Antara Pajak, Inflasi, dan Return Investasi

Apa itu inflasi? Saya yakin teman-teman akan setuju jika inflasi diartikan sebagai meningkatnya harga-harga secara umum dan terus menerus. Tapi menurut saya itu hanya mitos. Inflasi menurut saya adalah cara pemerintah menarik pajak dari rakyatnya dengan cara mencetak uang baru sehinga jumlah uang yang beredar lebih banyak dari jumlah barang yang beredar.

Catatan: Sebelum anda melanjutkan membaca, perlu dicatat bahwa artikel ini bukan ditulis oleh Teguh Hidayat, melainkan oleh salah seorang kontributor.

Banyak orang ingin kaya. Mereka bekerja keras untuk meningkatkan jumlah nol di rekening mereka, namun mereka tidak menyadari meskipun jumlah nol di rekening mereka meningkat namun nilainya menurun.  Misalkan anda punya uang  Rp60 juta di tahun 2008, kemudian uang tersebut anda investasikan ke deposito dan ditambah dengan hasil kerja keras anda uang tersebut menjadi  Rp90 juta di tahun 2013. Terlihat nominal uang anda meningkat Rp30 juta atau 50% dalam 5 tahun.  Anda bahagia, karena kekayaan anda meningkat.

Tapi benarkah demikian? Ternyata tidak! Di tahun 2008, uang anda yang senilai Rp60 juta bisa membeli 10 ton beras pada harga Rp6,000 per kilogram. Namun di tahun 2013 uang anda yang senilai Rp90 juta ternyata hanya bisa membeli 9 ton beras (Rp10.000/kg). Bukan inflasi, namun pajak-lah yang menyebabkan nilai mata uang anda menurun meskipun nominal uang anda bertambah.

Ada dua cara pemerintah menarik pajak. Yang pertama, dengan cara terang-terangan. Misalnya laba perusaahan anda Rp1 miliar, dipotong pajak 25% menjadi  Rp750 juta.  Contoh lain ada makan direstoran Rp100,000 dikenakan pajak 10% sehingga jumlah yang harus anda bayar Rp110,000.

Yang kedua, dengan cara yang lebih halus dan tersembunyi, yang membuat anda tidak menyadari bahwa anda telah membayar pajak, yaitu dengan cara mencetak uang baru. Misalnya di negara Indonesia pada tahun 2013, jumlah uang yang beredar adalah Rp1,000. Luas tanah Indonesia 10 meter persegi, maka harga tanah akan menjadi Rp100 per meter.  Jika pemerintah di tahun 2014 mencetak uang 10% dari jumlah uang yang beredar, maka jumlah uang yang beredar akan menjadi  Rp1,100, sehingga harga tanah akan menjadi  Rp110 per meter di tahun 2014.

Jadi pada tahun 2014, anda harus membeli tanah pada harga Rp110 per meter, atau lebih tinggi Rp10 di banding tahun 2013. Kenaikan sebesar Rp10 tersebut merupakan pajak.  Jika anda menonton televisi maka pejabat negara akan  menyebut  kenaikan harga-harga barang sebagai inflasi. Padahal kenaikan harga tersebut adalah  ‘akibat’, sementara ‘penyebabnya’ tidak pernah dibahas. Wajar saja jika pemerintah menutup-nutupi penyebab kenaikan harga barang-barang ini, karena kita pasti akan marah jika mengetahui bahwa kita dikenai pajak melalui hak monopoli percetakan uang oleh negara.

Sang Pencetak Rupiah

Menurut saya cara kedua adalah cara menagih pajak yang paling adil. Warga menengah kebawah yang punya uang tunai Rp1 juta membayar pajak Rp100,000 pertahun. Warga menengah keatas yang mempunyai penghasilan Rp10 milyar membayar pajak Rp1 milyar. Jika anda pekerja kantoran, tangan pajak bisa menjangkau anda melalui perusahaan dimana pajak dipotong langsung oleh perusahaan. Tapi lain halnya dengan tukang bakso, tukang sayur, pengemis, pemulung, tukang ojek dan profesi sejenisnya, dimana mereka tidak kena pajak penghasilan atau pajak penjualan.

Padahal, jangan dikira mereka ini penghasilannya rendah. Seorang pemulung bisa meraup Rp100,000 – Rp200,000 per hari, 365 hari per tahun, jadi jelas bahwa penghasilan mereka sudah melewati batas kena pajak. Sayangnya penarik pajak tidak bisa menjangkau mereka secara langsung. Oleh sebab itu diperlukan cara untuk mempajaki mereka yaitu lewat inflasi, yakni inflasi yang menggerus nilai riil tabungan mereka. Kalau uang kertas diperbanyak jumlahnya, maka nilainya akan turun. Akibat selanjutnya adalah nilai riil tabungan turun.

