Indonesia nantinya tidak akan lemot lagi seperti sekarang, dan orang-orang yang tinggal di daerah terpencil akan tetap bisa memperoleh sinyal telepon. Proyek ini sudah berjalan sejak tahun 2010 lalu, dan dijadwalkan akan selesai tahun 2014 mendatang.

Satu lagi di sektor kelistrikan, Pemerintah melalui PLN sedang mengerjakan proyek pembangkit listrik 10,000 Megawatt dalam dua tahap, yang dijadwalkan selesai seluruhnya pada tahun 2014.

Salah satu pembangkit listrik milik PT PLN

Dan terakhir, pemerintah dalam beberapa tahun terakhir juga mendirikan beberapa perusahaan BUMN untuk menunjang pembangunan infrastruktur di tanah air, seperti PT Penjaminan Infrastruktur Indonesia (PII), PT Sarana Multi Infrastruktur (SMI), dan PT Indonesia Infrastructure Finance (IIF). Contohnya untuk PII, perusahaan dikabarkan siap untuk menjamin dan menanggung setiap risiko atas proyek pembangunan mass rapid transit (MRT) di Jakarta. So, secara keseluruhan, semuanya tampak menarik.

Jadi, dengan asumsi bahwa semuanya berjalan lancar, maka berikut ini adalah beberapa perusahaan infrastruktur di bursa yang mungkin bisa turut ketiban rejeki:

  1. TLKM dan beberapa teman sejawatnya seperti ISAT dan EXCL, terutama jika mereka bisa memanfaatkan perkembangan internet di Indonesia secara maksimal. Untuk handphone dan simcard-nya, mungkin semua orang sudah punya. Tapi untuk modem untuk koneksi internet, belum semua orang punya.
  2. Beberapa perusahaan kabel. Kalau proyek Palapa Ring dan 10,000 Megawatt yang tadi dibahas diatas berjalan degan lancar, maka kebutuhan akan kabel akan terus meningkat.
  3. Beberapa perusahaan konstruksi, terutama konstruksi untuk proyek-proyek pekerjaan umum. Namun seperti sudah disebut diatas, kebanyakan perusahaan konstruksi di Indonesia memperoleh pendapatannya dari konstruksi bangunan properti, bukan konstruksi jembatan atau semacamnya. Yang memenangkan tender untuk konstruksi pekerjaan umum biasanya perusahaan konstruksi BUMN. Sayangnya, ‘entah kenapa’ kinerja BUMN-BUMN konstruksi yang terdaftar di bursa relatif nggak begitu bagus, sehingga prospek kedepannya otomatis suram.
  4. Perusahaan semen, tentu saja. Namun ingat bahwa secara historis, perusahaan-perusahaan semen di Indonesia lebih banyak memperoleh pendapatannya (sekitar 70%) dari properti, bukan infrastruktur.
  5. Perusahaan besi dan baja. Sayang sekali lagi, meski prospeknya sebenarnya menarik namun belum ada perusahaan baja sekelas Arcelor Mittal disini. Seorang temen penulis bahkan mengatakan, kalau saja Arcelor Mittal diizinkan buka lapak disini, di Indonesia, maka Krakatau Steel dan lain-lainnya akan segera habis tak bersisa.
  6. Terakhir, perusahaan transportasi, baik infrastrukturnya (bandara, dll) maupun kendaraannya (pesawat terbang, dll). Sejauh ini hanya ada dua saham yang menarik untuk diperhatikan disini, yakni GIAA dan JSMR.
Well, that’s all. So now, what do you think? Satu hal lagi, jika kualitas infrastruktur di Indonesia benar-benar mengalami peningkatan, maka sebenarnya yang memperoleh keuntungan bukan hanya perusahaan-perusahaan yang sudah disebut diatas, melainkan seluruh perusahaan yang ada di Indonesia akan mengalami kemajuan, karena bisnis mereka menjadi lebih mudah. Dalam materi penjelasan mengenai MP3EI, disebutkan bahwa Indonesia akan mengalami pertumbuhan ekonomi 7 - 9% per tahun jika seluruh proyek infrastruktur yang direncanakan berjalan lancar, dimana angka pertumbuhan ekonomi tersebut tentunya bukan hanya disumbang oleh perusahaan-perusahaan infrastruktur, melainkan seluruh perusahaan di Indonesia dan tentunya aktivitas ekonomi masyarakat umum.

