Tiga Pilar Sejahtera Food

Dalam beberapa waktu terakhir ini ada banyak saham second liner yang turun signifikan seiring dengan terjadinya koreksi pasar (soal koreksi pasar ini, baca lagi penjelasannya disini), namun mungkin tidak ada saham lain yang turun sedalam Tiga Pilar Sejahtera Food (AISA). Yup, enam bulan lalu AISA masih berada di level 1,700-an, sebelum kemudian drop ke level 1,000-an pada Juli 2017 setelah perusahaan tersangkut kasus hukum terkait anak usahanya, PT Indo Beras Unggul. However, tak hanya kasus hukumnya tersebut sampai sekarang masih simpang siur, AISA kembali dihantam isu-isu miring mulai dari rencana divestasi unit usaha berasnya hingga isu default (gagal bayar utang), dan alhasil sahamnya kembali terjun bebas hingga sempat menyentuh level 378, sebelum kemudian membal ke level 480 – 500.

Namun disisi lain, setelah kehilangan sekitar dua pertiga nilai pasarnya, saham AISA sekarang (pada harga 480) hanya mencerminkan PBV 0.4 dan PER 6.7 kali, absolutely undervalue apalagi jika dibanding saham-saham consumer goods yang lain. Jadi ini peluang apa bukan? Kemudian bagaimana dengan isu-isu miringnya tadi??


Secara laporan keuangan, kinerja AISA di tahun 2017 ini kurang bagus dimana hingga Kuartal III, laba bersih perusahaan drop menjadi Rp173 milyar, dibanding Rp345 milyar di periode yang sama tahun 2016. Namun antara tahun 2011 hingga 2016, laba AISA secara konsisten bertumbuh dari Rp123 menjadi 593 milyar. Yup, jadi perusahaan ini sejatinya punya track record kinerja yang bagus, dan kita bisa berharap bahwa kedepannya laba AISA bakal naik lagi. Berdasarkan pengalaman ketika kita membeli saham-saham batubara pada valuasi rendah ketika harga batubara masih belum naik di tahun 2016, atau ketika kita masuk ke saham-saham perbankan di tahun 2015 ketika sektor ini sedang dilanda isu kredit macet seiring perlambatan pertumbuhan ekonomi ketika itu, dan memang keduanya menghasilkan profit signifikan setelah 1 – 2 tahun selaras dengan membaiknya kinerja masing-masing perusahaan, maka value opportunity berikutnya mungkin terletak di AISA ini.

However, dengan berbagai problem yang menimpa perusahaan sekarang ini, maka bisakah AISA kembali membukukan kinerja positif di masa yang akan datang? Atau jangan-jangan asal gak bangkrut saja sudah bagus?? Untuk itu mari kita telaah lagi perusahaan sejak awal.

Bisnis Asli AISA: Bihun dan Makanan Ringan

AISA, seperti yang kita ketahui, merupakan produsen mie kering, bihun, makanan dan minuman ringan termasuk biskuit dan permen, dan distributor beras. Perusahaan adalah pemilik dari merk-merk terkenal seperti snack Taro, Beras Maknyuss, dan minuman Capri-Sun. Dalam beberapa tahun terakhir perusahaan secara rutin terus meluncurkan produk-produk dan merk baru, terakhir mereka meluncurkan ‘Mi Goreng Superior’, ‘Bihun Jagung cap Tanam Jagung’, termasuk membangun pabrik untuk memproduksi minuman Capri-Sun. Jika dibandingkan dengan perusahaan consumer goods lainnya di Indonesia, maka manajemen AISA terbilang sangat agresif dalam berinovasi/menciptakan banyak produk-produk baru sekaligus ekspansi/melakukan pengembangan usaha, namun terkadang mereka malah jadi tersandung karenanya. Contoh, beberapa tahun lalu AISA berekspansi dengan mengakuisisi perusahaan perkebunan kelapa sawit, Golden Plantation (GOLL), dalam rangka untuk memiliki supply CPO-nya sendiri untuk bisnis makanannya (karena untuk bikin mie goreng dll, itu diperlukan minyak goreng dalam jumlah besar). Namun karena timing-nya salah, dimana AISA mengakuisisi GOLL justru ketika harga jual CPO sedang turun, maka perusahaan kemudian menderita rugi besar hingga akhirnya, sekitar dua tahun lalu, AISA terpaksa menjual GOLL untuk kembali fokus ke bisnis makanan dan beras.