Pajak ini, atau yang kita kenal dengan istilah inflasi, sangat penting untuk diperhatikan karena terkait return investasi. Beberapa orang investor atau fund manager membanggakan return investasi mereka yang diatas rata-rata pasar setiap tahunnya, namun melupakan fakta bahwa return tersebut belum ‘dipotong pajak’ berupa inflasi. Simpel saja. Pada tahun 2000, satu bungkus nasi di warung makan sederhana harganya Rp1,000. Sekarang? Sekitar Rp3,000. Ini artinya kalau nilai aset anda di saham pada tahun 2000 adalah Rp100 juta, misalnya, dan pada saat ini aset anda tersebut telah tumbuh tiga kali lipat menjadi Rp300 juta, maka sejatinya tingkat pertumbuhannya adalah nol persen, karena 300 juta pada hari ini nilainya adalah kurang lebih sama dengan 100 juta di tahun 2000.

Berikut adalah beberapa tips untuk menghindari pajak dalam wujud inflasi. Saya menyarankan agar anda:

  1. Jangan menyimpan uang tunai karena nilai uang tunai anda akan tergerus 10 - 11% setiap tahun. Sebagai gambaran, jumlah mata uang Rupiah yang beredar pada Januari 2013 tercatat Rp3,268 triliun. Dan pada januari 2014 uang yang beredar telah mencapai Rp3,649 Triliun, yang itu artinya pemerintah mencetak/menambah uang baru sebesar 11.6%. Untuk mengetahui perkembangan uang yang beredar silahkan buka link berikut: http://www.bi.go.id/id/publikasi/perkembangan/Pages/M2_april_2014.aspx.
  2. Jangan investasikan uang anda pada barang-barang yang nilainya terdepresiasi/turun dari tahun ke tahun. Contohnya: mobil.
  3. Jangan investasikan uang anda ke instrument investasi yang imbal hasilnya kurang dari persentase pertumbuhan jumlah uang yang beredar, dalam hal ini kurang dari 10 – 11% tadi. Deposito adalah salah satu contohnya.
  4. Jika anda berani mengambil resiko, maka investasikan uang anda ke saham. Silahkan baca-baca buku tentang Warren Buffet atau semacamnya.
Di Indonesia, memang sulit untuk mengalahkan inflasi karena rate inflasi itu sendiri sangat tinggi, dan ini berbeda dengan deflasi yang terjadi di Jepang.  Jika terjadi deflasi maka nilai uang akan naik dari tahun ke tahun, dan akibatnya harga barang-barang akan turun. Di Jepang uang anda cukup di simpan di bawah bantal, nilainya akan naik dari tahun ke tahun. Misalnya jika anda membeli rumah tahun 1990 seharga Rp1 miliar, sekarang anda mungkin hanya perlu membayar Rp300 juta untuk rumah yang sama.

Sementara saat terjadi inflasi maka kita harus menyimpan uang kita dalam bentuk barang. Namun menyimpan barang punya kelemahan, yaitu butuh waktu untuk mengubahnya menjadi uang cash, dan barang itu sendiri bisa lapuk dimakan usia (misalnya besi bisa berkarat). Jadi saya menyarankan agar anda investasi di tanah. Mengapa tanah? Tanah tidak bisa lapuk dimakan usia, hanya bisa dicuri atau diklaim orang kalau tidak dijaga. Berbeda dengan rumah, rumah masih bisa runtuh. Pemerintah bisa mencetak uang sesuka hati, namun pemerintah tidak bisa mencetak tanah. Jika pemerintah mencetak uang 10%, nilai riil tanah juga akan naik 10%.

Sebagai gambaran, pada tahun 2014, harga tanah di Jln. Rasuna Said, Jakarta, adalah sekitar Rp30 juta, sementara di Jln. Sudirman Rp50 - 60 juta per meter persegi. Jika dihitung dari tahun 1983 hingga 2014 atau kurang lebih selama 31 tahun, maka investasi di tanah di Jakarta kususnya di Jalan Rasuna said dan Sudirman telah memberikan return sekitar 14% per tahun, atau sudah lebih besar dari tingkat inflasi.

Selain tanah, emas juga bisa menjadi alat untuk melindungi nilai aset dari inflasi. Pada tahun 1996, harga emas adalah sekitar US$ 400 per oz, dan hari ini sudah menjadi US$ 1,323 per oz. Dengan mempertimbangkan kurs Rupiah yang pada saat itu (tahun 1996) adalah Rp2,500 per Dollar, sementara pada saat ini sudah menjadi Rp11,000 per Dollar, maka tingkat kenaikan harga emas selama delapan belas tahun terakhir juga sudah mengalahkan inflasi.

Baiklah, saya kira sudah cukup. Ada yang mau menambahkan? Saya terbuka untuk berdiskusi :)

Kontributor bernama Yudi Susanto.

Layanan preorder untuk pemesanan Buku Kumpulan Analisis edisi Kuartal II 2014 sudah dibuka! Keterangan selengkapnya baca disini.

Komentar

Anonim mengatakan…
Artikel bagus
Anonim mengatakan…
kalo soal gitu, saya ada rekomendasi buku bagus. Judulnya Unfair Advantage karyanya Robert Kiyosaki. Disitu dijelaskan bagaimana dia semakin kaya karena krisis subprime morgage 2008.
Anonim mengatakan…
Thank you Pak Yudi, ini artikel sangat informatif dan menambah wawasan. Tulisan juga mudah dicerna.
Anonim mengatakan…
Takjub dengan pemikiran Anda.

