'Drama Queen' of Stock Market

Beberapa hari lalu penulis mengalami peristiwa yang cukup unik dengan keluarga di rumah. Jadi ceritanya si teteh (panggilan untuk kakak perempuan, urang Bandung pasti ngerti), yang berusia 3 tahun, lari-lari dan terjatuh hingga lututnya lecet dan harus dipasang plester. Besok paginya, si teteh menolak untuk mandi karena takut lututnya yang lecet tersebut akan terasa perih kalau terkena air. Mamanya berkali-kali menjelaskan bahwa itu cuma lecet kecil jadi gak apa-apa kena air juga, tapi si teteh berkali-kali juga berteriak ‘gak mau!’. Kehilangan kesabaran, si mama juga ikutan teriak. Alhasil jadilah pagi itu rumah gempar hanya gara-gara lecet kecil di lutut, dan si papa (penulis) harus intervensi. Setelah pendekatan persuasif dengan mengajaknya makan-makan di HokBen (meniru caranya Presiden Jokowi) dan main perosotan, si teteh akhirnya bersedia mandi, tapi dengan syarat lututnya yang lecet itu harus dibungkus dulu pake plastik wrapping biar gak kena air.

Contoh kasus diatas menjelaskan bagaimana sebuah peristiwa yang kecil dan cenderung sepele menjadi tampak serius, hanya karena orang-orang yang terlibat didalamnya menanggapi peristiwa tersebut secara berlebihan. Si mama sempat menyebut si teteh sebagai ‘drama queen’, karena si kecil ini kelewat khawatir akan luka lecetnya, padahal itu cuma lecet kecil. Dan setelah penulis googling, menurut urbandictionary.com, drama queen is ‘someone who turns something unimportant into a major deal’, atau secara harfiah bermakna sebagai seseorang yang memandang sesuatu yang sebenarnya tidak penting, sebagai masalah yang serius.

Istilah drama queen biasanya merujuk pada perempuan, entah itu anak kecil ataupun orang dewasa (makanya istilahnya queen, bukan king). Tapi pada prakteknya, siapapun itu entah dia laki-laki atau perempuan, entah dia anak-anak ataupun orang dewasa, entah itu investor saham atau bukan, terkadang (atau malah seringkali) suka bersikap berlebihan dalam menanggapi suatu masalah.

Dan di pasar saham, salah satu masalah itu adalah terkait kinerja keuangan perusahaan. Berdasarkan pengalaman, ketika sebuah perusahaan mencatat kinerja yang tampak buruk sedikit saja, misalnya laba bersihnya turun dibanding tahun sebelumnya, maka investor seringkali akan menanggapinya secara berlebihan, seolah-olah perusahaan itu jelek sama sekali (sama seperti putri penulis yang menganggap bahwa lecet kecil dilututnya merupakan luka yang parah). Dan alhasil sahamnya bisa turun sangat dalam, terkadang bisa anjlok 50% atau lebih dari harga tertingginya. Padahal selama perusahaan masih mencetak laba, maka nilai aset bersih perusahaan sejatinya masih bertumbuh bukan? Dan selama perusahaan tidak terkena force majeure tertentu (tersangkut kasus hukum, dll), maka mereka akan tetap beroperasi dengan normal tanpa adanya masalah apapun, dan seharusnya akan tetap menghasilkan keuntungan dari tahun ke tahun.

But still, karena kinerja perusahaan tampak buruk, maka orang-orang jadi males megang sahamnya, termasuk yang tadinya berniat membelinya juga nggak jadi, dan alhasil harganya terjun bebas terkadang sampai sedemikian murahnya. Contoh yang penulis perhatikan baru-baru ini adalah Erajaya (ERAA), Wismilak (WIIM), dan Semen Baturaja (SMBR). Dilihat dari sisi manapun, ketiga perusahaan tersebut merupakan perusahaan yang baik, punya track record kinerja yang oke dan outlook jangka panjang yang bagus, utangnya kecil, dan juga dikelola oleh manajemen yang bisa dipercaya. Tapi hanya gara-gara laba mereka turun sedikit di Kuartal I 2015 kemarin, maka ketiga saham ini terus saja mencetak new low padahal IHSG sejatinya baru turun sekitar 10 – 12% dari puncaknya.

