Rupiah 15,000??

Beberapa waktu lalu ketika penulis bepergian, di pesawat saya membaca sebuah artikel di majalah yang ada di kabin, yang intinya menjelaskan bahwa jika terjadi turbulensi/getaran pada badan pesawat, maka itu adalah sesuatu yang normal dan tidak perlu dikhawatirkan. Tak butuh waktu lama, saya langsung memahami maksud dari artikel tersebut: Penumpang yang sudah sering naik pesawat sekalipun seringkali khawatir jika pesawat mengalami turbulensi, dan beberapa orang mungkin langsung kapok naik pesawat jika pesawatnya kebetulan mengalami goncangan keras. Jadi dengan membaca artikel tersebut maka diharapkan bahwa para penumpang, termasuk penulis, untuk tidak lagi menganggap kejadian turbulensi sebagai sesuatu yang menakutkan.

However, setelah membaca artikel tersebut penulis malah mikir begini: Saya gak yakin orang-orang bakal jadi lebih rileks ketika terjadi turbulensi setelah membaca artikel tersebut, jadi sebenarnya tulisan itu sia-sia saja. Alih-alih menulis artikel untuk menenangkan para penumpang, pihak maskapai seharusnya lebih fokus pada upaya untuk membuat pesawat lebih kuat/tidak gampang mengalami turbulensi lagi. Sebab pada akhirnya, para penumpang ini awam cara kerja pesawat, sehingga satu-satunya cara untuk menenangkan mereka adalah dengan mengurangi kemungkinan terjadinya turbulensi itu sendiri.

Hanya memang, sebelum penulis mengetik tulisan diatas, para perusahaan maskapai sepertinya sudah mengerti soal itu. Dibanding ketika dulu penulis pertama kali naik pesawat, sekarang ini pesawat apapun sudah lebih tenang/jarang terjadi getaran, dan dalam kondisi cuaca cerah maka terkadang pesawat itu seperti diam di udara saking tenangnya. Sementara soal artikel di majalah tadi? Well, seorang insinyur mungkin bisa membuat sebuah pesawat lebih kuat terhadap turbulensi, tapi sehebat apapun dia, tentunya tidak mungkin untuk menghilangkan turbulensi itu sama sekali. Jadi diluar mendesain pesawat agar lebih kuat, maka artikel itu pada akhirnya tetap diperlukan.

Okay, lalu apa hubungannya ini dengan kurs Rupiah, yang kemarin sempat menyentuh level psikologis Rp15,000 per US$?


Pergerakan Rupiah sepanjang tahun 2018, melemah sekitar 10%

Isu pelemahan Rupiah sebenarnya sudah bergulir sejak awal tahun 2018 ini, dimana Rupiah mulai drop dari 13,000-an ke 14,000-an, dan actually di artikel ini pada bulan Juli kemarin, kita sudah membahas bahwa bahkan kalaupun nanti Rupiah drop sampai 15,000, maka tetap tidak ada yang perlu dikhawatirkan, karena dari tiga faktor yang menyebabkan pelemahan Rupiah, yakni: 1. Menguatnya US Dollar terhadap mata uang semua negara emerging market termasuk Indonesia, 2. Kenaikan harga minyak, yang otomatis menaikkan nilai impor, dan 3. Capital outflow, kesemuanya merupakan faktor eksternal. Jadi ini berbeda dengan tahun 2015 lalu, dimana Rupiah juga sempat menyentuh level Rp15,000-an per USD, dan penyebabnya adalah economic slowdown dimana kegiatan ekonomi dalam negeri mengalami kelesuan yang luar biasa (anda bisa baca lagi ceritanya disini).

Namun setelah membaca tulisan tentang turbulensi pesawat diatas, penulis jadi sadar bahwa tulisan soal Rupiah di bulan Juli kemarin sebenarnya sia-sia saja, alias tidak akan bisa meng-convince para pelaku pasar bahwa ekonomi kita masih baik-baik saja. Termasuk kalau saya katakan bahwa penurunan Rupiah saat ini sama sekali tidak separah tahun 2015, 2018, atau 1998 (dari 13,600 ke 15,000, berarti kan cuma turun 9.3%, bandingkan dengan tahun 2015 dimana Rupiah sempat drop dari 12,400 ke 15,100, atau drop 17.9%), maka tetap saja: Yang dilihat semua orang bukan soal penurunan Rupiah berapa persen, atau bahwa pertumbuhan ekonomi kita masih tinggi bla bla bla, melainkan Rupiah sekarang sudah 15,000. Jadi Indonesia bakal krisis ini, itu sudah!