Saya tidak tahu apakah pemikiran Anda terbukti kebenarannya atau tidak, selanjutnya akan saya jabarkan pemikiran saya tentang penambahan uang yang beredar. Penambahan uang yang beredar tidak selamanya dimaksudkan pemerintah untuk what we say "Pajak", melainkan juga untuk mengimbangi pertumbuhan penduduk. Bayangkan bila penduduk Indonesia bertambah katakanlah 12% per tahun, jika tidak diimbangi dengan penambahan uang secara riil, maka 12 % yang baru ini tidak mendapat porsi sehingga mesti mengambil porsi 100% penduduk. Pasti terjadi deflasi. Maka dari itu menurut saya pemerintah menambah jumlah uang secara periodik :) Mohon maaf atas ke-soktau-an saya. Thanks :)
Anonim mengatakan…
Tulisan yg bagus, kita harus mengsinkronkan kenaikan portofolio kita dengan rate inflasi tersebut. Untuk investasi k tanah saya krng setuju. Karena risiko likuiditas. Dan beli tanah itu tipikal gamble. Beli dan berharap naik. Angkany pun ng pasti Kecuali tanahya dijadikan kebun, dll... Ada bbrapa instrumen utk letak uang yg lbih baik, contohny ASURANSI. Belum lama ini saya dipresentasi teman. Asuransi itu mengubah uang kecil menjadi uang besar. Dan Uang Pertanggungan (jiwa, kesehatan) adalah angka yang pasti. Brapa yg tertera itu yg akan kita terima ketika waktunya datang. Manusia pasti mati dan sakit, waktuny kapan saja yg blum kita tau. Syukur kalau datangny ktika kita sdh bnyk uang. Tapi kalau datangny ktika kita masih produktif kita akan terkena bencana finansial yg berat. Apalagi biaya rs smakin bengkak. Dan instrumen lain yg bgus adalah trading saham, resiko trgolong rendah asal kita ng trlalu greedy. Saya pribadi perbandingan invest & trading skitar 30:70
Anonim mengatakan…
artikel yg menarik. selama ini saya banyak membaca buku. byk dibahas ttg inflasi tp memang smua cuma bhs inflasi sebagai akibat. soal penyebab dan asal muasalnya br sekarang saya tahu.. Terima kasih.
Anonim mengatakan…
Artikel yang baik namun, in my humble opinion, perlu beberapa klarifikasi:

1. Setelah reformasi, pemerintah tidak bisa seenaknya menarik "pajak" dgn cara cetak uang. Itu kewenangan BI dan independensinya diatur Undang-Undang.

2. Faktor2 penyebab inflasi banyak sekali. Ada yg dibawah pengaruh langsung pemerintah spt subsidi BBM, tidak dibawah pengaruh langsung spt pelemahan rupiah akibat sentimen global, atau di tengah2 spt suplai kebutuhan pokok.

3. Walaupun terdengar menyenangkan, tetapi deflasi lebih tidak diharapkan dibanding inflasi.

CMIIW ya.. Terima kasih.
Anonim mengatakan…
Teori keuangan syariah, inflasi krn beban riba (bunga) bank. Harga barang sll ditambahkan bunga sehingga menggerus nilai uang. Lain jika bunga bank tdk ada atau minim, seperti jepang dan negara eropa. Maka terjadi deflasi. Bunga bank di indonesia sangat tinggi. 12-24% dan itu terjadi di lembaga utang piutang di masyarakat.
Anonim mengatakan…
Note : Kalau bank sentral menambah uang M2 10-11% per tahun, bukan berarti tingkat inflasi juga sama 10-11%.

Tergantung juga pada output ekonomi pada periode tersebut, misal supply uang tambah 10%, tapi output ekonomi naik 15%. Kalau begitu, bisa jadi berarti bukan inflasi, tapi malah deflasi.

Selain supply uang, output ekonomi, inflasi juga dipengaruhi oleh velocity money. Mau cetak uang berapa banyak pun, kalau uang itu tidak berputar ke perekonomian, ya sama saja bohong.
Anonim mengatakan…
Ikutan komen, mengenai emas, ada yang punya banyak opini ingin kembali ke mata uang emas saja. Alasannya emas itu stabil, kalau dulu satu ekor kambing = 1 gram emas, sekarang juga sama.

Sebetulnya mau uang (dalam konteks ini saya sebut "alat pembayaran") dalam bentuk manapun, masalah nya juga pasti sama. Kalau supply alat pembayaran lebih besar dari output ekonomi, maka mau tidak mau pasti terjadi inflasi. Demikian juga dengan emas. Karena itu tidak mungkin jika dengan memakai emas maka tidak akan terjadi inflasi.

