Ibukota Pindah: Sektor Apa Saja yang Diuntungkan?

Ketika Pemerintah Kerajaan Inggris secara resmi mengakui kemerdekaan Amerika Serikat (AS) pada tahun 1783, maka ibukota AS adalah di New York, dimana di kota itulah George Washington dilantik sebagai Presiden Pertama AS, tahun 1789. Namun segera setelah dilantik, Presiden Washington langsung mengusulkan pemindahan ibukota ke arah selatan, agar lokasi ibukota tersebut berada ditengah-tengah wilayah negara AS yang baru berdiri, sehingga diharapkan bahwa pembangunan akan tersebar lebih merata. Sebelumnya perlu diketahui bahwa pada abad ke-18, wilayah AS hanyalah di kawasan pantai timur mulai dari Kota Boston di utara, hingga Kota Jacksonville di selatan (jadi kawasan pantai barat dimana di kemudian hari berkembang menjadi kota Los Angeles atau San Francisco, ketika itu belum menjadi bagian dari AS). Sedangkan lokasi New York adalah tidak jauh dari Boston, sehingga dianggap ‘terlalu ke utara’.

***

Buku Analisa IHSG, Strategi Investasi, dan Stockpick Saham (Ebook Market Planning) edisi September 2019 sudah terbit! Anda bisa memperolehnya disini. Gratis tanya jawab saham/konsultasi portofolio dll untuk subscriber selama masa berlangganan.

***

Jadi pada tahun 1790, ibukota AS pindah ke arah selatan, tepatnya Philadelphia. Dan pada tahun 1801, ibukota tersebut digeser lebih jauh ke arah selatan, yakni ke tanah kosong dekat Sungai Potomac, yang kemudian dibangun sepenuhnya sebagai kawasan pusat pemerintahan. Kawasan ini diberi nama District of Columbia atau DC, dan di kemudian hari namanya menjadi Washington DC, untuk menghormati George Washington sebagai founding father Amerika. Hingga pada hari ini, Washington DC masih menjadi ibukota AS, dan sudah menjadi kota besar. Sedangkan New York juga tetap berkembang sebagai pusat bisnis dan keuangan, dan actually sampai hari ini masih merupakan kota terbesar di AS, dan juga salah satu yang terbesar di seluruh dunia.

Selain AS, sejumlah negara lain juga pernah memindahkan ibukota mereka, biasanya dengan tujuan untuk memisahkan antara pusat pemerintahan dengan pusat bisnis dan ekonomi, dan/atau agar letak ibukota baru itu lebih berada di tengah-tengah wilayah negara. Sebut saja Jepang, dimana Istana Kaisar yang merupakan lambang ibukota negara, pada tahun 1868 dipindah dari Kyoto ke Tokyo, karena letak Tokyo lebih ke tengah-tengah Jepang itu sendiri. Lalu India, dimana sebelum tahun 1911, ibukota India adalah Kolkata (Calcutta), tapi kemudian dipindah ke Delhi dengan alasan yang sama dengan pemindahan ibukota Jepang diatas. Tahun 1927, giliran Australia membangun ibukota baru dengan lokasi diantara ‘dua ibukota’ lamanya yakni Melbourne dan Sydney, dan ibukota baru ini diberi nama Canberra. Kemudian Brazil, dimana ibukotanya pindah dari Rio de Janeiro ke Brasilia, pada tahun 1960. Dan terakhir pada tahun 1999, Malaysia juga memindahkan pusat pemerintahan dari Kuala Lumpur (KL) ke sebuah lahan sawit yang kemudian dibangun sebuah kota dengan nama Putrajaya, dengan alasan bahwa KL sudah terlalu padat.

Lalu bagaimana dengan Indonesia? Republik Indonesia (RI) juga sebenarnya pernah memindahkan ibukota dari Jakarta ke Yogyakarta pada tahun 1946, lalu kembali pindah ke Bukittinggi (Sumatera Barat) pada tahun 1948, tapi alasannya ketika itu adalah karena Jakarta, disusul Jogja, sempat kembali dikuasai oleh Pemerintah Kolonial Belanda. Jadi setelah Belanda akhirnya mengakui kemerdekaan RI di tahun 1950, maka ibukota kembali ke Jakarta, dimana Jakarta dipilih karena letaknya yang sangat strategis di Pantai Utara Jawa, dan sejarahnya sebagai pusat perdagangan nusantara. Namun kemungkinan karena berkaca pada negara lain yang memisahkan antara pusat pemerintahan dengan pusat bisnis/ekonomi, maka Presiden Sukarno sejak awal sudah memiliki gagasan untuk memindahkan ibukota dari Jakarta ke Palangkaraya (Kalimantan Tengah), dimana Palangkaraya dipilih karena letaknya yang di tengah-tengah wilayah RI.

