Krisis Turki, dan IHSG

Dalam sebulan terakhir, mata uang Negara Turki, Turkish Lira (TL), terjun bebas dari ₺4.8 ke ₺7.0 per US Dollar, atau drop lebih dari 30%, dan kejatuhan tersebut memperparah devaluasi TL yang sudah terjadi dalam beberapa tahun terakhir, dimana pada tahun 2014 lalu, TL masih berada di level ₺2.0 per USD. Atau dengan kata lain, mata uang Negara Turki telah kehilangan lebih dari dua per tiga nilainya hanya dalam empat tahun terakhir, dan ini otomatis menimbulkan pertanyaan: Apa yang terjadi? Apakah Turki sedang krisis atau semacamnya? Dan khususnya apa yang terjadi dalam sebulan terakhir hingga TL jatuh sangat cepat? Sebagai perbandingan, meskipun Indonesian Rupiah (IDR) juga cenderung melemah terhadap US Dollar, namun pada tahun 2014 lalu IDR berada di level Rp12,700, berbanding hari ini sekitar Rp14,500 per USD, yang artinya penurunannya total hanya 12% dalam empat tahun terakhir (tapi bahkan itupun sudah bikin kita khawatir, jadi bagaimana dengan Turki ini?)

Posisi real time Turkish Lira per hari Senin, 13 Agustus 2018, pukul 12.00 WIB, dimana TL sempat drop sampai ₺7.0 per USD, sebelum kemudian menguat sedikit ke ₺6.7 per USD. Sumber: www.tradingeconomics.com

Pelemahan TL yang terjadi sejak 2014 sebenarnya in line dengan pelemahan hampir semua mata uang negara lainnya di seluruh dunia terhadap USD (sehingga dalam hal ini lebih tepat jika dikatakan bahwa USD-lah yang menguat, bukan Rupiah dll yang melemah), namun kejatuhannya dalam sebulan terakhir dipicu oleh dua faktor yang bisa dikatakan faktor eksternal. Pertama, Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump, menaikkan tarif impor baja dan alumunium dari Turki sebesar masing-masing 50% dan 20%, yang tentu saja dikhawatirkan akan menurunkan nilai impor Turki ke AS. Kedua, sebelumnya pada tanggal 26 Juli 2018, Wakil Presiden AS, Michael Pence, mengirim pesan langsung kepada Presiden Turki, Recep Tayyip Erdogan, untuk membebaskan Pdt. Andrew Brunson, seorang pendeta katolik asal AS di Turki, yang pada tahun 2016 lalu ditangkap dan dipenjara karena dianggap terlibat dengan upaya kudeta militer terhadap Presiden Erdogan. Dan ancamannya adalah, jika Pdt. Brunson tidak segera dibebaskan, maka Turki akan menerima sanksi serius dari AS. Thus, muncul spekulasi bahwa kenaikan tarif impor diatas adalah bentuk dari sanksi tersebut, dan akan ada sanksi berikutnya jika masalah ini kemudian berkepanjangan.

Tapi diluar kemungkinan sanksi tambahan dari AS, maka kejatuhan TL ini sudah mulai membuka problem-problem lainnya terkait ekonomi Turki. Pertama, seiring dengan pesatnya pertumbuhan GDP/ekonomi Turki dalam beberapa tahun terakhir (GDP Turki terakhir tercatat USD 851 milyar di tahun 2017, naik hampir empat kali lipat dibanding tahun 2003, yakni ketika Presiden Erdogan mulai menjabat sebagai Perdana Menteri), itu menimbulkan efek samping berupa lonjakan inflasi, yang terakhir mencapai 17.5%, jauh diatas rata-rata inflasi Turki dalam sepuluh tahun terakhir yang hanya 6 – 7% per tahun, dan tingkat inflasi ini diprediksi akan semakin besar seiring dengan kejatuhan TL. Kedua, dalam rangka menekan inflasi dan menghambat pelemahan TL, tingkat suku bunga Bank Sentral Turki juga dinaikkan dari 4.75% di tahun 2014, menjadi sekarang sudah tembus 17.75%. Dengan suku bunga setinggi ini maka tentu saja dikhawatirkan bahwa economic growth yang dialami Turki bisa berbalik setiap saat menjadi pertumbuhan ekonomi minus, alias krisis, karena tingkat suku bunga di Turki sekarang ini sudah merupakan yang tertinggi dibanding negara-negara lain sesama anggota G20, termasuk inflasinya juga sangat tinggi. Sebagai perbandingan, tingkat suku bunga di Indonesia atau BI Rate, sekarang hanya 5.25%, sementara inflasi Indonesia juga cuma 3.2% per tahun.

