Penyebab Turunnya IHSG

Akhir-akhir ini terjadi penurunan tajam dari harga saham-saham di Bursa Efek Indonesia (BEI). Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang sempat mencapai posisi 5,263 sebagai posisi tertingginya pada tanggal 8 September lalu, saat ini sudah turun ke posisi 4,949 (per penutupan pasar tanggal 3 Oktober). Penurunan tersebut tidak terlepas dari penjualan saham-saham oleh investor asing, dimana dalam dua hari terakhir, foreign net sell tercatat total Rp2.3 trilyun. Apa alasan sebenarnya yang menyebabkan investor asing keluar dari pasar saham Indonesia?

Catatan: Sebelum anda melanjutkan membaca, perlu diketahui bahwa artikel ini tidak ditulis oleh Teguh Hidayat, melainkan oleh seorang kontributor.

Beberapa alasan yang bermunculan di pasar antara lain adalah perkembangan politik dalam negeri yang tidak kondusif, bakal naiknya suku bunga mata uang US Dollar (USD), valuasi saham-saham yang dinilai sudah kemahalan, prospek ekonomi dalam negeri yang tidak begitu baik, turunnya mata uang Rupiah (IDR), dan lain-lain. Tampaknya semua alasan tersebut kait-mengkait. Namun sebenarnya, menurut penulis, keluarnya investor asing dari bursa saham Indonesia lebih disebabkan oleh faktor naiknya USD.

Saat ini, kenaikan USD merupakan fenomena global yang tidak hanya terjadi pada mata uang IDR, melainkan juga terjadi pada mata uang negara-negara lain, beberapa diantaranya terpuruk lebih dalam ketimbang IDR. Kalau kita amati, maka kenaikan USD  dimulai pada awal Juli 2014 seperti diperlihatkan oleh grafik index USD berikut ini (sumber data Bloomberg, klik untuk memperbesar).



Perhatikan: Kenaikan USD (terhadap IDR dan banyak lagi mata uang lainnya) menyebabkan para investor global harus mengurangi investasinya di negara-negara yang memiliki risiko besar terhadap kenaikan USD. Dan Indonesia, yang dikelompokkan ke dalam negara fragile five’, tentunya tidak luput dari sasaran keluarnya investasi tersebut.

Sejak dari awal Oktober 2013 hingga saat ini, IDR telah melemah terhadap USD sebesar 7%. Jika dibandingkan dengan negara  fragile fivelain, yaitu Rusia yang melemah sebesar 24.1%, Afrika Selatan (13.1%) dan Brazil (11.4%), maka boleh dibilang bahwa IDR masih cukup beruntung. Jika diukur dari awal Juli 2014, IDR melemah sebesar 2.6% yang hampir sama dengan mata uang India yang melemah sebesar 2.4%, namun tetap masih lebih baik dibanding Rusia, Afrika Selatan, dan Brazil.

Indeks USD sendiri sejak awal Oktober 2013 hingga saat ini telah menguat 8.64% dan penguatan tersebut hampir seluruhnya terjadi pada paruh kedua tahun ini dengan kenaikan dari awal Juli 2014 sebesar 8.60%.

Yang menarik adalah, negara-negara maju justru terkena dampak yang lebih besar dari penguatan USD tersebut.  Dihitung dari awal Juli 2014, mata uang Yen (Jepang), Euro, Pound Sterling (Inggris), Dollar Kanada, hingga Dollar Australia, semuanya melemah antara 5 hingga 9%. Berikut ini adalah tabel perbandingan perubahan mata uang USD terhadap mata uang lainnya dengan data terakhir tanggal 3 Oktober 2014.



Untuk berharap agar IDR akan menguat dalam jangka pendek, pendapat penulis sendiri masih relatif pesimis meskipun tidak lama lagi Jokowi akan dilantik sebagai presiden, mengingat pelemahan IDR tidak hanya disebabkan oleh faktor  dalam negeri tetapi tentunya juga disebabkan oleh menguatnya ekonomi Amerika Serikat (AS), yang menyebabkan mata uangnya semakin menguat. Ini masih dalam kondisi suku bunga The Fed yang belum dinaikkan (gimana kalau nanti dinaikkan?). Namun market selalu bergerak mendahului di depan, sehingga kenaikan USD beberapa waktu terakhir mungkin telah mendiskon kemungkinan kenaikan tingkat suku bunga pada masa-masa mendatang. Saat ini Fed rate adalah 0.25%, namun angka tersebut bisa berubah sewaktu-waktu.

Kenaikan USD tidak hanya memukul mata uang negara-negara lain namun juga berimbas ke pasar komoditas. Harga emas selama setahun terakhir telah melorot sebesar 9.3% menjadi USD 1.193 per ounce. Harga minyak Brent merosot 9.6% menjadi USD 92.3 per barrel. Bagaimana dengan batubara dan CPO? Sama saja. Harga patokan batubara Newcastle dari awal Oktober 2013 merosot sebesar 23.1% menjadi USD 65.7 per ton, sementara harga CPO di Bursa Malaysia terakhir tercatat RM2,170 per ton. Namun harga CPO di dalam negeri yang ditunjukkan oleh lelang PT Astra Agro Lestari (AALI) tidak banyak berubah di level Rp8,850 per kg.