Dan untuk sekarang ini, AISA sepertinya harus kembali mendivestasi salah satu lini usahanya, yakni divisi perdagangan beras. Actually, berdasarkan sejarahnya sejak tahun 1959, AISA awalnya hanya merupakan produsen bihun jagung merk 'Cap Cangak Ular' dan mie kering dengan merk ‘Ayam 2 Telor’. AISA baru berekspansi dengan masuk ke bisnis beras dan lainnya sejak tahun 2009, yakni ketika tampuk pimpinan perusahaan dipegang oleh Stefanus Joko Mogoginta, yang merupakan generasi ketiga/cucu dari pendiri perusahaan, mendiang Tan Pia Sioe. Dan meski berbagai ekspansi tersebut sukses mendorong ekuitas perusahaan untuk tumbuh dari Rp1.8 trilyun di tahun 2011 menjadi Rp4.1 trilyun per Kuartal III 2017, namun progress-nya tidak terlalu mulus. Yup, selain merugi dari usaha perkebunan kelapa sawitnya, bisnis beras yang diakuisisi sejak tahun 2010 juga tidak menghasilkan profit sebesar yang diharapkan/margin labanya jauh lebih rendah dibanding bisnis makanan ringan. Pada Kuartal III 2017, dari pendapatan usaha beras sebesar Rp2.3 trilyun (atau Rp3 trilyun kalau disetahunkan), laba bersihnya hanya Rp10 milyar saja. Bandingkan dengan pendapatan dari usaha makanan ringan di periode yang sama, yang sedikit lebih kecil yakni hanya Rp1.8 trilyun, tapi laba bersihnya mencapai Rp175 milyar.

Informasi kinerja AISA per segmen usaha. Klik gambar untuk memperbesar

Mungkin karena itulah, selain karena bisnis beras ternyata ribet karena beras merupakan salah satu kebutuhan pokok masyarakat Indonesia (sehingga harga jualnya diatur oleh Pemerintah, penulis sudah menyebut soal ini di artikel tentang AISA, tahun 2012 lalu), dan puncaknya adalah ketika perusahaan beberapa waktu lalu terlibat kasus hukum terkait usaha berasnya, maka manajemen AISA akhirnya give up dan memutuskan untuk keluar sama sekali dari usaha perdagangan beras.

Nah, berdasarkan sense bahwa bisnis beras tidaklah menguntungkan serta rumit, dan karena bisnis asli perusahaan sejatinya adalah di bihun, mie, dan makanan ringan, maka keputusan untuk divestasi usaha beras ini merupakan keputusan yang paling tepat. However, karena investor selama ini taunya sebagian besar pendapatan perusahaan berasal dari bisnis beras (itu memang benar, tapi seperti yang disebut diatas, laba bersih AISA dari usaha berasnya justru sangat kecil), belum lagi ditambah berita penurunan rating utang obligasinya serta isu bahwa perusahaan default/gagal bayar utang, dan kasus hukum perusahaan kemarin juga masih belum kelar, maka jadilah sahamnya anjlok gila-gilaan. Karena tidak hanya investor khawatir bahwa AISA bakal kehilangan mayoritas pendapatannya, sekarang mereka juga khawatir bahwa perusahaan bakal bangkrut. Sebenarnya kalau hanya karena penurunan kinerjanya saja, maka AISA di harga 1,000-an (PBV sekitar 0.7 – 0.8 kali) itu sudah sangat murah, terutama mengingat statusnya sebagai perusahaan consumer goods dengan track record kinerja yang bagus, dan kinerja perusahaan di tahun 2017 juga sebenarnya tidak sejelek itu/nggak sampai merugi. Namun ditambah dengan berbagai ‘problem’ diatas, maka jadilah sahamnya turun sampai sekarang.

