Anjloknya Dow Jones, Wabah Coronavirus, dan Dampaknya Terhadap IHSG

Minggu lalu, tepatnya hari Senin 20 Februari, Pemerintah Korea Selatan mengumumkan keadaan darurat setelah warganya yang positif Covid-19 bertambah dua kali lipat, dari 51 menjadi 104 pasien, hanya dalam semalam. Ini adalah kali pertama sebuah negara, diluar China, memberlakukan keadaan darurat terkait merebaknya kasus Covid-19/Coronavirus. Hanya selang tiga hari kemudian, giliran Pemerintah Italia menghentikan festival di Venice, membatalkan banyak kegiatan termasuk sejumlah pertandingan sepakbola Serie A, hingga memerintahkan warga di sejumlah kota untuk tidak keluar rumah, setelah ditemukan lebih dari seratus kasus Covid, tiga pasien diantaranya meninggal dunia.

***

Ebook Kumpulan Analisis 30 Saham Pilihan edisi Kuartal IV 2019 sudah terbit! Dan anda bisa memperolehnya disini.

Ebook Market Planning yang berisi analisis IHSG & Stockpick saham pilihan edisi Maret 2020 juga sudah terbit. Anda bisa memperolehnya disini, gratis tanya jawab saham/konsultasi portofolio saham untuk subscriber.

***

Sehingga hanya dalam waktu kurang dari sepekan, tiba-tiba saja sudah ada tiga negara besar yang darurat Coronavirus, yakni China, Korea Selatan, dan Italia (plus Iran, tapi beritanya tidak banyak beredar, yang mungkin karena negaranya cenderung tertutup). Hasilnya bisa ditebak: Bursa-bursa saham di seluruh dunia langsung jatuh. Termasuk Dow Jones Industrial Average (DJIA), yang sebelum tanggal 20 Februari masih berada di 29,000-an, dengan cepat turun ditutup di posisi 25,409 pada hari Jumat kemarin, atau bablas lebih dari 12% hanya dalam seminggu. Demikian pula dengan IHSG, yang per hari Senin, 2 Maret, sudah turun ke level 5,361, atau drop hampir 15% sejak awal tahun. Problemnya, dalam banyak kesempatan, penulis sudah menyampaikan bahwa Bursa Wallstreet sekarang ini sudah kelewat bubble, dimana valuasi saham-saham disana sudah sangat mahal setelah naik terus menerus dalam 5 – 10 tahun terakhir, sehingga tinggal tunggu munculnya peristiwa tertentu yang menjadi ‘jarum’ saja, agar bubble itu kemudian meletus.

Sehingga pertanyaannya sekarang, apakah kita sudah menemukan ‘jarum’ tersebut, yakni dalam bentuk peristiwa wabah Covid ini? Lalu apakah penurunan yang dialami DJIA, S&P 500, dan Nasdaq kemarin barulah awal dari penurunan yang lebih besar hingga seperti krisis tahun 2008 lalu, mengingat sejak awal problemnya adalah di bubble-nya itu sendiri, dimana pada hari inipun valuasi Apple Inc (AAPL) dkk masih pada mahal? (Catatan: pada harga 273.36, PER AAPL tercatat 21.7 kali, atau masih jauh diatas rata-rata PER-nya sebelum tahun 2017, di level 13 kali) Dan kalau DJIA beneran crash, lalu terjadi krisis global seperti tahun 2008, maka bagaimana nasib IHSG??

Nah, seperti biasa, mari kita telisik fakta-analisanya, satu per satu.