Prospek vs Realitas

Sebagai warga Jakarta, penulis termasuk yang berharap banyak ketika Jokowi terpilih sebagai Gubernur pada September lalu. Harapan penulis cuma satu: Jakarta terbebas dari macet, atau setidaknya kemacetan yang terjadi sedikit berkurang. Karena, anda tahu? Bepergian di Jakarta itu seperti mimpi buruk. Pilih naik mobil, macetnya setengah mati, kalau nyari parkir susah, belum lagi harus pake joki kalau masuk daerah three in one (I hate if there’s a stranger in my car!). Pilih naik transportasi umum? Coba saja anda sekali-kali naik bis Trans Jakarta, dan rasakan pengalaman nunggu sampe setengah jam atau lebih hanya untuk menunggu bis datang, itupun begitu dapet bis harus survive berdesak-desakan hingga untuk berdiri pun susah. Untuk kopaja dan lainnya, ceritanya bisa lebih horor lagi. Alhasil, satu-satunya pilihan yang masuk akal cuma sepeda motor, tapi itupun dengan risiko kehujanan dan baju yang kotor kena debu, asap knalpot, dan cipratan air, apalagi ketika musim hujan seperti sekarang ini.

Sebenarnya, dari dulu solusi untuk masalah transportasi ini sederhana, yakni sarana transportasi massal yang memadai, dan sarana jalan raya yang panjang dan lebar. Atau dengan kata lain, infrastruktur. Warga Jakarta mengalami kerugian sekitar Rp12 trilyun di jalanan per tahun akibat kemacetan ini, dan itu adalah karena infrastruktur transportasi yang sama sekali tidak memadai.

Akan tetapi, belakangan penulis berpikir bahwa mungkin tidak semudah itu juga menyelesaikan masalah transportasi di Indonesia, atau dalam hal ini masalah kemacetan di Jakarta. Karena, coba pikir, jika Jakarta memiliki sarana angkutan umum yang nyaman dan memadai, dan orang-orang beralih dari kendaraan pribadi ke umum, maka inilah yang akan terjadi.

  1. Jumlah orang yang bikin SIM dan STNK akan berkurang, yang itu berarti pendapatan pak polisi juga akan turun. Demikian pula, pendapatan negara dari pajak kendaraan akan berkurang.
  2. Pendapatan pom-pom bensin akan turun drastis
  3. Pendapatan perusahaan parkir di gedung perkantoran dan mall-mall juga akan turun
  4. Perusahaan-perusahaan otomotif akan protes karena mobil/motor anyar mereka nggak laku
  5. Pendapatan perusahaan jalan tol akan turun
  6. Pendapatan bengkel-bengkel mobil dan motor akan turun
  7. Perusahaan pengembang properti akan mengeluh apartemen mereka di pusat kota nggak ada yang mau beli, karena warga kini lebih berminat untuk tinggal di pinggir kota.
  8. Bahkan di level akar rumput, pendapatan dari pengemis, pengamen, tukang parkir liar, dan pak ogah juga akan turun, dan seterusnya.
Intinya, ketika disebutkan bahwa warga Jakarta mengalami kerugian sekitar Rp12 trilyun per tahun akibat kemacetan ini, itu bukan berarti duit sebanyak itu menguap begitu saja, melainkan berpindah tangan ke orang lain. Artinya jika Jakarta memiliki sarana infrastruktur transportasi yang sangat baik, dan imbasnya kemacetan berkurang, maka akan ada pihak-pihak yang ‘dirugikan’. Dan tentu saja pihak-pihak ini tidak akan tinggal diam jika ada upaya-upaya untuk meningkatkan sarana infrastruktur transportasi, dan mungkin itu sebabnya Jakarta masih aja macet sampe sekarang. Jadi kesulitan yang dihadapi oleh Jokowi dkk sebenarnya bukan masalah pembangunan infrastruktur transportasi itu sendiri, melainkan ‘perlawanan’ dari pihak-pihak tertentu yang sudah pasti akan keberatan. Penulis masih ingat dalam satu dialog di televisi, ada seorang anggota DPR yang secara tersirat menyatakan bahwa adalah wajar jika Jakarta sebagai kota besar mengalami kemacetan, karena kota-kota besar lainnya di seluruh dunia juga macet kok. Usut punya usut, ternyata dia memiliki beberapa pom bensin.