Kondisi Perusahaan Saat Ini

Dan kalau anda berusaha menganalisa AISA ini hanya dari berita-berita serta rumor simpang siur yang beredar, maka anda justru hanya akan bingung sendiri. Jadi, okay, penulis akan sampaikan kronologis aslinya. Pertama, pada 2 November 2017, AISA menggelar RUPS untuk meminta persetujuan pemegang saham untuk menjual/mendivestasi beberapa anak usaha perusahaan di bidang perdagangan beras. Seperti juga ketika perusahaan menjual GOLL, dua tahun lalu, AISA berencana untuk menjual unit usaha berasnya ke PT JOM Prawarsa Indonesia yang merupakan pihak berelasi (kemungkinan juga dimiliki oleh Mr. Joko Mogoginta, tapi berbeda/diluar AISA). Untuk harga jualnya belum ditentukan, namun yang pasti nilai transaksinya relatif kecil yakni tidak akan mencapai 20% dari total nilai aset perusahaan yang sebesar Rp9.7 trilyun (meski tetap mencapai 20% dari nilai ekuitas perusahaan, sehingga aksi korporasi ini memerlukan persetujuan RUPS). Yup, karena untuk usaha berasnya, aset-aset AISA hanyalah berupa gudang, persediaan beras itu sendiri, serta jaringan distribusi. AISA tidak memiliki sawah ataupun aset tetap lainnya, karena sejak awal mereka hanya jualan beras yang dibeli dari petani, bukan memproduksi beras itu sendiri.

Jadi sekali lagi, yup, pendapatan AISA memang akan berkurang drastis (sekitar Rp3 trilyun) setelah divestasi usaha berasnya, tapi tidak demikian dengan laba bersihnya. Malah dengan kembali fokusnya perusahaan di usaha bihun dan makanan ringan, laba bersih AISA dari snack Taro dll harusnya bisa naik lagi. Kemudian total aset AISA juga akan berkurang, tapi sekali lagi berkurangnya tidak akan terlalu besar, karena mayoritas aset AISA (pabrik bihun dll) itu merupakan aset di usaha industri makanan, bukan beras. Selain itu jangan lupa bahwa AISA tidak akan kehilangan usaha berasnya begitu saja, melainkan akan menerima hasil penjualan yang bisa kembali diinvestasikan ke bidang usaha yang lain.

Kedua, pada tahun 2013, AISA menerbitkan obligasi dan sukuk, masing-masing senilai Rp600 dan 300 milyar, dan pada tahun 2016 perusahaan kembali menerbitkan sukuk senilai Rp1.2 trilyun. Thus, perusahaan memiliki tiga utang obligasi senilai total Rp2.1 trilyun. Yang perlu dicatat disini, kesemua obligasi tersebut dijamin dengan aset tetap dari beberapa anak usaha termasuk PT Sukses Abadi Karya Inti, dan PT Jatisari Srirejeki, dimana keduanya merupakan perusahaan perdagangan beras. Karena dua anak usaha tersebut termasuk yang akan didivestasikan (sehingga tidak bisa lagi dijadikan jaminan obligasinya), maka selain menggelar RUPS, AISA juga harus menggelar RUPO (rapat umum pemegang obligasi) untuk meminta persetujuan dari para pemegang obligasinya, untuk mengganti jaminan obligasinya dari aset tetap milik dua anak usaha diatas, dengan aset AISA yang lain.

Namun seperti yang kita ketahui, ternyata para pemegang obligasi menolak usulan tersebut, alhasil manajemen AISA sekarang harus putar otak lagi, karena mereka tetap berencana untuk menjual usaha berasnya. Ketiga, imbas dari hasil RUPO-nya tersebut, Pefindo sebagai lembaga pemeringkat kemudian segera merilis update rating untuk tiga obligasi/sukuk AISA, dimana intinya rating obligasi tersebut turun dari A menjadi BBB, dengan catatan ‘credit watch with negative implication’ (‘negative implication’ ini kemungkinan terkait keputusan manajemen AISA yang tetap berencana mendivestasi usaha berasnya meski menerima penolakan dari pemegang obligasi).

