Outlook IHSG Setelah Kebijakan BEI

Kamis kemarin, tanggal 27 Agustus 2015, Bursa Efek Indonesia (BEI) akhirnya menyelenggarakan konferensi pers untuk menjelaskan kepada publik terkait kondisi pasar saham Indonesia. Secara poin per poin, berikut ini adalah inti materi dari konferensi pers tersebut.

Konferensi Pers BEI, sumber: www.idx.co.id

  1. Dalam satu bulan terakhir (Agustus), terdapat beberapa isu global yang menekan tingkat kepercayaan pelaku pasar modal di dalam negeri, seperti spekulasi atas kenaikan Fed Rate, penurunan harga minyak mentah dunia, serta perlambatan pertumbuhan ekonomi yang terjadi di Tiongkok.
  2. Meski kondisi ekonomi global kurang kondusif, namun 73% perusahaan/emiten yang terdaftar di BEI masih membukukan laba bersih yang positif pada semester I 2015. Dari kelompok 20 emiten terbesar berdasarkan market cap, PT Tekom Indonesia (TLKM) bahkan masih membukukan kenaikan laba komprehensif sebesar 6.0%.
  3. Terkait penurunan IHSG yang terjadi sejak Senin, 24 Agustus lalu, maka BEI dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai regulator bursa telah menerapkan beberapa kebijakan: 1. Emiten bisa mem-buy back saham tanpa RUPS, 2. Saham apapun hanya bisa turun maksimal 10% dalam sehari, 3. Dana Perlindungan Pemodal (DPP) ditingkatkan dari Rp25juta menjadi Rp100 juta, dan pelaksanaanya dieksekusi oleh PT Penyelenggara Program Perlindungan Investor Efek Indonesia (P3IEI), dan 4. Kegiatan transaksi saham yang melanggar ketentuan, seperti short-selling, akan diawasi lebih ketat.
  4. Pihak BEI menganggap bahwa penurunan IHSG terbilang masih dalam batas-batas yang wajar. Dan dengan mempertimbangkan kinerja para emiten yang relatif sehat, BEI berharap agar para pelaku pasar modal tetap optimis.
Komentar Penulis

Dalam acara Investor Gathering yang penulis selenggarakan di Jakarta, 22 Agustus kemarin (ini link-nya), penulis menyampaikan bahwa salah satu tanda bahwa penurunan IHSG mungkin sudah mencapai titik terendahnya, adalah jika otoritas bursa, dalam hal ini BEI dan OJK, atau Pemerintah itu sendiri (melalui Kementerian BUMN atau lainnya) mulai turun tangan langsung. Seperti yang kita ketahui, IHSG sejatinya sudah turun dan terus saja turun sejak akhir April lalu, namun toh sampai pertengahan Agustus kemarin boleh dibilang tidak ada respon apapun dari BEI. Berdasarkan pengalaman, kalau BEI sendiri masih santai-santai saja, maka itu berarti mereka sendiri menganggap bahwa penurunan IHSG itu masih normal, atau dengan kata lain IHSG masih bisa turun lebih lanjut hingga ke fase yang tidak lagi normal, dimana investor panik dan tidak lagi rasional (ini disebut siklus pasar, penjelasannya boleh baca disini).

Namun ketika penurunan IHSG sudah sampai pada fase yang tidak lagi normal, misalnya fase panic selling seperti yang terjadi Senin, 24 Agustus lalu, dimana semua saham anjlok tanpa peduli lagi apakah fundamentalnya bagus atau tidak, maka barulah BEI akan turun tangan. Dan kalau BEI/Pemerintah sudah turun tangan, artinya mereka sendiri menganggap bahwa posisi IHSG sudah cukup rendah, dan seharusnya akan naik kembali. Kementerian BUMN sendiri Senin kemarin sudah mengumumkan bahwa mereka akan melakukan buy back saham-saham BUMN.