Pertama-tama, kita kembali ke krisis global tahun 2008, dimana ketika itu Dow turun dari 14,164 di bulan Oktober 2007, yang merupakan all time high-nya ketika itu, hingga mentok 6,547 pada Maret 2009, sebelum kemudian naik lagi. Sehingga secara keseluruhan, Dow turun 53.8% dalam waktu satu setengah tahun. Penyebabnya? Bubble properti, dimana sejak beberapa tahun sebelumnya, industri properti di Amerika mengalami booming karena konsumen bisa mengambil cicilan KPR hingga puluhan tahun, dan hampir tidak pernah ada kasus kredit macet (kalaupun ada, maka bank tinggal menyita rumahnya). Oleh pihak bank, aset berupa kredit KPR ini mereka jaminkan ke bank atau lembaga keuangan lainnya lagi untuk memperoleh pinjaman (istilahnya collateralized debt obligation), sehingga mereka bisa membiayai lebih banyak lagi KPR baru. Dan demikian seterusnya, hingga hampir semua lembaga keuangan di Amerika menanggung utang satu sama lain, sedangkan nilai penyaluran KPR terus membengkak, demikian pula harga unit-unit properti naik terus. Salah satu bank terbesar, Lehman Brothers (LEH), memiliki utang dengan jaminan aset real estate yang sedemikian besarnya, hingga jika nilai total aset LEH turun 3 – 4% saja, maka ekuitas bersih yang dimiliki perusahaan akan tersapu habis sama sekali.

Pada tahun 2007, hampir semua lembaga keuangan di Amerika punya utang gila-gilaan, tapi memang bank yang satu ini yang paling 'koboy'

Unfortunately, memang itulah yang terjadi: Pada September 2008, LEH resmi bangkrut, dan sebenarnya bank-bank lainnya juga hampir saja ikut bangkrut jika tidak di-bail out oleh pemerintah Amerika Serikat. Pada September 2008 ini pula, DJIA dengan cepat rontok dari 11,700 hingga mentok di 7,500-an di bulan November-nya, dan setelah itupun DJIA masih lanjut turun, hingga baru mulai pulih lagi pada April tahun berikutnya.

Nah, jadi kata kuncinya disini adalah, sebelum tahun 2008, bank-bank di Amerika memiliki utang yang sangat besar terutama karena pembiayaan KPR, yang pada akhirnya membuat beberapa diantara mereka bangkrut sama sekali (selain LEH, ada beberapa bank-bank yang lebih kecil, yang juga bangkrut). Tapi, itu 2008. Lalu bagaimana dengan hari ini? Apakah JP Morgan dkk juga punya utang yang sangat besar? Untuk itu, mari kita langsung lihat saja datanya sebagai berikut, angka dalam milyaran US Dollar kecuali disebutkan lain:

Top 5 Banks - 2019
Assets
Equity
Equity/Assets (%)
JP Morgan Chase
2,687
261
9.7
Bank of America
2,434
265
10.9
Citigroup
1,951
193
9.9
Wells Fargo
1,928
187
9.7
Goldman Sachs
993
90
9.1
Total
9,993
996
10.0
Top 5 Banks - 2007
Assets
Equity
Equity/Assets (%)
Citigroup
2,188
113
5.2
Bank of America
1,602
137
8.6
JP Morgan Chase
1,562
123
7.9
Goldman Sachs
1,120
43
3.8
Morgan Stanley
1,045
31
3.0
Total
7,517
447
6.0

Perhatikan. Per akhir tahun 2019, jika dirata-ratakan, maka posisi ekuitas dari lima bank terbesar di Amerika mencapai 10.0% dari nilai total asetnya. Dan angka itu jauh diatas tahun 2007 (setahun sebelum krisis 2008), yang hanya 6.0%. Yang itu artinya, struktur modal perbankan di Amerika pada hari ini hampir dua kali lipat lebih kuat dibanding tahun 2007 lalu, atau dengan kata lain, utang mereka dua kali lebih kecil. Dan memang, berbeda dengan tahun 2007 dimana sudah ada banyak investor dan analis yang mengingatkan bahwa Goldman Sachs dkk mempunyai utang yang sangat besar, maka untuk kali ini hampir tidak ada analis yang mengingatkan hal yang serupa. Dari tabel diatas juga bisa dilihat bahwa, dalam dua belas tahun terakhir, bank-bank di Amerika sukses menumbuhkan aset bersih/ekuitas mereka hingga dua kali lipat (dari $447 menjadi $996 milyar), tapi total aset mereka hanya naik 32.9% saja. Yang itu artinya lembaga-lembaga keuangan di Amerika, atau setidaknya ke-lima bank terbesar disana, pada hari ini jauh lebih konservatif dalam mengambil pinjaman/dana pihak ketiga lalu kemudian menyalurkan kredit dan pembiayaan, dibanding dua belas tahun lalu.