Kalau memang demikian, maka yang terjadi pasti kebalikannya : pertumbuhan ekonomi yang terhambat oleh pertumbuhan supply emas. Misal supply emas hanya meningkat 5% setahun, padahal ekonomi seharusnya punya potensi untuk tumbuh 10%, tapi karena supply mata uang yang terbatas, maka ekonomi pun tidak bisa mencapai potensi maksimalnya.
Yudi mengatakan…
Saya Ingin menanggapi pemirikan saya terbukti atau tidak. Sebenarnya sejarah sudah membuktikan bahwa jika uang yang beredar bertambah sementara jumlah barang tetap maka harga akan naik. Lihat negara Zimbabwe, penduduknya sekarang banyak yang menjadi Triluner. Di negara kita sendiri dulu pada priode penjajahan Belanda sebelum tahun 1930 mata uang yang kita gunakan bernama Gulden(mata uang jaman penjajahan Belanda) Pada priode ini harga barang tidak beranjak kemana-mana alias tetap karena uang tidak dicetak seenaknya. Pada tahun 1996 jumlah uang yang beredar sekitar 280 Triliun, saya masih ingat uang 25 rupiah bisa membeli 1 buah permen. Mengapa di tahun 2014 saat uang beredar berjumlah kuarang lebih 3800 Triliun tidak ada lagi uang pecahan 25 rupiah dan harga 1 permen menjadi 250 Rp, 3 permen 500. Itu adalah bukti semakin bertambah uang yang beredar semakin harga naik.

Ada punya metode normalisasi untuk menghitung pengaruh pertambahan uang yang beredar misalnya pada beras.
Diketahui harga beras tahun 2002 = 2908 per kg. Uang yang beredar saat itu 870 trilun. Berapakah harga beras saat uang yang beredar 2300 trilun.
Jawab: 2908/870 T= x/2300 T . x= (2908x2300)= 7686 rupiah perkg. Hasil normalisasi menunjukan harga beras untuk tahun 2010 dengan jumlah uang yang beredar sekitar 2300 triliun adalah 7686 per kg.Harga normalisasi ini hampir sama dengan harga sebenarnya dilapangan yaitu 7601 rupiah perkg.Silahkan buka situs ini kalau tidak percaya untuk harga beras dan jumlah uang yang beredar bisa kalian lihat di situs ini : http://answers.yahoo.com/question/index?qid=20110121180040AAodLF4
http://www.tradingeconomics.com/indonesia/money-supply-m2
Bagaimana dengan harga emas, coba teman2 normalisasi sendiri thn 1996 harga emas 400 dolar, rupiah 2300, jumlah uang yang beredar 230 triliun. Di tahun 2014 dengan uang yang beredar sekitar 3800 Trilun , rupiah 11600. Berapakah hasil normalisasinya? Coba kalian bandingkan sendiri dengan harga emas sekarang 1323 dolar. Jangan terkejut jika hasilnya hampir sama.
Yudi mengatakan…
Pemerintah sengaja mencetak uang tentu memang agar tidak terjadi deflasi karena memang tujuan mencetak uang tersebut supaya terjadi inflasi sebagai pajak. Tapi tidak ada hubungannya permerintah mencetak uang dengan pertumbuhan jumlah penduduk. Jika jumlah uang yang beredar tetap, sementara jumlah penduduk bertambah apakah akan terjadi deflasi? Selama penduduk yang bertambah ini tidak produktif, tidak menghasilkan barang dan jasa alias penganguran . selama itu pula tidak akan terjadi deflasii. Deflasi baru terjadi jika penduduk yang baru menghasilkan barang lebih banyak dari pada jumlah uang yang beredar. Misalnya dalam suatu negara jumlah uang yang beredar 100 rupiah, ada 10 peduduk yang menghasilkan 10 roti. Pada saat ini harga roti menjadi 10 rupiah. Saat penduduk bertambah menjadi 20 memproduksi 20 roti maka harga roti menjadi 5 rupiah. Jadi pada kondisi ini deflasi bisa terjadi jika penduduknya produktif, jika tidak mennghasilkan barang dan jasa maka tidak akan terjadi apa2. Untuk membuktikan opini saya teman2 bisa baca sendiri tentang velositas uang (velocity of money). Rumusnya : V = (P x Y) / M
Dimana:
V = kecepatan
P = tingkat harga
Y = jumlah output
M = jumlah uang
http://nhuehayati.students.uii.ac.id/2014/05/26/pertumbuhan-uang-dan-inflasi/
di website itu juga di sebut inflasi sebagai pajak pada pemegang uang. Bahasa kerennya pajak tabungan.