Dalam hal ini bukan berarti Pemerintah sudah pasti benar bahwa IHSG sudah bottom. Namun jika Pemerintah sendiri yang bilang bahwa IHSG sudah murah, maka itu akan lebih didengar oleh khalayak ramai, dibanding jika seseorang yang bukan siapa-siapa seperti penulis mengatakan hal yang sama. Yep, jadi terdapat faktor psikologis disini. Pada Oktober 2008, ketika IHSG sedang anjlok-anjloknya (turun total 60% dari 2,800-an ke 1,100-an), Pemerintah juga mengumumkan bahwa mereka akan mengeluarkan Rp4 trilyun untuk buy back saham-saham BUMN. Dan hasilnya, pada November – Desember IHSG kembali naik dan akhirnya ditutup di posisi 1,300-an pada akhir tahun 2008, dan terus berlanjut naik di tahun berikutnya.

Nah, jadi apa yang kita tunggu-tunggu selama beberapa bulan terakhir ini (respon pemerintah), pada akhirnya memang sudah terjadi. Penulis sendiri, dalam wawancara dengan Koran Kontan sekitar sebulan lalu ketika IHSG masih di level 4,800-an, mengatakan bahwa ‘IHSG memang sudah turun lumayan, namun 'yang terburuk masih belum terjadi’. Well, namun kalau sekarang ini, ‘yang terburuk’ itu mungkin sudah terjadi Senin lalu. Dan meski kedepannya kita masih belum tau bakal gimana, namun berinvestasi pada saat IHSG berada di level rendah seperti sekarang tentu saja lebih enteeeengg, ketimbang jika anda dipaksa mencomot saham ketika IHSG masih berada di level 5,400-an, padahal ketika itu kita sudah tahu bahwa perekonomian nasional sedang melambat.

Meski demikian ada beberapa hal yang perlu anda perhatikan.

Diatas sudah disebutkan bahwa belakangan ini mulai ada banyak isu global seperti kenaikan Fed Rate, penurunan harga minyak, dan perlambatan pertumbuhan ekonomi Tiongkok, dan itu belum termasuk Krisis Yunani, atau bahkan Krisis Malaysia (baru Minggu kemarin ada demo besar di Kuala Lumpur). Berbagai isu ini bisa berdampak negatif terhadap IHSG. Terkait kenaikan Fed Rate, maka penulis kira cerita itu akan terus diulang-ulang bahkan jika besok-besok Fed Rate itu beneran naik, karena satu kali kenaikan akan membuka pintu bagi kenaikan berikutnya (baca lagi penjelasannya disini).

Disisi lain, meski orang BEI mengatakan bahwa 73% perusahaan/emiten masih membukukan laba bersih yang positif pada semester I 2015, namun itu artinya ada 27% perusahaan lainnya yang mengalami kerugian, atau dengan kata lain dari empat emiten di BEI, terdapat satu diantaranya yang merugi. Dan ketika disebutkan bahwa dari 20 emiten terbesar, TLKM masih membukukan kenaikan laba, maka itu berarti 19 emiten besar lainnya membukukan penurunan laba! Kondisi ini tentu saja tidak terlalu bagus, dan memang selaras dengan kondisi ekonomi nasional yang lesu. Jika kita strict pada kaidah value investing dimana kita hanya bisa membeli saham yang: 1. Fundamentalnya bagus, dan 2. Valuasinya murah, maka meski pada saat ini saham-saham murah bertebaran dimana-mana, namun masih relatif sulit untuk menemukan yang fundamentalnya masih benar-benar bagus.

Jadi meski BEI dan OJK sudah meluncurkan empat kebijakan terkait pasar saham, dan mungkin nanti akan ada kebijakan lainnya lagi, namun problemnya sekarang adalah fundamental dari saham-saham itu sendiri. Di catatan penulis, beberapa saham di sektor tertentu masih memiliki kinerja yang sangat baik, namun sebagian besar lainnya tidak bisa diganjar dengan predikat ‘lumayan baik’ sekalipun. Jadi kita mau tidak mau harus lebih selektif.