Logo PT Erajaya Swasembada, perusahaan distributor telepon selular terbesar di tanah air

Awalnya penulis mengira bahwa ini hanya fenomena di Pasar Saham Indonesia, dan juga hanya terbatas pada saham-saham kecil atau second liner (saham bluechip biasanya hanya akan turun kalau IHSG turun, bahkan  meski kinerja mereka tampak tidak terlalu bagus). Tapi ternyata diluar negeri juga sama begitu, dan itu juga bisa terjadi pada saham dari perusahaan sekelas Berkshire Hathaway sekalipun. Jika pada tahun tertentu laba bersih Berkshire turun dibanding tahun sebelumnya, maka sahamnya biasanya ikut turun pada tahun tersebut, tak peduli meski nilai aset bersih perusahaan sejatinya masih naik. Berikut adalah data sepuluh tahun terakhir (2004 – 2014) dari 1. Laba bersih Berkshire Hathaway (dalam jutaan USD), 2. Persentase kenaikan/penurunan nilai aset bersih perusahaan, 3. Persentase enaikan/penurunan harga sahamnya dalam satu tahun.

Sebelumnya catat bahwa di website perusahaan (www.berkshirehathaway.com), sebenarnya tersedia juga data hingga tahun 1964, yakni sejak Berkshire diambil alih oleh Mbah Buffett. Namun kalau kita tampilkan semua datanya disini maka tabelnya akan jadi sangat panjang. Jadi penulis kira data sepuluh tahun terakhir sudah cukup mewakili.

Year
Net Earnings
Book Value
Market Value
(US$ million)
(%)
(%)
2004
7,308
10.5
4.3
2005
8,528
6.4
0.8
2006
11,015
18.4
24.1
2007
13,213
11.0
28.7
2008
4,994
(9.6)
(31.8)
2009
8,055
19.8
2.7
2010
12,967
13.0
21.4
2011
10,254
4.6
(4.7)
2012
14,824
14.4
16.8
2013
19,476
18.2
32.7
2014
19,872
8.3
27.0

Nah, perhatikan bahwa antara tahun 2004 hingga 2007, laba bersih Berkshire selalu naik, dan demikian pula dengan nilai aset bersih/nilai bukunya. Dan alhasil harga sahamnya (market value) juga terus naik selama kurun waktu tersebut. Namun pada tahun 2008, laba perusahaan tercatat hanya US$ 5.0 milyar, atau anjlok signifikan dibanding tahun sebelumnya yakni US$ 13.2 milyar. Karena harga dari beberapa saham yang dipegang Berkshire juga anjlok pada tahun 2008 tersebut, maka jadilah nilai aset bersih perusahaan ikut turun sebesar 9.6%.

Dan meski Warren sendiri mengatakan bahwa tahun 2008 memang merupakan tahun yang buruk bagi Berkshire, namun investor menanggapi buruknya kinerja Berkshire tersebut secara berlebihan, dimana saham Berkshire anjlok hingga 31.8%, atau turun lebih dalam dibanding penurunan nilai riil perusahaan. Pada tahun 2009 dan 2010, laba Berkshire kembali naik, dan demikian pula nilai aset bersih perusahaan sukses naik selama dua tahun berturut-turut. Namun pada tahun 2011, laba Berkshire turun lagi dari US$ 13.0 milyar menjadi US$ 10.3 milyar. Dan lagi-lagi investor menanggapi hal tersebut secara berlebihan, dimana saham Berkshire pada tahun 2011 tersebut turun 4.7%, padahal nilai aset bersih perusahaan masih tumbuh 4.6%.

Namun disisi lain, respon investor terhadap kinerja Berkshire (yang tercermin pada kenaikan atau penurunan harga sahamnya di pasar) juga akan berlebihan ketika perusahaan menghasilkan kinerja yang bagus. Perhatikan lagi tabel diatas, pada tahun 2006 laba Berkshire tercatat US$ 11.0 milyar, tumbuh cukup signifikan dibanding tahun sebelumnya yang hanya US$ 8.5 milyar. Dan nilai aset bersih perusahaan juga naik 18.4% pada tahun tersebut, atau jauh lebih baik dibanding tahun 2005 yang hanya 6.4%. Dan hasilnya, saham Berkshire di tahun 2006 naik 24.1%, atau lebih tinggi dibanding kenaikan nilai riil perusahaan. Pada tahun 2013, harga saham Berkshire juga naik 32.7%, atau lebih tinggi dibanding kenaikan nilai riil perusahaan yang hanya 18.2%.