Menganai asuransi, saya tidak begitu tertarik dengan asuransi. Awalnya saya sangat tertarik saat dikasih tabel dalam waktu 15 tahun tabungan saya akan menjadi banyak sekali 0 nya.Namun setelah saya mempelajari tentang inflasi jumlah uang tersebut meskipun 0 nya banyak namun nilai rillnya lebih kecil dari nilai saat ini. Selain itu juga dijanjikan misal umur 20 tahun dengan setoran 500 ribu perbulan mendapat asuransi rawat inap 560 ribu perhari. Anggap saja di umur 40 tahun kita kena penyakit dan harus dirawat inap, mungkin asuransi 560 ribu tersebut hanya cukup untuk rawat inap sekitar 2 jam saja karena mungkin 20 tahun kemudian biaya rawat inap sebesar 5 juta. Asuransi bagus tapi untuk proteksi bukan investasi. Perusahaan asuransi juga punya hitung2an sendiri agar tidak rugi, jadi jangan pikir perusahaan asuransi memberikan keuntungan yang banyak sekali pada customernya.
Anonim mengatakan…
Mohon penjelasannya, "pajak" berarti penghasilan buat pemerintah, bagaimana pencetakan uang yg berlebihan yg mengakibatkan terjadinya inflasi meningkatkan pendapatan negara dlm pajak? Mohon siapa saja bisa bantu utk memberikan sedikit penjelasannya.

Article ini memberi pandangan eye-opener, terima kasih utk sharingnya.

Ali
Anonim mengatakan…
Karena bapak yudi telah menuliskan artikel dan menjawab komentar nya dgn panjang, maka izinkan juga kpd saya utk mempertanyakan kebenaran dari pada artikel bapak yudi.

Pertama, karena bapak yudi menggunakan M2 sebagai acuan uang beredar, maka saya ingin menanyakan apakah bapak yudi mengerti perbedaan M1 dgn M2? Apakah mengerti apa itu multiplier effect daripada M1 thdp M2? Dan efek daripada suku bunga terhadap kenaikan M2.

Kedua, Bapak yudi menggunakan sejarah jaman penjajahan sebagai contoh/bukti bahwa saat itu harga barang ga terbang kemana" karena pemerintah hindia belanda tidak seenaknya mencetak uang, maka pertanyaan saya adalah apakah bapak yudi mengerti apa yg melatarbelakangi hal tersebut? Apakah pernah mendengar kata gold standard? Bretton Woods system? Hingga apa yg membuat semua negara di dunia ini tidak lagi menggunakan Bretton Woods System maupun Gold Standard?

Ketiga, Karena bapak yudi terus menerus menekankan kenaikan jumlah uang beredar sebagai biang kerok inflasi, maka saya ingin menanyakan, apakah bapak Yudi yg saya hormati mempertimbangkan kenaikan daripada V dan Q? Berapa kenaikan Velocity of Money? Berapa kenaikan Quantity of Product, dan berapa kenaikan jumlah uang yg sebenarnya (M)?

Melihat artikel yg sedemikian panjang, maka saya yakin bapak Yudi adalah seorang yg mengerti teori ekonomi, terutama moneter. Karena saya tidak ingin berprasangka buruk, maka saya persilahkan bapak yudi utk menjawabnya..
Anonim mengatakan…
Logical fallacy, mr Yudi.

Correlation is not a causality. Supply uang naik tidak mutlak berarti harga barang naik. Itu korelasi. Supply uang naik maka harga barang naik, tapi tidak berarti bahwa pasti supply uang naik yang menyebabkan harga barang naik.

Banyak faktor lain yang mempengaruhi harga barang, seperti velocity money dan supply barang jasa.
Anonim mengatakan…
nampaknya penulis terilhami dengan tulisan senada dari:
www.ekonomiorangwarasdaninvestasi.blogspot.com
Yudi mengatakan…
kepada pak anonim, saya menjawab dengan komentar yang panjang karena saya menjawab pertanyaan dari 4 orang sekaligus. Bapak menilai saya terlalu tinggi, saya bukanlah orang yang mengerti teori ekonomi terutama moneter. Pendidikan saya juga bukan dari jurusan yang berhubungan dengan ekonomi. Saya seorang pengusaha, trader, investor yang setahun kemarin masih tidak tau apa2 tentang fundamental. Bisa dibilang saya seorang pemula dibidang fundamental dan ekonomi karena itu saya masih berlangganan bulletin dengan pak teguh. Jika saya menemukan saham yang murah, menurut pak teguh juga murah, saya merasa lebih tenang karena ada orang lain(lebih pakar) yang sependapat dengan saya.

saya baru belajar ilmu fundametal dari blok pak teguh sebagai dasar,
2.http://ekonomiorangwarasdaninvestasi.blogspot.com/
3.Buku street investing karangan parahita.