Kenaikan USD telah menutup peluang akan diturunkannya BI rate, bahkan BI Rate bisa saja dinaikkan kembali jika suku bunga The Fed dinaikkan.

Jika ada hal yang bisa membuat nilai tukar IDR menguat ke depannya (yang diharapkan akan juga berimbas positif terhadap IHSG), maka itu adalah dengan perbaikan fundamental ekonomi makro dalam negeri seperti perbaikan pada neraca perdagangan, peningkatan ekspor, peningkatan investasi langsung, perbaikan postur APBN dengan pengurangan pengeluaran yang tidak perlu dan mubazir diiringi dengan peningkatan pemasukan, inflasi yang rendah, peningkatan neraca pembayaran, peningkatan cadangan devisa, dan lain-lain. Sayangnya data terakhir tidak terlalu menunjukkan perbaikan dimana angka pertumbuhan ekonomi Indonesia masih relatif rendah di level 5.2%. So, kita lihat nanti bagaimana perkembangannya.

Penulis bernama Lim Ik Nen (Lim), merupakan investor saham sejak tahun 90-an asal Kota Pekanbaru, Riau, dan merupakan pemilik dari blog www.idx-investor.blogspot.com. Untuk berdiskusi, anda bisa menyampaikan pendapat/mengajukan pertanyaan melalui kolom komentar dibawah, dimohon untuk tidak menggunakan nama anonim.

Komentar

Teguh Hidayat mengatakan…
Pak Lim, saya mau bertanya yang mungkin mewakili pertanyaan teman-teman investor yang lain:
1. Sampai kapan kira-kira kondisi ini (penguatan USD) akan berlanjut?
2. Jika Rupiah tidak segera menguat, IHSG bisa turun sampai berapa?
2. Bagaimana dengan situasi politik nasional? Apakah bisa kita abaikan dalam hal pengaruhnya terhadap IHSG?

Terima kasih,
Teguh
Yudi mengatakan…
prediksi orang waras bisa ke 17000 - 25000 . Dolar akan menguat dari mulai tahun ini sampai 2020. Target Lewat 2020 sektor komoditi booming lagi.

Kalau dulu krisis tahun 1998 - 2008 makan prediksi krisis bisa 2018, gejalanya thn 2017. GJTL, NIPS , KIJA dll yang punya hutang dolar bagaimana bisa bayar hutangnya, bisa pak teguh bayangkan akan turun ke berapa ihsg?
IDX Investor mengatakan…
Pak Teguh, tentunya tidak ada yang bisa prediksi dengan tepat bagaimana penguatan USD akan terus berlanjut ya.

1. Penguatan akan terjadi seiring dengan ekspektasi kenaikan bunga The Fed. Jika ekonomi AS terus menguat, stimulus akan dihentikan dan akan disusul dengan kenaikan bunga. Membaiknya ekonomi AS dan kenaikan bunga akan menarik investasi ke negara tersebut sehingga mata uangnya akan semakin menguat.

2. Rupiah sebenarnya tidak perlu menguat terlalu besar karena kita lihat mata uang negara lain juga melemah asalkan Rupiah tidak melemah terlalu berat, misalnya melemah melewati 12.500 saya merasa IHSG akan paling jelek di 4.800-an saja berhubung beberapa big cap terbesar sedang berada pada level yang sebenarnya cukup murah menurut saya misalnya BBRI, BBNI, BMRI, ASII. Belum lagi SMGR, INTP dan UNTR masih di level bawah. Pada saat harga komoditas yang rendah seperti sekarang ini, rupiah yang menguat justru akan merugikan emiten basis komoditas atau yang berorientasi ekspor padahal kan neraca pembayaran sedang defisit. Jadi untuk dapat terus meningkatkan ekspor, tentunya IDR harus tetap berada pada angka yang kompetitif (atau dibiarkan tetap rendah) seperti sekarang ini.

3. Situasi politik sebenarnya hanya merupakan sentimen yang mempengaruhi kondisi psikologis pasar/investor secara jangka pendek. Faktor yang terpenting adalah faktor fundamental. Baik makro maupun mikro. Jadi bagi investor, tentunya hal tersebut bisa diabaikan, dan justru menjadi kesempatan untuk membeli di kala saham-saham sedang diskon. Bagi trader dan spekulan ya mungkin memang harus memperhitungkan faktor-faktor politik jangka pendek tersebut.
Anonim mengatakan…
setahu saya semakin lama aturan2 yg diterbitkan pemerintah sebagian menghilankan pendapatan dari ekspor. ide pemerintah kadang memang bagus tapi eksekusi lemah. hanya memperbesar cost2 ekspor membuat harga jual kita jadi tidak masuk akal. ratusan juta dollar penerimaan negara menguap akibat membuat aturan yg tdk jelas. shr5
Anthony mengatakan…
Pak IDX & Pak Teguh yang baik,

menurut penjelasan anda penguatan USD disebabkan oleh beberapa faktor :

