Prospek Cerah Saham Nikel Imbas Hilirisasi

Minggu lalu kita sudah membahas soal prospek saham-saham batubara di tahun 2024, di mana kemudian penulis menerima pertanyaan, ‘Bagaimana dengan prospek saham nikel? Karena seperti halnya batubara yang mulai kembali naik, harga nikel juga sama mulai naik lagi bukan? Dan apakah program hilirisasi yang dikerjakan Pemerintah akan menguntungkan emiten-emiten nikel yang ada di BEI? Eh, tapi bagaimana dengan isu oversupply nikel itu?

***

Ebook Investment Planning berisi kumpulan 30 analisa saham pilihan edisi terbaru sudah terbit, dan sudah bisa dipesan disini, gratis tanya jawab saham/konsultasi portofolio, langsung dengan penulis.

***

Untuk menjawab semua pertanyaan di atas, mari kita lihat lagi faktor-faktor pentingnya, satu per satu.

Pertama, terkait harga benchmark London Metal Exchange (LME) untuk nikel itu sendiri yang bisa anda lihat disini, yang ketika artikel ini ditulis berada di level $18,125 per ton, naik dari posisi terendahnya di $15,688 per ton bulan Februari 2024 kemarin seiring dengan trend kenaikan harga-harga komoditas belakangan ini, namun masih turun signifikan dibanding puncaknya di tahun 2022 lalu, yang sempat mencapai $45,000 per ton. Meski demikian jika dibanding harga terendahnya di era pandemi tahun 2020 lalu yakni $10,000, maka harga nikel pada hari ini tetap terhitung naik signifikan, dan no way bakal turun lagi sampai serendah itu karena tidak hanya hari ini sudah tidak ada lagi pandemi, tapi juga karena tingginya inflasi global di tahun 2020 – 2021 lalu, yang telah menyebabkan kenaikan harga-harga komoditas secara permanen.

Kedua, kalau anda masih ingat, pada tahun 2019 lalu Pemerintah mengumumkan akan melarang ekspor nikel mulai tahun 2020, sehingga sempat menyebabkan harga nikel LME melonjak dari $12,000 hingga $18,000 per ton antara bulan Juli – September 2019 (ingat ketika itu belum terjadi pandemi, ataupun inflasi). Nah, larangan ini sebenarnya tidak berlaku bagi perusahaan-perusahaan nikel besar yang listing di BEI seperti misalnya Aneka Tambang (ANTM), atau Vale Indonesia (INCO), karena yang dilarang untuk diekspor adalah nikel dalam bentuk bijih mentah/masih berbentuk batu-batuan yang baru diambil dari dalam tanah. Sedangkan ANTM dan INCO tidak mengekspor bijih nikel melainkan diolah terlebih dahulu menjadi ferronickel (FeNi), dan nickel matte, yang meskipun sejatinya baru merupakan produk nikel setengah jadi yang masih harus diolah lagi menjadi stainless steel dll, namun sudah dianggap produk hilir sehingga tetap boleh diekspor. Alhasil kedua perusahaan ini bisa tetap beroperasi seperti biasa, dan malah diuntungkan karena mereka bisa beli bijih nikel pada harga miring dari perusahaan tambang lain yang tidak punya smelter, sehingga tidak punya pilihan kecuali menjual bijih nikelnya ke konsumen dalam negeri (karena gak boleh ekspor), dalam hal ini ANTM dan INCO. Kemudian pada tahun 2022 lalu seiring tingginya harga nikel ketika itu, maka ANTM sukses membukukan laba bersih Rp3.8 triliun (berbanding Rp1.1 triliun di tahun 2020), sedangkan INCO $200.4 juta (berbanding $82.8 juta di tahun 2020). Menariknya, meskipun di tahun 2023-nya harga nikel turun lagi, namun karena volume produksinya masih bertumbuh, maka sampai dengan Q3 2023, ANTM masih membukukan kenaikan laba bersih 8.4% dibanding periode yang sama tahun 2022. Sedangkan kinerja INCO terhitung lebih baik lagi: Untuk tahun penuh 2023, labanya masih tumbuh 36.9% dibanding 2022. Yang itu artinya, jika kedepannya harga nikel minimal bertahan saja di levelnya saat ini alias tidak turun lebih rendah lagi, dan di sisi lain kedua perusahaan bisa terus meningkatkan volume produksinya, maka hampir pasti laba mereka juga akan lanjut tumbuh di tahun 2024 ini.