Jadi ketika di artikel Juli lalu penulis katakan bahwa, selama Pemerintah (melalui Kementerian Keuangan dan institusi lainnya yang terkait), Bank Indonesia (BI), BEI, hingga OJK belum ‘do something’, maka artinya situasi masih aman terkendali (para institusi tersebut baru akan mengeluarkan kebijakan tertentu jika memang diperlukan), maka dalam hal ini penulis harus melontarkan sedikit kritik: Bahkan meskipun dalam pandangan mereka, ekonomi masih baik-baik saja, tapi masyarakat awam punya pandangan berbeda, dan sejak awal kita semua tahu bahwa kalau Rupiah sampai tembus 15,000, maka dampak psikologisnya akan sangat terasa. Masalahnya, sekarang ini kita berada pada jaman dimana informasi sangat cepat tersebar, biasanya pula dengan dibumbui kalimat-kalimat hiperbola, dan alhasil tukang sayur sekalipun sekarang juga sudah tahu bahwa Rupiah sudah 15,000, dan bahwa (itu artinya) Indonesia krisis.

Thus, alih-alih kekeuh bahwa ekonomi masih baik-baik saja bla bla bla, termasuk harus menunggu Rupiah jebol 15,000 dulu lalu baru mereka do something, maka seharusnya ‘something’ itu sudah dikerjakan ketika Rupiah masih di 14,000-an.

Tapi seperti halnya cerita turbulensi diatas, para pejabat berwenang juga sepertinya sudah memahami soal ini, dimana Kementerian Keuangan dkk sejak semingguan lalu segera mengeluarkan kebijakan ini dan itu (detilnya bisa anda baca sendiri di internet), hanya saja mungkin timing-nya yang sedikit terlambat, dimana kemarin Rupiah akhirnya mencolek level psikologis Rp15,000. Alhasil orang-orang sempat panik, pasar saham drop, dan cerita pelemahan Rupiah ini menjadi headline dimana-mana. Pertanyaannya, bagaimana kedepannya? Dan IHSG mau dibawa kemana ini??

Antara Psikologis vs Logika Analisis

Pasca kebijakan pemerintah, maka ketika artikel ini ditulis, Rupiah sedikit menguat ke level Rp14,835 per USD. Untuk kedepannya kita belum tahu apakah penguatan Rupiah akan berlanjut atau cuma sementara, namun yang pasti jika nanti Rupiah kumat lagi, maka sekarang kita tahu bahwa Pemerintah (akhirnya) tidak tinggal diam. Atau, sebenarnya mereka juga sudah kerja keras/sejak awal sudah banyak mengeluarkan kebijakan, hanya saja kurang dipublikasikan sehingga masyarakat taunya para pejabat santai-santai saja. Sementara untuk saat ini publikasinya terbilang luar biasa, hingga kita bisa katakan bahwa selain menjaga Rupiah itu sendiri, Pemerintah juga bekerja keras menjaga psikologis masyarakat. Jadi ibarat turbulensi pesawat diatas, maka selain menyuruh para insinyur membuat badan pesawat agar lebih tahan goncangan, pihak maskapai juga menyuruh humas-nya untuk membuat artikel-artikel yang menjelaskan soal turbulensi tersebut.

Lalu apakah semua upaya diatas bisa membuat Rupiah kembali stabil, dan juga membuat masyarakat kembali optimis? Well, soal itu hanya waktu yang bisa menjawabnya, namun balik lagi: Karena sejak awal penyebab pelemahan Rupiah adalah mayoritas faktor eksternal, alias bukan karena Indonesia beneran krisis atau semacamnya, maka seharusnya sedikit kebijakan ini dan itu sudah cukup untuk membuat Rupiah stabil kembali. Actually, kalau bukan karena adanya faktor psikologis dimana sejak awal sudah ada anggapan bahwa kalau Rupiah tembus 15,000 maka itu artinya krisis (dan bisa jadi isu politik juga), maka Rupiah mungkin akan dibiarkan melemah hingga ke level tertentu. Karena, coba pikir lagi: Kalau Rupiah menguat maka itu juga bisa menurunkan ekspor, sehingga berdampak negatif ke pertumbuhan ekonomi. Intinya pelemahan atau penguatan Rupiah itu seperti pisau bermata dua, dimana pelemahan Rupiah tidak selalu berarti jelek, demikian pula penguatan Rupiah tidak selalu berarti bagus.

