Saham-Saham Terbaik di Sektor Perbankan

Minggu lalu, beberapa saat setelah penulis mempublikasikan artikel berjudul Bank Bukopin, dan Bosowa, seorang teman bertanya, ‘Mas Teguh, jika dikatakan bahwa di BEI ada banyak saham perbankan lain yang lebih bagus dibanding Bukopin, bisa tolong sebutkan saham-saham perbankan mana saja yang lebih bagus tersebut?’ Karena itulah penulis kemudian membuat artikel analisis ini, yang mudah-mudahan bisa menjadi referensi bagi anda yang tertarik untuk berinvestasi di sektor perbankan.

Secara fundamental, terdapat banyak syarat yang harus dipenuhi oleh sebuah bank agar bisa dikatakan sebagai ‘bank bagus’, sehingga sahamnya kemudian layak dikoleksi. Namun dalam artikel ini syarat-syarat tersebut akan kita batasi berdasarkan kualitas kinerja terakhir dari bank yang bersangkutan, dalam hal ini berdasarkan laporan keuangan periode Semester I 2013.

Sebelumnya, berikut ini adalah beberapa poin yang menjadi ukuran kualitas fundamental dari bank-bank yang akan kita analisis, yang sudah diurutkan berdasarkan prioritasnya (jadi poin nomor 1 lebih diutamakan untuk menilai fundamental dibanding poin nomor 2, dan seterusnya).

1. Tingkat profitabilitas, biasa disebut juga ‘rentabilitas’. Simpelnya, semakin tinggi kemampuan sebuah bank dalam mencetak laba, maka sudah tentu semakin bagus bank-nya. Tingkat profitabilitas ini diukur berdasarkan tiga rasio, yakni net interest margin (NIM), return on asset (ROA), dan return on equity (ROE). Semakin tinggi ketiga rasio tersebut, maka semakin tinggi pula kemampuan bank yang bersangkutan dalam mencetak laba.

2. Tingkat Kekuatan Modal. Ukurannya cuma satu yakni capital adequacy ratio (CAR). Semakin tinggi CAR, maka semakin kuat modal bank yang bersangkutan. Kuat tidaknya posisi modal sebuah bank menentukan kemampuan bank yang bersangkutan dalam berekspansi dan memperluas jaringan usahanya. Contoh sederhananya, jika CAR sebuah bank masih tinggi, katakanlah diatas 20%, maka bank tersebut bisa terus menarik dana dari masyarakat dalam bentuk dana pihak ketiga (DPK), untuk kemudian disalurkan kembali dalam bentuk kredit. Tapi jika CAR tersebut sudah mepet-mepet dengan batas minimum yang ditentukan Bank Indonesia (BI), yakni 8%, maka bank tersebut boleh dibilang sudah tidak bisa meningkatkan DPK-nya, atau dengan kata lain sudah tidak bisa berkembang/berekspansi, kecuali jika pemiliknya menambah modal sehingga CAR-nya naik kembali.

3. Pertumbuhan. Seperti juga emiten-emiten yang lain di BEI, bank yang bagus tentunya adalah yang bertumbuh, yakni yang modal serta laba bersihnya naik. Semakin besar persentase kenaikannya, maka semakin bagus.

4. Kualitas Kredit. Pendapatan utama bank berasal dari bunga kredit/pinjaman yang mereka salurkan, namun pinjaman itu sendiri memiliki risiko tidak dibayar oleh peminjamnya. Makanya kemudian ada istilah kredit macet. Di laporan keuangan, terdapat rasio yang menggambarkan jumlah kredit macet dibanding total kredit yang disalurkan, yakni non performing loan (NPL), dalam hal ini net NPL. Semakin besar NPL ini, maka semakin jelek bank-nya karena itu berarti jumlah kredit macetnya semakin besar. Selain net NPL, gross NPL juga layak diperhatikan karena gross NPL tersebut sudah termasuk memperhitungkan kredit yang statusnya hampir macet.

