Mengenal 'Landbank', dan Aset Real Estate

Di artikel sebelumnya tentang landbank, ada yang menanyakan, bagaimana bisa harga rata-rata landbank milik Bumi Serpong Damai (BSDE) cuma Rp189,000 per meter persegi? Rasa-rasanya itu nggak mungkin lah, mengingat harga tanah di BSD City minimal jutaan Rupiah, atau bahkan ada yang mencapai puluhan juta Rupiah per meter persegi. Demikian pula dengan landbank milik Alam Sutera Realty (ASRI), apa bener harga rata-ratanya cuma Rp309,000 per meter? Sementara tanah kavling di kawasan Alam Sutera saja harganya ada yang diatas sepuluh juta per meter.

Nah, poin pentingnya disini adalah, harga rata-rata yang sebesar Rp189,000 dan Rp309,000 tadi (dan juga harga rata-rata landbank milik perusahaan properti lainnya), merupakan harga rata-rata dari seluruh landbank milik perusahaan yang bersangkutan. Jadi misalnya untuk BSDE, harga tersebut bukanlah harga landbank untuk yang di kawasan perluasan BSD City saja, melainkan juga untuk landbank yang di Bekasi, Bogor, Surabaya, Balikpapan, Cibubur, dan seterusnya. Dan untuk tanah di beberapa lokasi tertentu, harganya memang jauh lebih murah ketimbang lokasi lainnya. Landbank termahal milik BSDE adalah yang terletak di Jakarta Pusat seluas hampir 55 ribu meter persegi, dengan nilai buku Rp1.7 trilyun. Itu berarti, harga rata-ratanya Rp31 juta per meter. Faktanya kalau bukan karena landbank yang di Jakpus ini, maka rata-rata harga landbank milik BSDE bisa lebih rendah lagi.

Okay, lalu kenapa harga landbank milik perusahaan-perusahan properti bisa sangat murah begitu? Karena landbank adalah tanah yang sama sekali, penulis katakan sekali lagi: sama sekali, belum dilakukan pengembangan apapun. Jadi masih tanah kosong yang gak ada apapun diatasnya, dan juga masih jauh dari mana-mana (baca lagi paragraf diatas, lokasi landbank milik BSDE bukan terletak di tengah-tengah BSD City, melainkan di kawasan perluasannya, dimana disitu belum ada apa-apa). Disebut landbank, karena itu adalah tanah yang bisa ‘ditarik’ sewaktu-waktu oleh perusahaan properti yang memilikinya untuk kemudian diolah menjadi perumahan, apartemen, perkantoran, dan seterusnya. Jadi landbank ini adalah tanah yang masih ‘disimpan dalam rekening’, dan ‘bisa dicairkan’ sewaktu-waktu jika dibutuhkan untuk pengembangan properti.

Jika dianalogikan dengan perusahaan tambang batubara, maka landbank ini adalah seperti tambang batubara yang terletak di tengah hutan, dimana akses jalan kesana belum dibangun, fasilitas dan alat-alat berat untuk menambang batubaranya belum ada, dan batubaranya itu sendiri masih terletak jauh dibawah tanah dan belum digali. Dan menurut anda, apakah sebuah perusahaan batubara akan mau membeli tanah tambang tersebut pada harga yang sama dengan perkiraan nilai batubara yang akan mereka peroleh nantinya? Jelas tidak, karena masih dibutuhkan banyak upaya dan biaya sebelum batubara yang terpendam dibawah tanah tersebut bisa diangkut ke permukaan tanah, lalu dikirim ke pelabuhan, dan selanjutnya dijual ke pelanggan.

Nah, untuk landbank juga sama begitu. Kalau anda cari-cari tanah kavling di kawasan BSD City atau Township Alam Sutera, maka jangankan Rp200,000, anda cari yang harganya kurang dari Rp2 juta per meter juga jangan harap bisa dapet. Namun, landbank ini jelas sangat-sangat berbeda dengan tanah kavling tersebut. Sekedar info, seorang teman pernah memberi tahu penulis bahwa harga tanah di daerah Cianjur (Jawa Barat) masih ada yang cuma Rp5,000 per meter. Tapi taukah anda seperti apa tanahnya, dan bagaimana lokasinya? Well, yang jelas jangan harap tanah tersebut berlokasi di pinggir jalan besar, karena bahkan jalan setapak pun mungkin belum ada.

Disisi lain, sebuah developer bisa dapet landbank pada harga murah tentunya karena mereka belinya grosiran, sekali beli bisa puluhan bahkan ratusan hektar (1 hektar setara 10,000 meter persegi). Ini berbeda dengan konsumen biasa dimana membeli 1,000 meter saja tentunya sudah cukup besar. Tapi karena landbank ini adalah ‘tanah mentah’, maka tidak mungkin si developer akan langsung menjualnya dalam keadaan ‘mentah’ tersebut, melainkan tentunya harus ‘dimasak’ dulu hingga matang. Dan setelah matang, maka barulah bisa dijual kepada konsumen pada harga yang berkali-kali lipat lebih tinggi.