However, kalau kita lihat indikator-indikator makro lainnya seperti Government Debt to GDP, tingkat pengangguran, dst, maka Turki tidak bisa dikatakan sedang krisis, melainkan baru sebatas dikhawatirkan akan jatuh krisis, yakni jika kejatuhan TL yang terjadi sekarang ini berlanjut. Dengan kata lain, jika besok-besok TL naik lagi maka ya sudah, masalahnya selesai. Malah, diluar cerita kejatuhan mata uangnya, maka ekonomi Turki dalam sepuluh tahun terakhir ini justru sedang bagus-bagusnya (dan makanya Presiden Erdogan juga kemudian menjadi sangat populer).

Jadi pertanyaannya sekarang, apakah pelemahan TL akan berlanjut, ataukah posisi TL terhadap USD pada saat ini sudah cukup rendah sehingga selanjutnya dia akan rebound? Dan jika Turki kemudian beneran krisis, maka kira-kira bagaimana dampaknya terhadap Indonesia? Nah, sebelum menjawab pertanyaan tersebut, mari kita coba lihat dulu ceritanya dari awal.

Fluktuasi Market Global vs IHSG

Sepanjang tahun 2018 ini, sejak awal tahun sudah muncul beberapa cerita dari luar negeri yang kemudian menyebabkan pasar saham Indonesia tertekan. Yang pertama adalah ketika Dow Jones Industrial Average (DJIA), yang sebelumnya naik terus, tiba-tiba drop 10.3% dari 26,616 ke 23,860 pada bulan Februari 2018, yang tentu saja memunculkan isu Amerika krisis bla bla bla. Tapi setelah kita bahas lagi di artikel ini, maka justru tidak ada krisis apapun disana, malah ekonomi Amerika sedang bagus-bagusnya setelah terakhir kali mereka krisis di tahun 2008, dan sekarang inipun pun DJIA sudah stabil lagi. Kemudian pada Juli 2018, Pemerintah AS menerapkan tarif 25% untuk impor barang-barang dari China senilai US$ 34 milyar, yang segera dibalas oleh Beijing dengan juga menerapkan tarif untuk beberapa impor barang dari AS. Peristiwa ini kemudian memunculkan istilah perang dagang, antara AS dan China, yang lagi-lagi dikhawatirkan akan menimbulkan krisis (karena dua negara ini notabene berstatus sebagai penguasa ekonomi dunia saat ini) dan ceritanya semakin memanas karena ditambah dengan pernyataan-pernyataan Trump di media.

But still, cerita perang dagang itu baru sebatas ‘dikhawatirkan akan menimbulkan krisis’, dan sampai saat ini belum ada indikasi krisis yang serius karena imbas dari ‘trade war’, baik itu di AS, China, ataupun negara-negara lainnya. Dan IHSG sendiri, meski kemudian turun lumayan banyak dari puncaknya di level 6,600-an, Februari 2018 lalu, tapi penyebabnya lebih karena isu-isu dalam negeri seperti pelemahan Rupiah dll, selain tentunya karena sejak awal valuasi saham-saham, terutama blue chip, sudah pada mahal.