Nah, itu terkait infrastruktur transportasi. Tidak hanya di Jakarta, dulu pun pembangunan Jembatan Suramadu yang menghubungkan Surabaya dan Pulau Madura, sempat diprotes habis-habisan oleh para pedagang di kawasan Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya, karena mereka tahu bahwa mereka akan kehilangan omzet jika jembatan tersebut beroperasi. Dan seterusnya. Itu baru satu masalah terkait resisten dari pihak-pihak tertentu. Belum lagi masalah klasik seperti birokrasi, korupsi, dll.

Sementara terkait infrastruktur telekomunikasi dan kelistrikan, penulis tidak tahu apakah ada juga masalah yang sama, namun yang jelas faktanya sampe sekarang Indonesia belum memiliki infrastruktur telekomunikasi dan kelistrikan yang benar-benar memadai. Dan kedepannya belum tentu juga infrastruktur tersebut akan jadi bagus. Contohnya proyek pembangunan pembangkit listrik 10,000 Megawatt, meski memang on progress namun lambat sekali. Apakah proyeknya bisa selesai tahun 2014? Jujur saja, penulis ragu.

Anyway, mudah-mudahan itu hanya pesimisme kecil saja. Karena dulupun, orang-orang selalu bilang bahwa bisnis pembangunan apartemen gak akan sukses di Indonesia, karena masyarakat Indonesia lebih suka tinggal di landed house daripada harus tinggal dirumah gak ada halamannya begitu. Tapi nyatanya, sekarang apartemen berdiri dimana-mana, gak cuma di Jakarta tapi juga di kota-kota besar lainnya di Indonesia, dan pembelinya tetep aja banyak. Jadi meski sekarang ini infrastruktur yang layak di Indonesia masih merupakan suatu impian, tapi mudah-mudahan impian itu bisa terwujud suatu hari nanti.

However, jika ditanyakan bagaimana kira-kira prospek sektor infrastruktur dalam beberapa tahun kedepan, maka penulis akan menjawab, ‘Honestly, I don’t know.’

Komentar

Anonim mengatakan…
Orang jakarta TIDAK mungkin beralih dari kendaraan pribadi ke angkutan publik walaupun sudah ada MRT yang sebagus singapore sekali pun.

Penyebabnya simpel, gimana caranya warga jakarta pergi ke stasiun MRT? Naik metromini? Impossible.

Lha jalan kaki hanya 20 meter ke halte terdekat saja ogah, seenaknya mencegat kopaja di sembarang tempat.

Kuala lumpur, sudha punya monorel. Tapi hanya 18% pengguna jalan yang menggunakan angkutan publik. Sisanya tetap naik kendaraan pribadi
Anonim mengatakan…
Sungguh tulisan yang bagus. Selalu menanti setiap tulisan baru di teks ini. Belajar banyak dari sini. Thanks kepada Pak Teguh sharing ilmunya.
Anonim mengatakan…
kalau penulis suka nulis rekomendasi saham yg aktual tajam terpercaya...
ada bandar yg "resisten" ga? :p
hwhhw
Anonim mengatakan…
1 lagi yang bakal rugi perusahaan taxi dan rental mobil kayak yang baru ipo. Kayak gini model2nya 1 sektor untung, 1 lagi rugi yang rugi ya manufaktur cost transportationnya naik terus.
Ma' Name's D 3353 EN mengatakan…
indonesia bukan jakarta saja, jadi kalau jakarta nanti bebas macet, ya silahkan:
1. Calo SIM dan STNK dan polisinya buka lapak diluar jakarta.
2. Kalau pajak nya rendah ya tinggal dinaikkan saja pajak yang lain jado tinggi spti diluar negeri.
3. Yang punya pom-pom bensin alih profesi atau buka lapak baru di tempat lain, Indonesia luas bung
4. Perusahaan parkir silahkan alih profesi atau buka lapak baru di kota lain
5. Perusahaan-perusahaan otomotif mmg tidak ada masa depan, teknologi makin maju, bahkan Buffet pun menghindari emiten otomotif. It's 21st century, high speed train time.
6. Perusahaan jalan tol tinggal rubah tanah mrka jadi fungsi lain, properti barangkali atau ya jadiin jalur rel aja jd tgl dipake perusahaan kereta.
7. Bengkel-bengkel mobil dan motor ganti usaha jd bengkel pengolahan besi tua krna bakal banyak mobil dan motor yang dipensiunkan setelah besi tuanya abis lgsg ganti usaha delman atau becak mungkin nanti bakal booming dan bubble usaha2 itu dimasa depan.
8. Tanah di Indonesia luas begini koq jualan apartemen aya2 wae, ntar ky di china , ghost apartment hii seremmmm.
9. Pengemis, pengamen, tukang parkir liar, dan pak ogah bisa keeja sama bengkel mobil dan developer, krna akan diperlukan banyak tenaga untuk menghancurkan mobil dan motor serta apartemen yang sudah masuk masa pensiun.