Tapi karena satu dan lain hal, wacana itu tidak pernah terealisasi, dan Jakarta tetap menjadi ibukota RI. Dan setelah beberapa dekade, hal ini menimbulkan setidaknya satu dampak negatif: Pertumbuhan ekonomi dan pembangunan yang tidak merata. Sebenarnya, jika saja pusat pemerintahan RI sudah pindah ke Palangkaraya sejak tahun 1960-an, maka Jakarta dan sekitarnya tetap akan tumbuh berkembang menjadi kota besar, karena kota pelabuhan ini sudah ramai bahkan sejak jamannya kompeni VOC di abad ke-16 (jadi sama seperti New York, Sydney, Rio de Janeiro dst yang tetap tumbuh menjadi kota besar meski mereka tidak lagi menjadi pusat pemerintahan). Tapi karena istana negara tetap berada di Jakarta, maka hanya Jakarta dan Pulau Jawa saja yang berkembang, sedangkan wilayah-wilayah lainnya di Indonesia nyaris tidak berkembang karena jarang tersentuh pembangunan. Dan jika hal ini dibiarkan lebih lama lagi, maka cuma soal waktu saja sebelum wilayah-wilayah diluar Pulau Jawa akan memisahkan diri dari NKRI. Karena dari pengalaman penulis sendiri berkunjung ke sejumlah kota di Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi, maka ketersediaan infrastruktur disana memang jauh ketinggalan dibanding di Jakarta dan sekitarnya.

Penulis ketika jalan-jalan ke Pulau Kumala, Kota Tenggarong, Kalimantan Timur

Jadi ketika kemarin, tanggal 26 Agustus, Pemerintah secara resmi mengumumkan pemindahan ibukota dari Jakarta ke wilayah antara Kabupaten Penajam Paser Utara dan Kabupaten Kutai Kertanegara di Provinsi Kalimantan Timur, maka penulis optimis bahwa hal ini akan berdampak positif terhadap Indonesia itu sendiri dalam jangka panjang, terutama dalam hal pemerataan pembangunan. Malah kalau berkaca pada negara-negara yang melakukan pemindahan ibukota diatas, dimana mereka kemudian sukses menjadi negara ekonomi maju (dari sejumlah negara yang disebut diatas, hanya India yang GDP per capita-nya dibawah Indonesia), maka ada harapan bahwa RI juga akan bisa menyusul mereka, meski tentunya itu akan butuh waktu.

Sektor-sektor yang diuntungkan

Okay Pak Teguh, lalu bagaimana dampak pemindahan ibukota ini terhadap investasi kita di saham? Dan adakah emiten tertentu yang diuntungkan atau dirugikan? Well, kalau dampak jangka pendeknya sih belum kelihatan, karena berbeda dengan kebijakan-kebijakan besar sebelumnya, misalnya dulu tahun 2016 waktu ramai cerita tax amnesty yang disambut positif oleh para pelaku pasar, maka soal pemindahan ibukota ini mungkin terdengar kurang menyenangkan bagi para politisi atau pelaku usaha yang selama ini menjalankan usahanya di Jakarta, sedangkan hampir semua perusahaan besar di Indonesia berkantornya ya disini. Kemudian kalaupun kita optimis bahwa pemindahan ibukota ini akan berdampak positif terhadap ekonomi nasional dalam jangka panjang, maka ingat pula bahwa prosesnya butuh waktu lama, paling cepat 5 – 10 tahun sampai semua unsur-unsur pemerintahan (eksekutif, legislatif, yudikatif) pindah semua ke Kalimantan.

Tapi kalau ada sektor-sektor yang bakal diuntungkan, maka kemungkinan itu adalah konstruksi dan properti, dan sektor pendukungnya seperti semen. You see, selama ini pengembangan properti hanya terpusat di Jawa, Bali, dan Sumatera, dimana jarang ada developer besar yang mau melirik Kawasan Indonesia Tengah dan Timur, karena prospeknya tidak jelas. Penulis sendiri banyak dengar cerita dari temen-temen yang kerja di minyak dan batubara di Kalimantan, dan dapet duit besar, tapi duit itu kemudian diinvestasikan dengan membeli tanah di Jawa, bukan di Kalimantan itu sendiri. Alhasil, meski secara GDP per kapita, Kalimantan Timur adalah provinsi terkaya kedua di Indonesia setelah DKI Jakarta (karena disana memang sangat kaya sumber daya alam), tapi tetep saja disana sangat minim pembangunan, karena hampir semua duit yang dihasilkan dikirim dan diputar di Jawa.