And, believe it or not, kalau kita cek lagi data yang lebih lama, maka sejak dulu ceritanya juga sama begitu: Kenaikan atau penurunan harga saham Berkshire di market selalu lebih signifikan dibanding kenaikan atau penurunan nilai riil perusahaan. Pada tahun 1991, nilai aset bersih Berkshire sukses naik 7.4%. Tapi masalahnya, kenaikan nilai aset bersih tersebut lebih rendah dibanding tahun sebelumnya yakni 1990, yang mencapai 44.4%, sehingga jelas pada tahun 1991 tersebut Berkshire mengalami penurunan laba bersih. Dan alhasil, sahamnya turun 23.1%. Kemudian pada tahun 1976, Berkshire mencatat kenaikan nilai aset bersih 59.3%, atau jauh lebih tinggi dibanding kenaikan tahun sebelumnya yang hanya 21.9% (jadi laba bersih Berkshire di tahun 1976 tersebut melejit dibanding tahun sebelumnya). Dan alhasil, sahamnya juga sukses terbang bahkan dengan kenaikan yang jauh lebih tinggi, yakni mencapai 129.3%.

Okay, Pak Teguh, so what’s your point?

Contoh diatas membuktikan bahwa salah satu sifat dasar investor di pasar modal adalah selalu bereaksi secara berlebihan terhadap baik atau buruknya kinerja sebuah perusahaan. Yep, pasar modal adalah gudangnya drama queen! Jadi kalau sebuah perusahaan kinerjanya tampak bagus banget, dimana labanya melejit, dan ROE-nya juga sangat besar, maka orang-orang akan memburu sahamnya sehingga harganya bisa naik secara sangat signifikan, katakanlah hingga lebih dari 100% dalam tempo yang relatif singkat. Tapi sebaliknya, ketika perusahaan mencatat penurunan laba sedikiiit saja, maka sahamnya bisa turun gila-gilaan, apalagi jika IHSG-nya juga lagi turun. Pada tahun 2011 lalu ketika sektor batubara lagi jaya-jayanya, harga-harga saham perusahaan seperti Bukit Asam (PTBA), Adaro Energy (ADRO), Indika Energy (INDY), Bumi Resources (BUMI), Resource Alam Indonesia (KKGI), hingga Garda Tujuh Buana (GTBO), semuanya naik gila-gilaan (naik lebih tinggi dibanding kenaikan nilai riil perusahaan) hingga PBV-nya bisa mencapai 7, 8, atau bahkan 10 kali, alias amat sangat muahal.

Tapi di tahun-tahun berikutnya, setelah harga batubara kemudian turun dan perusahaan-perusahaan tersebut mengalami penurunan laba atau bahkan kerugian, maka anda bisa lihat sendiri bukan, seperti apa nasib saham-saham batubara saat ini? Pada tahun 2011 lalu saham GTBO sukses naik dari 109 hingga 6,000-an (naik berapa persen tuh? Silahkan hitung sendiri) hanya dalam tempo setahunan. Tapi seiring meredupnya bisnis batubara, kesininya dia anjlok tanpa ampun dan sekarang mati di 260 (di-suspend. Kalo gak disuspend mungkin bisa turun sampe gocap karena perusahaannya sendiri berhenti beroperasi).

Nah, kalau untuk sektor komoditas seperti batubara, maka memang sulit sekali untuk berharap kapan perusahaan-perusahaan di sektor ini akan kembali menunjukkan kinerja yang positif, karena kita tidak pernah kapan harga batubara akan naik kembali.