Satu lagi rasio yang harus diperhatikan adalah loan to deposit (LDR). LDR ini menggambarkan jumlah kredit yang disalurkan dibanding DPK yang diterima bank. LDR ini sejatinya semakin besar angkanya maka semakin bagus, karena itu berarti bank yang bersangkutan memiliki kemampuan dalam menyalurkan kreditnya secara maksimal. Tapi disisi lain jika kredit yang disalurkan terlalu besar hingga lebih besari dibanding DPK-nya, maka akan timbul risiko likuiditas, dimana para nasabah yang menaruh tabungan/deposito pada waktu-waktu tertentu mungkin tidak bisa menarik dananya karena bank-nya sedang kehabisan duit (karena duitnya disalurkan semua sebagai pinjaman). Jadi dalam hal ini jika LDR suatu bank lebih besar dari DPK-nya, alias angkanya diatas 100%, maka itu nggak bagus. Disisi lain jika LDR tersebut terlalu rendah, katakanlah dibawah 70%, maka itu nggak bagus juga, karena itu berarti bank yang bersangkutan terbilang malas dalam menyalurkan kredit. Jadi dalam hal ini kita ambil tengah-tengahnya saja, yakni LDR terbaik bagi bank adalah di kisaran 80 – 90%.

Nah, tentunya diluar keempat poin diatas, masih terdapat ukuran-ukuran lain yang bisa kita ambil dari laporan keuangan untuk menilai fundamental sebuah bank. Namun penulis berpendapat bahwa keempat poin tersebut relatif sudah cukup untuk dijadikan patokan apakah sebuah bank memiliki kinerja yang bagus atau tidak. Lebih jelasnya tentang apa itu CAR, NIM, dan NPL, bisa dibaca disini. Untuk istilah-istilah lainnya, jika anda belum mengerti, boleh cari di google atau bisa tanyakan itu kepada broker anda (Seharusnya mereka tau. Kalau mereka nggak tau, anda harus pindah sekuritas, seriously).

Okay, sekarang kita menuju daftar bank-nya. Hingga ketika artikel ini ditulis, di BEI terdapat setidaknya 36 saham perbankan. Berikut daftar selengkapnya, diurutkan berdasarkan tingkat likuiditas sahamnya, dari yang paling likuid (BBRI) hingga yang paling tidak likuid (BCIC).

1
BBRI
Bank BRI
19
MAYA
Bank Mayapada
2
BMRI
Bank Mandiri
20
BVIC
Bank Victoria
3
BBCA
Bank BCA
21
BBNP
Bank BNP
4
BBNI
Bank BNI
22
BACA
Bank Capital
5
BTPN
Bank BTPN
23
INPC
Bank Artha Graha
6
BBKP
Bank Bukopin
24
BEKS
Bank Pundi
7
BBTN
Bank Tabungan Negara
25
NISP
Bank OCBC NISP
8
BDMN
Bank Danamon
26
BKSW
Bank QNB Kesawan
9
BJBR
Bank BJB
27
MCOR
Bank Windu Kentjana
10
BJTM
Bank BPD Jawa Timur
28
BNBA
Bank Bumi Arta
11
PNBN
Bank Panin
29
MEGA
Bank Mega
12
BNII
Bank BII
30
AGRO
Bank BRI Agroniaga
13
NOBU
Bank Nationalnobu
31
BAEK
Bank Ekonomi
14
BABP
Bank ICB Bumiputera
32
BSWD
Bank of India
15
SDRA
Bank Saudara
33
BCIC
Bank Mutiara
16
BNLI
Bank Permata
34
BMAS
Bank Maspion
17
BNGA
Bank CIMB Niaga
35
NAGA
Bank Mitraniaga
18
BSIM
Bank Sinarmas
36
BBMD
Bank Mestika Dharma