Dan terkait ‘tanah matang’ ini, itulah yang disebut sebagai real estate, yang kalau diterjemahkan secara bebas berarti ‘lahan yang sesungguhnya’, yang siap untuk dibangun rumah (tanah kavling), atau bahkan langsung dihuni jika memang rumahnya sudah berdiri. Yup, sementara landbank tidak bisa disebut sebagai real estate, karena itu masih ibarat tanah terpencil di tengah hutan yang kalau orang mau masuk kesitu saja udah susah.

Meski begitu, jika dibandingkan dengan aset real estate, maka aset berupa landbank lebih menjanjikan pertumbuhan keuntungan. Why? Ya karena dari nilai asalnya yang cuma ratusan ribu Rupiah per meter, jika nanti sudah diolah menjadi tanah kavling, misalnya, maka harga jualnya bisa meningkat berpuluh-puluh kali lipat menjadi Rp2 juta per meter atau bahkan lebih. Hal ini berbeda dengan tanah kavling itu sendiri yang meski harga jualnya masih bisa naik lagi seiring dengan berjalannya waktu, namun kenaikannya sudah tidak sedrastis sebelumnya lagi, dan itu belum termasuk memperhitungkan faktor penyusutan. Nah, hal inilah yang kemudian dilihat oleh investor, sehingga ketika mereka menganalisis saham-saham properti, salah satu poin yang mereka lihat adalah kepemilikan landbank perusahaan.

Sementara lahan berupa real estate, secara umum bisa dibedakan sebagai berikut:

1. Tanah yang dikembangkan (developed land), atau sedang dikembangkan (land under development). Jika sebidang tanah kosong (landbank) sudah mulai dibangun sesuatu diatasnya atau sekitarnya, katakanlah cuma satu ruas jalan kecil saja, maka landbank tersebut sudah berubah statusnya menjadi developed land, dan dengan begitu saja harga jualnya biasanya akan langsung naik. Tapi jika si developer menginginkan kenaikan harga yang lebih tinggi lagi, maka mereka tentunya harus membangun lebih dari sekedar ruas jalan di tanah yang bersangkutan.

2. Tanah dan bangunan dalam penyelesaian. Katakanlah sebidang tanah sudah dibangun jalan dan fasilitas umum lainnya, kemudian di tanah tersebut mulai dibangun konstruksi apartemen. Maka, sekali lagi harganya akan naik karena tanah tersebut akan mulai memperoleh uang muka pendapatan dari konsumen yang membeli apartemen. Namun harga jual apartemen itu sendiri biasanya masih murah, karena apartemennya memang belum jadi.

3. Tanah dan bangunan siap jual. Ketika apartemen itu sudah jadi, maka harganya hampir pasti akan jauh lebih mahal ketimbang harga ketika produk apartemen itu ditawarkan pertama kali, karena kini konsumen membeli properti apartemen yang sudah jadi. Dari sini, harga dari produk properti yang ditawarkan developer tentunya masih bisa naik lagi, tapi kenaikannya tidak akan sedrastis sebelumnya, karena harganya kini sudah di level harga konsumen.

Perumahan di Sentul City, Jawa Barat

Selain properti berupa bangunan seperti apartemen, ruko, perumahan, mall, hingga gedung perkantoran, beberapa jenis properti seperti tanah kavling perumahan dan kavling kawasan industri juga sudah merupakan tanah dan bangunan siap jual, karena dengan menjual tanah kavling tersebut, tugas developer untuk mengembangkan tanah kavling yang bersangkutan sudah selesai, dan kelanjutan pembangunannya terserah si pembeli. Tanah kavling ini tentu saja harganya lebih rendah ketimbang harga rumah (per meter perseginya), tapi jika lokasinya premium, misalnya persis disebelah kompleks perumahan yang sudah jadi, maka tentunya anda juga tidak bisa membelinya pada harga yang terlalu murah.