Sehingga, berbeda dengan tahun 2008 lalu, penulis kira untuk tahun ini tidak akan sampai ada perusahaan besar yang bangkrut di Amerika, yang kemudian memicu ‘krisis global’ yang menyebar di seluruh dunia, termasuk Indonesia. However, ini bukan berarti DJIA dkk tidak akan turun lebih lanjut, karena masalahnya tetap itu tadi: Valuasi saham-saham disana sudah kelewat mahal, dan pada hari inipun mereka masih mahal. Indikator lainnya, berdasarkan data dari Bank of America Merrill Lynch, kenaikan nilai utang margin (dana yang dipinjamkan oleh sekuritas ke investor nasabahnya, untuk ‘menambah amunisi’ untuk membeli saham) dari seluruh investor di Bursa Wallstreet mencapai titik tertingginya pada Mei 2018, di level $669 milyar, dan setelah itu angkanya terus turun. Sebagai catatan, pola yang sama pernah terjadi pada Maret 2000 dan Juli 2007, dimana nilai utang margin yang sebelumnya terus naik, mulai turun pada bulan-bulan tersebut. Dan memang, tidak lama setelah Maret 2000, bursa Wallstreet turun signifikan hingga baru pulih lagi pada awal 2003, demikian pula tak lama setelah Juli 2007, DJIA dkk sekali lagi mengalami crash.

Jadi kesimpulannya, lengkap sudah: Bursa Wallstreet sejak awal sudah bubble, muncul indikator inverted yield curve sejak tahun 2018 lalu, muncul peristiwa Covid sebagai ‘jarum’ sejak Februari 2020 kemarin (sebab, berbeda dengan sebulanan lalu, sekarang masalah Covid ini sudah menjadi isu global dimana kasusnya sudah terjadi di hampir semua negara, termasuk Indonesia), dan penurunan utang margin juga menunjukkan bahwa pasar saham akan segera turun. The long party for the wallstreet is over, dan tahun 2020 ini kemungkinan akan menjadi tahun pertama dimana DJIA ditutup turun signifikan diatas 10%, sejak terakhir kali hal itu terjadi pada tahun 2008 lalu.

Namun jika pertanyaannya adalah, DJIA bakal turun sampai berapa, maka sekali lagi, harusnya tidak akan sedalam tahun 2008, karena bubble yang terjadi hanya sebatas di pasar modal, alias tidak sampai ke sektor riil seperti sektor properti atau lainnya. Jika kita ambil contoh Indeks Shanghai Stock Exchange (SSE), yang pada tahun 2015 lalu anjlok dari 5,166 sampai mentok di 2,927 (dulu pernah dibahas disini), maka penyebabnya ketika itu bukanlah karena China sedang krisis atau apa, melainkan karena SSE sebelumnya sudah naik kelewat tinggi saja dimana pada tahun 2005, angkanya masih di 1,000 – 1,100 (sehingga hanya dalam tempo 10 tahun, SSE naiknya sampai lima kali lipat), dan pada tahun 2015 itu ada beberapa perusahaan Tbk di China yang sahamnya diperdagangkan pada PER 100 kali, alias sangat-sangat mahal. Sehingga wajar jika saham-saham ini kemudian turun kembali. Tapi berbeda dengan tahun 2008 dimana terjadi krisis global, maka pada tahun 2015 itu tidak terdengar peristiwa krisis apapun yang kemudian menyebar ke seluruh dunia, dan juga tidak ada perusahaan besar di China, atau di negara maju lainnya, yang bangkrut. Dan memang Indeks SSE sendiri, meski sampai hari ini masih belum naik lagi hingga ke posisi tertingginya yang dicapai pada tahun 2015 lalu, tapi tetap masih lebih tinggi dibanding posisinya pada lima, sepuluh, atau lima belas tahun lalu, dimana kenaikan jangka panjang tersebut itu selaras dengan pertumbuhan ekonomi China itu sendiri, yang sampai hari ini masih terjaga di level 5 – 6% per tahun.