Dari update rating Pefindo inilah kemudian muncul rumor bahwa AISA mengalami gagal bayar utang obligasinya diatas, alias default. Padahal yang benar adalah, 1. AISA sampai sekarang masih lancar membayar cicilan utang obligasinya, baik itu pokok hutang maupun bunganya, tanpa pernah terlambat sekalipun 2. Total obligasinya yang akan jatuh tempo dalam waktu kurang dari satu tahun adalah sekitar Rp900 milyar, dan AISA masih memiliki aset lancar senilai total Rp5.8 trilyun, atau jauh lebih besar, sehingga secara neraca keuangan, AISA masih jauh dari kemungkinan default ataupun restrukturisasi utang. Yang jadi masalah adalah, sekali lagi, manajemen AISA menawarkan kepada para pemegang obligasi untuk mengganti jaminan/collateral obligasinya dari aset pabrik beras dengan aset lainnya, tapi para pemegang obligasi tersebut menolak tawaran tersebut.

Tapi karena inti masalahnya hanya sebatas penggantian collateral (jadi bukan restrukturisasi utang yang harus melalui proses yang rumit dan panjang seperti restrukturisasi utang Bumi Resources, beberapa waktu lalu), termasuk nilai utang obligasinya juga tidak sebesar itu/masih ter-cover oleh aset maupun ekuitas bersih perusahaan, maka penulis percaya bahwa nanti juga pihak manajemen akan mencapai titik temu dengan para pemegang obligasinya, dan rencana divestasi usaha berasnya bisa tetap dilaksanakan.

Okay, lalu bagaimana dengan prospek perusahaan kedepannya setelah nanti semua gonjang ganjing divestasi beras bla bla bla ini selesai? Well, tarohlah kita anggap perusahaan bakal kehilangan usaha berasnya begitu saja/tidak menerima uang cash dari hasil penjualannya (karena waktu AISA menjual GOLL senilai Rp521 milyar, perusahaan juga tidak langsung menerima uangnya/sampai sekarang hasil penjualan tersebut masih dicatat sebagai piutang), maka aset perusahaan akan berkurang, tapi berkurangnya gak banyak/tidak akan sampai 20% dari total aset perusahaan. Kemudian pendapatan AISA juga akan turun lebih dari separuhnya (karena mayoritas pendapatan perusahaan berasal dari penjualan beras), tapi tidak demikian dengan laba bersihnya, yang hanya turun sedikit. Malahan jika kedepannya manajemen bisa fokus hanya pada usaha bihun, mie, dan makanan ringan, maka laba AISA bisa kembali naik tinggi seperti di tahun-tahun yang lalu. Ketika AISA menjual GOLL, juga ada kekhawatiran bahwa kinerja perusahaan akan turun karena kehilangan salah satu sumber pendapatannya, tapi justru laba AISA pada tahun 2016 kembali naik pesat, dan sahamnya pun ketika itu naik lagi dari 1,000-an hingga sempat tembus 2,000 kembali. Soal utang perusahaan juga tidak perlu dikhawatirkan, karena sekali lagi, jumlah utang AISA sama sekali tidak sebesar itu/total DER-nya hanya 1.3 kali, dengan jumlah utang jangka pendek yang secara signifikan lebih kecil dibanding aset lancar perusahaan (Rp3.6 berbanding Rp5.8 trilyun).

Lalu bagaimana dengan sahamnya?

Penulis sebenarnya sudah tertarik dengan AISA ini ketika beberapa waktu lalu sahamnya drop sampai 900 – 1,000, yakni ketika mencuat kasus hukum terkait pabrik berasnya, dimana PBV-nya pada harga tersebut sudah dibawah satu kali. However, dengan mempertimbangkan cara kerja manajemen perusahaan yang grasa grusu dalam berekspansi, pernah cut loss dari kegagalan investasinya di GOLL dua tahun lalu, termasuk kasus hukumnya sendiri kelihatannya cukup serius, maka penulis putuskan untuk wait n see saja dulu.

