Prospek Saham Trimegah Bangun Persada (NCKL) Seiring Pembangunan Smelter Baru
PT Trimegah Bangun Persada, Tbk (NCKL) melaporkan laba bersih Rp1.7 triliun di Q1 2025, naik 65.5% dibanding periode yang sama tahun 2024, serta mencerminkan ROE disetahunkan yang cukup tinggi yakni 20.3%, dan prospek kedepannya terbilang cerah terkait penambahan kapasitas produksi dari beberapa smelter barunya. Di sisi lain dengan PER 6.7x dan PBV 1.4x pada harga Rp700 per saham, maka valuasi NCKL tampak relatif murah terutama jika dibandingkan dengan saham-saham big caps (saham dengan market cap $1 miliar atau lebih) lainnya, meski memang bukan tanpa alasan valuasinya bisa murah begitu, yakni karena harga nikel dunia sedang turun. Prospek ke depan?
***
Ebook
Investment Planning berisi kumpulan 30 analisa saham
pilihan edisi Q1 2025 sudah terbit, bisa dipesan
disini. Gratis
tanya jawab/konsultasi saham langsung dengan penulis.
***
NCKL adalah perusahaan tambang nikel milik Grup Harita, sebuah konglomerasi asal Samarinda, Kalimantan Timur, yang fokus di bidang kayu lapis, tambang (batubara, emas, bauksit), properti, dan terakhir di tambang bijih nikel serta produk turunannya melalui NCKL ini. Sejarah perusahaan dimulai pada tahun 2011 ketika Grup Harita membuka dan mengoperasikan tambang bijih nikel di di Pulau Obi, Kabupaten Halmahera Selatan, Provinsi Maluku Utara, namun tiga tahun kemudian pada 2014, untuk mendorong hilirisasi maka Pemerintah melarang ekspor bijih nikel. Sehingga pada tahun yang sama, Grup Harita membangun smelter yang mengolah bijih nikel menjadi ferronickel (FeNi), yang mulai beroperasi pada tahun 2017. Kemudian antara tahun 2018 – 2022, Grup Harita bersama dengan sejumlah mitra memulai konstruksi smelter FeNi keduanya, dilanjut membangun pabrik-pabrik yang memproduksi mixed hydroxide precipitate (MHP), nickel-sulfate, dan cobalt-sulfate, yang merupakan bahan baku baterai mobil listrik alias electric vehicle (EV), semuanya berlokasi di Pulau Obi. Tahun 2023, PT Trimegah Bangun Persada didirikan untuk dijadikan holding dari semua tambang, smelter, dan pabrik yang disebutkan di atas, dan di tahun yang sama perusahaan resmi melantai di Bursa Efek Indonesia (BEI) dengan ticker NCKL, serta pada harga perdana Rp1,250 per saham. Dan sejak tahun 2024 kemarin, sebagian besar smelter baru tersebut sudah mulai beroperasi.
Hingga pada hari ini, NCKL memiliki tiga segmen usaha. Pertama, produksi bijih nikel dalam bentuk limonite (bijih nikel kadar rendah), dan saprolite (bijih nikel kadar tinggi). Kedua, produksi FeNi, yang merupakan bahan baku pembuatan baja anti karat atau stainless steel. Dan ketiga, produksi MHP, nickel-sulfate, dan cobalt-sulfate, untuk bahan baku baterai EV. Selain itu NCKL juga ada produksi batu kapur (limestone) namun kontribusinya tidak besar, dimana di sepanjang tahun 2024 kemarin, maka dari pendapatannya sebesar Rp27.0 triliun, nyaris seluruhnya berasal dari penjualan bijih nikel ke pelanggan di dalam negeri serta ekspor produk turunannya ke pelanggan dari China dan Swiss. Dan angka pendapatan tersebut naik dibanding tahun 2023 sebesar Rp23.9 triliun, thanks to peningkatan volume produksi imbas dari mulai beroperasinya pabrik MHP dll yang disebut di atas, sehingga mampu menutup efek negatif dari penurunan harga jual nikel itu sendiri.
Okay, lalu kenapa NCKL ini menarik? Ya karena itu tadi: Dengan mulai beroperasinya pabrik dan smelter milik perusahan sejak tahun 2024 kemarin, maka volume produksi serta penjualannya akan terus naik hingga 2 – 3 tahun ke depan karena tentunya pabrik-pabrik tersebut tidak akan langsung beroperasi secara penuh, melainkan secara bertahap hingga akhirnya seluruh kapasitas produksinya terpakai. Dan NCKL juga masih punya satu lagi fasilitas produksi FeNi yang dijadwalkan akan beroperasi tahun 2025 ini. Sehingga inilah yang menjelaskan kenapa pendapatan dan laba bersih NCKL masih naik signifikan di Q1 2025 barusan, dan mestinya laba tersebut akan terus naik sampai setidaknya akhir tahun nanti, bahkan meskipun harga nikel (bisa dilihat disini) masih cenderung turun dari sekitar $16,700, setahun lalu, hingga kemarin sempat dibawah $15,000 per ton. Jadi situasi NCKL ini berbeda dengan misalnya PT Vale Indonesia, Tbk (INCO), yang juga memproduksi produk hilir nikel dalam bentuk nickel-matte, namun volume produksinya di Q1 2025 ini tidak naik dan alhasil pendapatan serta labanya turun karena penurunan harga nikel, karena perusahaan memang tidak menambah kapasitas produksinya. Sedangkan fasilitas pabrik barunya yang juga akan memproduksi bahan baku baterai EV masih dalam tahap konstruksi.