Catatan:
  1. Saham-saham diatas diurutkan berdasarkan likuiditasnya, yakni berdasarkan nilai transaksi perdagangan saham yang bersangkutan selama Kuartal II 2013, diurutkan dari yang tertinggi (BBRI, Rp40.6 trilyun), hingga yang terendah (BCIC, Rp0). Data tersebut diambil dari statistik BEI untuk periode Kuartal II 2013.
  2. Saham BMAS, NAGA, dan BBMD ditempatkan diurutan terakhir karena ketiga saham ini listing pada bulan Juli 2013, jadi data likuiditas sahamnya belum tersedia.
  3. Empat bank yang disebut pertama, yakni BBRI, BMRI, BBCA, BBNI, memiliki tingkat likuiditas yang jauuuh lebih besar dibanding bank-bank lainnya, dan itu sebabnya saham keempat bank tersebut boleh disebut sebagai saham blue chip.
  4. BTPN bisa ‘menyodok’ ke posisi lima karena adanya transaksi penjualan sahamnya ke Sumitomo senilai Rp9 trilyun. Jika transaksi tersebut tidak ada, posisi BTPN (berdasarkan likuiditasnya) kira-kira dibawah PNBN.
And now, the analysis

Kabar baiknya, hingga artikel ini ditulis ketiga puluh enam emiten perbankan diatas sudah merilis laporan keuangannya masing-masing. Tabel berikut ini berisi angka-angka NIM, ROA, dan seterusnya hingga terakhir LDR, dari tiap-tiap bank. Seluruh angka dalam persentase, datanya masih diurutkan berdasarkan likuiditas sahamnya.

No.
Bank
NIM
ROA
ROE
CAR
Equity Growth
Net Profit Growth
Net NPL
Gross NPL
LDR
1
BBRI
8.1
4.6
33.1
17.4
5.8
16.7
0.4
1.8
89.3
2
BMRI
5.4
3.5
25.6
15.6
3.8
16.3
0.4
1.8
82.8
3
BBCA
6.0
3.4
24.6
16.0
11.0
19.4
0.2
0.4
73.2
4
BBNI
6.2
3.4
21.8
16.3
1.3
30.1
0.7
2.6
84.0
5
BTPN
12.8
4.8
29.9
22.7
15.4
27.9
0.4
0.7
91.4
6
BBKP
3.6
1.9
20.6
15.7
4.7
21.8
1.7
2.5
78.2
7
BBTN
5.4
1.6
13.9
16.4
3.9
2.2
3.7
4.6
110.6
8
BDMN
9.9
3.5
14.3
18.7
2.6
-1.0
0.0
2.4
105.4
9
BJBR
8.2
2.8
28.9
16.4
1.3
24.5
0.6
2.3
80.8
10
BJTM
6.6
3.6
18.5
22.8
-3.0
28.1
2.1
3.3
74.5
11
PNBN
4.0
1.9
15.3
16.8
7.7
3.2
0.3
1.5
89.0
12
BNII
5.3
1.6
15.7
13.0
3.9
22.0
0.7
1.4
91.5
13
NOBU
2.6
0.5
1.3
129.2
302.5
185.7
0.0
0.0
41.2
14
BABP
4.9
0.0
-0.4
13.1
10.8
NM
4.1
5.9
87.7
15
SDRA
7.6
2.1
23.3
13.1
-4.1
21.2
2.1
2.9
97.3
16
BNLI
4.4
1.6
15.3
15.6
5.9
14.9
0.4
1.2
91.8
17
BNGA
5.3
2.8
19.5
15.9
6.6
7.5
1.5
2.3
99.2
18
BSIM
5.5
1.8
10.2
24.0
44.9
-2.3
3.2
3.9
80.2
19
MAYA
5.8
3.0
29.2
10.3
7.2
27.6
1.0
1.5
85.9
20
BVIC
3.5
2.4
19.7
16.1
-2.4
64.1
0.0
1.6
74.8
21
BBNP
5.1
1.5
13.1
15.2
52.0
15.7
0.6
1.0
91.0
22
BACA
4.7
1.8
12.8
18.1
5.4
137.1
0.3
0.5
62.0
23
INPC
5.5
1.5
17.2
16.4
30.9
113.9
2.0
2.1
91.4
24
BEKS
13.7
0.2
1.7
12.0
-7.0
-89.7
4.8
8.4
81.3
25
NISP
4.1
1.8
12.1
15.7
4.5
31.8
0.4
0.7
98.0
26
BKSW
3.6
-0.8
-4.6
39.7
72.5
NM
0.3
0.5
92.7
27
MCOR
5.3
2.0
13.3
12.9
6.2
-13.4
1.3
1.8
89.2
28
BNBA
6.5
2.1
14.0
17.9
3.0
3.0
0.0
0.6
83.4
29
MEGA
5.9
1.2
9.0
17.6
-7.4
-73.0
2.1
2.7
57.5
30
AGRO
5.5
1.8
15.2
14.4
4.2
34.8
1.4
3.0
90.7
31
BAEK
3.5
1.1
8.0
13.3
3.9
-23.3
0.3
0.4
90.4
32
BSWD
5.4
3.7
20.0
21.0
9.6
36.3
1.0
1.4
88.9
33
BCIC
2.5
0.8
10.4
11.0
3.9
-32.8
2.4
2.9
80.6
34
BMAS
4.8
1.0
7.8
13.5
3.7
23.2
0.7
0.7
83.9
35
NAGA
2.5
0.2
2.5
17.0
-22.0
22.4
0.2
0.3
53.8
36
BBMD
8.1
7.2
23.9
27.4
0.3
15.4
1.0
1.5
108.8