Saya memang masih menekankan kenaikan jumlah uang yang beredar sebagai biang kerok infalsi. Saya menemukan dua website yang mendukung teori ini, jika teman2 ada waktu luang silahkan buka website ini:
1.http://nhuehayati.students.uii.ac.id/2014/05/26/pertumbuhan-uang-dan-inflasi/
2.http://ekonomiorangwarasdaninvestasi.blogspot.com/2007/07/visi-2030-kemakmuran-atau-ilusi-gdp.html
3.http://ekonomiorangwarasdaninvestasi.blogspot.com/2007/06/visi-2030-kemakmuran-atau-ilusi-gdp.html

Pak teguh mohon izin promosi blog tetangga demi pendidikan. Keraguan pak anonim kenaikan jumlah uang yang beredar sebagai biang kerok inflasi semogah lenyap setelah membaca blog ekonomi orang waras. Jika pak anonim sudah sependapat.Tolong sebarkan blog eowi khususnya mengenai inflasi kepada teman2 yang lain. Penulisnya dengan senang hati mempersilahkan orang lain copy paste, yang penting orang lain tau.
Anonim mengatakan…
http://www.forbes.com/sites/johntharvey/2011/05/14/money-growth-does-not-cause-inflation/

Pak Yudi, seperti yg sudah disebutkan para anonim diatas, money supply memang merupakan salah satu faktor penyebab inflasi, tapi BUKAN satu2 nya hal yang mempengaruhi inflasi dan deflasi.

Kenapa demikian?

Misal satu negara memproduksi 10 mobil setahun, uang yang beredar 10 juta. Maka 1 mobil harganya 1 juta.

Tahun berikutnya, Uang yang beredar bertambah 50% menjadi 15 juta. Tapi produksi mobil bertambah 200% menjadi 30 mobil. Sekarang harga 1 mobil menjadi 30 dibagi 15 juta yaitu 500 ribu per mobil.

Dapat dilihat bahwa walaupun supply uang bertambah 50%, tapi tidak berarti harga mobil juga naik 50%. Justru malah turun karena growth supply mobil mengalahkan supply uang.

Kemudian faktor lain yang mempengaruhi adalah tingkat perputaran uang. Misalkan bank mengumpulkan dana dari nasabah, tapi dana itu ngendon di rekening saja, bank tidak memutarkan kembali berupa kredit (LDR sangat rendah). Apakah juga akan terjadi inflasi? Mungkin tidak, mau uang berapa banyak pun kalau tidak beredar ya sama saja bohong.

Pk Yudi, jangan menganggap blog sebagai suatu kebenaran mutlak.

Baca artikel dari forbes diatas, FYI, forbes adalah publisher yang terkemuka di tingkat dunia. Argumen dia adalah, walaupun V (velocity) dan Y (output barang dan jasa) dapat dianggap konstan, namun ketika pengusaha melihat supply uang beredar bertambah (thus demand bertambah), maka tindakan logis adalah meningkatkan produksi untuk memenuhi peningkatan demand tersebut. Kemudian, jika produksi bertambah (investasi meningkat) maka secara logis velocity uang juga bertambah. Sehingga pada ujungnya inflasi juga relatif tidak banyak berubah.
Yudi mengatakan…
logika bapak memang benar. saya menggunakan contoh jumlah barang tetap supaya memudahkan perhitungan saja. Rumus V = (P x Y) / M tetap berlaku. contoh bapak di atas v = (1 juta x 10 mobil)/ 10 juta. Jadi didapat v = 1. Untuk mencari Price saat mobil 30 buah jumlah uang yang beredar 15 juta. P= (v x m)/y. Pricenya memang 500.000. Apa ada yang salah dengan rumus diatas?

Tapi sayangnya saat ini kita membahas inflasi yaitu jumlah uang yang yang beredar lebih banyak atau lebih cepat dari pada jumlah barang yang beredar. Contoh bapak diatas adalah contoh deflasi , saat barang bertambah 200% sementara uang yang beredar hanya bertambah 50%. Hitungan pak anonim tentang deflasi yaitu harga mobil 500 ribu memang benar. Menurut saya hal itu sulit dilakukan oleh perusah2an mobil.Saat supplay uang bertambang , maka nilai rillnya akan berkurang. Harga2 bahan baku, tenaga kerja, dll pasti akan naik. Jika produsen mobil itu tetap memaksakan menjual mobilnya hanya dengan 500 ribu bisa dipastikan kualitas mobil itu berkurang. Contohnya dulu kata orang mobil itu platnya tebal sekali tapi sekarang tipis sekali.
Yudi mengatakan…
saya ingin menambahkan lagi bapak bilang bank mengumpulakan dana dari nasaba tapi dana itu hanya di rekening saja tidak di putar dalam bentuk kredit. Apakah akan terjadi inflasi?

Seperti saya bilang iflasi itu adalah pajak tabungan, saat uang dicetak lebih banyak dari jumlah barang yang beredar disaat itulah akan terjadi inflasi. Misal Bank BI (Bank sentral Republik Indonesia) menetapkan BI rate 7,5%. Bank2 lainnya seperti mandiri,bca dll menghimpun dana nasaba ,dengan bunga 6%.. Jika bank2 ini tidak memutar uangnya dalam bentuk kredit, apa bank2 ini akan rugi memberi bunga terus kepada nasabah?? Tentu saja tidak, uang2 ini akan ditaruh oleh bank2 tersebut di BI dengan bunga 7,5% masih ada untung secuil. Lalu BI membayar bunga2 kepada bank2 mandiri , bca dengan cara apa?? Menurut perkiraan saya tentu saja dengan cara mencetak uang . Tapi ini hanya logika saya saja yang masih pemula dalam ekonomi, jika ada salah mohon koreksi.