1. Kenaikan bunga the fed -> hal ini tidak dapat dihindari lagi karena seiring perbaikan ekonomi amerika , the fed mau tidak mau akan menaikan bunga untuk menhindari inflasi yang berlebihan dan asset bubble yang disebabkan oleh cheap interest rate. sehingga kita tahu bahwa era cheap rates akan segera berakhir dan kita akan masuk pada era high interest rate , karena secara tidak langsung kenaikan fed rate akan berimbas pada kenaikan IDR dan BI rate , asset outflow dan higher borrowing cost. ini adalah faktor yang negative pada sektor2 yang interest rate sensitive terutama banking dan properties.

2. Penguatan rupiah seperti dijelaskan diatas adalah salah satu alat pemerintah / BI untuk menaikan ekspor indonesia ke luar negeri , dikarenakan weak IDR akan membuat barang2 dari indonesia lebih kompetitif karena lebih murah secara relative compare dengan barang2 lua.

Pelemahan rupiah jg sepertinya disengaja dibiarkan oleh Bank sentral indonesia karena setau saya cadangan devisa BI sangat besar dan seharusnya cukup apabila mereka mau mempertahankan rupiah di level <12 ribu , tp nyatanya tidak dilakukan. penguatan usd akan berimbas negative pada sektor2 yang USD negative seperti importir , manufaktur (USD raw materials) dan perusahaan2 yang mempunyai utang dollar dan IDR revenue.

3. situasi politik yang kurang kondusif membuat bbrp investor jangka pendek menjadi uncomfortable dan mulai menjual investasi jangka pendeknya.

setelah melihat hal2 diatas sepertinya pelemahan rupiah di level sekarang akan menjadi trend untuk beberapa bulan kedepan.

pertanyaan saya:
1. apa yang harus kita lakukan sebagai investor dalam menghadapi situasi diatas , apakah kita harus shifting investasi kita pada instrumen lain yang bisa memberikan hedging pada situasi diatas (buy USD , buy Gold , buy USD based asset seperti property asing , atau beli apartemen yang bisa menghasilkan rental dalam USD , etc2)?

2. apakah ada saham2 pada sektor tertentu yang diuntungkan dengan situasi yang terjadi seperti diatas apabila ada saham apa sajakah itu?

Thanks alot pak
IDX Investor mengatakan…
Pak Anthony, begini pendapat saya

1. Jika Anda yakin USD akan menguat terus, maka tentunya Anda harus berinvestasi pada aset-aset yang menghasilkan USD atau aset-aset dalam USD. Anda bisa membeli USD secara fisik atau secara kontrak. Untuk emas, USD yang meningkat justru membuat emas menurun sehingga membeli emas saat ini tampaknya tidak terlalu tepat karena tidak menghasilkan return yang memadai biarpun harga emas dalam negeri juga dipengaruhi oleh melemahnya IDR.

2. Bagi saya sendiri, saya lebih suka membeli "pabrik" USD daripada membeli USD. Sayangnya, saat ini harga-harga komoditas juga sedang jelek sehingga tampaknya hampir tidak ada perusahaan eksportir yang diuntungkan dalam situasi sekarang ini. Namun ada beberapa perusahaan jasa yang pendapatannya dalam USD namun biayanya tidak semuanya dalam USD, seperti perusahaan kontraktor penambangan (contoh:MYOH,PTRO,DOID). Beberapa perusahaan pelayaran dan marine juga seperti itu (WINS,LEAD,TPMA,SMDR). Perusahaan pelayaran juga diuntungkan dari biaya bahan bakar yang sedang rendah saat ini.
Unknown mengatakan…
Pak lim saya mau bertanya, rendahnya IHSG pada tahun 2010 itu di sebabkan oleh faktor apa saja ya ?
Dan tingginya IHSG pada tahun 2014 meningkat disebabkan oleh factor apa yah ? Terimakasih sekali semoga bisa menolong

ARTIKEL PILIHAN

Ebook Investment Planning Q3 2024 - Sudah Terbit!

Live Webinar Value Investing Saham Indonesia, Sabtu 21 Desember 2024

Mengenal Investor Saham Ritel Perorangan Dengan Aset Hampir Rp4 triliun

Prospek Saham Samudera Indonesia (SMDR): Bisakah Naik Lagi ke 600 - 700?

Prospek PT Adaro Andalan Indonesia (AADI): Better Ikut PUPS, atau Beli Sahamnya di Pasar?

Pilihan Strategi Untuk Saham ADRO Menjelang IPO PT Adaro Andalan Indonesia (AADI)

Saham Telkom Masih Prospek? Dan Apakah Sudah Murah?