Nah, jadi untuk Bursa Wallstreet pada tahun ini, kemungkinan kejadiannya juga bakal seperti itu: Minggu kemarin DJIA sudah ‘resmi’ balik arah dan turun, dan kemungkinan penurunannya masih akan berlanjut, tapi harusnya tidak akan sedalam tahun 2008, dan juga tidak akan sampai memicu krisis global. Perkiraan penulis, penurunan DJIA akan mentok di 18,000 – 20,000, dan barulah setelah itu dia akan memasuki periode sideways di 20,000 – 22,000 dalam jangka panjang.

Okay, tapi tetep aja proyeksinya bahwa Dow bakal turun kan? Jadi bagaimana dampaknya terhadap IHSG? Well, dampaknya memang sudah kelihatan kemarin, dimana IHSG ikut drop hingga hampir 15% sejak awal tahun. Tapi ingat bahwa, dibanding di Amerika Serikat, valuasi saham-saham di BEI sama sekali tidak bisa disebut mahal, setelah dalam lima tahun terakhir IHSG cenderung jalan ditempat (jauh sebelum IHSG nyungsep di awal tahun 2020 ini, pasar memang sudah terasa tidak nyaman sejak awal 2018 lalu). Sehingga jika tidak sampai terjadi subprime mortgage crisis atau semacamnya seperti di tahun 2008 lalu, maka penurunan yang dialami IHSG juga harusnya terbatas, apalagi penggunaan dana margin untuk membeli saham pada hari ini jauh lebih kecil dibanding tahun 2007 – 2008 lalu (nggak ada data pastinya sih, tapi penulis tahu hal ini dari temen-temen broker), sehingga kecil kemungkinan terjadi margin call berjamaah, seperti pada Oktober 2008 lalu. However, jika benar Dow lanjut turun sampai dibawah 20,000, maka tentu IHSG juga akan turun lebih lanjut. Sehingga meski diatas dikatakan bahwa kita tidak akan mengalami krisis seperti tahun 2008, tapi jujur saja, bottom IHSG sampai hari ini masih belum kelihatan, dan mungkin baru akan kelihatan dalam beberapa bulan ke depan. But don’t worry, jika nanti pasar sudah bener-bener panik, maka tulisan ini akan di-update lagi.

***

Ebook Kumpulan Analisis 30 Saham Pilihan edisi Kuartal IV 2019 sudah terbit! Dan anda bisa memperolehnya disini.

Ebook Market Planning yang berisi analisis IHSG & Stockpick saham pilihan edisi Maret 2020 juga sudah terbit. Anda bisa memperolehnya disini, gratis tanya jawab saham/konsultasi portofolio saham untuk subscriber.

Punya akun Instagram? Follow akun resmi penulis di media sosial, klik 'View on Instagram' berikut ini: Instagram

Komentar

Anonim mengatakan…
Pak Teguh bagaimana tanggapan Bapak mengenai dampak di pasar saham sehubungan dengan diblokir 800an rekening efek oleh Kejagung?

Beberapa perusahaan koperasi dan asuransi katanya sudah mulai kesulitan membayar dana nasabahnya karena rekeningnya ikut terblokir.

Apakah ada kemungkinan berdampak sistemik pak seperti kasus Century ?

Terima kasih

ARTIKEL PILIHAN

Live Webinar Value Investing, Sabtu 27 April 2024

Ebook Investment Planning Kuartal I 2024 - Terbit 8 Mei

Indo Tambangraya Megah: Masih Royal Dividen?

Laporan Kinerja Avere Investama 2022

Prospek Saham Energi Terbarukan, Kencana Energi Lestari (KEEN)

Prospek Saham Samudera Indonesia (SMDR): Bisakah Naik Lagi ke 600 - 700?

Perkiraan Dividen PTBA: Rp1,000 per Saham