Namun karena sejak awal seperti sudah ada ‘kesepakatan’ bahwa Rupiah boleh turun tapi gak boleh sampai 15,000, maka ya sudah: Kalaupun Rupiah gak sampai dibawa menguat lagi, maka minimal dia bakal stabil di level 14,000-an, dan secara teori harusnya tidak sulit untuk menjaga agar Rupiah stabil disitu. Dan satu hal lagi: Karena penyebab pelemahan Rupiah terhadap Dollar adalah faktor eksternal, maka dalam hal ini kebijakan luar negeri Pemerintah juga menjadi penting. Sebab jika kita lihat lagi negara-negara emerging market yang mata uang mereka juga anjlok dibanding USD, yakni Turki, Argentina, Iran, hingga Venezuela (dibanding mata uang di empat negara ini, kinerja Rupiah terbilang sangat baik), maka rata-rata pemerintahnya punya ‘urusan’ dengan negeri Paman Sam, yang sekarang ini memang agak ‘koboy’ dibawah pimpinan Presiden Trump. Beruntung, Indonesia sejauh ini mampu menjaga hubungan baik dengan Amerika Serikat dan juga negara-negara lainnya (ketika artikel ini ditulis, Presiden Jokowi tengah melakukan kunjungan kerja ke Korea Selatan), jadi seharusnya ekonomi kita tidak akan sampai di-Turki-kan atau semacamnya.

Okay, lalu bagaimana dengan IHSG? Nah, berbeda dengan psikologis masyarakat awam yang baru kepikiran kalau Indonesia ‘krisis’ setelah Rupiah kemarin mencolek level 15,000, psikologis investor di pasar modal sudah under pressure sejak cukup lama, tepatnya sejak Mei 2017 lalu setelah investor asing terus menerus jualan, dimana itu masih terjadi sampai sekarang (asing hanya stop jualan 1 kali di bulan Januari 2018), dan alhasil ada banyak saham-saham di BEI yang anjlok gila-gilaan dan belum naik lagi, demikian pula IHSG itu sendiri masih minus sepanjang tahun 2018 ini. Menariknya, kondisi pasar yang carut marut karena foreign outflow ini sudah terjadi sejak sebelum ada isu negatif tertentu terkait perekonomian nasional, baik itu dari dalam maupun luar negeri (isu perang dagang dst baru nongol beberapa bulan lalu, sedangkan asing sudah jualan jauh sebelum itu).

Jadi ketika beberapa waktu lalu muncul cerita krisis Turki, dan gak sampai sebulan kemudian nongol lagi cerita pelemahan Rupiah, maka seperti yang bisa anda lihat sendiri, IHSG gampang banget jatuhnya. Bisa kita katakan bahwa kondisi psikologis investor pada saat ini sangat berbeda dengan psikologis masyarakat umum: Ketika Rupiah menyentuh 15,000, orang-orang mungkin mulai berpikir bahwa Indonesia krisis, tapi setelah mereka melihat bahwa harga sembako masih aman-aman saja, toko-toko masih laku, dan Rupiah itu sendiri menguat lagi, maka ya sudah, mereka akan kembali berpikir bahwa Indonesia masih aman. Sedangkan investor? Well, jauh sebelum cerita pelemahan Rupiah ini ramai dibicarakan, portofolio mereka sudah babak belur duluan, sehingga otomatis secara psikologis, mereka juga sudah kadung males dan capek. Thus, ketika muncul isu negatif sedikiiiit saja, maka IHSG langsung anjlok tanpa ampun.

Kesimpulannya, yep, meski berdasarkan data ekonomi dll penulis masih bisa katakan bahwa pasar saham masih baik-baik saja, tapi secara psikologis pasar, IHSG untuk saat ini masih belum aman, terutama karena kita belum tahu apakah Rupiah akan mampu stabil di 14,000-an, dan karena isu-isu lain seperti utang pemerintah, krisis Turki, perang dagang dst belum benar-benar mereda, dan bisa kembali ramai dibicarakan sewaktu-waktu.

Namun untungnya kita tahu bahwa fluktuasi pasar karena faktor sentimen, itu hanya bersifat jangka pendek, dimana jika nanti sentimennya hilang maka ya sudah, pasar juga bakal stabil lagi. Sedangkan untuk jangka panjangnya ya tetap balik lagi ke fundamental ekonomi, kinerja emiten, serta valuasi saham-saham di bursa, dan untungnya untuk faktor-faktor tersebut bisa penulis katakan bahwa: 1. Ekonomi kita secara umum masih cukup baik, tidak bisa disebut booming tapi juga jauh dari kata krisis, 2. Kinerja para emiten, meski tidak sebagus tahun 2011 lalu, tapi masih lebih baik dibanding 2015, dan 3. Valuasi saham-saham sudah sangat banyak yang terdiskon, terutama di kelompok second and third liner (bluechip masih tanggung/belum bener-bener murah). Jadi kecuali nanti ada force majeure tertentu, maka asalkan kita bisa melihatnya katakanlah sampai setahun kedepan, maka sekarang-sekarang ini justru merupakan waktu terbaik untuk belanja. What? Duit anda sudah masuk semua? Ya sudah kalau gitu tunggu saja, tahun 2018 juga tinggal kurang dari empat bulan lagi kok.