What, pusing baca tabel diatas? Okay, mari kita sederhanakan. Simpelnya, kita akan hapus beberapa bank yang berdasarkan salah satu atau beberapa rasio kinerjanya, tidak layak untuk dijadikan pilihan investasi. Berikut adalah bank-bank yang dihapus tersebut, beserta alasannya (kenapa dia dihapus).

BBTN
Growth-nya, baik dari sisi ekuitas maupun laba bersih, terlalu kecil
NOBU
Rasio profitabilitasnya (NIM, ROA, ROE) terlalu kecil
BABP
Laba bersihnya minus alias rugi (net profit growth-nya ditulis NM, alias not mentioned)
SDRA
LDR-nya terlalu tinggi, NPL-nya juga lumayan tinggi
BNGA
LDR-nya terlalu tinggi
BACA
ROE-nya terlalu kecil, LDR-nya terlalu rendah
BEKS
Bank ini jelek hampir disemua aspek, kecuali NIM-nya
NISP
ROE-nya terlalu kecil
BKSW
Laba bersihnya minus alias rugi
MCOR
Laba bersihnya turun
MEGA
Laba bersihnya, termasuk juga ekuitasnya, turun
BAEK
Rasio profitabilitasnya (NIM, ROA, ROE) terlalu kecil
BCIC
Rasio profitabilitasnya (NIM, ROA, ROE) terlalu kecil
BMAS
Rasio profitabilitasnya (NIM, ROA, ROE) terlalu kecil
NAGA
LDR-nya terlalu rendah

So, setelah ‘dibersihkan’, maka tabel diatas menjadi tinggal berisi 21 saham. Anyway, 21 saham tentunya juga masih terlalu banyak, jadi disini kita akan melakukan proses eliminasi lagi. Eliminasi ini akan dilakukan berdasarkan kriteria yang lebih ketat, seperti misalnya jika profitabilitasnya tidak cukup besar, atau CAR-nya terlalu mepet ke batas 8%, atau LDR-nya lebih besar dari 100%, atau net NPL-nya lebih dari 2%, maka bank yang bersangkutan otomatis ‘gugur’.

Dan berikut ini adalah daftar saham yang lolos seleksi tahap dua:

No.
Bank
NIM
ROA
ROE
CAR
Equity Growth
Net Profit Growth
Net NPL
Gross NPL
LDR
1
BBRI
8.1
4.6
33.1
17.4
5.8
16.7
0.4
1.8
89.3
2
BMRI
5.4
3.5
25.6
15.6
3.8
16.3
0.4
1.8
82.8
3
BBCA
6.0
3.4
24.6
16.0
11.0
19.4
0.2
0.4
73.2
4
BBNI
6.2
3.4
21.8
16.3
1.3
30.1
0.7
2.6
84.0
5
BTPN
12.8
4.8
29.9
22.7
15.4
27.9
0.4
0.7
91.4
6
BJBR
8.2
2.8
28.9
16.4
1.3
24.5
0.6
2.3
80.8
7
BNBA
6.5
2.1
14.0
17.9
3.0
3.0
0.0
0.6
83.4
8
BSWD
5.4
3.7
20.0
21.0
9.6
36.3
1.0
1.4
88.9

Terakhir, faktor seleksi yang juga harus diperhatikan adalah terkait likuiditas saham yang bersangkutan, dan terkait hal ini, dari tabel diatas, kita bisa langsung menyingkirkan dua saham: BNBA dan BSWD. Dua saham ini, terutama BSWD, likuiditasnya memang seret sekali, sehingga kita hampir tidak bisa membeli sahamnya.