Namun untuk perusahaan di sektor-sektor lain yang lebih sustainable seperti consumer goods, semen, perdagangan, perbankan, ataupun konglomerasi (bergerak di banyak bidang usaha, contohnya Astra International/ASII), maka dengan catatan manajemennya jujur dan kompeten, biasanya kinerja mereka secara keseluruhan akan bagus dalam jangka panjang. Tapi seperti halnya Berkshire Hathaway, pada tahun-tahun tertentu mungkin saja laba bersih mereka sedikit turun, dan alhasil pertumbuhan aset bersih mereka pada tahun tersebut menjadi lebih lambat dibanding sebelumnya. Dan ketika itulah, apalagi jika IHSG-nya mendukung (baca: turun), maka harga saham dari perusahaan-perusahaan tersebut akan turun gila-gilaan, mungkin hingga pada level yang unbelievably undervalue.

And maybe, that’s our opportunity!

Karena, jika kinerja perusahaan pada akhirnya akan kembali baik suatu waktu nanti, maka harga sahamnya juga sudah pasti akan kembali naik kencang! Ada banyak kasus dimana harga sebuah saham turun drastis ketika kinerja perusahaannya tampak buruk, tapi kemudian naik sangat tinggi ketika kinerja tersebut kembali positif. Pada tahun 2011, Elnusa (ELSA) menderita kerugian Rp43 milyar, sehingga ekuitasnya juga turun tipis dari Rp1.96 trilyun menjadi Rp1.91 trilyun. Tapi sahamnya? Tenggelam tanpa ampun dari 350-an hingga mentok di 170-an (turun hampir 50%), dimana pada harga 170 itu PBV ELSA hanya 0.6 kali. Namun pada tahun 2012 dan 2013, ELSA kembali membukukan laba bersih selama dua tahun berturut-turut, dan alhasil sahamnya juga kembali terbang hingga sempat menembus 700 pada Agustus 2014 lalu.

Jadi jika seseorang membeli ELSA di harga 170 – 200, karena ia mampu melihat penurunan saham ELSA sebagai suatu peluang (bahkan meski penurunan tersebut memang disebabkan oleh kinerja perusahaan yang buruk), dan ia kemudian sukses menjualnya di harga 700, sekitar satu setengah tahun kemudian, maka berapa persen keuntungannya?

Jadi apa kesimpulannya?

Seperti yang anda ketahui, pada tahun 2015 ini ada banyak perusahaan yang mencatatkan kinerja yang kurang memuaskan. Jika tahun 2013 dan 2014 lalu hanya perusahaan-perusahan batubara dan CPO yang mengalami penurunan laba bersih, maka tahun ini bahkan perusahaan sekelas Astra sekalipun mengalami penurunan laba bersih (sementara Bumi Resources malah udah kelaut). However, jika anda mampu mengidentifikasi saham-saham yang 1. Meski kinerja perusahaannya pada saat ini tampak buruk, namun pada akhirnya nanti akan bagus kembali, 2. Sahamnya sudah jatuh sedemikian parahnya, sehingga valuasinya benar-benar sudah sangat murah, maka anda selanjutnya tinggal tunggu sampai perusahaan yang bersangkutan merilis kinerja yang lebih baik di laporan keuangannya, kemudian sikaaat! Sebab, ketika itulah sahamnya kemungkinan besar akan terbang. Diatas penulis sudah menyebutkan ERAA, WIIM, dan SMBR, yang belakangan ini sahamnya terus turun karena kinerja perusahaannya memang kurang oke (diluar tiga itu, anda mungkin punya pilihan anda sendiri). Tapi ketika pada akhirnya nanti mereka kembali membukukan kenaikan laba bersih yang signifikan, then you know what to do!

Lalu bagaimana dengan IHSG yang belakangan ini lagi turun? Well, kalau IHSG turun maka mungkin saham yang sudah anda beli tersebut akan tetap terseret turun, tapi mungkin juga tidak. Antara Juni hingga Desember 2013, IHSG turun dari 5,250 hingga 4,200. Namun saham ELSA pada periode yang sama justru tetap naik dari 250 sampai 350, karena kinerja perusahaan memang memuaskan. Ketika koreksi pasar akhirnya selesai pada awal tahun 2014 dan IHSG kembali merangkak naik, kenaikan ELSA tidak terbendung lagi, dan dia sukses mencapai 700-an hanya dalam waktu beberapa bulan berikutnya (meski belakangan turun lagi karena biar bagaimanapun, harga 700-an itu sudah kelewatan mahalnya).