Saya masih ingat saat saya masih di SMP thn 1997-1998 terjadi krisis. Kalau tidak salah ingat orang tua saya ditawari bunga bank deposito yang sangat tinggi bahkan mencapai 30%. Kalau bunga deposito saja sudah mencapai 30% bagaimana bank2 mebayar bunga nasabahnya? Suplai uang saat itu meningkat hampir 100% dari pertengahan 1997- pertengahan 1998. Jadi logika saya bunga deposito kita di bayar dengan mencetak uang. Kita ditawari agar uang kita disimpan dideposito agar bisa di pajaki.

Anonim mengatakan…
@pak Yudi,

Nama saya Jimmy, dan saya sangat tertarik dengan diskusi diatas. Anda betul bahwa begitu banyak ahli ekonomi di Indonesia tidak berani bicara langsung di koran tentang inflasi riil Indonesia, ataupun mengapa kurs IDR selalu melemah. Mereka selalu mencari kambing hitam, entah ini lagi musim importir bayar pinjaman, atau pertamina perlu uang melunasi sesuatu...

Anda benar kalau mencetak uang yang terlalu banyak adalah penyebab utama.

Pak "Anonim" juga benar, bahwa cetak uang itu tidak selalu menghasilkan inflasi. Cetak uang perlu untuk mengantisipasi penambahan jumlah penduduk, karena penambahan penduduk bisa berarti penambahan produktivitas, lebih banyak orang masuk ke lapangan kerja, atau menciptakan sesuatu yang bernilai ekonomi.

Saya rasa anda semua benar..., hanya pak Yudi tidak mengungkapkan kata2 ini lebih awal:
"Seperti saya bilang iflasi itu adalah pajak tabungan, saat uang dicetak lebih banyak dari jumlah barang yang beredar disaat itulah akan terjadi inflasi."

Kata2 "UANG DICETAK LEBIH BANYAK DARI BARANG" inilah yang menjadi kunci inti diskusi diatas, ya gak? Pengertian inflasi terjadi karena negara mencetak uang, kuranglah tepat. Tetapi Inflasi terjadi karena ratio uang dicetak lebih banyak daripada jumlah barang/produktivitas/kemampuan masyarakat negara tersebut menghasilkan suatu barang dan jasa/GDP growth itu sangat betul sekali.

Soo... Anda semua benar :D

Saya pernah melihat statistik dari BPS tentang pertumbuhan GDP indonesia dari tahun 2000an sampai kisaran tahun 2012an... Disitu ada angka inflation adjusted dan rupiah terkini. Pada angka rupiah terkini GDP indonesia naik 300% lebih..., namun pada inflation adjusted hanya naik kisaran 25%. Pada periode yang sama jumlah M2 meningkat kisaran 300% juga... So... Cukup jelas teori diatas masuk.

Sejak 2008, ketika US terkena krisis, mereka mencetak uang dalam jumlah yang fantastis. Indonesia dalam hal ini mempunyai kesempatan yang langka..., kita bisa me-monetize rupiah dengan tanpa konsekuensi. Hampir seluruh kewajiban keuangan Indonesia dalam bentuk USD. Kita tinggal mencetak uang sebanyak mungkin selama bisa menjaga parity dengan USD forex rate. Oleh karena itu forex rate IDR/USD tidak banyak berubah selama masa itu, sdangkan mata uangnegara2 lain pada menguat terhadap USD.

Free money inilah yang membanjiri perekonomian kita dan berhasil men-drive suku bunga ke level 5.75%, terendah sepanjang sejarah RI. Free money ini bisa tetap free jika kita bisa menumbuhkan produktivitas rakyat Indonesia. Mungkin dengan agresivitas dalam membangun infrastruktur dll... Namun jika penyebaran uang ini tidak merata yang terjadi adalah jurang yang semakin lebar antara berbagai kelas ekonomi. Let's face it... Golongan pertama yang mempunyai akses terhadap uang ini, adalah mereka yang punya bank account, berapa % rakyat kita yang punya bank account?

Disinilah akhirnya timbul berbagai kebijakan untuk menaikkan UMR, intinya adalah pemerataan supply uang tadi.bayangin aja, kalau nyetak uang berlebih aja udah negative effect, apalagi kalau baginya tidak merata? jurang kemiskinan akan semakin lebar..., simple question, walaupun para pegawai naik semua gajinya, apakah mereka lebih bisa membeli rumah? Ataukah semakin tidak terjangkau?

And now... The party is over. US sudah pulih dan mereka mulai menghentikan monetary easing policy. Apa yang terjadi... Duit yang dicetak tadi masih belum meningkatkan produktivitas rakyat Indonesia. Entah waktunya belum, karena long term project. Atau habis karena untuk pesta politik.. Makanya USD merambat ke 12000. Saya masih ingat Chatib Basri bilang bahwa rupiah memang overvalue, ketika kurs USD naik dr 9000ke 10.000 an... Saya bingung waktu itu.. Kok dia tahu? Wah sdh disetting demikian rupanya...

