Pentingnya Menyaring Informasi dalam Berinvestasi

Pada tanggal 4 November kemarin, seperti yang kita ketahui, di Kota Jakarta terjadi demo besar-besaran yang melibatkan ratusan ribu orang, yang menuntut Gubernur DKI Jakarta non-aktif, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, agar diproses hukum terkait kasus dugaan penistaan agama. Dan seperti biasa, ketika terjadi peristiwa skala nasional seperti itu maka media sosial serta forum-forum internet langsung dipenuhi oleh opini serta komentar dari para pengamat dadakan, dan Facebook seketika ramai oleh debat pro – kontra soal apakah Ahok bersalah atau tidak.

Sebelum heboh cerita soal demo Ahok ini, anda mungkin masih ingat kalau beberapa bulan lalu juga pernah ada demo besar yang dilakukan para supir taksi yang menolak kehadiran taksi dan ojek online, yang juga berujung rusuh. Ketika itupun medsos dengan cepat dipenuhi oleh komentar dari para ‘ahli transportasi’ dadakan, beberapa diantaranya mungkin bahkan sengaja meluangkan waktu untuk baca-baca soal legalitas taksi online dll, agar mendukung argumen yang ia sampaikan ketika berdebat dengan temannya sendiri di FB. Sebelumnya lagi, Jakarta juga pernah dikepung oleh massa buruh yang berdemo untuk menuntut kenaikan upah, dan lagi-lagi orang banyak beropini serta berdebat soal berapa seharusnya upah buruh yang layak, dll.

Salah satu foto ketika ramai demo taksi online, beberapa waktu lalu, yang isunya sekarang sudah dilupakan sama sekali. Courtesy www.timeindonesia.co.id

Pendek kata, ketika terjadi suatu peristiwa besar dan penting yang menjadi perhatian khalayak ramai, maka akan muncul banyak sekali opini dan komentar yang beredar terkait peristiwa tersebut, baik itu yang berasal dari pengamat dadakan atau memang ahli sungguhan. Kemudian, pada kondisi tertentu seringkali tulisan yang bersifat opini, komentar, hingga rumor tersebut jumlahnya jauh lebih banyak dan jauh lebih menyebar ketimbang pemberitaan atau informasi yang sifatnya fakta dan data, dan kondisi tersebut pada akhirnya membuat semua orang menjadi punya versi informasinya masing-masing tentang apa yang sebenarnya telah terjadi. Contohnya ya soal demo Ahok tadi: Mau anda berpendapat sekeras apapun bahwa Ahok bersalah, atau bahwa Ahok tidak bersalah, maka akan selalu ada orang lain yang berargumen sebaliknya. Dan kalau kejadiannya begitu maka pendapat siapa yang benar? Apakah pendapat anda, atau pendapat orang lain tersebut?

Okay, lalu apa hubungannya hal ini dengan kegiatan investasi kita di saham?

Kalau anda belakangan ini banyak melihat orang gontok gontokan soal demo Ahok di medsos, maka coba anda ingat lagi di waktu-waktu yang lain ketika tidak terjadi peristiwa besar yang menjadi isu nasional: Gak banyak orang yang berdebat tentang sesuatu bukan? Singkatnya, meski pada waktu-waktu tertentu ada banyak orang yang meng-unfriend temannya sendiri hanya karena berbeda pendapat tentang suatu isu, tapi pada waktu-waktu yang lain mereka ya damai-damai saja, karena tidak ada kejadian penting yang menarik untuk diperdebatkan.

Sementara di pasar saham? Well, disini nyaris setiap hari terjadi ‘perdebatan’, karena setiap investor selalu memiliki pendapat yang berbeda dibanding investor lain terkait prospek dan valuasi saham-saham tertentu, arah pasar, perkembangan ekonomi makro, dan seterusnya. Malah, transaksi saham itu bisa terjadi karena adanya perbedaan pendapat, dimana ketika A menjual sahamnya kepada B, maka A berpendapat  bahwa saham tersebut mungkin akan turun (makanya dia menjualnya), sementara B berpendapat bahwa saham itu mungkin akan naik (makanya dia membelinya).