Dan ketika kemudian sahamnya lanjut turun hingga dibawah 500, dimana PBV-nya tinggal 0.4 kali, maka barulah penulis melihat AISA ini dengan cara yang berbeda: Yep, kinerja AISA tahun ini memang lagi turun, dan fundamental perusahaan secara umum memang tidak sebagus perusahaan consumer goods lainnya seperti Sido Muncul (SIDO), Nippon Indosari Corpindo (ROTI), atau Kalbe Farma (KLBF), tapi disisi lain dia nggak sejelek itu juga, dimana AISA punya track record kinerja yang bagus, dan perusahaan merupakan pemegang dari merk-merk makanan yang cukup terkemuka (Ayam 2 Telor, Snack Taro, dst), dimana merk-merk ini juga ada nilainya (penjelasan soal ‘nilai merk’ bisa dibaca disini). Dan meski AISA sekarang ini memang lagi ‘problem’, tapi setelah kita telaah lagi diatas, sebenarnya kondisinya tidak seburuk itu juga, sementara disisi lain harga sahamnya sekarang ini sudah kelewat rendah/sudah mencerminkan semua kekhawatiran investor dll. Maksud penulis adalah, yup, nilai ekuitas AISA mungkin akan berkurang pasca divestasi berasnya, yakni jika perusahaan tidak segera memperoleh pembayaran tunai dari penjualan usaha berasnya, tapi penurunan harga sahamnya jauh lebih signifikan ketimbang penurunan ekuitasnya tersebut. Dengan kata lain, kalo misalnya AISA ini masih di harga 900 – 1,000, maka penulis juga gak akan tertarik.

Kemudian, terlepas dari upaya ekspansi perusahaan yang sejauh ini kelihatannya gagal semua, tapi bisnis inti perusahaan yakni bihun dan makanan ringan sejatinya sudah cukup menguntungkan dan gak ada masalah apapun. Jadi dengan kembalinya fokus manajemen ke bisnis inti tersebut, maka diharapkan perusahaan akan kembali profitable seperti di tahun-tahun sebelum 2017.

Jadi untuk kedepannya terdapat setidaknya tiga skenario untuk saham AISA. Pertama, AISA sukses mendivestasi usaha berasnya, kasus hukumnya juga selesai, dan semua kesimpang siuran berita terkait kelangsungan usaha perusahaan akhirnya mereda seiring dengan berjalannya waktu, dan laba perusahaan kembali naik di tahun 2018 nanti. Maka ketika itulah sahamnya akan naik sangat tinggi. Berdasarkan data historis, PBV AISA ketika perusahaan mencatatkan kinerja bagus serta tidak sedang ‘dalam masalah’ seperti sekarang, adalah sekitar 2.0 – 2.2 kali, yang setara harga saham 2,000 – 2,500. Jadi, yap, jika skenario pertama ini yang terjadi maka saham AISA bisa naik setinggi itu, dalam waktu satu tahun atau kurang. Dalam waktu kurang dari satu tahun itu pula, ada kemungkinan manajemen akan mengumumkan rencana buy back saham atau semacamnya (karena kalau penulis adalah Mr. Joko, maka ini merupakan peluang emas untuk membeli saham AISA dari investor publik, karena kapan lagi bisa dapet harga semurah ini??).

Skenario kedua, kinerja perusahaan di tahun 2018 masih biasa saja/belum kembali pulih, tapi semua kesimpang siuran berita terkait kelangsungan usaha perusahaan tetap mereda seiring dengan berjalannya waktu. Dalam hal ini penulis berkaca pada banyak pengalaman dimana sebuah saham bisa turun drastis ketika beredar berita dan rumor negatif (sehingga menyebabkan investor, karena kebingungan, memutuskan untuk cut loss), tapi ketika pemberitaan itu akhirnya mereda/dilupakan orang dengan sendirinya, maka sahamnya kemudian naik lagi, terkadang dengan kenaikan yang signifikan/diatas 50 – 100%. Termasuk AISA sendiri, dua tahun lalu sempat drop sampai dibawah 1,000 ketika perusahaan menjual GOLL, dan beritanya waktu itu juga simpang siur, tapi tak sampai setahun kemudian langsung naik lagi ketika semua kesimpang siuran itu mereda. Make no mistake: Kalau AISA ini hanya naik sedikit ke level 900 – 1,000 saja, (PBV 0.7 kali, still reasonable), maka profitnya sudah 100% bukan?

