Nippon Indosari Corpindo (ROTI)

Penulis pertama kali membahas Nippon Indosari Corpindo (ROTI) pada Agustus 2015 (3 tahun lalu, baca lagi ulasan lengkapnya disini), ketika itu dengan kesimpulan bahwa emitennya masuk kategori wonderful company yang cocok untuk investasi jangka panjang, dan sahamnya pada harga 1,085, yang ketika itu mencerminkan PER 22.3 dan PBV 5.2 kali terbilang murah untuk ukuran saham consumer goods dengan intangiable asset berupa merk ‘Sari Roti’ yang sangat terkenal. Dan memang, ROTI kemudian naik banyak hingga sempat tembus 1,700 pada September 2016, atau mencetak profit 60% dalam waktu setahun lebih sedikit (belum termasuk dividen), dan sahamnya juga rutin menjadi salah satu dari 30 saham pilihan yang dibahas di ebook kuartalan.


However, sebenarnya ketika ROTI sudah berada diatas level 1,500-an, penulis ketika itu menganggap bahwa valuasinya sudah tidak murah lagi, sehingga kita kemudian melepasnya dan tidak lirik-lirik lagi sahamnya (ROTI tidak lagi masuk ebook kuartalan, dia lanjut naik pun kita biarken saja). Sampai tiba-tiba saja, pada Juni 2017, ROTI sudah berada di 1,200-an lagi. Namun karena perusahaan ternyata membukukan penurunan laba pada tahun 2017 tersebut, maka sahamnya tetap absen dari stockpick penulis.

Hingga akhirnya pada Kuartal III 2018 barusan, laba ROTI tercatat Rp103 milyar, naik tipis dibanding periode yang sama tahun sebelumnya sebesar Rp97 milyar. Sebenarnya, mengingat kenaikan laba tersebut lebih karena pendapatan keuangan (laba usaha ROTI masih turun), maka ini tidak bisa dijadikan sinyal bahwa kinerja ROTI sudah kembali bertumbuh. Namun yang juga penulis perhatikan, setelah kemarin sempat drop lagi sampai 900-an, ROTI kemudian naik lagi hingga sekarang sudah di 1,080 lagi, dan kenaikannya tersebut tampak normal/bukan karena ada bandar yang mainin. Jadi apakah ini karena investor menganggap bahwa sahamnya sudah sangat murah, sehingga mereka tetap masuk meskipun kinerja ROTI masih belum meyakinkan? Atau bagaimana?

Nah, dalam hal ini penulis mengajak anda untuk melihat lagi contoh-contoh saham consumer goods lain, yang rata-rata memang cocok untuk investasi jangka panjang: Ketika Warren Buffett mulai membeli saham Coca Cola (KO), akhir dekade 1980-an lalu, kemudian di-hold saja sampai sekarang, maka apakah KO selalu membukukan kenaikan laba setiap tahunnya? Ternyata tidak. Malah antara tahun 2000 – 2010, KO membukukan laba yang cenderung stagnan, atau turun. Demikian pula di Indonesia, apakah perusahaan-perusahaan consumer yang populer seperti Unilever Indonesia (UNVR), Kalbe Farma (KLBF), Indofood CBP (ICBP), laba mereka naik terus tiap tahun? Ternyata tidak juga. Malah kalau perusahaan-perusahaan tersebut katakanlah labanya naik terus dalam lima tahun terakhir, maka ada kemungkinan bahwa dalam lima tahun berikutnya, laba mereka akan stagnan atau turun. Intinya, memang idealnya perusahaan membukukan kenaikan ekuitas serta laba setiap tahunnya dalam jangka panjang, tapi pada prakteknya itu nyaris mustahil. Termasuk laba bersihnya Berkshire Hathaway juga sering turun pada tahun-tahun tertentu (dibanding tahun sebelumnya).

