Kimia Farma & Right Issue

Beberapa waktu lalu, Pemerintah dikabarkan menyetujui usul Kementerian BUMN untuk mem-privatisasi enam perusahaan BUMN, yaitu dengan cara strategic sale, IPO, dan right issue. Kimia Farma (KAEF) adalah salah satu dari keenam BUMN tersebut, dimana perusahaan akan menggelar right issue pada tahun ini. Menurut pihak manajemen, right issue tersebut merupakan bagian dari rencana penyatuan beberapa BUMN farmasi menjadi satu BUMN saja. Dua BUMN farmasi lainnya yang kemungkinan akan bergabung dengan Kimia Farma adalah Indofarma (INAF), dan Biofarma (nggak listing).

Berkat pemberitaan soal right issue tersebut, KAEF seketika melejit dari posisi 335, hingga terakhir sudah menembus 435. Padahal rencana right issue tersebut masih sebatas rencana, dimana belum ada kepastian mengenai kapan right issue-nya akan digelar. Dan kalau memperhatikan statement dari pihak manajemen yang mengatakan bahwa right issue tersebut merupakan bagian dari rencana Kementerian BUMN untuk menyatukan beberapa BUMN farmasi menjadi satu BUMN saja, maka kemungkinan proses right issue ini nggak akan mudah. Kita tahu bahwa penyatuan (merger) dua atau beberapa BUMN menjadi hanya satu BUMN saja, adalah mimpi buruk bagi para petinggi (dewan direksi dan komisaris) di BUMN yang bersangkutan. Itu bisa berarti bahwa mereka akan kehilangan jabatannya! Mungkin itu sebabnya beberapa waktu lalu Menteri Koordinator Perekonomian, Hatta Radjasa, mengatakan bahwa KAEF akan melakukan swap saham dengan Biofarma, sebelum kemudian baru KAEF akan menggelar right issue. Menurutnya dengan cara ini, maka kedua perusahaan tidak perlu melakukan merger, melainkan akan saling memiliki.

Anyway, mari kita perhatikan KAEF ini sejak awal.


Kalau dulu kita mengatakan bahwa Indofarma adalah salah satu perusahaan farmasi tertua di Indonesia, maka KAEF boleh dikatakan sebagai perusahaan farmasi pertama di Indonesia. Didirikan oleh Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1817 dengan nama NV Chemicallen Handle Rathkamp & Co., perusahaan kemudian diambil alih oleh Pemerintah RI pada tahun 1958, dan namanya berubah menjadi PNF Bhinneka Kimia Farma. KAEF secara resmi menjadi perseroan terbatas pada tahun 1971 dengan nama PT Kimia Farma (Persero), dan listing di BEI sejak tahun 2001. Seperti INAF, KAEF juga memfokuskan bisnisnya pada penjualan obat-obatan etikal.

Dalam lima tahun terakhir, laba bersih KAEF senantiasa tumbuh setiap tahunnya, namun dengan pertumbuhan yang tidak begitu menonjol, yaitu kurang dari 20% per tahunnya. Dari sisi profitabilitas, KAEF juga hanya mampu mencatat ROE 5 – 6% saja, sangat kecil untuk ukuran perusahaan consumer goods. Barulah pada tahun 2010 lalu kinerja KAEF mulai tancap gas, ditandai dengan peningkatan laba bersih 121.9% dibanding 2009, dan ROE-nya menanjak menjadi 12.5%. Peningkatan tersebut adalah berkat strategi pembukaan waralaba apotek Kimia Farma, pembukaan unit usaha baru, dan berkat kerja sama perusahaan dengan Averroes Pharmaceutical Sdn Bhd, sebuah perusahaan distributor farmasi asal Malaysia, dimana Averroes menjadi distributor bagi produk-produk KAEF di Malaysia. Alhasil, penjualan KAEF di tingkat retail meningkat signifikan. Hingga laporan keuangan terakhirnya yaitu per kuartal III 2011, peningkatan kinerja tersebut masih berlanjut dimana laba bersih KAEF tumbuh 209% dibanding kuartal III 2010.