Okay, jadi kurang lebih itulah yang dimaksud dengan landbank dan aset real estate. Terus satu lagi, hanya karena sebuah perusahaan properti punya cadangan landbank yang banyak, maka itu bukan berarti perusahaan tersebut pasti akan sukses untuk bertumbuh di masa depan, melainkan masih tergantung oleh banyak faktor. Seperti yang sudah disebut diatas, yang dimaksud dengan landbank adalah tanah yang masih memerlukan banyak sekali pengembangan untuk kemudian baru bisa dijual pada harga tinggi. Sementara pengembangan properti bukanlah sesuatu yang mudah untuk dilakukan dan membutuhkan membutuhkan banyak sekali dukungan infrastruktur. Contohnya, kawasan Serpong mungkin tidak akan seramai sekarang ini jika jalan tol Jakarta – Serpong tidak pernah dibangun. Jika pada saat ini para perusahaan properti lebih memilih untuk mengambil landbank di kawasan-kawasan sekitar kota-kota besar seperti Jakarta, maka itu adalah karena landbank tersebut dikelilingi oleh infrastruktur yang lebih baik sehingga lebih mudah untuk dikelola menjadi proyek-proyek properti, ketimbang landbank yang di, katakanlah, pedalaman Papua.

Tapi intinya, dibalik potensi pertumbuhan nilai yang ditawarkan sebuah landbank, terdapat risiko yang juga cukup besar. Ketika sebuah perusahaan properti membeli landbank di kawasan antah berantah, maka sebenarnya mereka sedang sedikit berspekulasi, dimana jika mereka sukses menyulap tanah kosong tersebut menjadi kompleks perumahan mewah, maka mereka akan memperoleh keuntungan yang luar biasa. Tapi jika tidak, maka landbank tersebut pada akhirnya nggak akan jadi apa-apa (jadi jatohnya high risk high gain). Analoginya sama seperti jika anda membeli apartemen yang belum jadi pada harga Rp150 juta, dengan tujuan untuk bisa menjualnya kembali di harga Rp350 juta ketika apartemen tersebut akhirnya selesai dibangun. Namun dalam hal ini anda menanggung risiko dimana jika developer yang bersangkutan ternyata tidak mampu menyelesaikan apartemen tersebut hingga siap huni, maka uang Rp150 juta anda mungkin akan menguap begitu saja.

However, ada juga argumentasi yang menyebutkan bahwa tanah jenis landbank adalah jenis investasi yang paling aman bagi perusahaan properti, karena harganya tidak mungkin turun, selain karena tidak adanya penyusutan seperti pada aset properti yang sudah jadi. Tapi benarkah demikian? Silahkan anda tanyakan hal itu kepada para investor saham senior yang pernah mengalami booming properti di tahun 1995 – 1996, anda akan tahu jawabannya.

Untungnya, sejauh ini belum ada tanda-tanda bahwa perekonomian makro Indonesia akan mengalami turbulensi, dan bahkan banyak pihak masih sangat optimis bahwa prestasi pertumbuhan ekonomi dalam beberapa tahun terakhir ini (saat ini Indonesia berada di peringkat kedua di dunia dalam hal pertumbuhan ekonomi, hanya kalah dari Tiongkok, tapi sudah unggul dibanding India) akan terus berlanjut hingga beberapa tahun berikutnya lagi. Dan kalau kita lihat sepuluh emiten properti yang ada di BEI, level leverage (utang) mereka masih normal (kecuali mungkin ASRI). Sementara ketika terjadi krisis mortgage di Amerika pada tahun 2008 lalu, penyebabnya adalah utang, dimana Lehman Brothers juga bangkrut karena tidak mampu menutup utang sebesar US$ 900 milyar. Namun ketika di Indonesia sudah mulai ada indikasi seperti itu (bubble properti karena utang), pihak otoritas moneter (Bank Indonesia/BI) langsung mencegahnya dengan menaikkan minimum uang muka pembelian properti. Well, tapi mungkin BI harus mengeluarkan kebijakan yang lainnya lagi, karena bubble-bubble tersebut sedikit banyak mulai menampilkan wujudnya kembali.