Namun demikian, khusus untuk perusahaan consumer goods, ada satu faktor yang menjadi semacam garansi bahwa meskipun kinerja perusahaan tampak kurang bagus pada tahun-tahun tertentu, tapi kedepannya kinerja tersebut tetap berpeluang besar untuk naik lagi. Faktor tersebut adalah power of brand, alias kekuatan merk. Jadi intinya gini: Ada banyak faktor yang bisa mempengaruhi kinerja perusahaan dalam jangka pendek, katakanlah 1 – 2 tahun, dimana perolehan laba perusahaan dalam jangka waktu tersebut bisa saja stagnan atau turun, tak peduli meski manajemen perusahaan dll masih baik-baik saja. Tapi selama perusahaan mampu mempertahankan kekuatan merk yang dimiliki, atau dalam kasus ROTI, mempertahankan posisi perusahaan sebagai market leader di industri mass-market bread, maka dalam jangka panjang 5 – 10 tahun, kinerja perusahaan pada akhirnya tetap akan bertumbuh. Contoh riil-nya ya UNVR tadi, atau Mayora Indah (MYOR), dimana meski laba MYOR bahkan pernah turun sampai separohnya, dan sahamnya pun ikut turun, tapi tak lama kemudian laba tersebut naik lagi, dan sahamnya juga naik lagi. Bahasa kerennya, kinerja itu temporary, kadang naik kadang turun. Tapi kekuatan merk, itu abadi.

Jadi kalau ROTI membukukan penurunan laba, dan sahamnya ikut turun hingga valuasinya menjadi murah, maka justru itulah saat terbaik untuk masuk, dan actually di artikel ROTI di tahun 2015, penulis juga sudah sampaikan soal ini (bahwa waktu terbaik untuk invest di ROTI adalah ketika kinerja perusahaan turun). Hipotesa ini baru akan berubah jika katakanlah ada merk roti baru yang sukses menggeser posisi Sari Roti sebagai market leader, atau perusahaan terkena kasus hukum yang serius dll, tapi itu tidak terjadi toh?

Dan setelah penulis cek lagi, ternyata benar bahwa pada harga 900, PBV ROTI adalah persis 2.0 kali, relatif murah dibanding saham consumer goods dengan reputasi baik lainnya, dan juga lebih murah dibanding valuasi ROTI itu sendiri di tahun 2015 lalu. Jadi, yap, tidak mengherankan jika kemudian sahamnya rebound. Untuk pergerakan ROTI kedepannya tentunya masih akan tergantung pada perkembangan kinerja perusahaan, tapi penulis kira kinerja terbarunya di Kuartal III 2018 juga sudah cukup untuk mengkonfirmasi bahwa sahamnya, dengan catatan tidak terjadi force majeure, tidak akan balik lagi ke 900-an.

Jadi pilihan strateginya sekarang ada dua: Jika anda cukup yakin bahwa laba ROTI akan naik signifikan lagi, katakanlah di tahun 2019 nanti, maka boleh mulai nyicil masuk lagi dari sekarang. Tapi jika anda nggak yakin, maka boleh tunggu sampai April 2019 nanti, yakni ketika perusahaan merilis LK Kuartal I 2019, just to make sure. Manapun yang anda pilih, maka seperti saham BTPS yang dibahas kemarin, ingat bahwa ROTI ini juga hanya cocok untuk jangka panjang minimal 1 tahun. Dan sedikit catatan penting: Pada tahun 2017 kemarin ROTI menggelar right issue pada harga Rp1,275 per saham, dimana perusahaan memperoleh modal Rp1.4 trilyun yang seluruhnya digunakan untuk membangun 4 hingga 6 pabrik roti baru di Jawa, Sumatera, dan Kalimantan. Jadi jika semuanya lancar, maka dalam 2 – 3 tahun kedepan pendapatan ROTI akan meningkat signifikan, demikian pula dengan laba bersihnya. We’ll see.

Buletin Analisa IHSG & stockpick saham bulanan edisi November 2018 sudah terbit! Anda bisa memperolehnya disini, gratis konsultasi saham untuk member.

Follow/lihat foto-foto penulis di Instagram, klik 'View on Instagram' dibawah ini: Instagram

Komentar

Anonim mengatakan…
bahas saham konstruksi yg lagi turun dong pak....
Anonim mengatakan…
Tolong Bahas MBSS pak Teguh.
Anonim mengatakan…
Saham konstruksi perhatikan jumlah kontrak yg diperoleh aja pak dan valuasi dipasar

ARTIKEL PILIHAN

Live Webinar Value Investing, Sabtu 16 Maret 2024

Ebook Investment Planning Kuartal IV 2023 - Sudah Terbit!

Laporan Kinerja Avere Investama 2022

Peluang dan Strategi Untuk Saham Astra International (ASII)

Indo Tambangraya Megah: Masih Royal Dividen?

Indah Kiat Pulp & Paper (INKP) Bangun Pabrik Baru Senilai Rp54 triliun: Prospek Sahamnya?

Prospek Saham Energi Terbarukan, Kencana Energi Lestari (KEEN)