Jadi yang namanya pasar saham itu dari dulu sampai sekarang, dan juga sampai seterusnya, akan selalu dipenuhi oleh opini dan pendapat yang berbeda satu sama lain, dimana jumlah informasi yang bersifat opini ini akan selalu lebih banyak ketimbang informasi yang berdasarkan fakta dan data. Hanya bedanya, kalau anda sudah invest saham sejak tahun 1990-an, maka ketika itu belum ada Facebook, Whatsapp, dan bahkan telepon seluler juga masih belum banyak yang punya. Alhasil penyebaran informasi terkait saham atau IHSG, dimana mayoritas dari informasi tersebut bersifat opini (atau rumor), terbilang sangat terbatas. Sehingga kalau anda ketika itu sudah mampu menganalisis dengan benar berdasarkan laporan keuangan dll, maka informasi yang anda peroleh hampir seluruhnya bersifat data dan fakta yang valid, dan bukan sekedar 'denger-denger' atau ‘katanya’ (kata siapa emang?).

Sementara sekarang ini yang terjadi sebaliknya: Perkembangan teknologi membuat penyebaran informasi terjadi sangat cepat, termasuk pemberitaan atau informasi yang tidak valid/hanya bersifat rumor atau opini, dimana kalau anda kemudian lupa melakukan pekerjaan analisa karena terlalu sibuk mengikuti rumor seperti itu, maka hampir pasti porto anda bakal berantakan. Penulis sering sekali menerima curhatan dari investor yang terjebak membeli saham-saham yang gak jelas pada harga atas, hanya karena saham tersebut ‘lagi ramai diperbincangkan’, atau ‘banyak direkomendasikan oleh analis’. Dan sayangnya tidak hanya investor pemula yang memang belum mengerti cara menganalisis, investor yang sudah berpengalaman pun kadang-kadang masih suka ‘kemakan rumor’, dan alhasil mereka melakukan jual beli saham tidak berdasarkan analisa yang sudah capek-capek dibuat sebelumnya.

Jadi berbeda dengan jaman dulu dimana investor mungkin agak kesulitan dalam memperoleh informasi yang valid (kalo mau dapetin laporan keuangan juga harus cari hardcopy-nya, jadi gak bisa tinggal download seperti sekarang), pada jaman sekarang investor justru harus bisa menyaring setiap informasi yang masuk, untuk kemudian membedakan mana informasi yang valid/bersifat fakta, dan mana informasi yang hanya bersifat opini atau rumor.

Dan itulah sebabnya, seorang investor/fund manager profesional seringkali agak tertutup dan cuek, dimana ia gak mau ikut grup atau forum, sulit ditelepon, enggan berkomentar soal apapun dan jarang ngomong soal apapun, termasuk gak mau dengerin analisa dari analis/investor lain karena sudah percaya diri dengan analisisnya sendiri (kecuali mungkin analisis atau saran dari satu dua orang yang benar-benar ia percayai, misalnya seperti Warren Buffett yang selalu minta saran dari Charlie Munger). Investor seperti ini juga biasanya jarang mau membaca kabar-kabar atau sentimen yang beredar setiap hari, melainkan hanya fokus pada analisis perusahaan, analisis pasar/IHSG, dan makro ekonomi. Termasuk kalau ada isu atau peristiwa penting yang mungkin bisa berpengaruh terhadap pergerakan saham-saham tertentu atau pergerakan IHSG itu sendiri, contohnya ketika terjadi demo besar kemarin (yang dikhawatirkan bisa bikin pasar jatuh), maka ia akan fokus pada menganalisis tentang seberapa besar kira-kira pengaruh dari demo tersebut terhadap pasar, dan bukannya malah buang-buang waktu dengan membaca 'opini pengamat' atau menerima broadcast dengan judul 'menurut kabar yang beredar', yang gak jelas asal muasalnya.