Menyongsong Abad 22 tanpa polusi dan macet di Jakarta
Anonim mengatakan…
Macet itu yang rugi masyarakat banyak tapi yang untung segelintir pihak yang notabene udah kaya raya tapi rakus bin maruk.
Haryo mengatakan…
Tulisan yang bagus, tapi maaf saya kurang sependapat dengan pendapatnya. Pertama: "Perusahaan-perusahaan konstruksi di BEI kalau yang berstatus sebagai BUMN, secara fundamental mereka nggak begitu menarik, atau bahkan tidak menarik sama sekali." Seandainya tidak menarik kenapa perusahaan2 seperti WIKA dan ADHI bisa naik lebih dari 200% tahun kemaren? Kedua Oleh BEI, saham-saham konstruksi tidak digolongkan sebagai saham infrastruktur, melainkan lebih dianggap sebagai ‘saudara jauh’ dari saham-saham properti, yang mungkin itu karena ADHI dkk lebih banyak memperoleh pendapatannya dari konstruksi bangunan properti, dan bukan konstruksi fasilitas umum seperti jembatan, jalan raya, dll." Kalau anda lihat disini: http://www.megaci.com/research/Company%20Update/2012-07%20WIKA%20Update.pdf
Dari revenue breakdown Wika bisa dilihat diversifikasi usahanya, konstruksi properti yang anda maksud itu tidak sampai 50% pendapatan (pendapatan dari bangunan2 sipil selain properti itu banyak sekali). Jadi sebetulnya saya masih heran dengan pendapat2 anda tadi, terlebih seperti yang saya utarakan diatas, saham seperti Wika naik 200% lebih pasti karena future expectation of the market, selain karena bandar tentunya. Mohon tanggapannya, terima kasih
Anonim mengatakan…
thanks pak teguh semoga independensi blog anda tetap konsisten, sesuai dengan impian anda membangun Indonesia

Tetap semangat dan hati2 dalam membuat artikel, karena kami di medan juga sering update blog anda sekadar referensi trading.
alexander sitompul,SH (Medan)
Unknown mengatakan…
Trims sebelumnya pak Teguh atas tulisannya ttg infrastruktur ini.

Cuma mau tambahkan, mengenai perusahaan kabel,

Rata2 perusahaan kabel di Indonesia mempunyai kinerja perusahaan yg bgs, tp sayangnya kurang likuid saja.

Persh spti: KBLI, SCCO, JECC, KBLM, kalo dihitung nilai wajarnya berdsrkan kinerja data lampau, rata2 MOS (Margin Of Safety)-nya diatas 50%.
Benny mengatakan…
Pak Teguh, fyi untuk telkom, porsi pendapatan dari data banyak sekali. Saya lupa persisnya, tapi mungkin bisa di atas 50 persen, dan terus meningkat. Dan inilah yang akan dikejar terus oleh operator. Walaupun penetrasi telepon kita sudah tinggi, tapi penggunaan data masih belum. Jadi sektor ini menurut saya masih belum bisa dibilang sunset industry karena masih bisa berjembang. Terima kasih atas tulisannya!
Anonim mengatakan…
Terima kasih atas ulasannya pak teguh. Sebagai praktisi di dunia infrastruktur saya melihat potensi pembangunan Indonesia untuk 5 th ke depan sgt besar. Hanya masih perlu investasi luar sbg pendana. Selain itu hampir semua project2 besar saat ini dikuasai perusahaan karya yg mungkin bisa dibilang tdk terlalu peduli thd margin tapi lebih mengandalkan sales. Hal ini mengakibatkan para kontraktor swasta hrs turun pangkat menjadi subcont dr perusahaan karya2 tsb.

ARTIKEL PILIHAN

Live Webinar Value Investing, Sabtu 16 Maret 2024

Ebook Investment Planning Kuartal IV 2023 - Sudah Terbit!

Laporan Kinerja Avere Investama 2022

Peluang dan Strategi Untuk Saham Astra International (ASII)

Indo Tambangraya Megah: Masih Royal Dividen?

Indah Kiat Pulp & Paper (INKP) Bangun Pabrik Baru Senilai Rp54 triliun: Prospek Sahamnya?

Prospek Saham Energi Terbarukan, Kencana Energi Lestari (KEEN)