Nah, cerita selanjutnya adalah Krisis Turki ini, dan penulis bisa katakan bahwa cerita ini lebih serius dibanding perang dagang kemarin, dan juga mengingatkan penulis dengan Krisis Yunani di tahun 2011 lalu, dimana meski GDP Yunani terbilang kecil, namun krisis disana dikhawatirkan akan merembet ke negara-negara Uni Eropa lainnya, termasuk sampai ke Indonesia. Dan meski pada akhirnya tidak terjadi krisis besar apapun (Ekonomi Yunani sampai sekarang masih belum benar-benar pulih, tapi sudah tidak ada lagi kekhawatiran bahwa kondisi ekonomi disana akan merembet ke negara lain), namun sentimen krisis Yunani ini tetap berpengaruh ke pasar saham Indonesia, dimana IHSG sepanjang tahun 2011 hanya naik 3.2%, padahal GDP growth kita ketika itu lagi bagus-bagusnya di level diatas 6% (sekarang cuma 5%).

Sementara untuk Turki ini, maka kalau dia beneran krisis maka pengaruhnya ke perekonomian dunia bakal lebih signifikan, karena ukuran ekonomi Turki sebagai negara anggota G20 terbilang cukup besar, dan statusnya sebagai emerging market menimbulkan kekhawatiran investor global bahwa negara-negara emerging market lainnya, termasuk Indonesia, juga bisa saja mengalami kondisi yang sama. Namun demikian kata kuncinya itu tadi: Kalau Turki beneran krisis.

Sementara untuk saat ini, maka diluar kejatuhan mata uangnya, Turki belum mengalami krisis apapun, masih jauh lah kalau dibandingkan dengan Yunani di tahun 2011, malah disana justru lagi booming industri pariwisata dll (coba googling, Istanbul and Cappadocia). Dan kalau kita baca lagi ceritanya diatas, maka kejatuhan TL ini sepertinya lebih disebabkan oleh faktor politik ketimbang ekonomi, yakni terkait Trump vs Erdogan. Mungkin, seiring dengan kesuksesannya membangun ekonomi Turki, popularitas Erdogan juga meningkat pesat tidak hanya di Turki tapi juga seluruh dunia, tapi disisi lain itu membuat negara-negara adidaya justru khawatir kalau kedepannya Turki ini bakal jadi ‘sulit dikendalikan’.

Jadi kecuali kedepannya nanti ada isu lainnya lagi, atau pelemahan TL terus berlanjut, maka jangankan pengaruh secara fundamental terhadap makroekonomi nasional, pengaruh cerita krisis Turki ini terhadap indeks-indeks saham di seluruh dunia, termasuk Indonesia, juga masih akan sebatas sentimen jangka pendek, yang bisa langsung dilupakan lagi dalam beberapa waktu kedepan, dan IHSG akan kembali bergerak stabil sesuai dengan perkembangan ekonomi dalam negeri. Dengan kata lain, jika nanti peristiwa penurunan Turkish Lira ini berlanjut maka artikel ini juga akan ada lanjutannya, tapi jika tidak maka yo wis, kita hanya akan membahas peristiwa penting yang lainnya lagi. So let us just sit, and wait. Actually, kalau kita lebih teliti maka sebenarnya ada isu lain yang lebih serius, yakni kejatuhan Bursa Shanghai di China, dimana SSE Composite Index sudah drop 3,558 pada Januari 2018 lalu, ke posisi 2,746 pada saat ini, dan kalau lihat chart-nya maka sepertinya penurunannya masih akan berlanjut. Tapi entah kenapa hal ini tidak begitu diperhatikan publik, dan perhatian kita malah tertuju pada Turki yang ukuran negaranya jauh lebih kecil, dan hubungan ekonominya dengan Indonesia juga tidak terlalu dekat.