Sementara skenario ketiga, adalah rencana perusahaan untuk mendivestasi usaha berasnya ternyata terhambat/berkepanjangan, atau malah muncul lagi problem baru. Jika ini yang terjadi maka ya sudah: Saham AISA gak akan naik dulu, dan fluktuasi tajamnya dalam beberapa waktu terakhir bisa berlanjut (sehingga sahamnya tidak cocok bagi anda yang jantungan/masih hobi ngeliatin harga saham tiap hari). However, kalaupun skenario ini yang terjadi, penulis kira AISA tetap sulit untuk turun lebih lanjut/kalaupun lanjut turun maka gak akan banyak turunnya, karena valuasi saham AISA sekarang ini bahkan sudah lebih rendah dibanding valuasi saham-saham batubara di tahun 2015 lalu, padahal perusahaan sampai sekarang masih beroperasi dengan normal dan masih membukukan laba, jadi gak sampai merugi seperti perusahaan-perusahaan batubara di tahun 2015 tersebut.

Jadi dengan menelaah kembali peristiwa-peristiwa terbaru terkait kegiatan usaha perusahaan, serta mempertimbangkan faktor potensi profit serta risikonya, maka yup, AISA menawarkan value opportunity terutama pada harganya saat ini, meski memang disisi lain risikonya juga masih agak besar terutama terkait kemungkinan terjadinya skenario ketiga diatas. Jika anda hendak main aman, maka boleh juga tunggu sampai proses divestasi beras AISA selesai, dan berbagai berita negatif tentang AISA berbalik menjadi berita positif, misalnya ‘Pasca Divestasi Beras, Margin Laba AISA Meningkat Tajam’ (karena untuk ‘menyetel’ judul berita seperti itu, itu gampang banget kok. Baca penjelasannya disini). Tapi biasanya ketika itu terjadi maka sahamnya sudah naik duluan, mungkin ke 700 – 800 atau lebih tinggi lagi (meski memang masih bisa lanjut naik), dan alhasil profit yang anda peroleh juga lebih kecil dibanding jika anda masuk di harga sekarang. So, what do you think?

Disclosure: Ketika artikel ini dipublikasikan, Avere Partners sedang dalam posisi memegang AISA di harga 500. Posisi ini dapat berubah setiap saat tanpa pemberitahuan terlebih dahulu sebelumnya.

Jadwal Seminar Value Investing: How to Casually Make Money from the Stock Market. Jakarta,  Amaris Hotel Thamrin City, Sabtu 13 Januari 2018. Keterangan selengkapnya baca disini.

Follow/lihat foto-foto penulis di Instagram, klik 'View on Instagram' dibawah ini: Instagram

Komentar

Zulbiadi Latief mengatakan…
Suhu... saya salah satu muridmu....! pernah ikut juga seminar pak Teguh.

The one and only... analis saham fundamental yang paling detail analisanya ya pak Teguh ini.

Semoga sy juga bisa mengikuti jejak pak teguh di blog baru saya analis.co.id

Sukses selalu pak Teguh.
Daruhut mengatakan…
Uang hasil penjualan PT. Golden Plantation, Tbk sebesar lebih dari Rp 521 Milyar sampai tanggal 30 September 2017 belum diterima oleh AISA, padahal uang hasil transaksi itu harusnya sudah diterima tanggal 30 September 2016.
Anonim mengatakan…
AISSA menjual PT. Golden Plantation kepada PT. JOM Prawarsa Indonesia bulan Mei 2016. Menurut perjanjian jual beli, PT. JOM harus membayar lebih dari Rp 521 Milyar paling lambat tanggal 30 September 2016.