Untuk minggu depan kita akan bahas soal cerita Krisis Turki, Argentina, Iran, hingga Venezuela, serta bagaimana perbandingan kondisi makroekonomi antara keempat negara tersebut dengan Indonesia. Minggu depannya lagi kita bahas IPO Garuda Food.

Jadwal Value Investing Private Class: Hotel Hilton Bandung, Sabtu 15 September. Keterangan selengkapnya baca disini.

Penulis membuat buku kumpulan analisa saham-saham pilihan, lengkap dengan harga beli yang disarankan, target harga, hingga tingkat risiko untuk tiap-tiap saham. Anda bisa memperolehnya disini.

Bagi anda dari perusahaan atau institusi tertentu, maka anda bisa mengundang penulis langsung (Teguh Hidayat) ke kantor anda untuk 'sharing session', yakni sesi dimana saya akan berbagi pengalaman dan pengetahuan tentang investasi saham, termasuk menjadi narasumber untuk tanya jawab saham. Caranya kirim email ke teguh.idx@gmail.com dengan subjek: Sharing session. Jangan lupa untuk menyebutkan nama anda, nama perusahaan/institusi, serta kapan jadwal yang anda inginkan (sebaiknya jangan mendadak, minimal 2 minggu sebelumnya). Untuk sharing session ini penulis tidak memungut biaya, kecuali untuk akomodasi.

Follow/lihat foto-foto penulis di Instagram, klik 'View on Instagram' dibawah ini: Instagram

Komentar

Unknown mengatakan…
Terimakasih pak, Ditunggu tulisan bpk tentang krisis di venezuela
Unknown mengatakan…
Sangat respect sama tulisannya Mr Teguh.
Sukses terus Pak...!!!
Hamba Allah mengatakan…
menyesatkan, faktor eksternal? defisit neraca dagang karena impor migas tekor faktor eksternal atau internal jokowi yang gak mau citranya semakin jatuh menjelang pemilu kalau nanti BBM dinaikkan? apa kabarnya CAD yang udah 3.04%? masih mau menyalahkan eksternal? saya setuju kalau kita gak boleh menjadikan krisis 98 sebagai acuan, karena harusnya yang dijadikan acuan itu tahun 96 pra krisis. sebagai tambahan, juni 97, rupiah masih stabil, neraca perdagangan masih surplus, cadangan devisa cukup, dan 4 bulan kemudian, oktober 97 rupiah nyungsep, ekonomi amburadul.
saat ini USD terus ditarik The fed dari peredaran, dan tidak pernah terjadi dalam sejarah pengurangan jumlah uang di masyarakat yang tidak diakhiri dengan resesi/depresi, tidak pernah.
silakan screen shot komentar saya ini, dua tahun lagi, jika ternyata kondisi masih baik-baik saja, silakan bully saya sepuasnya, jika perlu tuntut saya ke pengadilan, tapi jika ternyata tulisan saya ini benar, cukup doakan saya agar dijauhkan dari siksa api neraka. dalam sistem ekonomi bunga berbunga saat ini, tidak akan ada yang bisa menghindari kebangkrutan.
after 2008, the day of reckoning may be delayed, but it was not canceled.
Anonim mengatakan…
Turbulensi di pesawat bisa dirasa normal karena pesawat punya teknologi peredam. Lah sekarang nilai tukar rupiah gimana mau stabil kalo pemerintah menggelontorkan uang besar untuk menggelar hajatan besar dengan orang2 tukang hutang!? Padahal korban bencana alam begitu banyak yang belum terselesaikan kebutuhan hidupnya!!

ARTIKEL PILIHAN

Live Webinar Value Investing, Sabtu 16 Maret 2024

Ebook Investment Planning Kuartal IV 2023 - Sudah Terbit!

Laporan Kinerja Avere Investama 2022

Peluang dan Strategi Untuk Saham Astra International (ASII)

Indo Tambangraya Megah: Masih Royal Dividen?

Indah Kiat Pulp & Paper (INKP) Bangun Pabrik Baru Senilai Rp54 triliun: Prospek Sahamnya?

Prospek Saham Energi Terbarukan, Kencana Energi Lestari (KEEN)