Strategi waralaba apotek menyebabkan jumlah apotek milik perusahaan tumbuh dengan cepat, dan ini menjadi salah satu kekuatan utama KAEF dibanding perusahaan farmasi lainnya. Pada kuartal III 2011, KAEF memiliki setidaknya 397 unit apotek di seluruh Indonesia. Sementara unit usaha baru yang disebutkan diatas adalah PT Kimia Farma Diagnostika (KFD), anak usaha KAEF yang didirikan sejak awal tahun 2010, yang bergerak dibidang penyediaan jasa medical check up. Unit usaha ini menyumbang pendapatan Rp41 milyar pada tahun 2010. Memang kecil, mengingat pendapatan KAEF di tahun yang bersangkutan mencapai hampir Rp3.2 trilyun. Namun mengingat unit KFD tersebut baru berdiri selama setahun dan baru memiliki 37 outlet diseluruh Indonesia, maka pendapatan 41 milyar tersebut tergolong prestasi yang lumayan dan berpotensi untuk kembali meningkat di masa mendatang.

Keunggulan KAEF memang terletak di lini distribusi mereka, terutama jaringan apoteknya. Sementara dari sisi produksi, KAEF tidak begitu bagus. Dari nilai penjualan Rp2.4 trilyun pada kuartal III 2011, hanya Rp575 milyar atau 31.2% diantaranya yang merupakan penjualan obat hasil produksi sendiri, sementara sisanya merupakan penjualan obat produksi perusahaan lain. Hal inilah yang menyebabkan margin laba KAEF terbilang kecil. Jika KAEF mampu meningkatkan produksi obatnya, katakanlah dengan membangun pabrik-pabrik obat yang baru, maka margin laba KAEF bisa menjadi lebih tinggi. Sayangnya dari berbagai rencana pengembangan kerja perusahaan, sepertinya pihak manajemen lebih tertarik untuk terus meningkatan kualitas distribusi dan pemasaran, termasuk dengan mengembangkan toko online (jualan obat lewat internet, seperti di FJB Kaskus). Sementara untuk meningkatkan volume produksi, mereka belum memiliki planning apapun.

Terus bagaimana prospek KAEF terkait rencana right issue-nya?

Saat ini kepemilikan Pemerintah atas saham KAEF masih sangat besar, yaitu 90%. Sementara investor publik hanya memegang 9.7% (sisanya lagi yaitu 0.3% dipegang karyawan perusahaan), sehingga KAEF masih sangat mungkin untuk menggelar right issue. Right issue ini bisa berdampak tiga hal. Pertama, likuiditas KAEF akan jadi lebih baik. Dengan hanya 539 juta lembar sahamnya yang mondar-mandir di market pada saat ini, KAEF memang kurang likuid, sehingga pergerakan sahamnya pun sulit ditebak. Kedua, saham KAEF akan terdilusi, tentu saja. Dan ketiga, kepemilikan investor publik yang lebih besar terhadap saham KAEF akan memberi kesempatan bagi para investor publik ini untuk menekan manajemen untuk mencetak laba sebesar-besarnya, sehingga itu artinya kinerja KAEF akan didorong untuk menjadi lebih baik lagi.

Sebenarnya kita nggak bisa menyalahkan manajemen juga kalau kinerja KAEF nggak begitu bagus selama ini. Sebab sebagai perusahaan milik Pemerintah, mereka tidak hanya dituntut untuk mencetak laba, tetapi juga memberikan manfaat kepada rakyat banyak. Apalagi mereka bermain di sektor strategis, yaitu farmasi. Hanya memang, terkadang hal itu juga yang menjadi dalih bagi perusahaan untuk bekerja secara asal-asalan dan tidak efisien. Nah, strategi privatisasi dengan meningkatkan persentase kepemilikan investor publik terhadap saham KAEF ini diharapkan akan mendorong manajemen untuk bekerja lebih serius.