Anyway, welcome to the stock market, dimana seringkali perhatian investor lebih tertuju pada apa yang sedang ramai diberitakan di media, ketimbang peristiwa atau fakta apa yang benar-benar tengah terjadi di Indonesia atau diluar sana.

Untuk minggu depan, kecuali ada isu lain yang lebih rame, kita akan analisa Perusahaan Gas Negara (PGAS).

Ebook Kumpulan Analisis 30 Saham Pilihan (‘Ebook Kuartalan’) edisi Kuartal II 2018 sudah terbit! Anda bisa langsung memperolehnya disini.

Follow/lihat foto-foto penulis di Instagram, klik 'View on Instagram' dibawah ini: Instagram

Komentar

Unknown mengatakan…
Opini saya Pak Teguh, penurunan bursa shanghai lebih dikarenakan sentimen perang dagang karena dengan menurunnya pasar ekspor terutama amerika menimbulkan kekuatiran akan melemahnya kinerja perusahaan dari Cina terutama yang berorientasi ekspor (Total eskpor CIna ke US sekitar USD500B). Dan memang credit default di Cina di 2018 meningkat tajam dibanding 2017.

Sedangkan untuk Turki. Kekuatiran global disebabkan beberapa kemiripan kondisi yang terjadi di Turki dengan krisis 1998 dimana Baht Thailand terdepresiasi terhadap USD. Sejarahnya, Thailand melakukan fix exchange rate terhadap USD. Investasi asing masuk dan banyak perusahaan thailand berhutang dengan mata uang USD yang dianggap murah pendanaannya karena suku bunga rendah. Sayangnya pinjaman dalam USD dipakai untuk hal yang kurang produktif. Akibatnya kredit macet meningkat. Beberapa perusahaan besar mulai kolaps dan mempengaruhi kinerja perbankan. Dengan kondisi yang memburuk. Perbankan Thailand harus bekerja lebih keras untuk mempertahankan nilai tukar baht thdp USD dan akhirnya menghabiskan cadev negara. Akibatnya Thailand diambang kebangkrutan yang membuat mereka memutuskan untuk merubah kebijakannya ke floating currency. Akibatnya banyak perusahaan Thailand yang berhutang dalam dolar membeli dolar untuk membayar hutangnya yang malah mengakibatkan semakin jatuhnya nilai Baht. Kekuatiran global terhadap kondisi di Thailand membuat investor lari dari negara2 lain di ASEAN yg menular ke negara tetangga, meskipun bukann berarti semua negara tersebut dalam krisis (Indonesia, Korea, Malaysia). Anggap saja nilai saham kita stagnan tapi rupiah menjadi 16rb per 1USD. Bukankah nilai saham kita relatif terhadap USD berarti menurun. Bapak bisa lihat dari sejarah krisis 1998 untuk mengetahui detilnya
Unknown mengatakan…
Mantap sekali analisanya Pak teguh.. sektor infra yg digadang2 bagus untuk investasi jangka panjang kog sekarang melempem di pbv 1x ya?
Tedy mengatakan…
knp sektor infrastruktur yang jadi andalan pemerintahan saat ini tapi hasilnya malah berbanding terbalik dengan saham2 sektor infrasruktur, terutama konstruksi...Apakah itu artinya keberhasilan2 yang selama ini digembar gemborkan hanya retorika dan semata mata untuk mendongkrak popularitas saja..????

ARTIKEL PILIHAN

Live Webinar Value Investing, Sabtu 16 Maret 2024

Ebook Investment Planning Kuartal IV 2023 - Sudah Terbit!

Laporan Kinerja Avere Investama 2022

Peluang dan Strategi Untuk Saham Astra International (ASII)

Indo Tambangraya Megah: Masih Royal Dividen?

Indah Kiat Pulp & Paper (INKP) Bangun Pabrik Baru Senilai Rp54 triliun: Prospek Sahamnya?

Prospek Saham Energi Terbarukan, Kencana Energi Lestari (KEEN)