Ketiga, tidak hanya melarang ekspor bijih nikel mentah, Pemerintah juga mendorong dan memfasilitasi perusahaan-perusahaan termasuk ANTM dan INCO, untuk berinvestasi membangun smelter atau menambah kapasitas smelter yang sudah ada, agar mereka bisa memproduksi produk hilir nikel lebih banyak lagi di masa yang akan datang. Hasilnya, ANTM membangun smelter FeNi senilai Rp4 triliun di Kabupaten Buli, Halmahera Timur, yang ditargetkan akan beroperasi mulai tahun 2024 ini, sehingga akan menambah kapasitas produksi FeNi milik perusahaan (selain smelter yang di Halmahera, ANTM juga sebelumnya sudah punya smelter di Kolaka, Sulawesi Tenggara).

Sedangkan untuk INCO, maka rencana hilirisasinya bisa dibilang jauh lebih ‘serius’ di mana perusahaan punya tiga proyek besar sekaligus senilai total $9.1 miliar, atau sekitar Rp135 triliun, meski perlu dicatat bahwa proyek-proyek tersebut dikerjakan bersama dengan mitra pihak ketiga. Ketiga proyek tersebut adalah (klik gambar untuk memperbesar):

Sedikit catatan, jika di atas disebut bahwa FeNi dan nickel matte merupakan produk setengah jadi untuk bahan baku pembuatan stainless steel, komponen otomotif, dan komponen elektronik, maka MHP atau mixed hydroxide precipitate adalah jenis nikel yang akan diolah lebih lanjut menjadi nickel sulfate, yang pada gilirannya menjadi bahan baku pembuatan baterai kendaraan listrik. Sehingga jika proyeknya berjalan lancar maka Indonesia untuk pertama kalinya dalam sejarah akan mampu memproduksi baterai mobil listriknya sendiri, atau minimal bahan bakunya, salah satunya melalui INCO.

Gambar bentuk mineral nikel dan kobalt, baik dalam bentuk mentah (bijih), maupun olahan. Sumber: Laporan Tahunan NCKL.

Lanjut keempat soal isu oversupply nikel, yang ditengarai menjadi penyebab penurunan harga nikel di sepanjang tahun 2023 lalu. Nah, sebenarnya penulis sendiri lebih melihat penurunan harga nikel lebih karena mengikuti trend penurunan harga komoditas itu sendiri setelah mencapai puncak booming-nya di tahun 2022, dimana harga batubara, minyak, timah dll juga sama turun sejak tahun 2022. Namun memang data United Nations Comtrade menunjukkan bahwa nilai ekspor nikel Indonesia meroket menjadi $6.0 miliar di tahun 2022, dari hanya $1.3 miliar di tahun 2021, dan $808 juta di tahun 2020, yang kemungkinan ditopang oleh tiga faktor sekaligus: 1. Kenaikan harga jual nikel, 2. Berubahnya jenis nikel yang diekspor dari sebelumnya bijih mentah menjadi produk hilir dengan harga jual yang lebih tinggi, dan 3. Kenaikan volume ekspor. Dan memang berdasarkan data dari United States Geological Survey (USGS), Indonesia memproduksi 1.6 juta ton bijih nikel yang hampir seluruhnya diolah menjadi FeNi atau produk hilir lainnya (lalu baru diekspor) di tahun 2022, meningkat signifikan dibanding 771 ribu ton di tahun 2020, di mana kenaikan produksi tersebut turut mendorong lonjakan volume produksi nikel dunia dari 2.5 juta ton di tahun 2020, menjadi 3.3 juta ton di tahun 2022, dan diperkirakan akan kembali naik di tahun 2023 dan 2024 ini (Sumber: USGS Publications)

Sehingga, jika dikatakan terjadi oversupply pasokan nikel maka mungkin itu memang benar adanya, yakni karena terjadinya lonjakan volume produksi itu tadi yang tidak diimbangi oleh kenaikan permintaan atau demand. However, tidak ada data pasti soal berapa juta ton persisnya volume permintaan nikel di seluruh dunia, sehingga soal isu oversupply nikel ini penulis melihatnya begini saja: Ketika kemarin-kemarin harga nikel terus turun, maka itu mungkin (salah satunya) memang karena oversupply. Tapi ketika belakangan ini harga nikel mulai naik lagi, maka kemungkinan itu menunjukkan bahwa permintaan nikel juga sudah naik hingga ke level yang mengimbangi suplai nikel itu sendiri. Atau dengan kata lain situasi oversupply-nya sudah tidak terjadi lagi. At the end of the day, kita bisa lihat sendiri bahwa trend produksi otomotif sekarang ini sudah lebih ke mobil/motor listrik ketimbang kendaraan berbahan bakar minyak, tidak hanya di Indonesia melainkan di seluruh dunia, yang itu artinya permintaan nikel untuk pembuatan baterai EV (electric vehicle) memang akan terus meningkat.

Prospek Sahamnya?