Anyway..., ini pengamatan pribadi saya saja untuk meramaikan diskusi diatas...

Thank you for bringing up this topic
Anonim mengatakan…
@pak Anonim:

Menanggapi pertanyaan super logical dari anda "mengapa bretton woods harus ditinggalkan?"

Feeling saya nih ya.. Feeling saja...

Karena jumlah logam mulia yang ada di dalam bumi untuk merepresentasikan suatu monetary unit adalah terbatas, sedangkan produktivitas manusia (dimana produktivitas tsb harus dihargai oleh suatu monetary unit) yang akan terus berproduksi sampai akhir jaman adalah tidak terbatas...

Dalam bretton woods setiap Uang yang dicetak harus bisa di back oleh dan dikunci oleh nilai emas tertentu. Jumlah emas dalam bumi jelas terbatas, apa yang terjadi jika bretton woods terus dilakukan? Manusia akan berhenti untuk menjadi kreatif, berhenti berkembang, berhenti berevolusi...

Sebagian besar penemuan manusia yang terpenting ada pada 100 tahun terakhir..., saya yakin jumlah emas yang digali dari awal jaman tidak akan cukup (nilai gold deposit dari berbagai negara bisa menjadi acuan) untuk merepresentasikan nilai ekonomi dari penemuan2 tersebut, dan perusahaan2 besar yang lahir dari penemuan2 tsb...

gold is finite, human productivity is infinite

That's my hunch... Thank you for the question :D
Yudi mengatakan…
@jimi
Memang benar kuncinnya UANG DICETAK LEBIH BANYAK DARI BARANG. Sudah saya tulis di paragraf pertama yaitu pengertian inflasi menurut saya.Mungkin teman2 tidak menyadari saja.

pak jimi dan pak anonim setuju uang dicetak untuk mengimbangi pertambahan jumlah penduduk. Dari pada saya menyangkal lagi saya menambahkan aja.Pernah tidak mendengar teori 90% uang yang beredar dikuasai oleh 10% orang? 10% orang ini hidupnya sejahtera, mereka gemar investasi,pekerja keras, pendidikannya tinggi. Supaya supaya 10% orang ini komposisinya bisa berubah, maka diperlukan inflasi agar uang 10% orang ini pindah ke 90% orang lainnya.Kalau tidak ada inflasi akan ketat sekali persaingan bagi 90% orang ini untuk mengejar 10% uang yang beredar.

Dalam artikel ini sayan ingin lebih menekankan bagaimana cara menangkal pajak yaitu dengan membeli tanah.Namun ternyata teman2 disini lebih tertarik penyebab inflasi . Jadi dalam dalam artikel yang saya buat ada tabel harga tanah juga dan cara menangkal pajak no 1 tapi tidak ditampilkan pak teguh agar artikel lebih singkat. Kalau saham hanya untuk yang mengerti saja. Tanah menjangkau semua lapisan masyarakat. Orang yang akan berkeluarga, akan membeli rumah tentu dengan tanahnya, orang yang ingin berkebun membeli tanah juga dll.

Jika sudah baca artikel saya, saya berharap bisa menjadi motivasi teman2 untuk lebih giat berinvestasi. Kalau yang semula mau beli mobil yang 1 miliar batal, menjadi beli mobil yang 100 juta saja. Kalau semula mau bangun rumah yang besar2 batal menjadi seperlunya saja. Kalau yang selama ini uangnya ditaruh di celengan ayam atau di bawah bantal untuk kedepannya bisa berinvestasi di saham, kalau tidak ngerti saham ya beli tanah saja atau barang2 lain yang tidak lapuk di makan usia.
Prince Daud mengatakan…
Benar sekali bung teguh, saya pun merpekirakan begitu, deposito justru membrangus uang kita. mungkin satu-satunya perlindungan aset yang paling gampang adalah emas. saya contohkan. pada tahun 2000 harga emas di sekitaran 50ribuan/gram, sdangkan kambing di harga 155ribu, jdi dgn 4gram emas x 50ribu = 200ribu = 1 kambing, lalu berapa harga emas di tahun 2010 300 ribuan di kali 4 gram = 1.200.000 atau sama dengan seharga 1 kambing. Teroi ini terbukti, bahwa di jaman nabi dengan 1 dinar dapat membeli 1 ekor kambing (dinar terbuat dari 4,5 gram emas 24 karat) sekarang berapa harganya, jawabannya sama saja 1 ekor kambing = 1 dinar atau 4,5 gram emas.

ARTIKEL PILIHAN

Live Webinar Value Investing, Sabtu 16 Maret 2024

Ebook Investment Planning Kuartal IV 2023 - Sudah Terbit!

Laporan Kinerja Avere Investama 2022

Peluang dan Strategi Untuk Saham Astra International (ASII)

Indo Tambangraya Megah: Masih Royal Dividen?

Indah Kiat Pulp & Paper (INKP) Bangun Pabrik Baru Senilai Rp54 triliun: Prospek Sahamnya?

Prospek Saham Energi Terbarukan, Kencana Energi Lestari (KEEN)