Lalu apa rencana perusahaan terhadap dana hasil right issue-nya? Belum ada informasi pasti mengenai hal tersebut. Namun menurut Menteri BUMN, Mustafa Abubakar, KAEF akan melepas 30% sahamnya ke publik dengan target perolehan dana Rp900 milyar, kemudian dananya akan dipakai untuk membeli saham Indofarma. Jadi KAEF akan memegang sekian persen saham INAF. Sementara INAF juga akan menukar sahamnya dengan saham KAEF (swap), sehingga INAF juga akan memegang sekian persen saham KAEF. Belakangan setelah jabatan Menteri BUMN diambil alih oleh Dahlan Iskan, BUMN farmasi lainnya yaitu Biofarma, dikabarkan akan bergabung dengan proses swap tersebut. Kita belum tahu akan seperti apa hasil akhir dari aksi korporasi yang berbelit-belit dan melibatkan banyak pihak ini. Tapi yang jelas seperti yang sudah disebutkan diatas, right issue KAEF ini hanyalah bagian dari rencana Pemerintah untuk me-regrouping BUMN Farmasi, dan bukan merupakan bagian dari rencana perusahaan untuk berekspansi, yang itu berarti right issue ini tidak akan memberikan dampak apapun ke perusahaan selain dua dampak diatas. Menurut Dirut KAEF sendiri, M Syamsul Arifin, manajemen KAEF sebenarnya tidak berminat untuk menggelar right issue, mengingat mereka masih bisa membiayai belanja modal perusahaan melalui kas internal, atau paling mentok melalui penerbitan obligasi.

Hal lainnya yang juga cukup jelas, right issue KAEF ini dipastikan akan membutuhkan waktu yang sangat panjang, karena selain melibatkan banyak pihak, juga membutuhkan izin DPR (anda tahu sendirilah, bagaimana ribetnya kalau harus mengurus perizinan). Kementerian BUMN sebenarnya mentargetkan right issue KAEF akan dapat digelar pada pertengahan 2012, tapi bukan tidak mungkin realisasinya akan lebih lama lagi. Dan diantara waktu yang panjang tersebut, anything can happen. Kita lihat saja nanti bagaimana perkembangannya.

Kesimpulannya, penulis secara pribadi tidak melihat bahwa right issue ini berpotensi akan semakin meningkatkan kinerja perusahaan. Selain itu kalau melihat prosesnya, belum tentu juga right issue ini akan digelar. Bisa saja right issue ini malah batal, jika pihak-pihak yang terlibat dalam proses regrouping BUMN farmasi yang diatur oleh Kementerian BUMN tidak menemui kesepakatan. Tapi yang jelas kinerja terakhir KAEF memang cukup bagus, dan prospeknya juga bagus jika manajemen serius dengan rencana pembukaan online store mereka.

Disisi lain kalau kita lihat sahamnya, valuasi KAEF mulai mahal dengan PBV yang sudah menembus 2 kali, sehingga peluangnya untuk menguat lebih lanjut hanya akan terbuka lebar jika salah satu dari dua hal berikut terpenuhi: Pertama, kinerjanya pada kuartal IV nanti kembali menunjukkan peningkatan yang signifikan, dan kedua, keluarnya kepastian soal penyelenggaraan right issuenya, termasuk akan diapakan duit hasil right issue-nya tersebut. Kalau memang dananya akan digunakan untuk membeli saham INAF, maka pertanyaan selanjutnya, apa yang akan dilakukan INAF untuk meningkatkan kontribusinya terhadap pendapatan dan laba bersih KAEF. Kita tunggu.

Komentar

masnop mengatakan…
Mas Teguh, terimakasih atas analisa KAEF-nya. Menurut kami, tanpa isue merger dg.INAF or Biofarma-pun prospek KAEF bagus. Dengan pembukaan apotik dan franchise, penjualan di periode berikutnya pasti naik terbukti di LK terakhir, kenaikan penjualan signifikan u/ domestik.
apalagi dg.merger, dipastikan prospek jauh lbh bagus.

ARTIKEL PILIHAN

Ebook Investment Planning Q3 2024 - Terbit 8 November

Live Webinar Value Investing Saham Indonesia, Sabtu 12 Oktober 2024

Mengenal Investor Saham Ritel Perorangan Dengan Aset Hampir Rp4 triliun

Prospek Saham Samudera Indonesia (SMDR): Bisakah Naik Lagi ke 600 - 700?

Saham Telkom Masih Prospek? Dan Apakah Sudah Murah?

Penjelasan Lengkap Spin-Off Adaro Energy (ADRO) dan Anak Usahanya, Adaro Andalan Indonesia

Mengenal Saham Batubara Terbesar, dan Termurah di BEI