Di sisi lain, harga nikel yang masih rendah tetap menjadi sentimen negatif bagi NCKL, dan itulah kenapa sahamnya belum banyak bergerak di rentang 600 – 700, bahkan meskipun IHSG sejak pertengahan April kemarin naik banyak, dan meski kinerjanya di Q1 2025 terbilang bagus. Nah, tapi penulis justru melihat ini sebagai peluang karena, perhatikan: Harga nikel sekarang sudah di level $15,000, turun signifikan dibanding puncaknya di $47,000 per ton pada tahun 2022 lalu, imbas dari meningkatnya volume produksi nikel Indonesia yang mencapai 2.2 juta ton di tahun 2024, naik signifikan dibanding hanya 1.6 juta ton di 2022, sehingga menimbulkan situasi oversupply (Catatan: Indonesia hari ini berkontribusi sekitar 50% produksi nikel dunia). Kemudian kemunculan baterai lithium ferro phosphate (LFP) yang disebut-sebut lebih murah dibanding baterai nikel dan lebih banyak digunakan oleh perusahaan mobil listrik populer seperti Tesla dan BYD, menyebabkan demand terhadap baterai nikel sedikit berkurang meskipun volume produksi mobil listrik itu sendiri naik terus. Sejumlah analis bahkan menyebut bahwa harga nikel akan terus turun karena adanya LFP ini.
Meski demikian, penulis melihat bahwa penurunan harga nikel hari ini sudah cukup rendah karena dua hal. Pertama, secara nominal, harga nikel hari ini sudah sama rendahnya dengan tahun 2018 lalu, sedangkan kita tahu bahwa inflasi dunia meningkat sangat tajam terutama setelah era pandemi. Sehingga kalau menyesuaikan inflasi saja, maka harga nikel pada hari ini harusnya lebih tinggi sekitar 27% (dalam mata uang Dollar) dibanding harganya di tahun 2018 tersebut. Kedua, betul bahwa volume produksi nikel Indonesia (dan juga dunia) tumbuh pesat terutama sejak tahun 2022 lalu, dengan tingkat pertumbuhan yang lebih tinggi dibanding pertumbuhan permintaan nikel itu sendiri untuk baterai EV, dan alhasil harganya turun. Namun ingat bahwa hingga hari ini, sekitar 60% produksi nikel masih digunakan untuk pembuatan stainless steel dan hanya 20% untuk baterai EV. Sedangkan kita tahu bahwa mobil listrik, bahkan kalaupun baterainya menggunakan LFP, namun untuk komponen rangka dll masih menggunakan stainless steel itu tadi. Jadi itulah kenapa NCKL tidak hanya membangun pabrik yang memproduksi MHP, tapi mereka juga terus menambah kapasitas smelter FeNi-nya. Karena mereka melihat bahwa tidak hanya demand untuk baterai EV yang akan meningkat, tapi demand terhadap besi anti karat juga akan tumbuh.
Sehingga, meski tentu kita tidak bisa menebak kapan harga nikel akan naik lagi, tapi penurunan harga nikel saat ini harusnya sudah mentok. Dan jika nanti harga nikel akhirnya naik, misalnya karena Pemerintah Amerika Serikat memberikan insentif kepada Tesla dll untuk membuat mobil listriknya di dalam negeri (Catatan: Sebelumnya Presiden Trump sudah menerapkan tarif impor EV asal China, untuk memaksa produsen mengalihkan fasilitas produksinya dari China ke US), atau semacamnya, maka saham NCKL juga akan lompat dengan mudah.
Hanya tentu, risikonya disini adalah jika harga nikel lanjut turun, dan sedikit
banyak kemungkinannya tetap ada, maka demikian pula NCKL akan turun, karena
investor ya lihatnya harga nikel itu saja. Tapi jika pada Q2 2024 nanti kinerja
pendapatan serta laba bersih NCKL tercatat lebih bagus lagi, dan prediksinya
memang demikian, maka harusnya sahamnya akan tetap naik bahkan kalaupun harga nikel
masih jalan di tempat. Kita tunggu.
***
Ebook Investment Planning berisi kumpulan 30 analisa saham pilihan edisi Q1 2025 sudah terbit, bisa dipesan disini. Gratis tanya jawab/konsultasi saham langsung dengan penulis.
Komentar