Sayangnya, berdasarkan laporan keuangan AISA per tanggal 30 September ( kuartal III ), PT JOM belum membayar.
Berita Saham mengatakan…
"dari pendapatan usaha beras sebesar Rp2.3 trilyun (atau Rp3 trilyun kalau disetahunkan), laba bersihnya hanya Rp10 milyar saja" Apa tidak salah ya? Di lap keu penjualan beras 2.386.331 juta dan beban nya 1.938.593 juta
Unknown mengatakan…
http://investasi.kontan.co.id/news/penjualan-goll-masih-alot-aisa-butuh-katalis
arifin mengatakan…
@Berita Saham:

Profit utama AISA memang dari bisnis beras kok, sebaiknya admin cek kembali laporan keuangan AISA deh.
Teguh Hidayat mengatakan…
@arifin: Barangkali belum jelas, diatas sudah kita masukkan screenshot kinerja terakhir AISA per segmen usaha. Thanks
Teguh Hidayat mengatakan…
Btw agar lebih fair, memang benar bahwa antara tahun 2011 - 2016, laba bersih AISA dari bisnis makanan serta berasnya itu cenderung sama/berimbang, dan baru di tahun 2017 ini saja kinerja usaha beras AISA turun tajam. Lengkapnya sebagai berikut, angka dalam milyaran Rupiah:

Tahun Laporan Keuangan 2011 2012 2013 2014 2015 2016
Laba Usaha Makanan 95 86 140 131 140 335
Laba Usaha Beras 69 119 117 155 137 403

However seperti yang sudah disampaikan diatas, manajemen mungkin beranggapan bahwa selepas kasusnya kemarin, maka usaha berasnya akan sulit untuk bisa profit lagi seperti dulu karena itu sudah menyangkut kredibilitas perusahaan, bukan lagi soal siklus usaha atau semacemnya. Jadi yo wis dijual saja.
Tovan mengatakan…
@Berita Saham:
Sudah betul. coba lihat catatan atas lap.keu no 33
Anonim mengatakan…
Menurut saya, ada baiknya calon investor lebih sabar menunggu kejelasan "barang" yang akan dibeli. Ketidakjelasan si Aisa masih tinggi, baik secara kuantitatif apalagi kualitatif. Apakah cantik, buruk rupa, atau biasa aja masih kabur. Fundamentalis sejati kemungkinan besar menghindari saham ini
Anonim mengatakan…
Bahas AISA lg pak Teguh
Chandra mengatakan…
Pak aisa gimana nih, harganya sekarang sisa 276? Apa menurut bapak sudah boleh beli?
Anonim mengatakan…
Tolong AISA dibahas lagi pak Teguh
Unknown mengatakan…
Up. Udh turun bgt di 200an.
Anonim mengatakan…
AISA kapan di bahas lagi pak Teguh
chandra jaya mengatakan…
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
Anonim mengatakan…
Bahas AISA lg pak Teguh.
Unknown mengatakan…
Satu kata untuk AISA...borooong
Anonim mengatakan…
satu kata untuk AISA, pailitttt atau 50 gocap, atau reverse stock !
Anonim mengatakan…
@Evi Tikayanti:
manajemen AISA kacau gitu mo diborong???
Anonim mengatakan…
Kalau menurut saya, penulis pegang saham AISA banyak dengan harga tinggi, gantung seperti monyet... Wakakakakak
Unknown mengatakan…
Management cenderung korup
Nichodanmarlene mengatakan…
Aisa menjadi ranjau. Value investor menjadi korban keburukan dan kejahatan management perusahaan. Sayangnya perlindungan terhadap investor di Indonesia hampir nggak ada. Bila management buruk sudah pasti investor akan kehilangan uangnya tanpa bisa berbuat apa apa. Sedih.

ARTIKEL PILIHAN

Live Webinar Value Investing, Sabtu 16 Maret 2024

Ebook Investment Planning Kuartal IV 2023 - Sudah Terbit!

Laporan Kinerja Avere Investama 2022

Peluang dan Strategi Untuk Saham Astra International (ASII)

Indo Tambangraya Megah: Masih Royal Dividen?

Indah Kiat Pulp & Paper (INKP) Bangun Pabrik Baru Senilai Rp54 triliun: Prospek Sahamnya?

Prospek Saham Energi Terbarukan, Kencana Energi Lestari (KEEN)