Dalam hal ini penulis jadi paham kata-kata Mbah Warren: ‘Be fearful when others are greedy, and greedy when others are fearful’. Ketika sebuah perusahaan bagus mengalami kinerja yang tidak memuaskan pada satu waktu tertentu, maka investor biasanya akan khawatir dengan masa depan perusahaan, dan alhasil sahamnya akan terjun bebas. Tapi bagi value investor yang cukup jeli, maka mungkin justru disitulah ada kesempatan. Sebaliknya, ketika sebuah perusahaan mencatat kinerja yang sangat baik pada satu waktu tertentu, maka investor akan optimis terhadap ramai-ramai memburu sahamnya dan alhasil sahamnya akan naik tinggi hingga valuasinya menjadi sangat mahal. Tapi jika seorang value investor sudah memegang saham tersebut sejak awal, maka mungkin justru itulah saatnya untuk keluar.

Jadi di pasar modal itu, sebuah saham kalau gak terbang sekalian ya jeblok sekalian. Mayoritas investor tidak pernah bersikap biasa-biasa saja terhadap suatu saham ketika kinerja perusahaannya tampak bagus atau buruk (apalagi jika IHSG-nya juga sedang bullish atau bearish), because almost everybody is a drama queen in the stock market. However, sebagai value investor, maka anda hanya perlu menggunakan sedikit logika saja: Ketika harga sebuah saham sudah sedemikian murahnya, sementara perusahaannya masih beroperasi dengan normal dan masih menghasilkan keuntungan, tidak sedang tersangkut masalah/kasus apapun, dan manajemennya juga jujur serta kompeten, maka apa yang perlu dikhawatirkan? Seorang anak kecil berusia 3 tahun mungkin harus diberi tahu oleh ibunya bahwa lecet kecil di lututnya itu tidak akan terasa perih kalau terkena air. But hey, anda sudah dewasa bukan?

Pasar turun: Saatnya belanja! Dapatkan informasi mengenai menu belanja pilihan (baca: saham-saham berfundamental bagus) disini.

Komentar

Anonim mengatakan…
semakin banyak yang sinting di bursa semakin baik bagi yang waras karena itulah kesempatan untuk meraih gain sebesar-besarnya
sriyanto mengatakan…
TSPC...juga mas..KLBF 4x Revenue TSPC 1.5X gimana bisa?
Unknown mengatakan…
The beauty of contrarian .
M.R.K.H (O) mengatakan…
Bapak Teguh bagaimanakah dengan prospek saham Kimia Farma?
Menurut pandangan saya sebagai seorang investor retail yang masih newbie hehe, ada 2 faktor pendukung :

1) Pemberlakuan BPJS.
2) Mulai beroperasinya pabrik garam farmasi pada bulan april 2015.

Dengan beroperasinya garam farmasi perusahaan dapat mengurangi impor garam 3000 ton/tahun. Dan harga beli garam tersebut lebih murah dibandingkan harga garam farmasi impor.

Dengan pertumbuhan laba Q1 2015 sebesar 88%, BPJS dan mulai beroperasinya garam farmasi mengapa harga saham perusahaan terus mengalami penurunan?

Apabila dilihat dari LK Q1 2015. KAEF menggunakan nilai tukar rupiah acuan di 13.000 (melemah sedikit pada posisi saat ini).
Apakah kasus ini termasuk "Drama Queen of stock market"?

Mohon balasannya :)

Apabila disertai analisis berkualitas (gratis) sang suhu Bp Teguh Hidayat kami investor KAEF akan sangat berterimakasih sekali. :)
Unknown mengatakan…
Pak teguh.. Bagaimana cara kita menilai manajemen sebuah perusahaan adalah jujur dan kompeten?
Kawasan Industri mengatakan…
Terima kasih infonya Pak, sangat membantu saya

ARTIKEL PILIHAN

Live Webinar Value Investing, Sabtu 16 Maret 2024

Ebook Investment Planning Kuartal IV 2023 - Sudah Terbit!

Laporan Kinerja Avere Investama 2022

Peluang dan Strategi Untuk Saham Astra International (ASII)

Indo Tambangraya Megah: Masih Royal Dividen?

Indah Kiat Pulp & Paper (INKP) Bangun Pabrik Baru Senilai Rp54 triliun: Prospek Sahamnya?

Prospek Saham Energi Terbarukan, Kencana Energi Lestari (KEEN)