Dengan demikian, kita memperoleh enam saham perbankan yang layak untuk investasi, setidaknya jika dilihat dari kinerja terbaru mereka. Mereka adalah BBRI, BMRI, BBCA, BBNI, BTPN, dan BJBR. Beruntung, empat dari enam saham perbankan ini berstatus sebagai saham blue chip, sehingga bagi anda investor yang mewakili institusi, atau investor dengan status high net worth individual (i know some of you also reading this blog), anda bisa membeli saham-saham tersebut dalam jumlah besar. Diluar keenam saham tersebut, ketiga puluh saham perbankan lainnya praktis tidak bisa masuk radar jika tujuannya adalah untuk investasi, setidaknya untuk saat ini.

Nah, sekarang keenam saham tersebut kita urutkan, yang mana kira-kira yang terbaik. Sebelumnya ingat sekali lagi bahwa ukuran kualitas fundamental diatas pertama kali dilihat dari rasio profitabilitasnya, dalam hal ini NIM, dan terakhir dilihat dari LDR. Meski demikian ini bukan berarti LDR tidak penting. Jika sebuah bank memiliki rasio-rasio yang bagus, namun LDR-nya tampak kurang ideal, entah itu terlalu rendah atau terlalu tinggi, maka ‘skor’ bank yang bersangkutan juga pada akhirnya akan turun.

Dan berdasarkan data diatas, jika anda teliti, maka akan langsung ketemu bank yang layak menyandang gelar sebagai best of the best. Benar sekali, BTPN. BTPN boleh dikatakan unggul dibanding bank-bank lainnya dalam semua aspek, baik dalam hal profitabilitas, kekuatan modal, pertumbuhan, hingga kualitas kreditnya. NIM-nya yang mencapai 12.8 persen hanya bisa dilewati oleh BEKS, dengan NIM 13.7 persen. Tapi sayangnya dalam kontes kali ini, BEKS sejak awal sudah tereliminasi duluan. Dari sisi ROA, BTPN juga praktis merupakan salah satu yang tertinggi.

Sementara peringkat kedua ditempati oleh BBRI. Orang mungkin sering berdebat tentang bank mana yang lebih bagus antara BBRI, BMRI, dan BBCA, namun kalau kita berpatokan pada data diatas, tidak diragukan lagi bahwa BBRI-lah yang paling bagus. Meski, tentu saja, ‘bagus’ disini dalam artian sahamnya paling layak untuk investasi. Kalau untuk urusan membuka rekening tabungan, penulis sendiri lebih memilih Bank Mandiri dan BCA, karena mesin ATM-nya gampang ditemui dimanapun, termasuk di Alfamart deket rumah juga ada.

Peringkat ketiga ditempati oleh BJBR. Bank yang dulunya bernama Bank BPD Jawa Barat & Banten ini memiliki kinerja yang buruk di masa lalu, namun sejak tampuk kepemimpinan perusahaan dipegang oleh Bien Subiantoro, yang dibajak dari Bank BNI, sejak setahunan ini BJBR terus berkembang pesat. Perhatikan bahwa, meski tidak sebagus BTPN atau BBRI, namun rasio-rasio kinerja BJBR diatas semuanya berada pada level yang cukup ideal.

Berikut adalah urutan ‘peringkat’ selengkapnya untuk keenam saham perbankan diatas.