Dan terakhir, pada komentar BEI yang mengatakan bahwa ‘kinerja para emiten yang relatif sehat’, well penulis harus katakan bahwa kami tidak setuju. Logika saja, jika memang kinerja emiten masih relatif bagus, lalu bagaimana mungkin ada banyak saham-saham di BEI yang terus saja mencetak new low? Dan bahkan di kelompok blue chip sekalipun, ada beberapa diantaranya yang sudah turun 50% lebih dari posisi tertingginya. Kondisi ekstrim seperti ini tidak akan terjadi jika kinerja para perusahaan masih ‘relatif sehat’. You know, jika memang ada barang bagus yang harganya turun, maka meski pemegangnya ramai-ramai menjualnya, namun investor yang lain juga akan berebut untuk membelinya, dan alhasil penurunannya tidak akan terlalu dalam. Namun jika ‘barang’ tersebut tidak sedang dalam kondisi yang ‘bagus’, maka ketika orang-orang menjualnya, tidak ada orang lain yang menampung dan alhasil, sahamnya terjun bebas.

Satu hal lagi: Kelihatannya BEI tidak menaruh perhatian apapun terhadap masalah pelemahan Rupiah. Padahal masalah tersebut bisa sangat serius bagi perusahaan-perusahaan yang punya utang obligasi dalam mata uang USD. Mungkin BEI atau OJK kedepannya juga perlu menerbitkan peraturan bahwa perusahaan harus melakukan hedging terhadap utang-utang USD-nya, agar pelemahan Rupiah, yang kemungkinan masih bisa berlanjut, tidak akan terlalu berdampak negatif terhadap kinerja perusahaan.

Kesimpulannya, meski kebijakan BEI dan lainnya mungkin menunjukkan bahwa ‘yang terburuk sudah terjadi’, namun IHSG mungkin masih memerlukan sentimen positif yang riil agar bisa naik kencang kembali, karena kinerja para emiten juga masih tidak terlalu baik. Disisi lain cerita soal kenaikan Fed Rate dll malah tambah kenceng akhir-akhir ini, dan itu bisa menahan IHSG untuk tidak segera naik lagi dalam waktu dekat, atau malah turun lagi. Sementara sentimen positif terkait pengeluaran pemerintah untuk infrastruktur, seperti yang sudah penulis sampaikan berkali-kali, kita mungkin baru akan melihat dampak positifnya pada awal tahun depan.

Jadi yah, kalau tujuannya untuk investasi jangka panjang, maka meski posisi IHSG sejatinya sudah cukup rendah, namun kita mungkin masih harus menunggu sebentar lagi, paling tidak hingga 'keributan' di Mainland, US, dan lainnya mereda dengan sendirinya, atau ketika Rupiah pada akhirnya 'menemukan' posisinya untuk kemudian bertahan disitu, alias tidak melemah lebih lanjut.

Komentar anda?

Pengumuman: Buletin Analisis IHSG & Investment Plan edisi September sudah terbit hari ini! Anda bisa memperolehnya disini. Gratis konsultasi saham via email, dan gratis tiga edisi buletin lama (Juni, Juli, dan Agustus) bagi pelanggan baru.

Komentar

halley mengatakan…
kalau berdasar riset sih momen untuk beli kembali biasanya di november dan sell in may.
http://www.forbes.com/sites/abrambrown/2012/11/07/300-years-of-data-confirms-winning-strategy-buy-stocks-now-sell-in-may/
InvestorFromPky mengatakan…
Seperti Pemilik Perusahaan pada saat momentum kritis pasti mengeluarkan jurus aksi korporasi dan RUPS LB sehingga Perusahaan kembali sehat begitupula Negara,pada saat sudah di posisi kritis pasti mengeluarkan Kebijakan untuk normalisasi.Analisa yang baik Mr.Teguh Hidayat.Salam hangat :) InvestorFromPky

ARTIKEL PILIHAN

Live Webinar Value Investing, Sabtu 16 Maret 2024

Ebook Investment Planning Kuartal IV 2023 - Sudah Terbit!

Laporan Kinerja Avere Investama 2022

Peluang dan Strategi Untuk Saham Astra International (ASII)

Indo Tambangraya Megah: Masih Royal Dividen?

Indah Kiat Pulp & Paper (INKP) Bangun Pabrik Baru Senilai Rp54 triliun: Prospek Sahamnya?

Prospek Saham Energi Terbarukan, Kencana Energi Lestari (KEEN)