Okay Pak Teguh, jadi sekarang ke pertanyaan pentingnya: Apakah ini berarti saham nikel menarik untuk dikoleksi? Dan saham apa pilihannya? Karena selain ANTM dan INCO, di BEI juga masih ada beberapa emiten nikel lain seperti Trimegah Bangun Persada (NCKL), dan Merdeka Battery Materials (MBMA). Nah, kalau anda baca lagi ulasan di atas, maka fokusnya adalah ke prospek kinerja emiten dalam jangka panjang hingga 3 – 5 tahun ke depan, dalam hal ini jika proyek hilirisasi-nya berjalan lancar dan berproduksi tepat waktu, di mana jika kita fokusnya kesitu maka INCO tampak sangat menarik, karena proyek hilirisasinya paling banyak. Demikian pula untuk NCKL dan MBMA, yang juga punya sejumlah proyek pembangunan smelter yang fokus di nikel. Sedangkan untuk ANTM, maka karena perusahaan tidak hanya fokus di pengembangan nikel tapi juga mineral lain seperti emas dan bauksit (bahan baku alumunium), maka prospek kedepannya cenderung sulit untuk dibaca karena kinerja perusahaan tidak hanya akan dipengaruhi oleh volume produksi serta harga nikel, tapi juga mineral lain yang disebut barusan.

Namun demikian jika kita fokusnya ke tahun 2024 ini saja, maka berdasarkan track record kinerjanya sejak tahun 2020 atau lebih lama lagi, maka NCKL adalah yang terbaik, disusul oleh INCO, ANTM, dan terakhir MBMA (MBMA baru mencatatkan pendapatan di tahun 2022, sebelum itu pendapatannya nol), dimana kinerja keempat perusahaan memang semuanya tumbuh pesat seiring meningkatnya volume produksi masing-masing. Sehingga dengan asumsi trend pertumbuhan volume produksi tersebut masih akan terus berlanjut, ditambah harga nikel lanjut naik atau minimal bertahan di kisaran saat ini, maka keempatnya diproyeksi akan kembali membukukan kenaikan pendapatan serta laba di tahun 2024 ini, bahkan meski proyek-proyek hilirisasi yang disebut di atas masih belum beroperasi. Dan karena secara valuasi, saham INCO adalah yang relatif paling murah diantara keempatnya (PBV 1.1 kali, berbanding PBV ANTM 1.6 kali, NCKL 2.7 kali, dan MBMA 2.5 kali), maka pilihan pertamanya INCO, disusul NCKL, lalu terakhir baru ANTM dan/atau MBMA. Mungkin perlu dicatat pula bahwa karena sekarang INCO dikuasai oleh Pemerintah melalui MIND ID, maka kedepannya perusahaan akan menerima banyak privilege sebagai perpanjangan tangan Pemerintah untuk fokus di industri nikel (jadi beda sama ANTM yang bisnisnya gak cuma di nikel), dan memang seperti disebut diatas INCO ini punya buanyak banget proyek hilirisasi.

Anyway, pengalaman menunjukkan bahwa harga saham-saham nikel akan naik dan turun secara bersamaan mengikuti harga komoditas nikel itu sendiri. Jadi jika besok-besok harga nikel lanjut naik maka tidak hanya INCO, melainkan saham-saham yang disebutkan di atas juga akan naik semuanya. Namun demikian jika harga nikel turun lagi, dan itu bisa saja terjadi karena selain isu oversupply, juga ada isu bahwa baterai nikel akan digantikan oleh baterai LFP (lithium ferro phosphate) yang berbahan baku bijih besi karena harganya lebih murah, maka INCO dkk juga akan turun lagi. Sehingga jika anda tertarik untuk masuk maka gunakan dana secukupnya saja.

Untuk minggu depan kita akan bahas update prospek saham-saham perkebunan kelapa sawit.

***

Ebook Investment Planning berisi kumpulan 30 analisa saham pilihan edisi terbaru sudah terbit, dan sudah bisa dipesan disini, gratis tanya jawab saham/konsultasi portofolio, langsung dengan penulis.

Dapatkan postingan terbaru dari blog ini via email. Masukkan alamat email anda di kotak dibawah ini, lalu klik subscribe

Komentar

ARTIKEL PILIHAN

Live Webinar Value Investing, Sabtu 27 April 2024

Ebook Investment Planning Kuartal I 2024 - Terbit 8 Mei

Indo Tambangraya Megah: Masih Royal Dividen?

Laporan Kinerja Avere Investama 2022

Prospek Saham Energi Terbarukan, Kencana Energi Lestari (KEEN)

Prospek Saham Samudera Indonesia (SMDR): Bisakah Naik Lagi ke 600 - 700?

Perkiraan Dividen PTBA: Rp1,000 per Saham