Rank
Stock
Name
1
BTPN
Bank BTPN
2
BBRI
Bank BBRI
3
BJBR
Bank BJB
4
BMRI
Bank Mandiri
5
BBCA
Bank BCA
6
BBNI
Bank BNI


However, ingat sekali lagi bahwa urutan peringkat diatas dibuat berdasarkan analisa kuantitatif terhadap data kinerja terbaru dari bank-bank yang bersangkutan (hanya kinerja terbaru saja, tidak turut mempertimbangkan kinerja di masa lalu). Peringkat diatas belum menyertakan analisa kualitatif, seperti kualitas manajemen, nama besar bank, status sahamnya sebagai saham blue chip/second liner, dsb. Peringkat diatas juga tidak menyertakan konsistensi kinerja bank yang bersangkutan di masa lalu sebagai bahan pertimbangan. Maksud penulis, jika kita memasukkan faktor konsistensi kinerja tersebut, maka BBRI seharusnya layak berada di peringkat pertama. Bank ini bahkan mampu melewati masa krisis moneter tahun 1998 lalu dengan mulus tanpa perlu bailout atau semacamnya, sementara koleganya ketika itu, BBCA, mengalami rush.

Selain itu, hanya karena dikatakan bahwa keenam saham perbankan diatas layak untuk investasi, maka anda tidak bisa langsung membeli sahamnya, melainkan harus menunggu harga yang layak. Contohnya, meski kalau kita mengacu pada daftar diatas, BTPN adalah yang terbaik, namun bisa jadi pada satu waktu tertentu BBNI justru lebih menarik untuk dikoleksi, karena harganya ternyata lebih murah.

Kabar baiknya, ketika artikel ini ditulis posisi IHSG sedang di level 4,500-an, dan penulis bisa katakan bahwa pada level harganya masing-masing, keenam saham perbankan diatas terbilang sudah murah sehingga layak beli (‘murah’ disini sudah disesuaikan dengan fundamentalnya masing-masing). Namun tentu kalau nanti sewaktu-waktu IHSG turun lagi, maka mereka juga bukannya tidak bisa turun lebih rendah lagi, terutama yang berstatus blue chip. Tapi kalau untuk jangka panjang sih seharusnya nggak masalah.

Outlook Perbankan

Okay, terakhir sebagai penutup, apakah pada saat ini sektor perbankan masih layak invest, mengingat BI sebagai otoritas moneter banyak mengeluarkan kebijakan yang tampaknya akan berdampak negatif ke perbankan? Mulai dari menaikkan BI Rate (sekarang sudah 7.25%), pengetatan LDR, hingga ada peraturan soal loan to value (LTV), yang kesemuanya tampak akan menghambat perusahaan-perusahaan perbankan dalam berekspansi? Nah, terkait hal ini maka memang apapun bisa terjadi. Jika anda menanyakan soal pengaruh dari kebijakan BI ini kepada beberapa analis, maka salah seorang analis mungkin akan menjawab bahwa kebijakan BI tersebut akan berdampak negatif ke perbankan, analis lainnya mengatakan tidak akan ada dampak apapun, dan analis lainnya lagi justru mengatakan bahwa kebijakan BI tersebut akan berdampak positif.

Well, semua orang tentu boleh berkomentar apa saja. Namun faktanya adalah, berdasarkan data historis, sektor perbankan adalah sektor dengan kinerja paling konsisten kedua di BEI, setelah sektor consumer goods. Dan kinerja yang konsisten tersebut dicapai ketika Indonesia berkali-kali mengalami entah itu kenaikan/penurunan BI Rate, inflasi yang tinggi, perlambatan pertumbuhan ekonomi, dan seterusnya. Artinya? Yap, percaya atau tidak, pertumbuhan kinerja para emiten di sektor perbankan nyaris tidak dipengaruhi oleh faktor apapun, baik faktor eksternal maupun internal sektornya. Sektor ini sendiri sejatinya merupakan salah satu sektor yang paling menguntungkan di Indonesia, seiring dengan suku bunga kredit yang tinggi. Disini, jika sebuah bank sejak awal dikelola oleh tim manajemen yang bagus, maka selanjutnya bank tersebut hampir pasti akan bagus terus. Sementara jika bank yang dulunya amburadul karena ketidak becusan manajemen, maka ketika manajemennya diganti dengan yang lebih kompeten, maka biasanya kinerjanya akan jadi bagus juga. Hal inilah yang terjadi pada BTPN, yang sejak tahun 2008 lalu diambil alih oleh TPG Group. Kinerja BTPN sendiri sejak tahun 2008 tersebut lancar jaya terus sampai sekarang, boleh dibilang tanpa pernah melambat sama sekali.