Karena hanya dengan cara itulah, benak si investor hanya akan terisi oleh informasi-informasi dan analisis yang berkualitas, valid, serta akurat, dimana dengan bekal informasi valid tersebut ia akan mampu membuat keputusan jual beli saham yang paling tepat, meminimalisir risiko kerugian serta memaksimalkan potensi profit, dan yang paling penting ia gak akan mudah galau atau panik karena terpengaruh oleh kabar yang nggak-nggak.

So, wanna join this ‘nerd investor’ club? And btw, mungkin juga perlu dicatat bahwa hanya karena seorang investor agak tertutup ketika diajak diskusi soal saham, maka itu bukan berarti dia antisocial atau semacamnya. Termasuk kalau anda ketemu penulis di kedai kopi, maka saya akan dengan senang hati ngobrol tentang kuliner, travelling, video game terbaru, sepakbola, kegiatan philanthropy, hingga perkembangan makroekonomi dan dunia usaha. Tapi kalau anda cuma mau bertanya, ‘Pak Teguh, kira-kira saham apa yang bakal naik besok?’

Then I will kick your ass!

Pengumuman: Buku Kumpulan Analisis Saham-Saham Pilihan edisi Kuartal III 2016 sudah terbit! Anda bisa memperolehnya disini.

Komentar

Membangun Indonesia mengatakan…
Artikel yang sangat menarik Pak. Kita jadi termotivasi untuk belajar mandiri dalam menganalisa saham kapan mesti buy or kapan mesti sell, bukan buy the rumor and sell the issue.
Oh ya Pak, kalau ada waktu mohon dibahas soal gonjang ganjing "Deutche Bank" apa yang mesti investor lakukan saat ini? Bahkan di luar negri pun pembahasan soal DB ini cukup heboh, bahkan ada yang menganalisa jika DB pailit maka akan memicu "Great Depression" & akhirnya WWIII?????
Terimakasih
Marta mengatakan…
Sangat setuju dengan artikel kali ini. Seth Klarman of Baupost said "Value investing is like an inoculation,
you either get it right away or not. It’s a gene, you have it or not"

It's not easy, It's not for everyone. It's not for those who just want to know what will be going up or down tomorrow.
Tatsuya mengatakan…
Setuju Mas Teguh. Apalagi lagi kampanye ini banyak yg jadi sumbu pendek. Contoh terbarunya,saya dikick sama analis SU,padahal saya hanya mengkritik transaksinya di PTBA yang salah terus,akhirnya dia salah posisi terus dan cut loss terus,eh malah saya dikick.ya udah.Padahal saya melihat akhir2 ini para trader dipaksa keluar dari PTBA. Tapi ini hanya dugaan saya aja,toh saya investor,jadi saya tonton aja
Fery mengatakan…
Kapan kalo jumpa pak Teguh dicoba deh :)
E S mengatakan…
Pak teguh.. ingin sedikit bertanya ttg bakrieland. Elty. Mengenai lap keu 3q 2016 dan ini sdh sy perhatikan sejak 1h2016.

Begini pak. Dalam lap terakhir laba elty 3q2016 adalah 181 miliar. Klo sy gk salah cek total saham beredar kurang lebih 43 miliar. Nah mengapa labar per saham di lap keu tsb adalah 0.19.. bukankah harusnya laba per saham elty adalah 4.5 rupiah kurang lebih? Trima kasih

ARTIKEL PILIHAN

Live Webinar Value Investing, Sabtu 16 Maret 2024

Ebook Investment Planning Kuartal IV 2023 - Sudah Terbit!

Laporan Kinerja Avere Investama 2022

Peluang dan Strategi Untuk Saham Astra International (ASII)

Indo Tambangraya Megah: Masih Royal Dividen?

Indah Kiat Pulp & Paper (INKP) Bangun Pabrik Baru Senilai Rp54 triliun: Prospek Sahamnya?

Prospek Saham Energi Terbarukan, Kencana Energi Lestari (KEEN)