Tapi dengan berpindahnya pusat pemerintahan, maka sektor properti di Kaltim harusnya akan mulai menggeliat seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk pindahan dari sini, dan potensinya jelas terbuka lebar, mengingat penduduk Kaltim saat ini hanya 3.5 juta jiwa di daerah seluas 129 ribu KM persegi (sebagai perbandingan, luas seluruh Pulau jawa juga 128 ribu KM persegi, tapi penduduknya mencapai 135 juta jiwa). Dan tidak hanya Kaltim, tapi Kalimantan itu sendiri, plus Sulawesi dan Indonesia Timur pada umumnya akan menikmati pembangunan yang lebih merata, sehingga para developer yang selama ini hanya mondar mandir cari pembeli di Jawa, akan mulai melebarkan sayapnya kesana.

Selain properti, industri yang harusnya juga bisa berkembang pesat di masa depan adalah industri hilir dan manufaktur. Seperti yang kita ketahui, Kalimantan sangat kaya akan sumber daya alam seperti kayu, batubara, dan minyak, sedangkan di Sulawesi ada banyak cadangan nikel, bijih besi, dan di Papua kita punya emas, perak, dan tembaga. Tapi selama ini, kesemua SDA itu cuma digali saja lalu dijual langsung tanpa diolah terlebih dahulu menjadi produk bernilai tambah, karena para investor gak berani bikin pembangkit listrik di Kalimantan, misalnya, karena gak ada jaminan keamanan dll dari pemerintah (di Kaltim sangat melimpah batubara, yang merupakan bahan bakar pembangkit listrik tenaga uap, tapi disana cuma ada tiga PLTU, dengan total kapasitas yang jauh lebih kecil dibanding Pulau Jawa). Tapi karena kantor pemerintah itu sendiri sudah pindah ke Kaltim, maka para perusahaan-perusahaan yang selama ini dengan gampangnya ambil SDA lalu jual, bisa dipaksa untuk membangun industri hilir di Kaltim khususnya, dan di Kawasan Indonesia Tengah dan Timur pada umumnya, sekaligus membuka lapangan pekerjaan. Dan pengawasannya juga lebih mudah karena lokasinya lebih dekat.

Anyway, kesemua prospek diatas memerlukan waktu untuk terealisasi, dan itupun jika proses pemindahannya berjalan lancar (karena pasti ada saja pro dan kontra, dan memang yang mengkritik juga banyak). Sehingga kalau untuk jangka waktu katakanlah 1 – 2 tahun kedepan, maka belum akan ada dampak apa-apa dari pemindahan ibukota ini terhadap ekonomi nasional ataupun arah IHSG, atau bisa saja dampaknya justru buruk, yakni jika investor menganggap bahwa Jakarta, yang merupakan headquarters dari hampir semua perusahaan besar, akan mengalami kemunduran setelah tidak lagi menjadi ibukota (meski sebenarnya itu ngawur, karena lihat itu New York atau Sydney, yang sampai hari ini masih lebih besar dibanding Washington DC atau Canberra). Nevertheless, jika kita bisa melihat katakanlah hingga 10 – 20 tahun kedepan dan mengabaikan fluktuasi jangka pendek pasar, maka bagi penulis sendiri pemindahan ibukota ini menjadi another signal, bahwa sekarang inilah waktu terbaik untuk mulai berinvestasi di Indonesia, dan hanya di Indonesia saja (penulis sering sekali ditawari untuk invest di luar negeri/Amerika, tapi saya bilang saya maunya disini saja). Karena kalau nanti pembangunan benar-benar sudah merata, sehingga semua wilayah RI bisa mengoptimalkan potensi mereka masing-masing, maka ketika itulah Indonesia tidak lagi berstatus emerging market, melainkan developed country seperti layaknya negara maju lainnya. Mudah-mudahan!

***


Buku Analisa IHSG, Strategi Investasi, dan Stockpick Saham (Ebook Market Planning) edisi September 2019 sudah terbit! Anda bisa memperolehnya disini. Gratis tanya jawab saham/konsultasi portofolio dll untuk subscriber selama masa berlangganan.

Dapatkan informasi, motivasi, dan tips-tips investasi saham melalui akun Instagram Teguh Hidayat, klik 'View on Instagram' berikut ini: Instagram

Komentar

ARTIKEL PILIHAN

Live Webinar Value Investing, Sabtu 27 April 2024

Ebook Investment Planning Kuartal I 2024 - Terbit 8 Mei

Indo Tambangraya Megah: Masih Royal Dividen?

Laporan Kinerja Avere Investama 2022

Prospek Saham Energi Terbarukan, Kencana Energi Lestari (KEEN)

Prospek Saham Samudera Indonesia (SMDR): Bisakah Naik Lagi ke 600 - 700?

Perkiraan Dividen PTBA: Rp1,000 per Saham