Dan mungkin itu pula sebabnya investor asing seneng sekali masuk ke sektor ini kalau mereka invest di Indonesia. Saat ini sudah banyak bank di Indonesia yang dikuasai asing, seperti ICB Financial (BABP), Maybank (BNII), OCBC Group (NISP), CIMB Berhad (BNGA), Qatar National Bank (BKSW), Bank of India (BSWD), hingga TPG Group dan Sumitomo (BTPN).

Balik lagi ke masalah outlook. Kita, tentu saja, tidak bisa meramal masa depan. Namun berdasarkan fakta diatas, maka boleh dibilang tidak ada yang perlu dikhawatirkan terkait sektor perbankan ini, sehingga saham-sahamnya juga masih layak invest. Kalau penulis ketemu dengan temen-temen yang bekerja di bidang batubara, sepanjang tahun 2012 lalu mereka bilang, ‘Batubara udah gak kaya dulu lagi, sekarang udah susah’. Sementara orang-orang perbankan? Mereka nyantai-nyantai saja tuh, hampir gak pernah mengeluh soal apapun sama sekali. Sektor ini praktis hanya bisa tertekan, termasuk saham-sahamnya juga hanya bisa turun (maksud ‘turun’ disini adalah turun secara drastis), jika nanti sewaktu-waktu Indonesia mengalami guncangan ekonomi yang serius, seperti yang terjadi di tahun 1998 dan 2008 lalu. Tapi pada saat itu sudah pasti bukan hanya perbankan yang kena, melainkan semuanya, sehingga dalam hal ini masalahnya jelas bukan terletak di sektor perbankan itu sendiri.

Okay, I think that’s enough. Karena artikel ini cukup panjang dan menyajikan banyak tabel, maka penulis sengaja tidak menambahkan gambar apapun. Untuk tema artikel minggu depan, anda bisa mengusulkannya melalui kolom komentar di bawah.

Komentar

Anonim mengatakan…
Mas Teguh, tolong diulas tentang saham Nipress.Tbk (produsen baterai untuk mobil listrik dan industri)

dengan harga 8000an sekarang masih layak di hold untuk jangka investasi panjang ga? Trims
Bla-Bla Miko mengatakan…
Tuesday's best reading.. Trims mas Teguh.. Bagian ini: "atau investor dengan status high net worth individual (i know some of you also reading this blog)", yang paling kerenn.. Bravo mas!!
Anonim mengatakan…
request untuk minggu depan dan minggu depannya lagi ya mas teguh

minggu depan : saham konstruksi WIKA , ADHI, dst

2 minggu kedepan : saham properti yg khusus perumahan saja

3 minggu kedepan lagi : saham properti yg khusus kawasan industri saja


salut kpd pak teguh , semakin bagus analisanya pak :)



Adi
Anonim mengatakan…
Setuju sama di atas, menurut saya sektor properti dan konstruksi layak diulas , karena terlihat dampak penurunan IHSG cukup signifikan pada sektor properti dan konstruksi.

Hal lain yg mendukung adalah momen yang membingungkan pasar dimana inflasi dan kenaikan BI rate yang berdampak ke penyaluran KPR, tolong diulas mas teguh.

thx a lot
Anonim mengatakan…
Bacaan terbaik minggu ini, sangat berkualitas, pak Teguh, saya uda lama nunggu tulisan analisa tentang industri kemasan. KDSI, BRNA, dkk. Dibahas juga donk ya...
Anonim mengatakan…
TERIMAKASIH bung TEGUH karena pertanyaan saya tidak saja dijawab, malah juga dikasih ulasan mendetail tentang industri perbankan.

tapi itu belum menjawab pertanyaan saya: menurut bung TEGUH berapa harga wajar dari BBKP ini? karena BOSOWA aja berani membeli dengan harga rp. 1050 per saham
apa ini berarti grup BOSOWA salah hitung tentang VALUE BBKP?
karena kerugian real time dari investasi mereka saja saat ini sebesar 400 milyar rupiah. makasih jika bung teguh mau menjawab pertanyaan saya ini.
Donny Kristanto Setiadi mengatakan…
Dear Pak Teguh, mengingat sektor consumer goods adalah dibilang sektor nomer 1 yang mampu bertahan terhadap krisis, bisa tolong direview?
Anonim mengatakan…
blog ini adalah bacaan wajib saya.