Komentar

Anonim mengatakan…
Tanah sejak jaman bahula memang naik terus. Ga ada istilah turun. Ketika inflasi, org beli properti utk hedging. Ketika ekonomi membaik, org juga beli properti. Kejatuhan properti tahun 1998 karena krisis (force majeur). Jgn d campur. Skrg ekonomi dunia sdg berangkat dari bust ke boom. Artinya ekonomi sdg membaik. Dgn arti credit dr perbankan lancar. Jika kita lihat, harga properti skrg d bandingkan tahun 1995 ud naik brp. Tahun 1996 beli ruko di gajah mada hanya 200jt, skrg mau jual 80M saja org" rebut. Padahal saya ga ad uang buat renovasi tp mau dijual sayang. Itu dgn kondisi ruko bekas kerusuhan. Di dunia ini tidak mengenal harga properti jatuh selama 10 tahun yg ada naik 10 tahun berturut" dan alami koreksi kemudian terbang lagi. Demikian pandangan saya.... Thanks. Thomas
Anonim mengatakan…
Mas Teguh kalo bs disarankan, harga landbank jgn pakai harga saat pembelian lahan. Tp pakai harga pembukuan saat ini kalau bs harga riil. Soalnya kalau pakai harga pembelian, itu tidak tepat untuk menghitung net asset value dan profit margin. Sehingga nanti untuk perhitungan fundamental perusahaan jadi kemahalan. Padahal dgn sebidang tanah 300m2 saja pengembang bisa menjual rumahnya seharga 3-5M. Dan selain masalah tanah, properti harus perhatikan externality dan snowball effect. Properti itu sektor yg menurut saya monopoli. Pengembang akan memonopoli kawasan tsb. Sehingga externality dan snowball effect sangat tepat untuk menilai perusahaan properti bahkan lebih akurat daripada menggunakan per, pbv, dsb. Dan dalam lahan, ga semua tanah bs d bangun. Ada beberapa ga bs diantaranya difungsikan sebagai penghijauan, daerah resapan air, tanah yg bwahnya batu keras (Ga bs d bgun rumah), dll.
Anonim mengatakan…
Sambung dari atas (Maaf agak panjang). Faktor" yang harus diperhatikan bilaingin tahu perusahaan di bidang property memiliki kinerja bagus dan masa depan yang cerah:
1. Kita harus lihat pertumbuhan ekonomi. Sebab permintaan thdp property sangat sensitif thdp pertumbuhan ekonomi. Ekonomi yg pertumbuhan nya tinggi akan meningkatkan daya beli masyarakat. Daya beli masyarakat akan meningkatkan permintaan atas property.
2. Tingkat suku bunga riil. Misalnya anda nabung di bank dapat bunga 4% dan inflasi 5% maka bunga riil yg anda dapat minus 1%. Daya beli anda merosot krn harga naik lebih tinggi dari pendapatan bunga anda. Maka anda akan berpikir lebih baik menaruh uang diaset lain ketimbang deposito.
3. Lokasi Property. Lokasi di kota tentu lebih baik drpd lokasi di hutan.
4. Landbank perusahaan property. Landbank yg besar tentu jauh lebih menarik dr yg kecil, terutama saat ekonomi tumbuh tinggi, krn harga tanah naik terus.
5. Segmen market yg dipilih. Segmen atas tentu menghasilkan value-added atau NPM yg lebih tinggi dibandingkan segmen bawah.
6. Balance Sheet Company. Kalau banyak utangnya tentu jelek dibandingkan yg utang nya sedikit.
7. Faktor demografi. Pertumbuhan penduduk di suatu daerah menentukan berapa tinggi permintaan.
8. Net Asset Value dibandingkan dgn book value sbg worst case scenario seandainya anda membeli saham property yg bankrut.
Thomas
Anonim mengatakan…
"Tanah sejak jaman bahula memang naik terus. Ga ada istilah turun"

yeah, right. Orang juga bilang hal yang sama persis mengenai emas. Emas naik terus, gak mungkin turun. Padahal faktanya harga emas jatuh dalam pada tahun 1982 dan kemudian sideways selama 20 tahun lebih.

Harga selalu ditentukan oleh permintaan dan penawaran. Sekarang semua pengembang pada berlomba bangun proyek baru besar2an. Supply meningkat tajam. Sedangkan harga meningkat pesat, orang yang mampu beli makin dikit. Blm lagi ditambah jika suku bunga naik, bunga KPR juga naik. Artinya? Mestinya harga tanah dan rumah akan turun. Mungkin gak akan hancur a la mortgage amrik 2008 lalu, tapi tetap saja akan turun.
Anonim mengatakan…
Pak teguh saya mau tanya mengenai prospek bisnis kawasan industri seperti best, lpck dan kija..terima kasih
Anonim mengatakan…
Pak Teguh bagaimana caranya melihat jumlah landbank sebuah perusahaan property dalam laporan keuangan?
Anonim mengatakan…
Properti bisa saja turun.liat aja 2008.atau search google harga properti ada grafiknya tu berbagai negara bahkan sampe 100th

ARTIKEL PILIHAN

Ebook Investment Planning Q3 2024 - Sudah Terbit!

Live Webinar Value Investing Saham Indonesia, Sabtu 21 Desember 2024

Mengenal Investor Saham Ritel Perorangan Dengan Aset Hampir Rp4 triliun

Prospek PT Adaro Andalan Indonesia (AADI): Better Ikut PUPS, atau Beli Sahamnya di Pasar?

Prospek Saham Samudera Indonesia (SMDR): Bisakah Naik Lagi ke 600 - 700?

Pilihan Strategi Untuk Saham ADRO Menjelang IPO PT Adaro Andalan Indonesia (AADI)

Saham Telkom Masih Prospek? Dan Apakah Sudah Murah?