Senang sekali bapak mau terus update pemikirannya. semoga bapak sehat selalu dan ilmunya makin nambah namun tetap objektif.

tks.
Unknown mengatakan…
Mas,
Disini kan dibahas
Setelah consumer goods, maka perbankan adalah yang bagus berikutnya.

Boleh dibahas untuk 5 tahun ke depan. Sektor apa yang bagus?
Atau cara analisis sebuah sektor.

Trims
Anonim mengatakan…
Ulasan yg menarik pak,secara perhitungan di atas kertas saya setuju sekali dengan kreteria bapak dalam menetukan fundamental perusahaan, tp jika dikaitkan dengan harga saham dipasaran, akan lebih relevant menggunakan patokan eps growth drpd net profit growth (karena net profit besar itu bisa juga terjadi krn perusahaan right issue dll, yg menyebabkan seakan2 net profit naik pdhl epsnya bisa saja turun krn jumlah saham beredar lebih bnyk drpd semulah) kemudian valuasi berdasar PER dan PBv kok tidak dimasukkan mas? Karena bisa saja shm tsb diatas kertas itu bagus, tp kalo harus ditebus dgn harga sangat premium bukankah itu akan mempengaruhi imbal hasil yg akan diperoleh? Sebagai contoh BBCA itu memang saham bagus, fundamental baik dengan tingkat likuiditas tinggi tp kalo u mempunyai sahamnya seharga 10600 PE 23 (imbal hasil 4.3% pertahun) apa tdk lebih baik beli sahamnya BBkP hrga 650 PE 5.3 ( imbal hasil 18.9% pertahun)???..Jelas kalo dari PE saja tidak bisa jadi patokan u menentukan shm tsb layak belinya..jd harus diimbangi dengan EPS growth baru kita bisa mempertimbangkan valuasi ke depannya..jadi dengan memperhitungkan hal tsb saham spt BBRI, BBKP, BJTM rasanya masih layak u masuk radar investasi..bagaimana pendapat mas teguh?
Anonim mengatakan…
Apakah ada yang bisa share bagaimana Bosowa menghitung valuasi BBKP sehingga menarik minatnya untuk membeli BBKP di Rp 1050?
Anonim mengatakan…
Mas teguh, pada tahun 2011 lalu Bank Indonesia mengeluarkan peraturan penilaian tingkat kesehatan baru, yaitu RBBR yang menggantikan CAMELS. Menurut mas teguh, jika berdasarkan RBBR, Rasio keuangan apa saja yang bisa kita gunakan dalam penilaian kesehatan bank ?
Anonim mengatakan…
Ulasan yang sangat lengkap bagi saya yang awam.

Pak Teguh, jika saya ingin membeli saham perbankan, anggaplah saham BBRI dan hold untuk 2 tahun mendatang, apakah tetap profit jika dipadankan dengan analisa bapak?

Mohon infonya. Atau kalau bisa dibuatkan juga pembahasan dengan sebuah contoh kasus, agar orang awam seperti saya bisa memahaminya dengan lebih detail lagi.

Saya ingin beli 10.000 saham BBRI untuk saya "hold" selama 2 tahun mendatang.

Terima kasih sebelumnya.

Richard
Unknown mengatakan…
Saham perbankan yang paling layak menurut para analis di tahun 2017 ini yaitu BBNI & BBTN

ARTIKEL PILIHAN

Live Webinar Value Investing, Sabtu 16 Maret 2024

Ebook Investment Planning Kuartal IV 2023 - Sudah Terbit!

Laporan Kinerja Avere Investama 2022

Peluang dan Strategi Untuk Saham Astra International (ASII)

Indo Tambangraya Megah: Masih Royal Dividen?

Indah Kiat Pulp & Paper (INKP) Bangun Pabrik Baru Senilai Rp54 triliun: Prospek Sahamnya?

Prospek Saham Energi Terbarukan, Kencana Energi Lestari (KEEN)